31 Desember 2007

Petani masih Selalu Kalah

Edisi 31 Desember 2007
Catatan Akhir Tahun (3)

Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com

PEMILIK cengkih dan kopra akhir tahun ini sumringah. Harga emas coklat – julukan untuk komoditi cengkih— melejit hingga di angka Rp46.000/kg. Sementara harga kopra melonjak hingga di kisaran Rp5.000/kg. Harga cengkih ini tertinggi setelah pada masa krisis ekonomi 1998 yang mencapai Rp97.000/kg. Sementara harga kopra melebihi rekor yang pernah dicapai pada 1998, Rp4.000-an/kg.
Kenaikan harga dua komoditi andalan Sulut ini lebih disebabkan oleh market mecanism –bukan by design. Cengkih tahun ini memasuki panen raya. Tetapi akibat musim yang tak bersahabat, hujan terus mengguyur di musim panen, ramalan produksi meleset. Tahun depan tidak ada panen raya cengkih. Supply menurun, tetapi demand cukup tinggi. Efeknya adalah harga cengkih yang terdongkrat dari Rp27.000/kg, menjadi Rp46.000/kg, atau naik 70,37 persen, hanya dalam waktu satu bulan terakhir.
Para pedagang cengkih di Manado memperkirakan, tahun datang harga emas coklat itu masih akan terdongkrat. Diperkirakan akan mencapai Rp50.000/kg, atau akan bertahan di kisaran Rp45.000 hingga Rp50.000/kg. Tentu saja menggembirakan bagi pemilik cengkih.
Lebih tepat disebut menggembirakan bagi ”pemilik cengkih”. Tidak terlalu tepat disebut ”menggembirakan petani cengkih”. Soalnya, cengkih sekarang sudah lebih banyak dimiliki oleh pedagang pengumpul, atau pedagang menengah-besar. Petani mungkin masih punya stok 300 hingga 500 kg. Stok yang besar, dalan ukuran puluhan ton, sudah dimiliki oleh bukan petani. Mereka itulah yang menikmati margin kenaikan harga cengkih yang mencapai 70-75 persen. Mungkin mereka membeli cengkih pada harga 27.000 – 30.000/kg. Saat harga sudah menyentuh Rp45.000 – 50.000, para pedagang pengumpul dan pedagang menengah besar itu akan menjual cengkih. Mereka itulah yang sesungguhnya menikmati kenaikan harga cengkih dalam satu bulan terakhir hingga tahun depan.
Begitulah nasib petani. Selalu saja kalah. Tahun ini kekalahannya minimal dari empat arah: buruh pemetik mahal (langka), dipukul musim hujan, kebanyakan menjual cengkih pada saat harga baru impas (belum untung), dan menyaksikan pesta para pedagang pengumpul, atau pedagang menengah besar menikmati pesta kenaikan harga cengkih.
Kenaikan harga kopra mungkin agak menolong petani kelapa. Sebagaimana diketahui, mayoritas kebun kelapa di Sulut dimiliki oleh rakyat. Itu berarti kenaikan harga kopra akan dinikmati oleh petani kelapa. Tetapi jerat ijon sudah lama menjadi ”setan desa”. Maka, bisa jadi kenaikan harga kopra itu, maksimal dinikmati fifty-fifty oleh petani kelapa dan pengijon kopra. Masih lebih lumayan dibandingkan dengan nasib petani cengkih.
Kenaikan harga kopra juga dipincu oleh permintaan yang tidak sebanding dengan persediaan. Kelapa di Sulut umumnya sudah tua renta, dengan tingkat penurunan produksi yang terus menukik setiap tahun. Penurunan produksi itu dipicu oleh empat hal: peremajaan kelapa yang lamban, menuanya usia mayoritas tanaman kelapa, serangan hama dan penyakit (hama sexava dan busuk pucuk), dan terus meningkatnya pemotongan pohon-pohon kelapa. Yang terakhir ini dipicu oleh dua masalah: kelapa makin tua dan kayu makin susah didapat. Pohon kelapa saat ini sudah menjadi alternatif bagi ketiadaan kayu untuk kebutuhan di sektor kontruksi.
Akibatnya, laju kehilangan pohon kelapa tidak sebanding dengan peremajaan kelapa. Saat ini Sulut memiliki sekitar 257.000 hektare kebun kelapa. Diperkirakan, sekitar 35 persen dari total luas areal perkebunan kelapa itu sudah rusak alias tak berproduksi.Laju kerusakan produksi pertahun rata-rata mencapai 10%, atau sedikitnya 100 hektare per tahun. Sementara kemampuan meremajakan kembali hanya mencapai 50-60% dari kerusakan produksi kelapa. Ketidakseimbangan ini dipicu, paling tidak oleh dua hal: penyediaan bibit dan kurang, dan motivasi petani yang rendah karena harga kelapa tidak merangsang.
Jika ketidakseimbangan ini terus terjadi, Sulut terus akan mengalami kekurangan pasokan kopra. Bersamaan dengan itu, kemungkinan harga kopra akan meningkat. Tetapi dalam jangka menengah hingga jangka panjang, industri kelapa di Sulut akan gulung tikar. Sulut kehilangan jati dirinya: daerah Nyiur Melambai yang sudah hilang kelapanya. Apa jadinya identitas daerah semacam itu.
Agar tidak terjadi masa ”aneh bin ajaib” itu, satu-satunya cara melakukan rehabilitasi dan peremajaan kelapa secara besar-besaran. Pemprov Sulut dan kab/kota se-Sulut harus kompak untuk urusan ini. Diperlukan sedikitnya 500 ribu hingga 750 ribu bibit kelapa per tahun untuk mengatasi masalah ini. Sekitar 75% dari kebutuhan bibit itu hendaknya disediakan oleh pemerintah, selebihnya rakyat dirangsang melakukan penyediaan bibit secara swadaya.
Tahun 2008, Pemprov Sulut dan pemkab se-Sulut sudah mulai keroyokan menyediakan bibit. Ini menggembirakan. Melalui APBD Sulut dan APBD kab/kota se-Sulut disediakan sekitar 375.000 bibit, dan 125.000 dirangsang untuk disediakan secara mandiri oleh rakyat. Tapi program ini belum bisa mengatasi masalah penurunan produksi kelapa dalam jangka pendek dan menengah. Meskipun laju kehilangan pohon kelapa sama dengan laju peremajaan, produksi belum pulih ke level semula. Sebab, tanaman kelapa memerlukan waktu 15 tahun untuk berbuah normal. Itu berarti, tingkat produksi kopra di Sulut mungkin nanti akan pulih 15-20 tahun mendatang. Lumayan, tak butuh sampai satu generasi. Lagi pula kita tetap masih pantas menyandang daerah Nyiur Melambai. Plus tak perlu mengganti lambang daerah Sulut – juga lambang Unsrat Manado.
Target itu akan tercapai jika program peremajaan dan rehabilitasi tanaman kelapa menjadi gerakan yang serius. Untuk kemulusannya, selain perlu keroyokan Pemprov dan pemkab se-Sulut, pemerintah pusat mutlak harus membantu. Dulu ada program dana rehabilitasi kelapa (DRK). Sekarang entah apa namanya, tapi pemerintah pusat tak bisa berpangku tangan. Daerah-daerah yang memiliki tanaman khas yang sudah menjadi jati dirinya dan tempat mayoritas rakyatnya menggantungkan nasibnya wajib dibantu. Ini sebagai program untuk melestarikan dan meningkatkan komoditas unggulan rakyat sesuai dengan kondisi iklim, kesuburan tanah, dan kultur masyarakat setempat.
Agar lebih terjamin pencapaian target dan kesinambungannya, paling bagus dan berkualitas jika program ini menjadi ”gerakan rakyat”. Ini dapat dilakukan dari sisi input, atau dari sisi output. Dari sisi input berarti pemerintah menyediakan bibit, membantu pupuk dan kredit untuk petani. Dari sisi output, ini yang paling murah dan efektif, membuat harga kopra terus menguntungkan hingga senantiasa merangsang petani secara mandiri meremajakan kelapanya. Boleh juga kombinasi antara pendekatan dari sisi input dan output. Tinggal pilih mana yang efektif dan menguntungkan.
Pemerintah Indonesia selama puluhan tahun belum familiar dengan kebijakan pertanian yang menekankan pada pendekatan sisi output. Selalu saja doyan dengan pendekatan dari sisi input. Sejumlah kelemahan dari pendekatan ini: dananya gampang dikorupsi, petani menjadi tergantung kepada pemerintah, dan harga pada banyak kasus merugikan petani. Sebaliknya, pada pendekatan dari sisi output, petani terdorong untuk berusaha secara swadaya, terjamin harga yang menguntungkan, petani tidak tergantung secara berlebihan kepada pemerintah, dan petani siap menanggung risiko tanpa perlu menyalahkan pemerintah.
Petani Sulut sebenarnya sudah membuktikan keampuhan pendekatan dari sisi input. Jutaan tanaman kelapa yang masih dinikmati hingga saat ini tidak ditanam atas arahan program bernama intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman pertanian/perkebunan. Demikian juga tanaman cengkih, pala, coklat dan vanila. Semua dilakukan oleh petani atas kelihaiannya membaca peluang pasar, atau sebagai respon petani atas tingginya harga komoditas-komoditas itu di masa lalu. Lalu, mengapa modal sosial ini tidak kita gunakan untuk menggelorakan program pertanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani?
Entalah? Yang pasti, kita semestinya bisa belajar dari keledai: tak mau terperosok di lobang yang sama. Kecuali untuk alasan lain: ”lobang” itu nikmat, menyenangkan dan menguntungkan.(habis).***

WOC BUKAN TUJUAN AKHIR!

Oleh: Agus Tony Poputra

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Unsrat, Program Magister Ekonomi Pembangunan Unsrat, dan Program Magister Manajemen Unsrat

Nilai tambah WOC bagi industri pariwisata Sulut tidak akan luar biasa apabila landasan pariwisata yang kokoh tidak dibangun mulai dari sekarang. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Mind Set yaitu : Gambaran mengenai masa depan bukanlah spekulasi atau sebuah perjalanan ke daerah yang belum dikenal, melainkan pada analisis mengenai masa sekarang.

Abad ini merupakan abad kemasyuran bagi dunia pariwista. Pariwisata bagaikan berlian yang berkilau seiring meningkatnya kemakmuran masyarakat dan kebutuhan untuk menyegarkan diri dari kepenatan rutinitas. Bagi suatu negara, pariwisata akan mendatangkan devisa tanpa harus mengorbankan sumber alam dan pariwisata menjadi komoditi yang tak pernah habis dikonsumsi. Cina merupakan contoh monumental bagi kedigjayaan pariwisata. Bila dirupiahkan, Cina berhasil mengeruk penghasilan ratusan triliun per tahun dari sektor ini. Angka tersebut mendekati total APBN Negara kita, sementara kita sibuk memompa migas dan merusak lingkungan lewat penambangan serta pembabatan hutan untuk membiayai belanja negara.
Dalam konteks pembangunan industri pariwisata, pada beberapa kesempatan, Gubernur Sulut sebagai pencetus World Ocean Conference (WOC) menyatakan bahwa WOC bukanlah tujuan akhir. Bila dilihat dari esensi WOC, maka pernyataan tersebut sangat bijaksana adanya. WOC pada dasarnya merupakan pemicu (trigger) signifikan dalam pengembangan pariwisata Sulut sebab lewat WOC, diharapkan dunia lebih mengenal Sulut secara lebih dekat. Tujuan akhir sesungguhnya adalah menjadikan pariwisata sebagai tambang emas Sulut di masa mendatang lewat penciptaan Sulut menjadi suatu daerah dan komunitas wisata global yang solid.
Namun demikian, nilai tambah WOC bagi industri pariwisata Sulut tidak akan luar biasa apabila landasan pariwisata yang kokoh tidak dibangun mulai dari sekarang. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Mind Set yaitu “gambaran mengenai masa depan bukanlah spekulasi atau sebuah perjalanan ke daerah yang belum dikenal, melainkan pada analisis mengenai masa sekarang.” Sesuatu yang kita harapkan di masa depan adalah hasil dari apa yang kita kerjakan saat ini. Bila kita mengharapkan Sulut akan mencapai kemakmuran lewat pariwisata, maka sekaranglah waktunya bertindak secara berarti dan terencana.
Landasan pariwisata yang kokoh perlu melibatkan semua pihak yang terkait (stakeholders) termasuk masyarakat kalangan bawah yang umumnya akan memperoleh manfaat yang berarti dari keberadaan pariwisata. Langkah pertama yang dibutuhkan adalah pembentukan suatu Badan Koordinasi Promosi Pariwisata Sulut secara formal yang melibatkan unsur pemerintah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta pihak swasta yang berada dalam sektor pariwisata. Badan tersebut tidak sekedar mempromosikan pariwisata Sulut secara terintegrasi melainkan juga terlibat dalam pembenahan sarana dan prasarana kepariwisataan Sulut serta melatih masyarakat Sulut menjadi suatu komunitas wisata. Keberadaan badan ini sangat mendesak karena saat ini pemerintah dan para pelaku lainnya dalam industri pariwisata terkesan berjalan sendiri-sendiri dan belumnya adanya suatu grand design pariwisata yang membumi dan dirasakan oleh para pelaku sebagai milik bersama yang perlu dijaga dan dikembangkan secara terkoordinasi.
Selama ini, pariwisata Sulut seakan identik dengan Bunaken. Kesan ini mempersempit pasar pariwisata Sulut. Pariwisata Sulut seharusnya dibangun dalam suatu paket wisata yang dikemas secara menarik yang mencakup wisata alam, budaya, dan belanja sehingga memperoleh pasar yang lebih luas serta memberi banyak pilihan bagi wisatawan. Di samping wisata alam Sulut yang sangat bergantung pada Bunaken, fakta di lapangan juga menunjukan bahwa wisata budaya merupakan titik terlemah dari suatu paket pariwisata Sulut. Apabila setiap anak Bali dimintakan menari tarian daerahnya, maka dengan lemah gemulai mereka akan menampilkan. Namun performa semacam itu sulit diperlihatkan anak Sulut bila dimintakan menari Maengket atau tarian daerah Sulut lainnya. Demikian juga dalam konteks kebahasaan, anak Sulut terutama yang berdiam di kota tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah.
Kelemahan tersebut semestinya seharus cepat dicari solusinya. Salah satu solusi tercepat dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nasional Sulut dengan memasukan tarian dan bahasa daerah sebagai muatan lokal kurikulum sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Upaya ini perlu ditunjang oleh keberadaan sanggar-sanggar tari yang secara rutin menyajikan atraksinya lewat kerjasama dengan Badan Koordinasi Promosi Pariwisata Sulut.
Selain apa yang disebutkan di atas, hal penting untuk dikembangkan dalam memajukan pariwisata Sulut adalah mengubah perilaku masyarakat Sulut menjadi masyarakat yang berwawasan pariwisata. Berwawasan pariwisata berarti mau menjadi tuan rumah yang baik dan memanfaatkan pariwisata sebagai obyek mendatangkan pendapatan lewat usaha yang kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi menambah nilai yang luar biasa atas apa yang kita tawarkan sebagaimana ada ungkapan yang menyatakan bahwa “sepotong kayu di tangan seorang ibu rumah tangga, hanya akan menjadi kayu api, namun bila berada di tangan pengukir yang handal, maka akan menjadi patung yang bernilai seni dan mahal.”

Enyahkan Eceng Gondok

Bekerja Lebih Pintar, Bukan Lebih Keras

Oleh Alva Supit SKed
(akademisi/penulis)


PADA suatu hari, terdengarlah rintihan dari sebuah danau yang sedang dilanda masalah. Namanya adalah Danau Tondano. Selama berabad-abad, Danau Tondano telah menghidupi jutaan orang Minahasa dari berbagai generasi. Dan sekarang, dalam keheningannya, ia mengerang, berusaha mengebaskan eceng gondok yang menumbuhi tubuhnya. Tapi sayang, ia tidak bisa…
Satu Masalah //Sub
Eceng gondok (EG) atau Eichorrnia crasippus merupakan tanaman air yang paling invasif di muka bumi. Dalam waktu 6-18 hari, EG dapat bertambah banyak dua kali lipat. Sebuah survei menyebutkan bahwa EG telah menutupi 10 persen dari permukaan Danau Tondano (Kompas, 17/09/07). Nah, bila tidak ada EG yang hanyut ke Sungai Tondano, maka dengan perhitungan sederhana, kita akan mendapati bahwa EG akan menutupi seluruh danau dalam 2,5 bulan!
Dampak negatif yang ditimbulkan EG di danau kita antara lain: menutupi jalur transportasi air, merusak generator PLTA, merusak jaring (karamba) milik nelayan, menyebabkan pendangkalan tepian danau, serta merusak keindahan. Bukan hanya itu saja! Tanpa terlihat oleh mata, EG juga menurunkan kesuburan air danau oleh karena berkurangnya fito- dan zooplankton, menjadi tempat pembiakan nyamuk, serta menyebabkan penguapan air meningkat 4 kali lipat dibandingkan normal.
Dua Solusi //Sub
Menyikapi masalah di atas, ada dua solusi utama yang muncul: (1) pembasmian radikal sampai EG habis, dan (2) pemanfaatan EG untuk kerajinan.
Tampaknya, orang Indonesia tidak suka hal-hal yang radikal. Dalam tingkatan tertentu, kita telah berhasil memanfaatkan EG untuk berbagai kerajinan tangan (tas, dompet, bahkan mebel), sampai-sampai Mesir belajar dari kita untuk hal ini.
Sayang sekali, menurut teori ekonomi sederhana, kerajinan (handycraft) merupakan kebutuhan tersier. Dan itu berarti, angka kebutuhan pasar terhadap hasil kerajinan sungguhlah berada jauh di bawah kebutuhan terhadap ikan payangka dan mujair yang terkenal di danau kita (makanan = kebutuhan primer). Bila kita hendak mengolah EG menjadi bahan kerajinan, mungkin kita dapat memperoleh uang tambahan darinya. Tapi, itu tak akan mengatasi masalah: EG akan tetap membunuh danau kita. Pemberantasan radikal merupakan cara terbaik, setidaknya untuk saat ini.
Cara Tiga //Sub
Ada tiga cara pemberantasan EG: mekanik, kimiawi, dan biologik.
Mekanik, berarti mengangkat EG secara manual (dengan tenaga manusia) atau dengan mesin. Cara ini telah kita lakukan secara bertahun-tahun, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hasilnya? Kita menjadi capek dan EG tetap berlipat ganda dalam 6-18 hari.
Secara kimiawi, yaitu dengan menggunakan racun (herbisida). Ada beberapa jenis herbisida yang aman dipakai untuk membasmi EG. Namun, bila disetujui pemerintah, tampaknya pemakaian herbisida, walaupun (katanya) aman, akan menimbulkan masalah baru yang klasik, yaitu pertentangan antara aktivis lingkungan dengan pemerintah.
Pembasmian secara biologik yaitu pembasmian dengan menggunakan makhluk hidup lain yang merusak dan membunuh EG. Ini merupakan salah satu alternatif yang patut kita pertimbangkan!
Belajar Dari Danau Lain //Sub
Untunglah, Danau Tondano bukanlah satu-satunya danau yang mengalami masalah EG. Di Australia dan Amerika Selatan (tempat asal EG), dikembangkan serangga khusus yang membunuh EG. Ada beberapa jenis kumbang dan ngengat yang telah terbukti berhasil membasmi EG, seperti Neochetina eichhorniae, Neochetina bruchi, dan Niphograpta albiquttalis. Serangga ini bertelur di bagian gondok dari tanaman, dan larva yang menetas akan menggali terowongan di daun EG. Bakteri dan jamur akan menginfeksi EG, gondok akan kemasukan air, dan akhirnya EG akan mati.
Ada juga ikan grass carp atau ikan koan (Clenophoryingodon idella) yang memakan akar EG. Keseimbangan EG di permukaan air akan hilang, daunnya akan menyentuh air dan kemudian dimakan ikan. Penggunaan ikan koan telah terbukti berhasil membasmi EG di Danau Kerinci, Provinsi Jambi.
Tahun 1995, EG telah menutupi lebih dari separuh permukaan Danau Kerinci. Lalu, atas kerja sama dengan Fakultas Perikanan IPB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dilakukanlah pelepasan benih ikan koan ke Danau Kerinci. Danau ini memiliki luas 4.200 hektar, dan di sini dilepaskan 47.000 ekor benih (11 ekor per hektar). Hal ini dilakukan selama 3 tahun berturut-turut.
Hasilnya, saat ini, EG berkurang secara nyata. Di sudut-sudut danau masih terlihat sisa EG yang berwarna kuning kecoklatan Danau Kerinci pun kembali tersenyum, seperti nelayan-nelayan yang berlayar di atasnya.
Bagaimana dengan danau kita? Hmm… Kita harus bekerja lebih pintar, bukan lebih keras.#

29 Desember 2007

IPM Nomor 2, Mulai Digerogoti Kab/Kota

Catatan Akhir Tahun (2)

Oleh Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com


APA khabar gembira untuk Sulut di akhir tahun 2007? Indeks Pembangunan Manusia (IPM) jawabannya. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Development Programme (UNDP), di tahun 2006 IPM Sulut mencapai 74,4, hanya kalah dari DKI Jakarta yang sudah mencapai 76,1. IPM Sulut lebih tinggi dari rata-rata nasional (72,8), urutan kedua di Indonesia.
Di kawasan timur Indonesia (KTI), Sulut berhasil mempertahankan IPM di atas rata-rata nasional pada periode 1999-2006. IPM Provinsi Maluku pada 1999, 2002 dan 2004 di atas rata-rata IPM nasional, namun di tahun 2005 sudah berada di bawah rata-rata nasional. IPM Sulteng, Sulsel, Sultra, Gorontalo, Malut, Papua Barat, NTT, NTB dan Papua di bawah rata-rata IPM nasional. Sementara IPM Sulut terus meningkat, dari 67,1 pada 1999, 71,3 (2002), 73,4 (2004), 74,2 (2005) dan 74,4 (2006). Capaian pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Sulut ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional, yang di tahun 1999, 2002, 2004, 2005, dan 2006 berturut-turut mencapai indeks 64,3, 65,8, 68,7, 69,6, dan 72,8 (BPS, 2007).
Dibandingkan keadaan tahun 1999, di KTI hanya Sulut yang mengalami perbaikan peringkat, dari 6 ke peringkat 2 nasional. Sementara sepuluh provinsi lain di KTI semua mengalami penurunan dalam daftar rangking IPM nasional. Hal ini menunjukkan, meskipun rata-rata IPM provinsi-provinsi di KTI naik setiap tahun, namun provinsi-provinsi di kawasan lain lebih cepat pertumbuhannya. Fakta ini memberi gambaran, tanpa perubahan kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan yang memadai dan proporsional, peringkat IPM provinsi-provinsi di KTI akan terus memburuk, meskipun secara absolut angka-angka capaian IPM provinsi-provinsi di kawasan ini naik tiap tahun.
IPM provinsi-provinsi di KTI hanya tumbuh rata-rata antara 1-2 poin dalam periode 1999-2006. Jika pertumbuhan IPM ini tidak berubah dalam jangka menengah hingga jangka panjang, maka kita memelihara atau melestarikan kesenjangan IPM antara KTI dan KBI. Kesenjangan ini akan bersifat permanen dan terus memerosotkan kualitas sumberdaya manusia di KTI.
Diperlukan perubahan kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan manusia di KTI. Tanpa usaha dan tindakan yang nyata untuk mengubah kenyataan ini, KTI tetap akan menjadi kantong ketertinggalan IPM nasional, dan peringkat provinsi-provinsi di kawasan ini akan makin menjauh atau makin memburuk. Hal itu sekaligus menunjukkan memburuknya rata-rata perkembangan kualitas hidup rakyat Indonesia di KTI, meskipun setiap daerah relatif mengalami pertumbuhan IPM.
Untuk Sulut, mempertahankan pola kebijakan nasional seperti saat ini akan menguntungkan. Sulut masih tetap akan bertahan di rangking kedua atau ketiga di Indonesia. Tetapi secara nasional kebijakan seperti sekarang bermasalah dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kesenjangan antar kawasan (KTI dan KBI), dan antar provinsi terus akan melebar. Nasib kualitas sumberdaya manusia di KTI akan makin terpuruk.
Di Sulut sendiri harus ada perhatian yang serius dan sungguh-sungguh, terutama di tingkat kabupaten/kota. Meskipun secara nasional Sulut bertahan di rangking kedua dalam periode 2002-2006, namun IPM kabupaten/kota di Sulut terus mengalami penurunan peringkat dalam periode yang sama.
IPM di kabupaten/kota se Sulut secara absolut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kabupaten Bolmong membukukan IPM sebesar 68,7 pada 2002, menjadi 70,7, 71,6, dan 71,8 pada 2004, 2005 dan 2006. IPM Kabupaten Minahasa mencapai 72,0, 73,5, 74,0 dan 74,2 pada 2002, 2004, 2005, dan 2006. Kota Manado memiliki tren peningkatan IPM dari 74,2 pada 2002, menjadi 76,4 pada 2006. Bitung mencatat IPM 70,7 pada 2002, naik jadi 73,7 pada 2006. Kabupaten Sangihe bertumbuh dari 70,1 (2002) menjadi 73,8 pada 2006, Tomohon dari 72,9 (2002) menjadi 74,7 pada 2006, Minsel dari 71,2 (2002), menjadi 72,3 (2006), Talaud dari 71,8 (2002) menjadi 73 di tahun 2006, dan Minut dari 72,7 (2002) menjadi 74,2 pada 2006.
Tren peningkatan IPM kabupaten/kota di Sulut itu tidak berjalan beriringan dengan posisi relatif dalam daftar IPM nasional. Posisi Kabupaten Minahasa dalam daftar peringkat IPM nasional terus memburuk. Pada 2002 Minahasa berada pada peringkat 38 dalam daftar peringkat IPM kabupaten/kota se-Indonesia. Namun pada 2004, 2005, dan 2006 Minahasa melorok ke peringkat 47, 46, dan 57.
Kabupaten Bolmong berada pada peringkat 88 secara nasional pada 2002. Pada 2004 terpental ke peringkat 121, naik ke posisi 105 pada 2005, tetapi terpuruk lagi ke peringkat 126 pada 2006. Kota Bitung relatif mampu bertahan pada 2002, 2004, dan 2005, dengan peringkat 59, 56, dan 59. Namun di tahun 2006, Bitung sudah turun ke peringkat 68. Peringkat Manado juga memburuk. Dari rangking 8 pada 2002 dan 2004, melorot ke posisi 12 pada 2005, dan turun ke peringkat 14 pada 2006. Kabupaten Minsel berada pada peringkat 96 pada 2004, turun ke posisi 113 pada 2005, dan membaik ke peringkat 100 pada 2006.
Terdapat tiga kabupaten yang relatif berhasil memperbaiki peringkat dalam daftar IPM nasional. Dua kabupaten justru dari daerah kepulauan, yakni Kabupaten Sangihe dan Kepulauan Talaud. Sangihe bertengger di peringkat 68 pada 2002, naik ke posisi 67 dan 64 pada 2004 dan 2005, turun ke peringkat 66 pada 2006. Kabupaten Talaud hanya turun tipis, dari peringkat 80 pada 2004, turun ke posisi 81 pada 2006. Sementara Minut berhasil memperbaiki peringkat dalam tiga tahun terakhir. Berada pada rangking 69 di tahun 2004, naik ke peringkat 57 dan 55 di tahun 2005 dan 2006.
Minut merupakan satu-satunya daerah di Sulut dengan IPM yang meningkat secara absolut dan peringkatnya membaik secara nasional. Di luar itu, semua mengalami peningkatan IPM, tetapi peringkatnya melorot dalam daftar IPM nasional.
Data ini menunjukkan, meski IPM kabupaten/kota di Sulut naik setiap tahun, namun peningkatan ini kalah dibandingkan dengan sejumlah kabupaten/kota lain di Indonesia. Tanpa perubahan yang berarti, dalam beberapa tahun kedepan posisi kabupaten/kota di Sulut dalam daftar IPM nasional akan melorot jauh, dan sangat terbuka kemungkinan IPM absolut kabupaten kota di Sulut akan dilewati oleh sejumlah kabupaten/kota lain di Indonesia. Pada tahapan itu, IPM Sulut akan terganggu, dan bisa saja posisi Sulut dalam daftar IPM nasional turun peringkat saat ini.
Tanpa perubahan perhatian dan kebijakan, tren peningkatan IPM kabupaten/kota di Sulut akan terus terjadi di masa datang, tetapi juga dengan peringkat yang terus melorot dalam daftar IPM nasional. Karena itu, sebelum waktu itu tiba, kabupaten/kota se-Sulut, di bawah koordinasi Pemprov Sulut perlu membuat strategi kebijakan bersama untuk mempertahankan dan meningkatkan capaian IPM selama ini. Kebijakan tersebut semestinya berdimensi jangka pendek dan jangka panjang, mengingat tak ada jalan pintas untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Capaian dari sebuah angka IPM merupakan hasil dari upaya berkesinambungan dalam jangka 10-15 tahun, bahkan 25-30 tahun. Patut diingat, tak ada cara yang instan dalam usaha ini.
Sebagaimana kita ketahui, IPM merupakan indeks komposit yang dibentuk oleh angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita per bulan.Sulut memiliki modal sosial yang kuat dalam meningkatkan usia harapan hidup dan memiliki tradisi sekolah yang sudah sangat tua. Tetapi dalam urusan peningkatan pendapatan riil per kapita urusannya tak sederhana. Selain membutuhkan pilihan kebijakan yang tepat, juga mesti memberi manfaat efektif bagi peningkatan IPM.
Data menunjukkan, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kemajuan pembangunan ekonomi dan tingkat IPM. Pengeluaran riil per kapita di Papua lebih tinggi dari rata-rata nasional pada 1999, namun provinsi ini memiliki IPM yang paling rendah di KTI selama periode 1999-2005. Sulut sendiri merupakan contoh yang menyolok mengenai rendahnya kaitan antara tingkat pembangunan ekonomi dan IPM. Dalam periode 2002-2006, Sulut berada di rangking 2 IPM nasional. Namun selama periode yang sama, tingkat pengeluaran riil per kapita Sulut masih di bawah rata-rata nasional. IPM Sulut terutama dibentuk oleh kualitas kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk.
Sebuah isyarat, modal sosial dan modal ekonomi di Sulut harus dipadukan dalam disain kebijakan yang tepat dan efektif bagi peningkatan IPM. Kabupaten/kota dan Pemprov Sulut dituntut untuk menerapkan kebijakan budget pro poor, pro job, pro pendidikan, dan pro kesehatan, dibarengi upaya meningkatkan kemandirian ekonomi rakyat secara berkesinambungan. Dengan begitu, setiap orang terbuka kemampuannya untuk secara swadaya meningkatkan IPM tanpa tergantung secara berlebihan kepada pemerintah.
Harus diingat, apa yang kita banggakan sebagai peringkat kedua nasional, belum sebanding dengan kualitas manusia di negara lain. Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 negara dalam peringkat IPM/HDI dunia. IPM Indonesia masih jauh dibandingkan dengan IPM Singapura (peringkat 25), Malaysia (63), Chili (40), atau Samoa dan Suriname (77 dan 85). Apa yang kita capai di Sulut masih di bawah rata-rata kualitas IPM Filipina dan Vietnam, yang menduduki rangking 90 dan 105 dalam daftar peringkat IPM dunia yang dikeluarkan UNDP pada 2007.***

Eksistensi Pemuda dan Paradigma Perubahan

Oleh M Fahri Damopolii
Presidium Korps Alumni Makassar Indonesia-BolMong
(KAMI-BolMong)


‘’BERIKANLAH aku seratus pemuda yang sanggup hidup jujur dan menderita, maka akan kurombak wajah Italia’’ (Ignazio Silone).
‘’Kalau pada saya diberikan seribu orang tua, saya hanya dapat memindahkan gunung semeru, tapi kalau sepuluh pemuda diberikan kepada saya, maka seluruh dunia dapat saya goncangkan” (Soekarno).
Baik Silone maupun Bung Karno tentu tidak dalam kesadaran yang kurang ketika mengucapkan itu. Artikulasi yang dikemukakan menyiratkan sebuah magnet patriotisme dan nasionalisme yang sangat kental untuk dijadikan suatu bentuk keyakinan mendasar, bahwa fundamentalisme kepemudaan akan mampu menghadirkan titik balik peradaban suatu bangsa. Mereka berdua sama-sama berangkat dari asumsi kodrati yang kemudian menjadi kepercayaan, bahwa dengan pemuda, mereka sanggup melakukan apa saja, tak terkecuali untuk mengobati kemurungan wajah sebuah bangsa yang lagi sakit, ataupun dengan antusiasme yang tinggi untuk menggoncangkan dunia. Dan memang pemuda adalah ujung tonggak tegaknya sebuah kedaulatan, harga diri, maupun harkat dan martabat suatu bangsa. Eksistensi pemuda dalam bangunan peradaban, dihadirkan dalam sosok yang penuh semangat, progresif, inovatif, memiliki sensitivitas sosial yang tinggi, peka terhadap perubahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme. Romantisme sejarah pun tak pelak membuktikan itu, pergerakan pemuda 1908, sumpah pemuda 1928, pemuda dan mahasiswa 1966, reformasi 1998 adalah sebagian dari catatan emas yang menokohkan pemuda sebagai tonggak utama pergerakan dan pembaruan.
Dalam perhelatan historisitas yang cukup panjang, aspek kepemudaan secara kontekstual diidentikkan dengan pergerakan maupun perubahan. Bahwa pemuda dilahirkan oleh zaman untuk meletakkan dasar-dasar pergerakan menuju sebuah titik perubahan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan, baik ruang lingkup sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, yang kesemuanya sangat menentukan arah dan gerak langkah pembangunan.
Romantisme Globalisasi //Sub
Posisi-posisi strategis dan dominan dalam lingkup pelaksanaan pembangunan inilah yang mendorong aspek kepemudaan, rentan oleh sederet interpretasi yang mengiringinya. Baik itu interpretasi dari sisi patriotisme dan nasionalisme, ataupun ketika aspek kepemudaan ini diperhadapkan dengan arus globalisasi, sebagaimana yang terwacanakan saat ini. Globalisasi sebagai turunan dari kapitalisme memang teramat sulit untuk dihindari. Kapitalisme dengan paham-paham kapitalisnya adalah sebuah realitas yang tumbuh subur dan menjamur dalam negara-negara berkembang, tak terkecuali Indonesia yang secara eksplisit menampakkan ambivalensi terhadap dua ‘’isme’’ terbesar dalam peradaban dunia, dengan menyerap kapitalisme setengah-setengah dan sosialisme yang mati suri. Tren globalisasi oleh berbagai kalangan dipandang sebagai salah satu penyebab runtuhnya nilai-nilai patriotisme dan nasionalisme pemuda. Bahwa globalisasi telah menciptakan zaman dimana gaya hidup praktis dan pragmatis seakan telah menjadi ‘’isme’’ baru di kalangan pemuda dengan mengibarkan bendera materialisme, konsumtifisme dan hedonisme, yang dengan sendirinya melahirkan berbagai pemaknaan yang seringkali memojokkan peran pemuda dalam sudut patriotisme dan nasionalisme yang mengkhawatirkan. Pemuda kemudian diidentikkan sebagai golongan yang tahunya hidup hura-hura dalam balutan materialisme dan konsumtifisme yang dipertautkan sebagai gaya hidup modern sebagaimana yang semakin menggila saat ini, salah satunya dengan doktrinisasi ala media pertelevisian lewat sinetron-sinetron yang secara gamblang mempertontonkan ‘’isme-isme’’ kapitalis yang tidak ada habisnya. Ini tentu saja menjadi masalah krusial yang akan membawa implikasi tersendiri dalam lingkup pembangunan, mengingat aspek kepemudaan sangat peka terhadap berbagai macam intervensi lingkungan dan penalaran terhadap objek tangkapan yang bisa saja semu. Proses pencarian jati diri untuk pembentukan karakter dan kepribadian diperhadapkan dengan derasnya tren globalisasi yang tergantung tinggi di langit peradaban kapitalisme. Dan yang berkembang kemudian, apresiasi terhadap nilai-nilai pergerakan dan perjuangan untuk mempertegas komitmen lahiriahnya sebagai tulang punggung pembangunan, akhirnya tergilas oleh arus globalisasi yang terus mencengkeram zaman. Patriotisme dan nasionalisme seakan tercerabut dari akar budaya yang melingkari stereotype kaum muda.
Oligarki Kesisteman //Sub
Implementasi sistem-sistem pemerintahan dan kemasyarakatan yang dibangun selama ini, dirasakan membawa implikasi yang sangat signifikan terhadap peran aktif pemuda dalam melaksanakan kodratnya sebagai tulang punggung bangsa. Di antara yang paling mendasar, yakni dengan begitu sangat melekatnya bangunan sistem sosial budaya yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat, dan terbentuk dalam kungkungan terma-terma sosial yang sangat dogmatis, bahwa yang ‘’muda’’ belum pantas untuk apa-apa, belum semestinya untuk bicara dan menyampaikan pendapat, belum waktunya untuk didengar, belum bisa diberikan tanggung jawab yang besar, ataupun belum layak jadi pemimpin. Dalam konteks ini oligarki elite menampakkan wujud sistem yang terbungkus rapih oleh adat dan tradisi yang diserap oleh sebuah komunitas sosial, bahwa seperti itulah bangunan sistem sosial yang sudah ada dari dulunya, dan yang tua-tua/kaum elite memang diciptakan untuk didengar dan dituruti. Oligarki elite sosial ini pun kemudian menjadi akar untuk tumbuhnya pohon-pohon sistem lainnya dengan persepsi dan landasan argumentasi yang hampir sama.
Perkembangan sistem kepartaian yang diterapkan saat ini pun menunjukkan fenomena sosial seperti itu. Sistem partai dengan proses perekrutan dan pengkaderan para kader-kader muda yang disiapkan untuk menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, sepertinya tak jauh beda dengan bangunan sistem sosial yang terus berkembang di masyarakat. Proses regenerasi yang dijalankan masih terkesan setengah-setengah sehubungan dengan oligarki partai yang masih sangat dominan. Partai sebagai pintu gerbang untuk berprosesnya kader-kader pemimpin muda, masih cukup elitis membuka pintu selebar-lebarnya. Meskipun perkembangan sistem kepartaian saat ini sudah menuai titik terang perubahan dengan langkah beberapa partai besar merekrut kader-kader muda, akan tetapi pintu gerbangnya hanya digeser sedikit untuk bisa dilalui beberapa orang saja, dengan komitmen politik untuk kemaslahatan elite partai. Sehingga yang dominan tetap saja elite partai dan bukan kaum muda yang seharusnya wajib menuntut dominasi yang lebih besar.
Titik Balik Perubahan //Sub
Fundamentalisme kepemudaan menjadi sesuatu yang ‘’sakral’’ ketika tuntutan perubahan berubah wujud menjadi kewajiban. Dan itu lazim dalam terang benderangnya alam demokrasi dan bagian dari keharusan zaman. Komposisi pemuda usia produktif 18–40 tahun dari total populasi rakyat Indonesia mencapai 36,7 persen atau sekitar 88 juta jiwa. Ini tentu saja menjadi sesuatu yang sangat riskan, dengan jumlah populasi yang cukup besar, pemuda sudah sepatutnya menuntut peran yang lebih besar dan kesempatan untuk menduduki posisi-posisi strategis dalam lingkup pemerintahan dan pembangunan. Tuntutan ini pun setidaknya harus diimbangi dengan konstribusi-konstribusi pemikiran dan tindakan untuk mecapai tahap ‘’take and give’’ yang memadai.
Ada beberapa poin mendasar yang kiranya perlu diimplementasikan kaum muda untuk menuju suatu perubahan. Pertama; kaum muda perlu melakukan reinterpretasi akan eksistensi diri dalam berbagai ruang lingkup kehidupan. Dan ini harus dimulai dari diri sendiri untuk menciptakan keharmonisan antara eksistensi diri dan lingkungan sekitar. Kaum muda harus berdiri tegak dengan kesadaran penuh bahwa mereka adalah tulang punggung bangsa, tonggak utama pembangunan, dan ditakdirkan untuk menjadi generasi penerus dengan tidak bosannya menimpa diri dengan berbagai kemampuan dan ketrampilan dalam rangka artikulasi peran dan fungsi.
Kapasitas, kapabilitas dan kompetensi sangat diperlukan untuk menunjang proses-proses pembangunan sebagai bentuk jawaban atas tantangan arus perubahan zaman yang semakin deras. Kedua; memiliki insiatif yang besar untuk mengambil peran-peran strategis dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan kemasyarakatan yang bisa dimulai dari satuan sosial yang terkecil, baik itu dalam keluarga, tetangga, lingkungan maupun desa/kelurahan. Hal ini menjadi sangat penting karena bangunan sistem sosial yang menempatkan oligarki elite sosial sebagai sistem yang sangat dominan di tengah masyarakat, lahir dan berakar dari satuan sosial yang kecil. Dalam konteks ini, pemuda diwajibkan untuk menunjukkan dan menonjolkan berbagai potensi sumber daya yang dimiliki, yang kemudian bisa dipergunakan untuk membendung dominasi elite sosial yang ada. Ketiga; memiliki sensitivitas sosial yang tinggi dalam rangka mempertegas komitmen pembangunan dengan memprioritaskan pada masalah-masalah yang langsung bersentuhan dengan rakyat. Dengan langsung berada di tengah masyarakat diiringi kepekaan sosial dan penegasan terhadap komitmen pembangunan, secara tidak langsung akan membentuk pemahaman dan image positif dari masyarakat. Keempat; harus bisa menjadi pioneer dalam pemecahan masalah dengan keberanian untuk mengambil sikap, tindakan dan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik, dibarengi dengan kepercayaan diri dan rasa tanggung jawab yang besar. Dalam tataran ini, pembangunan karakter dan kepribadian sangat penting dilaksanakan sebagai proses penyadaran publik dan juga menjadi salah satu jalan peretas untuk mengikis terma-terma sosial yang dogmatik. Kelima; memiliki kemampuan untuk memanfaatkan momen-momen krusial yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari sosialisasi diri dan mempertegas kembali fungsi dan peran pemuda dalam proses pelaksanaan pembangunan. Dan terakhir; memiliki keberanian untuk tampil dalam kancah perpolitikan dan kepemimpinan nasional. Hal ini juga sekaligus merepson apa yang saat ini berkembang di tengah masyarakat, terutama di tingkat nasional dengan intensnya pertemuan para tokoh muda di Universitas Paramadina, yang digagas oleh Sukardi Rinakit dan kawan-kawan. Tidak menutup kemungkinan, dengan pencetusan tema ‘’Saatnya Kaum Muda Memimpin’’, akan menjadi titik balik perubahan terhadap pembelengguan dan penerapan sistem-sistem pemerintahan yang ada saat ini, dan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kamu muda di seluruh Indonesia.
Berbagai romantisme globalisasi dan oligarki sistem yang ada saat ini, tidak semestinya ditempatkan sebagai musuh zaman, melainkan diposisikan sebagai sebuah tantangan yang menuntut kaum muda untuk bisa menjawab itu dengan satu tekad dan keyakinan penuh optimisme yang positif , ‘’sudah saatnya kita berubah’’. Semoga.#

Pilkada Masih Senilai Sembako

Edisi 27 Desember 2007 Catatan Akhir Tahun (1)
Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com

FAKTOR apa saja yang sangat menentukan seseorang memenangkan pertarungan di ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) di tingkat kabupaten/kota? Jawabannya: uang, jaringan, dan figur. Uang, tampaknya, faktor yang paling dominan.
Fenomena ini dapat dilihat dengan mata telanjang pada ajang Pilkada di kabupaten/kota se-Sulut yang digelar sejak tahun 2005. Dimulai dengan Pilkada di Minsel, Tomohon, Manado dan Minut (2005), disusul Pilkada di Bitung (2005), diikuti Pilkada di Bolmong dan Sangihe (2006), dan terakhir Pilkada di Minahasa (2007). Uang sungguh mujarab untuk meraih tiket menjadi calon dan menentukan pilihan seseorang di ajang Pilkada.
Modus penyebaran uang di ajang Pilkada bermacam-macam. Mulai dari yang paling halus: bantuan untuk rumah-rumah ibadah, sumbangan di iven keagamaan, bantuan duka, dan bantuan tak terduga. Yang semi halus: investasi memenangkan pemilihan di tingkat desa, bantuan pendidikan, bantuan pembuatan jalan, bantuan bibit, juga penyaluran raskin. Yang kasar: uang dan beras menjelang pemilihan. Jumlahnya, pada pasaran terakhir, sudah di kisaran Rp100.000 per pemilih.
Hitung yang bagian terakhir saja. Andai seorang kandidat harus mengongkosi 10.000 pemilih, uang yang ludes mencapai Rp1 miliar. Jika 50.000 pemilih yang disasar, harus disediakan Rp5 miliar. Ini baru urusan menjelang pemilihan di hari ”H”. Belum urusan kaos, spanduk, billboard, leaflet, dan macam-macam bantuan plus investasi jangka panjang dan jangka pendek yang harus ditunaikan. Hitung pula biaya pencitraan: promosi, iklan, dan survey.
Jika item serangan fajar itu saja sudah mencapai Rp5 miliar, seorang kandidat agaknya harus menyediakan modal ”minimal” Rp10 miliar untuk ikut bertarung di ajang Pilkada. Ini perkiraan biaya yang tak termasuk jor-joran. Kalau ingin "mengalahkan” kompetitor, biaya yang ludes bisa dua sampai tiga kali lipat. Mungkin, yang moderat, di kitaran Rp25 miliar.
Pilkada yang diikuti oleh 4-5 pasangan boleh jadi menghabiskan biaya politik beromset sedikitnya Rp100 miliar. Dana ini sudah cukup membuat jalan hotmix kualitas nomor satu sepanjang 100 km. Ini tak termasuk biaya resmi yang dikeluarkan oleh APBD untuk penyelenggaraan Pilkada yang disalurkan kepada KPUD, Panwas, atau untuk urusan pengamanan dan satgas Pilkada di lingkungan pemda.
Banyak pihak melegitimasi belanja ratusan miliaran rupiah itu sebagai ”ongkos politik”. Juga sebagai sesuatu yang lumrah untuk mendapatkan jabatan prestisius. Tidak mungkin menggapai sesuatu tanpa pengorbanan – demikian pembenaran yang lain. Kata pepatah lama: ”tak ada makan siang yang gratis.”
Mungkin, inilah akibat ”demokrasi di tengah perut yang lapar”. Para pemilih dan yang dipilih masih dikerangkeng oleh logika perut: memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan ”di sini” dan ”saat ini”. Bukan ”nanti”. Maka, pilihan pemilih jatuhnya pada logika yang amat pragmatis – mungkin juga konyol: ”tempo apa lagi, cuma skarang torang pe kesempatan. Kalu so tapilih dorang so lupa pa torang.”
Pemilihan umum secara langsung sebenarnya hendak menggugurkan logika ini: hubungan yang terputus antara pemilih dan yang dipilih. Pada pemilu yang hanya mencoblos tanda gambar, mereka yang dipilih hanya memerlukan konstituen pada saat pemilu. Usai itu pemilih tak diperlukan lagi karena tak jelas mana dan siapa konstituen yang sesungguhnya. Keterputusan ini diatasi dengan mengubah sistem mencoblos: coblos tanda gambar dan nama orangnya. Perkembangan yang lebih berkualitas: coblos nama orangnya saja. Ini akan membuat pemilih dan yang terpilih harus senantiasa menjalin hubungan yang langgeng sebagai syarat adanya kesinambungan (manfaat) politik secara timbal balik.
Pilkada sesungguhnya telah mematahkan kelemahan pokok pada pencoblosan tanda gambar (saja). Di bilik suara, pemilih tak disuguhkan tanda gambar partai politik. Pemilih mencoblos tanda gambar pasangan calon. Mekanisme ini membuat hubungan pemilih dan yang dipilih bersifat langsung, dan berkesinambungan. Dalam ”wilayah kesinambungan” itu, tak relevan kata-kata: ”kalu so tapilih dorang solupa pa torang.”
Pilkada, agaknya, masih gagal mentransformasikan sistem nilai lama pada pemilu-pemilu sebelumnya ke sistem pemilu saat ini yang membawa nilai-nilai baru. Pemilu yang baru masih sebatas pada ”demokrasi prosedural-formal”, belum pada hal-hal yang bersifat subtansial dan makna hakiki sebuah demokrasi. Dalam kondisi itu, pemilu termasuk Pilkada) tidak ditempatkan sebagai proses sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Tetapi masih dilihat sebagai ”momen” untuk mendapatkan kaos, paket sembako, uang, beras, pesta makan, keliling gratis, dan menciptakan perkoncoan politik dan ekonomi: membangun dinasti baru untuk kelanggengan kekuasaan.
Situasi ini telah melahirkan kenyataan baru: industri politik. Mungkin inilah tipikal demokrasi di tengah perut lapar dan keserakahan. Sulit dibilang demokrasi telah ditekuk oleh kapitalisme. Sebab kapitalisme membawa nilai-nilai yang rasional dan terbuka dalam memilih, meskipun sangat kental dengan dimensi peruntungan. Mungkin lebih pas: pilkada masih senilai paket sembako.
Kita amat sedih. Tapi inilah kenyataannya. Seorang pendatang baru di panggung politik dapat saja menang asal memiliki ”gizi yang berlimpah”. Seorang pemain lama bisa come back dengan modal yang sama. Dan seorang incumbent tetap mengeluarkan belanja yang amat mahal, padahal sudah lima tahun memberi bukti.
Modal uang itu pula yang akan memperkuat jaringan kekuatan sampai di tingkat akar rumput. Jaringan formal dan informal dapat dibentuk. Tetapi belum tentu efektif tanpa faktor uang. Pilkada kabupaten/kota di sejumlah tempat menunjukkan, jaringan birokrasi lebih menentukan daripada jaringan partai. Jika keduanya bersinergi, ditambah dengan kekuatan jaringan informal, menjadi sulit ditandingi. Jaringan birokrasi pemda hingga ke desa-desa hanya mungkin dikalahkan oleh jaringan partai dan jaringan informal yang kuat, dengan didukung oleh kekuatan modal (uang) yang hebat. Tanpa uang, jaringan apapun –birokrasi, partai, dan informal – akan lumpuh. Jaringan birokrasi bisa saja payah. Tetapi jaringan partai dan informal harus solid, plus memiliki dukungan logistik dan finansial yang kuat. Bisa saja incumbent menguasai jaringan birokrasi dan partai yang solid. Tetapi jika penantang memiliki modal yang kuat, punya jaringan informal dan partai yang ok, plus figur yang layak jual, incumbent bisa tumbang.
Figur, untuk pilkada di kabupaten/kota, merupakan faktor ketiga. Mungkin pengaruhnya sekitar 20-25 persen. Sekitar 45% ditentukan oleh kekuatan uang, dan faktor jaringan sekitar 30-35%. Apa boleh buat, pilkada masih memilih sembako, belum memilih figur.
Orang bisa saja membantah dengan argumentasi ini: bukankah sejumlah partai politik menentukan calonnya berdasarkan hasil survey? Benarlah argumentasi ini. Tetapi yang memenangkan survey tetap saja mengeluarkan uang yang (mungkin) lebih banyak dibandingkan dengan yang kalah di survey. Lagi pula survey dilakukan untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhan pemesan: harus menang di Pilkada. Maka survey di ajang Pilkada masih lebih sebagai alat propaganda politik.
Tahun 2008 demokrasi di ajang pilkada kabupaten/kota makin jauh dari cita-cita hakikinya: membentuk masyarakat yang sehat, bermartabat dan mendapatkan pemimpin yang visioner. Partai-partai politik besar di tingkat nasional makin direpotkan oleh dua hal: memburu target pemenangan pilkada yang belum tercapai, dan pemilu nasional 2009 sudah di depan mata. Pada tataran lokal ada target dan ambisi petinggi partai: ingin punya prestasi dan karena itu mesti sapu bersih. Kombinasi kepentingan tingkat nasional dan lokal ini akan membuat Pilkada dianggap ”momentum hidup atau mati”.
Diperkirakan, pertarungan akan makin keras, suhu politik meningkat, dan perlombaan sembako akan lebih jor-joran. Pertarungan kekuatan modal (uang) makin terbuka dan terjadi secara kasat mata. Perebutan pemilih menaikkan tarif, dan akan terjadi mekanisme ”penawar harga tertinggi”. Makan siang bukan cuma tak gratis. Tetapi juga harus menyuguhkan undian, voucher dan/atau hadiah tunai.
Usai itu, bandar harus pulang modal. Malah, menurut logika ekonomi, mesti untung. Maka, sesungguhnya yang ’dirampok’ adalah hak rakyat. Tinggal terserah rakyat: Terus menerus pasrah hak-haknya diperkosa, dijarah dan dicampakkan senilai paket sembako.****

27 Desember 2007

Lemak Sehat dari Babi

Oleh Hapry FN Lapian

(Staf Fakultas Peternakan Unsrat; Mahasiswa S3 di Ist. di Biologia e Genetica, Universita Politecnica delle Marche, Ancona, Italia)

UNTUK alasan kesehatan, konsumsi daging babi sebagai salah satu sumber makanan kita sehari-hari, sering dikurangi atau bahkan dihindari oleh sebagian atau mungkin saja oleh banyak orang. Lebih lagi dengan kenyataan bahwa kandungan lemak babi (seperti juga lemak asal sapi dan ayam) memang tidak terlalu baik bagi kesehatan. Walaupun demikian, sebagai sumber nutrisi, hasil olahan ternak babi, sapi, atau ayam tidak mungkin diabaikan dalam komposisi makanan sehari-hari. Protein harus tetap ada (seperti juga karbohidrat dan lemak) karena berbagai fungsi tubuh akan terhambat apabila kita kekurangan jenis-jenis nutrisi ini.

Komposisi makanan asal ternak memang kaya akan kandungan lemak. Lemak hewani sering didakwa sebagai sumber berbagai penyakit yang cenderung meningkat di perkotaan-perkotaan. Tingginya konsumsi daging beserta ikutan lemak dari ternak terbukti positif memperbanyak insiden penyakit, mulai dari jantung, tekanan darah tinggi, penyempitan pembuluh darah, sampai stroke. Oleh sebab itu sangat wajar apabila saran-saran medis untuk membatasi konsumsi lemak hewani menjadi sering kita dengar. Bertolak belakang dengan itu, upaya untuk mendorong konsumsi ikan, baik ikan air tawar maupun ikan laut, cenderung meningkat akhir-akhir ini. Perbedaan saran konsumsi kedua sumber makanan ini, yaitu hewan ternak dan ikan, mungkin terletak pada perbedaan jenis lemaknya. Apabila pada hewan ternak diketahui tinggi kadar asam lemak omega-6, maka lemak pada ikan adalah jenis asam lemak omega-3.

Berbeda dengan asam lemak omega-6 pada hewan ternak yang dikatakan di atas sebagai salah satu faktor penting pencetus terhadap berbagai penyakit pada manusia, omega-3 justru mempunyai banyak keuntungan bagi kesehatan. Asam lemak omega-3 dibutuhkan manusia untuk meningkatkan berbagai vitalitas tubuh. Pada 8 Sept. 2004, “the US. Food and Drug Administration” (FDA) mengelompokkan EPA dan DHA (keduanya merupakan jenis asam lemak omega-3) sebagai bahan yang berguna bagi kesehatan, terutama untuk menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Asam lemak omega-3 juga terbukti berperan melawan depresi.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa minyak ikan (yang kaya omega-3) dapat menurunkan kemungkinan terjadinya stroke. Artikel di “Jurnal of the American Medical Association (2006)” menyimpulkan adanya hubungan antara omega-3 dengan pencegahan penyakit kanker. Sebelumya pada tahun 2002, “British Medical Journal” juga memberitakan fakta akan kegunaan omega-3 terhadap penurunan insiden penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) dan kanker. Bagi anak-anak dan balita yang dalam masa pertumbuhan, EPA dan DHA amat penting untuk perkembangan otak dan berbagai fungsi tubuh lainnya.

Walaupun disarankan untuk memilih ikan dibandingkan daging asal ternak untuk alasan kesehatan, tetapi konsumsi daging dan hasil olahan asal ternak justru terus meningkat. Peningkatan ini mungkin saja disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain oleh lebih terjaminnya suplai makanan yang berasal dari ternak. Sedangkan suplai ikan sangat dibatasi oleh berbagai sebab, termasuk faktor cuaca. Apabila musim ombak atau badai, maka dapat diduga bahwa suplai ikan untuk konsumen akan berkurang. Akibatnya, harga ikan di pasaran akan meningkat. Sementara itu, suplai ternak dapat dikatakan tidak terbatas mengingat proses budidaya yang sudah intensif pada usaha-usaha peternakan, baik skala kecil (di masyarakat) maupun skala besar (di industri-industri peternakan).

Kebaikan omega-3 pada ikan dan keburukan omega-6 pada ternak memunculkan pemikiran bagi kalangan ilmuwan bidang peternakan untuk memproduksi hasil ternak yang kaya akan omega-3 tetapi rendah omega-6. Agak kontrovesial memang, tetapi kemungkinan menghasilkan ternak yang memiliki lemak seperti ikan bisa saja dilakukan melalui pendekatan seluler atau genetis.

Pada 2004, sekelompok peneliti, yang dipimpin oleh L. Lai, dari Devisi Peternakan, Univeritas Missouri, Amerika, berhasil membiakkan babi yang dapat mengubah asam lemak omega-6 yang tidak baik bagi kesehatan menjadi omega-3 yang dibutuhkan oleh tubuh. Kelompok peneliti ini melakukan tehnik “kloning” untuk menghasilkan anak babi yang dapat memproduksi enzim khusus yang mampu mengubah asam lemak omega-6 menjadi omega-3. Enzim ini diperoleh para peneliti dari cacing tanah. Cacing tanah diketahui mempunyai DNA khas yang menghasilkan enzim pengubah omega-6 ke omega-3. Pada tahapan teknis, DNA cacing tersebut “dicangkokan” ke dalam DNA babi yang nantinya menghasilkan babi transgenik (babi yang mendapat transfer DNA dari luar) yang berlemak omega-3. Hasil penelitian ini telah dipublikasi pada jurnal “Nature Biotechnology 24, 435-436 (2006)”.

Pengamatan selanjutnya membuktikan bahwa sebanyak rata-rata 8 % dari total lemak babi transgenik adalah lemak omega-3, bandingkan dengan hanya 1 sampai 2% kadar omega-3 pada babi normal. Bahkan Jing Kang dari Harvard Medical School, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, yakin bahwa melalui penelitian lanjutan, kelompok peneliti bidang ini dapat meningkatkan kadar omega-3 pada babi seperti proporsi yang dimiliki oleh ikan.

Alternatif penggunaan babi beromega-3 menjadi sangat prospek, mengingat adanya kelemahan lain dari penggunaan ikan. Di berbagai negara penghasil ikan, saat ini marak ditemukan penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya (seperti formalin) sebagai bahan pengawet. Juga terdapat bukti tercemarnya laut oleh logam-logam berat berbahaya seperti merkuri. Oleh sebab itu, peneliti babi transgenik beromega-3 lainnya yaitu Yifan Dai dari University of Pittsburg, Pennsylvania, Amerika mengatakan bahwa “jika kita mendapatkan suplai omega-3 yang bebas kontaminasi, maka itu akan sangat baik bagi konsumen”. Dan itu dapat dicapai melalui suplai asal ternak.

Penggunaan untuk konsumen umum terhadap babi transgenik beromega-3, walaupun demikian, masih menunggu persetujuan dari otoritas pengatur, seperti Food and Drug Administration (FDA), di Amerika. Pada saat ini, babi-babi transgenik di Amerika tetap terus diternakkan untuk kepentingan penelitian-penelitian di bidang penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Pada saatnya nanti, apabila telah diberikan persetujuan oleh FDA untuk komsumen umum, maka kita tidak perlu takut mengonsumsi daging babi dan hasil olahannya. Walaupun demikian, seperti juga diingatkan oleh kelompok peneliti yang berhasil memproduksi babi omega-3, sangat tidak dianjurkan untuk memakan dalam jumlah besar daging babi, ayam, atau sapi yang telah mengandung ikutan lemak omega-3. Saran yang tentunya dapat diterima mengingat sumber nutrisi lainnya amat sangat dibutuhkan dalam suatu keseimbangan yang proporsional. Filosofi 4 sehat dan 5 sempurna masih harus diingat dalam memilih komposisi diet makanan sehari-hari.#