31 Maret 2008

Antara Uyo’ dan Bogani: Siapa Lebih Kuat?

Oleh M Bekti Lantong SAg MSi*

PERTANYAAN inilah yang sekarang sedang menggelayut dan membuncah di benak setiap warga Kota Kotamobagu. Ya, siapa sebenarnya yang lebih kuat; Uyo’ atau Bogani? Tidak mudah memang menjawab pertanyaan yang satu ini, khususnya dalam momen perhelatan pemilihan wali kota dan wakil wali kota (Pilwako) Kotamobagu pada Mei nanti. Apalagi kedua figur simbolik ini sudah ada lagunya pula. Hampir setiap bentor yang sehari-harinya lalu-lalang di seputaran Kotamobagu tidak henti-hentinya memutar lagu Uyo’ dan Bogani.
Tulisan sederhana ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tidak pula bermaksud memberikan dukungan atau legitimasi politik kepada salah seorang di antara keduanya. Karena saya sangat yakin bahwa siapa pun yang “dipilih” di antara keduanya akan sangat bias secara politik (political bias) dan juga sarat dengan kepentingan partisan. Menurut hemat saya, warga Kotamobagu seharusnya tidak boleh terjebak dalam kelompok-kelompok (atau kubu-kubu) yang saling berhadap-hadapan untuk “mendukung” salah seorang di antara keduanya. Mengapa demikian? Ada beberapa analisis sederhana yang ingin saya ajukan untuk mencermati fenomena Uyo’ dan Bogani di kalangan warga Kotamobagu belakangan ini. Pertama, apa yang sekarang ini sedang dimainkan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota Kotamobagu adalah sebuah permainan politik (pilitical game) atau bahkan sebuah perjudian politik (political gambling) yang tujuan utamanya semata-mata menjadi pemenang Pilwako Kotamobagu. Kedua, Uyo’ dan Bogani hanyalah figur simbolik yang sengaja “dimanfaatkan” oleh kandidat tertentu untuk mencari (atau malah mencuri) keuntungan politik. Dan ketiga, -yang terutama harus kita cermati bersama sebagai orang Mongondow– baik Uyo’ maupun Bogani adalah figur atau tokoh budaya yang sama-sama merepresentasikan budaya dan integritas orang Mongondow. Sehingga sangat tidak etis bagi kita untuk “mengadudomba” keduanya hanya sekadar untuk kepentingan politik sesaat. Menurut hemat saya, semua upaya politis untuk “membenturkan” kedua figur simbolik ini adalah sebuah character assassination, tidak bermoral dan merupakan “pelecehan” terhadap budaya dan integritas orang Mongondow.
Memang tidak ada larangan sama sekali, baik dari perspektif budaya maupun secara hukum, baik tokoh politik manapun untuk “memanfaatkan” dan mengambil “keuntungan politis” dari kedua figur dan tokoh budaya Mongondow ini. Yang menjadi persoalan adalah ketika kedua figur ini hanya dijadikan sebagai “barang obralan” politik untuk mendongkrak popularitas dan meraup suara pemilih. Padahal, sebagian besar orang Mongondow sangat bangga dan kagum dengan kisah-kisah patriotisme dan sifat-sifat luhur yang (pernah) diperankan oleh keduanya. Memiliki kekuatan dan kemampuan fisik yang sempurna, pemberani, selalu membela kebenaran, jujur, bijaksana, serta rela mengorbankan dirinya (menjadi martir) demi kepentingan masyarakat dan tanah Totabuan. Inikah nukilan dari sebagian sifat dan karakter patriotisme yang melekat pada diri keduanya, yang sekaligus juga merepresentasikan sifat dan karakter asli orang Mongondow (the origin of Mongondow).
Sesungguhnya yang sekarang ini sangat dirindukan dan dinanti-nantikan oleh masyarakat Totabuan adalah figur pemimpin yang benar-benar “mewarisi” sifat dan karakter luhur “Mogoguyang” yang (pernah) diperankan oleh tokoh Bogani dan Uyo’. Meskipun sebagian sejarahwan ada yang “meragukan” bahwa kedua figur ini bukanlah tokoh historis yang benar-benar hidup di pelataran sejarah dan budaya Mongondow, namun kenyataannya sebagian besar orang Mongondow sudah “terlanjur” mengidolakan kedua figur simbolik ini.
To make the long story short, yang menjadi signifikansi persoalan sekarang bukanlah sekadar masalah siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Siapa yang nanti akan menang dan siapa yang akan kalah. Bukan itu! Karena dalam sebuah (game) permainan – termasuk juga dalam (political game) permainan politik – selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Itulah dinamika politik. Dan begitulah sesungguhnya realitas di dalam kehidupan ini. Mantan presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, pernah berkata: there is only two possibilities in politic; to win or to loose. Kata orang Jawa, hidup ini ibarat “cakra manggilingan” atau seperti roda pedati. Sekali putaran kita berada di atas (alias menang dan sukses), namun pada putaran berikutnya kita akan berada di bawah (atau kalah dan menderita). Jadi, kita semua harus selalu siap untuk memang (to win) dan juga siap untuk kalah (to loose). Maka relevansinya dengan Pilwako Kotamobagu nanti adalah bahwa semua kandidat harus berani menerima kedua realitas politik ini. Kandidat yang hanya siap untuk menang tetapi tidak siap untuk kalah, tidak pantas menjadi pemimpin di tanah Totabuan. Kalau pun nanti dia terpilih, maka selamanya akan mendapat “kutukan” dari arwah Mogoguyang.
Oleh karena itu, semua warga Kotamobagu khususnya dan masyarakat Totabuan pada umumnya mulai sekarang harus bersikap kritis, cermat, cerdas, dan rasional dalam memilih calon pemimpin yang akan menahkodai Kota Kotamobagu selama lima tahun ke depan. Karena apa pun “permainan politik” yang dimainkan oleh para kandidat tersebut, namun sesungguhnya keputusan tertinggi tetap ada di tangan rakyat. Jangan mudah terbuai, tergiur, dan terpesona dengan foto dan motto para kandidat yang sekarang ini terpampang hampir di setiap sudut jalan dan pojok lapangan. Foto dan motto tersebut kalau diibaratkan hanyalah sebuah “iklan sesaat” dari para “penjual kecap”. Dan Anda pasti sudah tahu betul bagaimana “obralan” para penjual kecap. Pasti kecap yang asli dan nomor 1 adalah kecapnya, sedangkan kecap yang lain semuanya palsu.
Inga-inga! Pilihan terakhir semuanya ada di tangan Anda wahai warga Kotamobagu. Maka Anda harus kritis dan cerdas dalam menentukan pilihan. Masa depan Kota Kotamobagu selama lima tahun ke depan ada di tangan Anda. Ingat! Tuhan tidak pernah datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Andalah yang datang ke TPS dan memilih. Dan melalui “perantaraan” tangan Anda, Tuhan pun menetapkan kuasa-Nya. Vox Populi Vox Dei ­– Suara Rakyat adalah Suara Tuhan – begitu kata orang Yunani. Wa-Allah a’lam bi al’shawab.#

* Pemerhati masalah sosial-keagamaan

29 Maret 2008

Cinta Birahi

Oleh dr Taufiq Pasiak

FAKTOR apakah yang membuat lelaki dan perempuan saling tertarik, lalu jatuh cinta? Kawan saya, seorang dokter yang bertugas di pedalaman, bercerita bagaimana ia tertarik pada seorang perempuan penduduk asli, padahal (sebagaimana dirasakannya beberapa tahun kemudian), mereka bukanlah pasangan yang cocok. Sebagai orang berpendidikan, punya pergaulan luas, dan memiliki uang yang banyak, ia seharusnya mendapatkan pasangan yang seimbang. Setidaknya, dari segi-segi tertentu, yang dapat diamati secara kasat mata. Perkawinan 5 tahun tanpa anak—menurutnya—bukanlah perkawinan yang menyenangkan, apalagi jika harus tinggal di tempat yang sepi, dengan ruang gerak yang terbatas. Ini juga menjadi alasan baginya untuk menjalin hubungan dengan seorang perempuan lebih tua, kakak tingkatnya ketika kuliah, dan hanya sedikit lebih cantik dari istrinya. Kakak tingkat ini sudah memiliki pasangan dengan 2 orang anak, dan hidup dalam suasana perkawinan (menurut apa yang tampak) yang menyenangkan. Ketika kuliah dulu mereka bukanlah kawan yang akrab. Perkawanan itu terjadi ketika sama-sama tinggal di suatu tempat yang jauh dari keramaian.
Dari sudut pandang biologi evolusi, perempuan dan lelaki (atau betina dan jantan) saling tertarik karena salah satu di antara mereka melepaskan zat kimia bernama feromon (catatan: banyak minyak wangi yang dibuat meniru aroma feromon). Feromon dilepaskan oleh kelenjar tubuh, terutama pada jenis betina (perempuan), diterbangkan angin, dan masuk ke saraf penciuman lawan jenisnya. Jantan (lelaki) yang menciumnya segera merespon secara seksual. Pada binatang, hubungan ini diakhiri dengan persetubuhan. Fenomena ini, yang memang lebih banyak dijumpai pada binatang, merupakan penjelasan mula-mula bagaimana pasangan saling tertarik. Artinya, biologi evolusi mengedepankan penjelasan birahi untuk menjelaskan mengapa Anda dan saya tertarik pada pasangan kita masing-masing. Helen Fisher (2004), yang menyelidiki ketertarikan ini pada manusia, menyebutnya sebagai cinta jenis lust. Teori jenis cinta dari John Alan Lee (1973) menyebutkan jenis ini sebagai cinta eros dan ludus. Cinta eros dipenuhi dengan birahi yang menggebu-gebu, penuh nafsu dan gejolak. Jika pada binatang cinta jenis eros mudah dijumpai, maka pada manusia (selain jenis eros ini) dapat juga dijumpai cinta jenis agape yang ditandai oleh perasaan memberi yang dalam, tidak egois, dan mementingkan hubungan yang lebih bermutu. Cinta agape adalah cinta kita pada Tuhan, cinta yang rasanya berbeda dengan cinta kita pada pasangan. Meskipun dalam banyak kesempatan para mistikus menggunakan kata-kata berjenis birahi (bliss, extacy, rapture) untuk melukiskan cinta mereka pada Tuhan, tetapi cinta itu memiliki nuansa yang lain. Bukan birahi, karena ketertarikan mereka pada Tuhan bukan karena Tuhan melepaskan feromon.
Lalu, apa saja yang membuat seseorang---katakanlah saya tertarik pada istri saya, atau teman dokter itu tertarik pada orang lain—saling tertarik satu sama lainnya? Apakah sekadar birahi karena feromon? Atau sesuatu yang lebih dari itu. Dengan mengenyampingkan aspek feromon atau ketertarikan yang bersifat emosional, setidaknya ada 4 faktor yang menjadi alasan saling tertarik itu; 1) penampilan fisik (physical attractiveness), 2) kecerdasan (intelligence), 3) status sosial, dan 4) kepribadian (personality). Pada seorang perempuan, simetrisitas wajah, rasio pinggang-pinggul (waist-hip ratio), tinggi tubuh dan tampilan wajah, merupakan faktor utama pembentuk tampilan lahiriah. Perhatikan, dalam alam bawah sadar Anda dan saya, tampilan lahiriah merupakan titik masuk pertama ketika kita tertarik pada seseorang. Kita menjadi mudah tertarik dan terpesona pada seorang yang cantik dan tampan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pada bayi pun, yang belum memiliki pemikiran sadar tentang segala sesuatu, cenderung datang kepada perempuan yang cantik dan lelaki yang tampan, ketika mereka dilepas bebas dan disuruh memilih. Perilaku tanpa sadar ini dipergunakan betul oleh para pekerja iklan, tim sukses kampanye dan pelaku-pelaku bisnis tertentu, untuk meraup keuntungan. Anda perhatikan bagaimana kebanyakan pemilih memilih seseorang karena ketampanan atau kecantikannya. Karena bawaan alam bawah sadar ini warga Amerika pernah mengalami penyesalan tak terkira ketika mereka memilih Warren Harding sebagai presiden mereka. Harding adalah seorang lelaki tampan yang setiap gerakan tubuhnya, bicaranya, tolehannya, merupakan kombinasi gerakan indah dan menarik. Apa yang terjadi kemudian adalah kenyataan yang oleh para ahli sejarah Amerika disebut Warren Harding error, kita telah salah memilih presiden; karena tampilan lahiriahnya, bukan kemampuan dan kapasitas intelektualnya. Harding hanya menduduki jabatan itu 2 tahun saja. Ia meninggal karena penyakit stroke tiba-tiba.
Tampilan lahiriah spesifik adalah simetrisitas wajah. Anda perhatikan, perempuan yang memiliki wajah dan tubuh simetris (sebangun kiri dan kanan) jauh lebih menarik dibandingkan perempuan yang asimetris. Ada kaitan antara simetrisitas tubuh dengan kondisi fisik. Beberapa penelitian menemukan bahwa orang-orang, terutama perempuan, yang memiliki tubuh simetris cenderung; memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik, lebih mudah mengalami orgasme dan ejakulasi, mudah hamil (bagi perempuan), kadar hormon testosteron dan dopamin yang tinggi, serta mudah menimbulkan rangsangan dalam banyak hal. Simetrisitas wajah juga menjadi salah satu kriteria untuk menilai seseorang cantik dan tampan. Tidak usah heran kalau banyak perempuan mengejar simetrisitas wajah ini untuk mendapatkan tampilan maksimal dari dirinya. Saran saya, untuk kita yang kurang beruntung dalam hal tampilan lahiriah, aturlah secara optimal simetrisitas tubuh kita. Perbaikilah kemampuan tubuh kiri dan kanan, serta riaslah sehingga orang melihat bagian kiri dan kanan tubuh kita bagaikan pinang dibelah dua.
Cukupkah tampilan lahiriah menarik seseorang? Tidak! Ada banyak orang yang tertarik karena kecerdasan (pintar bercerita, lucu, memiliki banyak kata-kata dan pintar merangkai cerita) yang dimiliki seseorang. Kawan saya yang lain, yang sudah menikah lebih dari 10 tahun, menyampaikan pandangannya tentang cintanya pada sang istri. Menurutnya, dalam 10 tahun perkawinan mereka, sang istri telah betul-betul kehilangan tampilan lahiriah yang indah, tetapi kini sang istri memiliki kecerdasan jauh melebihi masa-masa 1 atau 2 tahun perkawinan mereka. Ia kini tertarik pada sang istri karena kecerdasan dan kematangan yang kian bertambah. Kecantikan lahiriah, menurutnya, sudah tergantikan oleh kecantikan batiniah yang melebihi segala-galanya. Dan untuk jenis ini ia mendapati pertambahan yang bermakna setiap harinya. Katanya lagi; “lebih nikmat bersetubuh dengan seorang yang cerdas daripada yang cantik”. “saya berulang-ulang terangsang secara seksual kepada istri saya yang cerdas, dibandingkan dulu ketika ia cantik,” lanjutnya. (tidak usah heran kalau dalam dunia pelacuran ‘ayam-ayam kampus’ jauh lebih mahal booking fee-nya dibandingkan ‘ayam kampung’).
Demikianlah, ketika cinta birahi dengan pilar-pilar tampilan lahiriahnya merebut perhatian kita, maka ada banyak hal yang akan hilang.#

28 Maret 2008

Pengelolaan Sampah dan Turunannya di TPA

Oleh Alfonds Andrew Maramis SSi MSi*

PEMBUANGAN sampah merupakan salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh setiap kota di semua negara di dunia. Timbunan sampah yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk adalah suatu hal yang harus ditangani secara serius. Sampah menjadi masalah karena mengotori dan mengganggu keindahan serta kenyamanan manusia, dan karena ditimbulkan oleh kegiatan manusia akibatnya sampah akan selalu muncul dalam keseharian hidup manusia. Sampah memang wajar ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketidakwajaran terjadi ketika volume sampah berada di atas batas toleransi, terlebih pada tempat-tempat umum.
Sampah dan Turunannya
Secara umum, sampah didefinisikan sebagai segala macam buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang sudah tidak dapat digunakan lagi. Sampah terbagi atas tiga kategori umum yaitu sampah perkotaan, sampah industri dan sampah berbahaya. Pengelolaan teknis sampah perkotaan dari berbagai sumber penghasilnya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pengelolaan sampah di TPA pada umumnya ada dua jenis yaitu Sanitary Landfill (sampah yang dibuang dikelilingi dan ditutup dengan material yang kedap air) dan Open Dumping (sampah yang dibuang dibiarkan begitu saja terpapar di atas tanah). Di Indonesia, kebanyakan TPA dibangun berdasarkan perpaduan antara kedua jenis tersebut. Pada awalnya sampah dikelola secara open dumping untuk suatu periode waktu tertentu, baru kemudian dilanjutkan dengan landfilling. Ada juga yang terjadi sebaliknya, TPA yang pada awalnya direncanakan akan dioperasikan secara sanitary landfill, namun karena adanya keterbatasan dari pengelola maka sampah tersebut hanya ditimbun begitu saja tanpa perlakuan sedikitpun.
Selain kedua cara umum yang sudah dipaparkan di atas, ada cara lain lagi namun terbatas penggunaannya, yaitu cara pengomposan dan insinerator. Pengomposan merupakan suatu teknik penguraian sampah oleh mikroorganisme tanah secara biokimia. Sedangkan dengan insinerator, sampah dibakar di dalam tungku pembakaran pada suhu di atas 10000C. Namun cara ini merupakan alternatif terakhir karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Terlepas dari bagaimana sampah tersebut dikelola, keberadaan TPA yang tidak sesuai standar akan memberikan masukan yang berarti terhadap degradasi lingkungan sekitarnya.
Materi pencemar yang biasanya terbentuk atau hadir (turunan sampah) di lingkungan sekitar TPA yaitu air lindi (leachate), gas landfill, sampah yang terbawa angin, dan organisme hidup seperti tikus, cacing, dan serangga (yang merupakan vektor pembawa penyakit). Pada tulisan ini, seluk beluk turunan sampah yang akan dibahas hanya tentang air lindi dan sedikit mengenai gas landfill.
Air lindi didefinisikan sebagai suatu cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan pada timbunan sampah. Dalam kehidupan sehari-hari, air lindi ini dapat dianalogikan seperti seduhan air teh. Air lindi membawa materi tersuspensi dan terlarut yang merupakan produk dari degradasi sampah. Komposisi air lindi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis sampah terdeposit, jumlah curah hujan di daerah TPA dan kondisi spesifik tempat pembuangan tersebut. Air lindi pada umumnya mengandung senyawa-senyawa organik (hidrokarbon, asam humat, fulfat, tanat dan galat) dan anorganik (natrium, kalium, kalsium, magnesium, klor, sulfat, fosfat, fenol, nitrogen dan senyawa logam berat) yang tinggi. Konsentrasi dari komponen-komponen tersebut dalam air lindi bisa mencapai 1000 sampai 5000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi dalam air tanah.
Selayaknya benda cair, air lindi ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air lindi dapat merembes ke dalam tanah dan bercampur dengan air tanah, ataupun mengalir di permukaan tanah dan bermuara pada aliran air sungai. Bisa dibayangkan, air lindi yang mengandung senyawa-senyawa organik dan anorganik dengan konsentrasi sekitar 5000 kali lebih tinggi daripada dalam air tanah, masuk dan mencemari air tanah atau air sungai. Secara langsung, air tanah atau air sungai tersebut akan tercemar, sehingga peruntukan kedua jenis air tersebut mengalami pergeseran. Air yang awalnya bisa digunakan untuk keperluan rumah tangga, akhirnya hanya bisa digunakan untuk pertanian bahkan hanya sebagai penggerak pembangkit tenaga listrik.
Studi Kasus Pengelolaan Sampah di TPA Jatibarang, Semarang
Di Indonesia, sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji dampak dari pencemaran air lindi di sekitar TPA. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh penulis, sebagai bentuk tugas akhir (tesis) di program pascasarjana magister biologi terapan pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. Penelitian tersebut difokuskan pada telaah dinamika dan distribusi logam berat dalam air sungai yang mendapat masukan air lindi TPA serta pengaruhnya terhadap biota sungai. Sungai yang dipilih sebagai objek yaitu Sungai Kreo, salah satu sungai besar yang terletak di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sungai Kreo ini mendapat masukan air lindi dari TPA Jatibarang, yang merupakan tempat pembuangan sampah terakhir dari Kota Semarang dan sekitarnya. Ironisnya, sekitar 40 km sebelah hilir Sungai Kreo dari titik outlet air lindi TPA Jatibarang terletak Perusahaan Air Minum (PAM) Kota Semarang.
Pengelolaan sampah di TPA Jatibarang awalnya menggunakan sistem sanitary landfill, yang dibangun pada 1993 dengan luas ± 460.183 m2. Namun karena keterbatasan dari pihak pengelola, pengelolaannya berubah menjadi open dumping. TPA ini dibangun dengan bantuan dari Bank Dunia. Pada saat dibangun, diperkirakan TPA ini bisa digunakan sampai 10 tahun ke depannya. Namun pada 2001, Bank Dunia menyatakan bahwa TPA ini sudah penuh dan harus dicari lokasi yang baru. Kenyataan ini disebabkan karena tidak proporsionalnya volume sampah yang dibuang dengan daya tampung TPA. Luas areal TPA Jatibarang ± 460.183 m2, dengan luas areal buangan ± 276.469,8 m2 atau sekitar 60 persen dari luas totalnya. TPA ini mempunyai daya tampung sampah ± 4.147.047 m3, dengan kedalaman rata-rata 40 m. Dalam kondisi normal, sampah yang dibuang di TPA Jatibarang setiap hari mencapai sekitar 2.500 m3 atau sekitar 600 ton.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tiga (Cu, Fe, dan Zn) dari empat (tiga yang sudah disebutkan diawal + Cd) jenis logam berat yang diukur pada beberapa stasiun di Sungai Kreo melampaui baku mutu air sungai yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ada empat stasiun yang ditentukan sebagai tempat pengambilan sampel. Stasiun pertama berada sebelum titik outlet air lindi TPA (sebelah hulu), sedangkan ketiga stasiun berikutnya berada setelah titik outlet air lindi (sebelah hilir). Analisis statistik dari data kandungan logam berat tersebut menunjukkan bahwa pencemaran air lindi pada air sungai berada pada tingkat signifikan.
Bukan itu saja, parameter keragaman biota sungai pun terjadi pergeseran akibat pencemaran air lindi. Ada beberapa jenis makroinvertebrata bentik (jenis biota sungai) yang terdapat melimpah pada daerah sebelah hulu masukan air lindi, namun berkurang pada daerah sebelah hilir masukan air lindi TPA tersebut, begitu juga sebaliknya. Tren kepadatan masing-masing spesies makroinvertebrata bentik ini pada daerah sebelah hulu dan hilir dari masukan air lindi di Sungai Kreo diperkuat dengan analisis statistik yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut relatif signifikan.
Pengurangan jumlah akibat adanya masukan air lindi dialami oleh spesies Hydropsyche sp. (Insecta: Trichoptera), Liebebiella deigma, dan Baetis sp. (Insecta: Ephemeroptera). Spesies-spesies ini umumnya tidak toleran terhadap adanya pencemaran senyawa organik maupun anorganik. Hal tersebut berbeda dengan spesies Paragyractis sp. (Insecta: Lepidoptera) dan Chironomidae (Insecta: Diptera), yang cenderung toleran terhadap adanya beban pencemar. Materi pencemar berdampak seperti racun bagi spesies yang tidak toleran. Sebaliknya, spesies yang toleran menggunakan materi pencemar sebagai nutrisi bagi kelangsungan metabolisme di dalam tubuhnya. Berkurang maupun melimpahnya spesies-spesies ini di habitatnya tergantung pada seberapa besar tingkat toleransi terhadap pencemaran, karena setiap jenis makroinvertebrata bentik mempunyai tingkat toleransi yang berbeda dengan yang lainnya.
Perencanaan/Penentuan Lokasi TPA
Berkaca dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis ingin berbagi masukan dengan stakeholder khususnya pemerintah daerah-daerah yang ada di provinsi tercinta ini. Keseluruhan proses pengelolaan sampah janganlah dilakukan secara asal-asalan. Pengelolaan sampah secara baik dan teratur saja belum tentu tidak memberikan masukan pencemar ke lingkungan, apalagi pengelolaan yang dilakukan dengan serampangan.
Penimbunan sampah yang efisien dan efektif berhubungan erat dengan pembuangan sampah padat yang terkontrol pada atau di dalam lapisan bawah dari kulit bumi. Aspek penting yang termasuk dalam pelaksanaan penimbunan sampah yaitu: pemilihan lokasi, metoda dan pengoperasian penimbunan sampah, terjadinya gas dan air lindi, dan pergerakan dan pengontrolan gas dan air lindi di tempat penimbunan sampah.
Pemilihan Lokasi
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi penentuan tempat pembuangan sampah padat yaitu: ketersediaan lahan, jarak pengangkutan sampah, kondisi tanah dan topografi, hidrologi air permukaan, kondisi geologis dan hidrogeologis, kondisi klimatologi (iklim), kondisi lingkungan lokal, dan praktek pasca-penggunaan tempat. Salah satu syarat dari faktor ketersediaan lahan yaitu lahan tersebut harus mempunyai masa pakai minimal 1 tahun. Jarak pengangkutan sampah juga penting karena mempunyai dampak signifikan pada biaya pengoperasian. Berdasarkan topografi dan kondisi tanah, materi tanah penutup harus tersedia di dekat lahan tersebut. Dampak pengaliran air juga merupakan aspek penting dalam hidrologi air permukaan. Seperti kasus yang dibicarakan di atas, jangan sampai aliran air dari tempat penimbunan sampah ini bermuara pada infrastruktur daerah yang penting, seperti perusahaan air minum daerah (PAM) misalnya.
Faktor yang penting juga dalam pembukaan lahan penimbunan sampah yaitu kondisi geologi dan hidrogeologi lahan tersebut, terutama menyangkut persiapan penggunaan lahan. Hal yang tidak kalah penting yaitu kondisi klimatologi (iklim). Lahan penimbunan sampah ini harus dibekali dengan perlengkapan tertentu agar supaya operasi penimbunan sampah dapat dilakukan dalam musim hujan sekalipun. Kebanyakan pengoperasian TPA tidak memperhatikan faktor ini. Akibatnya lahan penimbunan sampah tidak dapat dioperasikan secara maksimal, bahkan timbunan sampah dapat menyebabkan bencana. Sebut saja bencana longsor yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung, pada awal 2005, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bencana ini santer dipublikasikan oleh media elektronik maupun media cetak pada waktu itu, karena longsoran sampah menimbun beberapa tempat peristirahatan dari pemulung-pemulung yang mencari nafkah di areal TPA tersebut.
Faktor yang terkadang menimbulkan dilema dalam penentuan tempat penimbunan sampah yaitu kondisi lingkungan lokal. Faktor ini bersinggungan secara langsung dengan segi sosial masyarakat, karena di dalamnya terkandung aspek estetika dari tempat penimbunan sampah. Tidak jarang adanya penolakan dari masyarakat di dalam penentuan tempat penimbunan sampah. Sebut saja contohnya, penolakan masyarakat sekitar terhadap penentuan lokasi TPA yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, yang pernah dimuat di koran ini beberapa waktu yang lalu. Stigma dari sampah yang pada umumnya mengeluarkan bau yang tidak sedap, debu, bahkan vektor penyakit, belum lagi kebisingan yang ditimbulkan seperti tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat.
Faktor terakhir yang juga perlu untuk diperhatikan, yaitu faktor pasca-penggunaan tempat penimbunan sampah. Sama seperti kegiatan pertambangan emas di Ratatotok yang saat ini menjalani proses penutupan, dalam penentuan tempat penimbunan sampah juga sudah harus memikirkan langkah ke depan (action plan) apabila lahan ini sudah tidak bisa dipergunakan lagi untuk menimbun sampah. Berkaitan dengan keterbatasan lahan, ditambah dengan peningkatan jumlah sampah yang seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, proses pengelolaan sampah di TPA mempunyai batasan umur pakai. Semakin lama TPA bisa dipakai untuk menimbun sampah, tidak bisa dipakai sebagai patokan bahwa proses penimbunan sampah berjalan dengan baik.
Metoda dan Pengoperasian Penimbunan Sampah
Untuk menggunakan secara efektif areal yang tersedia pada lahan penimbunan sampah, sebuah rencana pengoperasian untuk penempatan sampah padat perlu dipersiapkan. Operasi penimbunan biasanya dimulai dengan membangun bendungan atau tanggul yang terbuat dari tanah yang berlawanan dengan di mana sampah akan ditempatkan. Sampah kemudian disusun dan dipadatkan, kemudian diberi lapisan penutup berupa tanah. Tingginya susunan sampah bisa disesuaikan dengan luasan lahan buangan sampah dan volume sampah perharinya, namun jangkauan ketinggian sampah (setelah dipadatkan) berdasarkan referensi berkisar antara 2–3 m. Setelah mencapai ketinggian tersebut, timbunan sampah kemudian ditutup dengan material tanah setebal 15 – 30 cm. Di atas timbunan yang sudah ditutup tanah tersebut, masih dapat ditimbun lagi dengan sampah yang baru, begitu seterusnya sampai mencapai tinggi akhir berdasarkan desain tempat penimbunan sampah tersebut.
Lokasi di mana terdapat bagian yang curam secara alami atau artifisial (buatan) sekalipun dimungkinkan untuk digunakan sebagai tempat penimbunan secara efektif. Jurang, ngarai, tebing, terowongan, bahkan bekas galian tambang pun dapat digunakan untuk tujuan ini. Teknik untuk menempatkan dan memadatkan sampah padat bervariasi terhadap geometri dari lahan, karakteristik dari material penutup, hidrologi dan geologi dari lahan, dan akses menuju lahan tersebut.
Penimbunan sampah pada lahan basah jarang digunakan karena potensi risiko kontaminasi air tanah sekitar cukup tinggi, belum lagi dengan terbentuknya bau yang tidak sedap, dan kestabilan struktur lahan. Jika terpaksa menggunakan lahan basah seperti rawa, paya, daerah pasang surut, kolam, dan lubang untuk lahan penimbunan, berbagai ketentuan khusus harus dibuat untuk menahan atau menyisihkan aliran dari air lindi atau gas. Biasanya ketentuan awal yang harus dilakukan yaitu mengeringkan lahan tersebut kemudian melapisi dasar lahan dengan tanah lempung atau materi penutup lainnya yang tepat.
Terjadinya Gas dan Air Lindi
Gas-gas yang terbentuk dari penimbunan sampah termasuk di dalamnya yaitu: udara, ammonia, karbon dioksida, karbon monoksida, hidrogen, hidrogen sulfida, metan, nitrogen, dan oksigen. Karbon dioksida dan metan merupakan gas-gas utama yang dihasilkan dari dekomposisi (pembusukan) anaerobik (tanpa udara) dari komponen sampah padat organik. Nilai dari dekomposisi dalam penimbunan sampah yang tidak terkelola dengan baik, seperti yang pernah diukur lewat produksi gas (berdasarkan beberapa referensi), mencapai puncak di antara dua tahun pertama dan kemudian secara perlahan menurun, dan berlanjut (pada beberapa kasus), untuk periode 25 tahun bahkan lebih. Volume keseluruhan dari gas yang dihasilkan selama dekomposisi anaerobik dapat diperkirakan melalui reaksi kesetaraan kimia.
Seperti yang sudah didefinisikan di atas, air lindi merupakan cairan yang tertapis dari sampah padat, yang mana material tersuspensi atau terlarut dalam sampah padat ikut terekstrak ke dalam tapisan cairan tersebut. Pada kebanyakan tempat penimbunan sampah, porsi cairan dari air lindi tersusun dari produksi cairan hasil dekomposisi dari sampah dan cairan yang masuk ke tempat penimbunan dari sumber luar, seperti aliran air permukaan, air hujan, air tanah, dan air dari mata air bawah tanah.
Pergerakan dan Pengontrolan Gas dan Air Lindi
Di bawah kondisi ideal, gas-gas yang dihasilkan dari proses penimbunan sampah boleh dilepaskan ke atmosfer atau, pada tempat penimbunan sampah yang sangat besar dapat dikumpulkan sebagai bentuk produksi energi. Pada kebanyakan kasus, lebih dari 90 persen volume gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah padat terdiri dari metan dan karbon dioksida. Meskipun sebagian besar metan terlepas ke atmosfer, konsentrasi metan yang tertinggal dapat mencapai angka lebih dari 40 persen dan menyebar menjauhi pusat terbentuknya sampai lebih dari 120 m dari bagian tepi tempat penimbunan. Bila pelepasan ke atmosfer tidak terkontrol, metan dapat terakumulasi di bawah bangunan atau lahan tertutup lainnya pada atau dekat tempat penimbunan.
Tidak jarang kita mendapat informasi dari media masa bahwa ada masyarakat yang kaget ketika dari dalam rumah mereka atau di sekitar pekarangan mereka, keluar dari tanah, gas berbau tajam yang dapat terbakar. Fenomena ini sering terjadi disekitar tempat penimbunan sampah yang masih aktif ataupun bekas tempat penimbunan. Pernah terjadi di TPA Jatibarang, Kota Semarang, kebakaran yang terjadi dengan sendirinya akibat akumulasi gas metan yang tinggi. Saking tingginya, kebakaran ini berlangsung selama seminggu lebih.
Berbeda dengan metan, karbon dioksida yang mempunyai berat jenis sekitar 1,5 kali udara segar dan 2,8 kali metan, cenderung bergerak ke arah dasar tempat penimbunan. Pada akhirnya, karena berat jenisnya, karbon dioksida akan bergerak ke bawah melalui lapisan dasar tanah sampai menembus air tanah. Karena karbon dioksida bisa larut dalam air, ini biasanya mengurangi pH tanah, sehingga dapat meningkatkan hardness (kesadahan) dan kandungan mineral dari air tanah melalui pelarutan kalsium dan magnesium karbonat.
Pergerakan gas ke samping yang diproduksi di tempat penimbunan dapat dikontrol dengan memasang ventilasi yang terbuat dari materi yang lebih permeabel (mudah tembus) daripada tanah sekelilingya. Pada tempat penimbunan yang telah penuh dan tidak dilengkapi dengan material ventilator, dapat dibuat beberapa sumur atau pipa gas di antara timbunan sampah, sehingga gas tidak tertahan di dalamnya.
Di bawah kondisi normal, air lindi sering dijumpai di bagian dasar tempat penimbunan. Angka rembesan air lindi dari dasar tempat penimbunan dapat diestimasi melalui asumsi bahwa material di bawah tempat penimbunan sampai di atas batas air telah penuh dan hadirnya lapisan tipis air lindi pada dasar timbunan. Di bawah kondisi ini, angka pelepasan air lindi per unit area adalah setara dengan nilai dari koefisien permeabilitas yang diekspresikan dalam satuan meter per hari.
Sebagaimana air lindi dapat masuk melalui lapisan dasar tanah, sebagian besar unsur kimia dan biologi yang mula-mula terkandung dalam air lindi terlepas melalui penyaringan dan teradsorpsi oleh materi penyusun lapisan tanah. Pada umumnya, tingkat penyaringan dan adsorpsi ini tergantung pada karakteristik tanah, khususnya kandungan tanah liat atau lempung. Mengingat air lindi dapat masuk sampai menembus air tanah, tingkat penyaringan dan adsorpsi dapat diatur sedemikian rupa menggunakan materi lempung sehingga resiko tercemarnya air tanah oleh air lindi dapat ditekan.
Dewasa ini, masalah penentuan tempat penimbunan sampah semakin kompleks. Keterbatasan lahan dan volume sampah semakin meningkat, mau tidak mau penggunaan lahan penimbunan sampah secara efektif dan efisien perlu diperhatikan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, dimana setiap wilayah daerah dengan sendirinya harus memiliki setidaknya sebuah TPA yang memadai. Barangkali, jarang ditemukan suatu daerah yang dengan besar hati mengijinkan daerah lain untuk membuang sampah di wilayahnya. Sebaliknya, setiap daerah biasanya mencari cara untuk dapat menempatkan sampahnya di luar wilayahnya, dengan berprinsip pada slogan ‘’NIMBY – not in my back yard”. Apapun itu, permasalahan mengenai persampahan yang sangat kompleks ini perlu dicari solusinya, bukan ditangguhkan atau dikesampingkan. Demikian, sedikit ulasan mengenai pengelolaan sampah, perencanaan, dan penentuan lokasi TPA, serta suatu studi kasus mengenai pengelolaan sampah di suatu TPA, kiranya bisa memberikan manfaat bagi kita semua.#

*Pemerhati dan Praktisi Lingkungan Hidup, Alumni Program Pascasarjana Magister Biologi Terapan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

26 Maret 2008

Desa Ku “Terabaikan”

Oleh Welly Waworundeng SSos MSi*

SELAMA ini desa kurang dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif (DPRD) kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Kalau kita lihat sudah hampir 4 (empat) tahun diberlakukannya Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakannya, ditetapkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 tentang Desa. Keduanya belum sepenuhnya dilaksanakan sampai di desa. Masalahnya, produk regulasi di daerah, baik perda atau surat keputusan bupati/wali kota yang seharusnya dikeluarkan sebagai ketentuan, pedoman, dan acuan teknis pelaksanaan di desa, sebagian besar belum ditetapkan dan mungkin belum pernah dibahas dalam program legislasi daerah.
Hal tersebut menjadi kendala terhadap penyelenggaraan pemerintahan di desa, di mana pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat merencanakan, membahas, menetapkan dan melaksanakan perdes atau aturan lainnya di desa. Ada pemerintahannya, ada rakyatnya, ada kegiatannya, tetapi tidak berjalan sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU 32/2004 dan PP 72/2005).
Padahal kalau dilihat penduduk di kabupaten/kota, mayoritas ada di desa. Besar kecilnya pembagian uang dari pusat ke daerah, salah satu pertimbangan adalah jumlah penduduk yang kebanyakan ada di desa. Banyak tidaknya proyek pemerintah (provinsi/pusat) ke daerah, mempertimbangkan jumlah penduduk di desa. Apalagi jumlah kursi DPRD, dan banyak lagi kepentingan-kepantingan daerah yang mengatasnamakan publik di desa.
Jadi sudah seharusnya baik program pembangunan dan uangnya daerah, berpihak ke desa. Sekarang penyelenggaraan pemerintahan di desa seperti ‘mati suri’, dan banyak hak-hak desa ‘dipasung’, hampir tidak ada regulasi yang ditetapkan dan dijalankan. Itu berarti penyelenggaraan pemerintahan di desa, tanpa disadari oleh orang desa, tidak berjalan. Kegiatan pemerintahan sebatas: pertama, pelayanan administrasi yang dari tahun ke tahun sudah rutin dilakukan, seperti: pengurusan KTP, surat-surat keterangan, surat jalan, dan administrasi lainnya. Kedua, yang dilakukan pemerintah desa bersama BPD lebih banyak kegiatan seremonial menghadiri undangan-undangan hajatan (acara suka) dan peristiwa kedukaan.
Ketiga, disibukan dengan mengurus persoalan-persoalan rumah tangga, persoalan kenakalan anak muda, persoalan sengketa tanah dan Kamtibmas lainnya di masyarakat. Keempat, desa ada kegiatan kalau ada proyek/kegiatan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kelima, lebih parah lagi pemerintah dan BPD dari tahun ke tahun dan sampai sekarang, dihadapkan dengan masyarakat yang terkotak-kotak, akibat mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pasca pesta demokrasi (pemilu, pilkada, dan pemilihan kepala desa) terjadi masalah.
Mulai dari bedah partai, bedah calon DPR, DPD, presiden/Wapres, DPRD, bedah calon kepala daerah provinsi dan kabupaten, sampai bedah calon kepala desa (hukum tua, sangadi, opo laho dan lain-lain), masih menjadi masalah yang krusial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di desa. Keenam, belum lagi masalah kemiskinan, pengangguran, urbanisasi, kebodohan (putus sekolah), krisis pangan (banyak lahan tidur), tanah penduduk beralih ke pemilik modal, pejabat dan lain-lain.
Kalau demikian, kapan desa melaksanakan otonomi (mengurus rumah tangganya sendiri) yang utuh, bulat, dan terencana, keluar dari masalah, serta membangun untuk kesejahteraan rakyat?
Selang hampir sepuluh tahun pasca reformasi dan diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengganti UU 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 5/1979 tentang Desa, kemudian direvisi dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sepertinya selama itu pemerintah daerah dan DPRD kabupaten/kota mengabaikan pengaturan tentang desa.
Seharusnya sesuai UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 72/2005 tentang Desa, pemerintah daerah dan DPRD harus mengeluarkan perda dan keputusan bupati/wali kota tentang penyelenggaraan pemerintahan di desa. Terabaikannya pengaturan tentang desa karena, pertama, pemerintah dan DPRD kabupaten/kota terkonsentrasi pada pesta demokrasi yang secara beruntun dari tahun ke tahun dilaksanakan.
Mulai dari Pemilu (pemilihan DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD), pemilihan gubernur, pemilihan bupati, sampai pada pemilihan kepala desa. Kedua, bukan sedikit waktu dan uang tersita karena terjadi evoria pemekaran, di mana daerah Nyiur Melambai telah memiliki 4 daerah kota dan 9 daerah kabupaten, dan belum cukup sampai di situ karena masih ada usulan pemekaran daerah baru. Sampai kapan pemekaran ini berakhir?
Ketiga, tidak kalah sibuknya (siang kalau siang) apabila mereka membahas APBD, apakah yang dibahas untuk kepentingan rakyat? Keempat, padat dengan studi banding, acara seremonial, perjalanan dinas ke Jakarta (padahal hampir semua urusan so kase di daerah, kong beking apa dang di Jakarta?) dan lain-lain.
Dalam Peraturan Pemerintah 72/2005 tentang Desa, mengatur antara lain tentang urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kedudukan, tugas, wewenang, kewajiban, fungsi, hak, dan kedudukan keuangan dari Pemerintah Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu, mengatur tentang Peraturan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Keuangan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kerja sama antar desa dan pihak ketiga, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan serta Pembinaan dan Pengawasan. Regulasi ini bertujuan agar desa dengan otonominya dapat mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa, sehingga dapat merencanakan, menetapkan dan melaksanakan aturan desa.
Dasar aturan itu, desa membangun untuk kesejahteraan rakyat. Yang menjadi masalah sekarang, tujuan dari regulasi tersebut belum dicapai, kerena belum semua aturan dalam regulasi ditindak-lanjuti dalam perda dan keputusan bupati/wali kota. Sehingga desa tidak dapat berbuat banyak dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan sebagaimana amanat UU.
Menghadapi masalah ini, desa sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa, karena memang mereka belum menyadari, bahwa selama ini desa benar-benar diabaikan alias dipasung hak-haknya. Apabila desa punya keinginan maju, dan menjadikan rakyatnya sejahtera berarti desa-desa harus bersatu. Mulai dari Pemerintah Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Generasi Muda, PKK, dan semua organisasi sosial politik serta masyarakat yang ada di desa, dapat bersatu untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya, sehingga diperhatikan.
Selain itu, harus ada hubungan kerja sama antar desa yang satu dengan desa yang lain, apakah dalam bentuk asosiasi atau perkumpulan lain yang pada intinya dapat memperjuangkan kepentingan desa. Dengan kekuatan kebersamaan itu diharapkan desa dapat mempengaruhi kebijakan politik/pembangunan di atasnya. Selama desa diam dan tidak bersatu, selama itu juga desa hanya menjadi objek dan subjek apabila ada pesta demokrasi atau iven-iven daerah dan nasional.
Masalah desa tidak akan selesai sebelum pemerintah di atasnya punya komitmen yang kuat serta didukung dengan adanya kebijakan (regulasi) yang memihak kepada desa. Pemerintah kabupaten/kota yang memiliki daerah desa sudah seharusnya melihat apa yang menjadi kebutuhan desa, masyarakat desa juga adalah publik yang harus dilayani. Bukankah pemerintahan daerah ada karena ada rakyatnya, bukankah pemekaran daerah ada kerena alasan pelayanan publik serta mendekatkan pelayanan kepada publik.
Tentunya sebelum masalah di desa lebih banyak dan lebih berat diselesaikan, maka secepatnya pemerintah daerah menyikapinya.
Ke depan diharapkan dengan dikeluarkannya regulasi tentang desa oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota, seyogianya dapat menjawab persoalan yang ada di desa. Di mana regulasi ini akan mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif, transparan, dan dapat menjawab kebutuhan masyarakat (masyarakat desa sejahtera, daerah sejahtera, negarapun sejahtera).
Saran saya, dengan kita mengetahui masalah desa adalah masalah bangsa, maka marilah semua komponen bangsa jangan kita abaikan keberadaan desa. Sehingga syair lagu ‘desa ku yang kucinta, pujaan hati ku, tempat ayah dan bunda dan handai tolan ku tak mudah ku lupakan tak mudah bercerai, selalu ku rindukan, desa ku yang permai’ akan tetap ada, dan dikenang sepanjang masa.(#)

*Dosen FISIP Unsrat

Prestasi Kinerja Askes (2000-2007)

Pro: Jamkesmas

Oleh Dr Johny Weol STh PhD*

“ORANG Indonesia menderita tapi bahagia” (Cover Intisari Maret 2008), “Menuju Universal Coverage jaminan kesehatan” (Buletin Info Askes 2007), “Askeskin (Jamkesmas) dewa penolong kaum papa” (Media Asuransi Nov 2007), “PT Askes tidak hanya mengurus Askeskin” (MA Nov 2007). “PT Askes masuk sepuluh BUMN terbaik Indonesia” (Majalah BUMN, Januari 2008), “PT Askes masuk ranking 8 best 50 BUMN dan peringkat 1 asuransi Indonesia dari 8 asuransi terbaik” (majalah Investor, Desember 2007).
Melihat data di atas, ternyata PT Askes bisa dikatakan ‘Best Of The Best’ asuransi di Indonesia. Sebenarnya banyak tidak mengetahui bahwa Direksi plus Presiden Direktur (waktu itu dipimpin Dr Orie Andari Sutadji MBA sebagai Dirut) telah mengukir prestasi segudang. Terbukti pada memori jabatan Direksi dan Komisaris PT Askes (Persero) masa bakti 2000-2005 ‘Meretas Jalan Menuju Pertumbuhan’ yang melapor ‘mereka menilai kami’ yaitu sejak 1992 PT Askes (Persero) 13 kali berturut-turut memperoleh penilaian dari auditor independent ‘sehat dan sehat sekali’ dengan predikat ‘wajar tanpa pengecualian’. Tahun 2002 -The best insurance award (social insurance category) according to investor magazine - the most trusted in health insurance-majalah kapital bekerjasama dengan MARS, Indonesia, Insurance Board, (DAI), The Best Own Company Investor, Piagam Citra. Pelayanan prima cabang Medan dan seterusnya dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada 2003 -The Best Insurance Award, Investor The Best Own Company, Investor Indonesia Best Brand Award 2003 dari MARS majalah SWA dan Swaranet. Pada 2004 -The Best BUMN in Financial Sector, Indonesia Best Brand, BUMN terbaik 2004, investor 10 besar BUMN penyumbang laba, Nomenee CEO BUMN Award. Pada 2005 -The International Arch of Europa Quality and Technology Award in The Gold Category in Frankfurt Germany, Golden Brand Award setelah menang tiga kali berturut-turut (2003-2004-2005). Semua penghargaan di atas (masih banyak tidak ditulis) menjadikan PT Askes berkinerja kerja ‘Best of the best’ dalam profesionalisme dan pelayanan masyarakat luas. Harus memberi pelayanan prima serta perlu pembelajaran berkelanjutan pada individu karyawan dan perusahaan. Juga karyawan aktif meningkatkan pengetahuan juga budaya belajar, budaya diskusi ilmiah dan empiris, serta ikut pendidikan dengan fasilitas individu plus perusahaan, sedang perusahaan wajib beri dukungan kepada karyawan, juga ciptakan lingkungan yang kondusif, ditingkatkan fasilitas termasuk memberi apresiasi kepada karyawan yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Sementara pemerintah mempunyai rencana strategis BUMN 2008 yaitu 28 go public, 6 holding company, 7 merger, 0 likuidasi.
Tentu ada yang pesimis tetapi Menteri BUMN tetap optimis. Bakal ada 27 BUMN dan satu perusahaan diusulkan untuk diprivatisasi melalui metode penawaran saham perdana (Initial Public Offering) IPO atau mitra strategis, perlu mendengar keterangan Menteri BUMN Sofyan Djalil (yang oleh Majalah Globe September 2007 pada cover depan, ditulis Standing tall Sofyan Djalil $62 Billion total (Revenues) mengatakan: jangan menjelaskan kepada publik seolah kita menjual aset negara. Tapi yang penting adalah bagaimana kita memberdayakan aset negara melalui privatisasi itu, sedang program privatisasi itu tahun 2007 (+ divestasi) telah menyetor Rp3,1 triliun (targetnya 4,7 triliun). Pada 2008, setoran ke APBN hanya 1,5 triliun yakin dipenuhi sementara target laba 120 triliun. Sementara Askes akan menuju Universal Coverage jaminan kesehatan. (lihat UUD 1945 pasal 34 ayat 2 dan UU No. 40/2004 tentang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Perlu diketahui, esensi program Askeskin sebenarnya masih bersifat bantuan (Social Asisstance) yang sekarang sudah diubah menjadi Jamkesmas, sehingga kelangsungannya perlu dukungan regulasi dan kesisteman yang mantap. Perlu juga dipikirkan ‘Road Map Universal Coverage’. Dan diharapkan dalam kuran waktu 20 tahun Universal Coverage dapat tercapai. Lalu untuk kelangsungan program Askeskin perlu dilakukan evaluasi dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah yang timbul. Pemerintah memerankan ‘Steering rather than rowing’ sementara PT Askes selaku penerima premi dan pelaksana pembayaran klaim berperan dalam ‘Rowing’ petunjuk teknis kesehatan masyarakat mengganti Askeskin dana turun sebesar Rp540 M di 842 rumah sakit. Tersedia pula tim verifikator independen, bukan PT Askes lagi (terdiri atas tiga bagian yaitu, administratif, keuangan, dan medik sebanyak 2664 verifikator untuk satu kabupaten/kota tujuh tim. Jamkesmas langsung ditransfer dari Kantor Pusat Kas Negara (KPKN) ke rekening setiap rumah sakit (Askeskin via PT. Askes ke RS). Kita doakan agar PT Askes Dr Gede Subawa dengan pembayaran 2204 karyawan + 1825 tenaga kerja terbatas, 12 kepala regional, 91 kantor cabang, 204 Askes kabupaten/kota, akan sukses dan menjadi asuransi terbesar di Indonesia tercapai (seperti yang diharapkan oleh Menteri BUMN). Tentu apalagi jika pegawai-pegawai BUMN menjadi nasabah Askes sudah harus dipikirkan Askes menjadi satu departemen, juga langsung dibawahi oleh presiden.
(Salam hormat untuk Ibu Orie yang memimpin Askes dua periode dengan prestasi dan wellcome Bpk Gede Subawa menjadikan Askes ‘The Best of The Best’ di Indonesia. (#)

*Forum Peduli Askes Manado, Ketua Forum Buku, Dosen S3

24 Maret 2008

Usaha-Usaha Untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender

Oleh Dra Altje R Sangian MSi*

KESETARAAN gender adalah sebuah frase (istilah) yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Oleh karena, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan dan pemberdayaan perempuan dalam segi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Persoalan perempuan memang dapat mengundang simpati yang cukup besar dari masyarakat luas karena permasalahan keadilan sosial dalam arti yang lebih luas yaitu isu-isu yang berkisar dari masalah kesenjangan orang kaya dan orang miskin, sampai dengan ketimpangan ekonomi antara negara yang kaya dan miskin. Namun di sisi lain, kesetaraan gender juga dapat mengundang rasa ambivalensi, bahkan rasa antipati baik dalam kelompok aktivis perempuan sendiri, juga dari masyarakat umum. Bagi mereka yang mempunyai rasa ambivalensi terhadap konsep kesetaraan gender, biasanya disebabkan oleh terbatasnya pengertian mereka atau konsep kesetaraan itu sendiri.
Apakah pria dan wanita memang betul-betul harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan?
Konsep kesetaraan gender memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan kontroversial. Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai apa yang disebut kesetaraan antara pria dan wanita. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, yang tentunya juga masih belum jelas artinya. Juga diartikan bahwa wanita mempunyai hak yang sama dengan pria dalam aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing. Apa perbedaan kodrat tidak mengimplikasikan perilaku dan peran antara pria dan wanita?
Perempuan adalah sumberdaya manusia yang jumlahnya besar, bahkan di seluruh dunia jumlahnya melebihi pria. Akan tetapi, jumlah wanita yang berpartisipasi di sektor publik selalu berada jauh di bawah pria, terutama dalam bidang politik. Lebih rendahnya peran perempuan di sektor publik ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara-negara maju. Oleh karena itu agen feminis mainstream, semenjak awal abad hingga sekarang adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah.
Untuk mewujudkan kesetaraan seperti ini, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature, atau genetis. Pada feminis begitu yakin dapat mewujudkan melalui perubahan budaya, legislatif, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. Maka berkembanglah teori-teori feminisme termasuk praksisnya, bagaimana mengubah semua image wanita yang berkaitan dengan sifat-sifat feminim yaitu pengasuh, keibuan, lembut dan sebagainya. Walaupun sekarang sudah banyak para wanita yang berkiprah di sektor-sektor yang didominasi oleh kaum pria yang di situ figur dominan wanita di mana saja masih tetap sama dengan zaman paleolitik yaitu sebagai ibu dan pengasuh dan anak-anaknya, tetapi sayang perjuangan feminis tampaknya belum membuahkan hasil. Figur dominan wanita inilah yang dianggap sebagai kendala besar bagi terwujudnya kesetaraan gender.
Ada suatu paradigma sosial konflik yang dikembangkan oleh Marx adalah satu-satunya teori yang membahas secara terperinci, termasuk praksis-praksisnya, bagaimana menghilangkan segala ketimpangan sosial yang ada, termasuk ketimpangan gender, paradigma Marxis selalu melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama yang harus dihilangkan atau diperkecilkan peranannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan lainnya yang kekiri-kirian yaitu bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui penyadaran bagi tertindas, pemberdayaan kaum tertindas, perubahan struktural atau revolusi, penyebaran isu-isu anti kemapanan atau antikaum borjuis.
Istilah-istilah baku tersebut dalam era reformasi ini semakin populer saja, terutama di kalangan generasi muda memposisikan diri sebagai pembela kaum lemah, termasuk kaum perempuan yang menurut feminis adalah kaum tertindas, adalah bagus sekali. Secara etika moral dan agama kita memang dianjurkan untuk selalu membantu kaum lemah. Namun yang jadi masalah adalah paradigma yang melatarbelakangi kepedulian ini sering tidak dipahami dengan jelas, sehingga kadangkala generasi muda yang tidak paham, dengan mudah dijadikan alat propaganda untuk mencapai tujuan politis golongan tertentu.
Dalam bertindak kita selalu memikirkan segala sesuatu secara kritis dan mendalam sebelum melakukan sehingga tidak mudah terprovokasi atau diperalat. Kemampuan berpikir secara mendalam ini tentunya memerlukan bekal teori dan pengetahuan yang multiperspektif, sehingga mampu melihat suatu fenomena dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian kita dapat meletakan segalanya secara proporsional.
Institusi keluarga yang sehat adalah salah satu wadah yang paling efektif untuk menciptakan individu-individu yang bermoral di mana para anggotanya belajar untuk saling menghormati, melindungi, dan penuh kasih sayang, walaupun peran dan status para anggotanya berbeda-beda. Dengan kualitas individu yang seperti ini kepedulian kepada yang lemah pasti terwujud yaitu kepedulian yang berasal dari cinta kasih.
Penulis bertujuan mengajak para pembaca untuk sama-sama berpikir dan menganalisis berbagai sudut pandang mengenai relasi gender, serta mencari alternatif konsep kesetaraan gender yang dapat mewujudkan relasi gender yang harmonis, bukan relasi yang justru menimbulkan antagonisme dan perpecahan.#

* Dosen Fatek Unima

Bagaimana Nagano Menggaet Investor

Oleh Idrus Mamonto

NAGANO adalah sebuah kota prefecture di pedalaman Jepang Tengah yang berbatasan dengan Gifu, Toyama, dan Niigata di utaranya dan Aichi prefecture di selatannya. Sebagai sebuah prefecture tadinya Nagano tergolong miskin karena tidak punya SDM dan SDA yang memadai untuk membangun dirinya dan berkembang seperti prefecture Aichi yang kaya raya. Peta masalahnya menunjukkan bahwa Nagano terpuruk disebabkan oleh tidak adanya program yang tepat dan komprehensif untuk membangun dirinya. Ada tiga permasalahan besar yang dihadapi oleh provinsi ini, yakni tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyatnya terutama para pemuda pencari kerja, income perkapita yang sangat rendah dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Generasi muda yang berpendidikan beremigrasi ke lain prefecture untuk mencari pekerjaan. Sehingga yang tersisa adalah generasi tua yang sudah tidak produktif lagi. Kalau ini berlarut maka Nagano akan underdeveloped seumur hidupnya. Diperparah oleh kekurangan infrastruktur adalah masalah yang lain lagi yang dihadapi pemerintah Nagano, bagaimana arus barang keluar masuk jika prasarana perhubungannya seperti itu. Belum lagi iklim musim dinginnya yang sangat ekstrim. Jika musim dingin ketebalan saljunya dapat mencapai tiga meter, sehingga Danau Suwa yang berada di Nagano dapat digunakan untuk berselancar es. Turis memang mau dengan es setebal itu tapi investor berpikir pun mereka tidak.
Penduduk Nagano amat prihatin dengan keadaan seperti itu yang amat berbeda dengan Aichi prefecture dan Kanzai Area (Kyoto, Osaka, Kobe) yang kaya raya. Patut diingat bahwa Jepang sebelum perang dunia kedua yang dicetuskannya bersama Jerman sudah merupakan negara industri maju yang bahkan sudah membuat kapal induk, pesawat tempur dan lain-lain sebagai buah manis dari restorasi Meiji yang dimulai pada abad ke 19. Mereka kembali berkembang pesat satu dekade setelah perang Pasifik yang meluluhlantakkan Jepang dengan pelbagai infrastrukturnya, kecuali otak. Orang Jepang mengatakan bahwa satu-satunya bangsa di dunia yang hancur oleh nuklir hanya Jepang. Mereka berkata begitu tapi kini mereka memiliki reaktor nuklir pembangkit listrik lebih dari empatpuluhan.
Nah kembali ke soal Nagano, pemerintah dan rakyat Nagano berpikir ke depan dan tidak ingin meratapi nasib yang katanya no use dan bukan solusi. Mereka bertekad untuk keluar dari keterpurukan ini dengan semangat bushido. Mereka percaya bahwa setiap masalah ada solusinya, dan kalau prefecture lain bisa kita juga bisa. Dari hasil pengamatan yang dilakukan berkembangnya daerah tetangga seperti Aichi dan Kanzai bak sputnik oleh karena mereka memproduksi barang berorientasi ekspor yang berkualitas dan memiliki daya saing. Mengenai daya saing ini pada umumnya para industriawan di Jepang berprinsip “always watching competitor, perfect product, zero defect, always looks future, keep high quality and best brand image”.
Dengan industri berorientasi ekspor dan berdaya saing tinggi maka industri di Jepang berhasil meraup devisa ratusan miliar dolar pertahunnya bahkan mereka memiliki surplus perdagangan lebih dari seratus miliar US dolar pertahunnya dengan Paman Sam. Mereka bertekad untuk mengalahkan negeri yang pernah mengalahkan mereka pada perang dunia kedua itu. Lucunya setiap anak muda di Jepang kejangkitan American dream, mereka merasa belum lengkap atau belum berkualitas kalau belum melanjutkan studi ke US (mereka menyebut Amerika US saja).
Kembali ke laptop, para brain team Nagano pun bekerja keras melakukan pelbagai riset, studi, survey untuk menemukan penyakit apa yang diidap Nagano dan obat atau solusi apa yang tepat. Dari berbagai upaya itu mereka menemukan bahwa Nagano dengan iklim ekstrim ternyata cocok untuk high presicion industry atau industri presisi tinggi terutama elektronik seperti kamera, handycam, komputer, jam tangan digital dan berbagai produk digital lainnya. Dari hasil studi ditemukan bahwa iklim Nagano menurunkan tingkat keausan mesin-mesin industri dan menjaga tenaga kerja tidak cepat lelah dan tingkat produktifitas lebih tinggi. Cukupkah menarik investor dengan hasil studi? No, itu saja belum cukup, harus dipahami bahwa investor adalah pemilik modal yang ingin diperlakukan sebagai VVIP dan mereka berhak untuk segala keistimewaan yang mereka sanggup bayar dan tak peduli berapapun harganya. Jadi tidak cukup kita membawa-bawa hasil studi, proposal atau apapun namanya sambil mencari investor. Anda akan dicueki, lihat saja berapa banyak tim dari daerah ini ke Jakarta atau bahkan keluar negeri untuk menggaet investor, tapi tak kunjung kegaet, itu lebih disebabkan ketidaktahuan, ketidakmampuan dan atau ketiadaan strategi bagaimana harusnya berbuat untuk tidak sekadar menghamburkan biaya.
Langkah berikutnya pemerintah Nagano menyiapkan infrastruktur mulai dari highway, railway bahkan bandara internasional yang dapat menghubungkan Nagano ke mancanegara. Cukupkah itu? Hmmmm ternyata belum men, masih ada yang perlu dipersiapkan yaitu lokasi. Maka lahan sekitar Danau Suwa pun disulap jadi kawasan industri siap bangun lengkap dengan berbagai fasilitas. Mulai dari jalan akses ke semua jurusan, listrik berapapun power yang dibutuhkan, jaringan air minum (air siap minum tanpa dimasak), pipa gas dan telekomunikasi. Ketika berada di Nagano mereka memperlihatkan kemampuan akses komunikasinya ke mancanegara bahkan untuk mengetahui cuaca di Sulut ketika diakses saat itu juga terlihat di layar komputer sedang hujan.
Jadi demikian pesatnya perkembangan Nagano dalam mempersiapkan kotanya bagi para tuan besar investor. Mereka berlaku seolah pelayan yang sopan dan mampu memenuhi hajat hidup para tuan besar investor. Begitulah kira-kira tamsilnya bahwa kita adalah pelayan sementara investor adalah raja. Kalau kita yang raja dan investor adalah hamba maka sampai kiamatpun, kita tak akan dilirik oleh mereka. Itu sudah hukum alam, yang berduit yang di atas.
Dengan segala persiapan seperti itu apakah investor datang berbondong-bondong? Belum mister, masih ada lagi upaya yang harus dilakukan, yakni langkah-langkah untuk meyakinkan para bos sogho sosha agar tertarik untuk berinvestasi. Untuk mengundang mereka saja agar mau datang adalah pekerjaan berat. Yang jelas, hasil studi ok, infrastruktur ok, lokasi ok, kemudian prosedur investasi dan sebagainya ok! Pemerintah Nagano bertindak praktis dengan membebaskan semua tetek bengek administrasi yang menghambat. Faktor pendorong dipush sedang faktor penghambat dieliminir.
Selanjutnya diadakanlah road show jemput bola ke para sogo sosha dan ini menuai sukses karena sikap orang Jepang pada dasarnya berprinsip “hidup bersama atau mati bersama”. Para pemilik modal bersedia untuk invest di Nagano yang penting segala keperluan sarana dan prasarana investasi sudah siap. Sebagaimana komitmen semula karena kemudian berdatangan ke Nagano untuk berinvestasi terutama di lokasi sekitar Danau Suwa yang memang amat menarik dengan panorama alamnya. Alhasil sekitar Danau Suwa pun dipenuhi industri terutama elektronik yang sekaligus menyulap Danau Suwa menjadi resort wisata. Dan beberapa tahun kemudian Nagano menjadi pendatang baru sebagai prefecture yang kaya di Jepang.
Jadi pemerintah Nagano secara piawai mengembangkan industri sekaligus mengubah lansekap Danau Suwa yang semula dingin beku menjadi hangat sepanjang tahun, karena banyaknya turis. Dan industri tidak perlu disembunyikan karena persaingan dewasa ini bukan lagi pada sekadar tiru-meniru produk tapi bagaimana kecanggihan produk dengan berbagai fitur tambahan setiap saat.
Jepang juga piawai dalam inovasi salah satunya adalah menjadikan industri sebagai objek wisata. Seperti pabrik mobil Toyota misalnya telah menjadikan dirinya objek kunjungan turis. Rata-rata perhari 9-10 ribu turis berkunjung ke Toyota city. Mereka menyediakan guide cewek muda-muda berseragam merah-merah kebanggaan Toyota penuh senyum wellcome dan siap menjawab pertanyaan secara profesional dan akan memandu Anda berkeliling melalui jalur khusus di loteng yang dapat memandang ke seluruh ruangan bawah apa saja proses yang sedang berlangsung di dalam pabrik tersebut.
Akhirnya bagi yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Jepang silakan tour ke Jepang asal kantong Anda tebal, sebab meskipun dolar jatuh, nilai yen naik terus terhadap dolar. Data statistik menunjukkan nilai yen terhadap US dolar dari tahun ke tahun menanjak terus. Kalau pada 1980-an 270 yen satu USD, maka pada 2008 81 yen per 1 USD. Tiket shinkanzen (kereta peluru) dari Tokyo ke Nagoya misalnya 90.000 yen atau sekitar 7,2 juta rupiah.
Semoga tulisan singkat ini dapat berguna bagi para pencari investor untuk mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum mengundang mereka ke sini. Mereka harus diundang karena kita yang butuh mereka sebab kalau tidak diundang mereka tidak akan datang, dan mereka tidak butuh kita. Oke? Domo arigato gozaimasu.#

* Alumnus SSIP Course Nagoya International Training Center Jepang 1987; Mantan: Kadis Perindag Sangihe 2000-2004, Kabid ILMK Kanwil Perindag Sulut 1996-2000, Kakandep Perindustrian Kodya Gorontalo 1985-1992, alumnus SPAMA Jakarta 1996, alumnus SPAMEN Makassar 2002.

17 Maret 2008

Pesona Atraksi Wisata Tarian Minahasa

Menunjang Pelaksanaan WOC 2009

Oleh Jimi Pinangkaan SE MSi*

MINAHASA dikenal tidak hanya memiliki pemandangan yang eksotis dengan danau, pegunungan dan pantai menjadikan Minahasa menjadi salah satu destinasi yang sangat menarik bagi wisatawan untuk berkunjung dalam rangka tamasya atau bisnis, namun tanah Toar Lumimuut menyimpan beragam budaya yang memiliki nilai jual yang tinggi, peninggalan seni dan budaya yang dipadukan dalam seni tari menghasilkan berbagai tarian tradisional dan kreasi Minahasa yang menarik untuk ditonton. Dalam rangka “World Ocean Conference (WOC) 2009” di Manado, pesona yang ditawarkan tarian Minahasa sangat menjanjikan. Daya tarik wisata tarian Minahasa mampu menarik wisatawan mancanegara maupun nusantara untuk datang mengenal dan menikmati berbagai objek wisata dan fasilitas penunjang pariwisata di daerah ini, hingga wisatawan dapat tinggal lebih lama di daerah Nyiur Melambai. Pendapatan Asli Daerah meningkat dan sanggup memberikan dampak domino terhadap berbagai sektor di Sulawesi Utara.
Dari tahun ke tahun perkembangan tarian di Minahasa mengalami perkembangan yang luar biasa di bawah kepemimpinan Bupati Minahasa Drs S Vreeke Runtu, Maengket yang merupakan tari tradisional Minahasa dari zaman dahulu kala sampai saat ini masih berkembang. Tari ini sudah ada di tanah Minahasa sejak rakyat Minahasa mengenal pertanian terutama saat menanam padi di ladang. Kalau dahulu nenek moyang Minahasa memainkan tarian ini pada waktu panen padi dengan gerakan-gerakan yang hanya sederhana, namun sekarang tarian Maengket telah berkembang teristimewa bentuk dan tarinya tanpa meninggalkan keasliannya terutama syair/sastra lagunya. Tari Maengket adalah perpaduan gerak tari dan nyanyian yang saat ini kian populer bagi Tou Minahasa dari anak-anak hingga dewasa. Tarian yang terdiri dari tiga babak yaitu; Maoweykamberu, Marambak dan Lalayaan saat ini selalu menjadi bagian dalam suatu rangkaian kegiatan yang dilaksanakan, sepertinya sudah menjadi keharusan dalam suatu acara atau ceremonial tertentu atau bagaikan masakan tanpa garam apabila tidak diwarnai dengan pertunjukan tarian daerah Minahasa.
Sesuatu yang sangat menggembirakan sebab sekian banyak sanggar seni yang ada bisa merasakan permintaan yang tinggi untuk mengadakan pentas tari-tarian Minahasa, dahulu mereka hanya merasakan nilai ekonomis yang kurang pantas terhadap atraksi yang mereka suguhkan namun seiring dengan peningkatan pertunjukan kesenian ditandai dengan permintaan yang tinggi maka otomatis hukum ekonomi berlaku kepada para pelaku seni, benar-benar saat ini mereka mulai merasakan apresiasi yang tinggi terhadap upaya untuk melestarikan budaya Minahasa melalui pembentukan sanggar-sanggar kesenian, nilai rupiah dari setiap tarian yang dipentaskan dapat dirasakan oleh semua komponen sanggar dari pelatih, pemain musik dan para penari tentunya, hal ini tentu sangat menunjang agenda internasional WOC 2009 di mana para participants dan pendukung acara akbar ini akan datang dari berbagai penjuru dunia dan mereka haus akan berbagai atraksi wisata, dan di antaranya adalah tarian Minahasa. Suatu pertanyaan yang besar yakni siapkah para pelaku seni yang ada di daerah ini menampilkan sesuatu yang attracted sehingga dapat memberikan kesan yang dalam terhadap tarian Minahasa? Sehingga siapa saja yang menonton dan merasa puas pasti akan memberi tahu tentang Sulawesi Utara lebih dari satu orang. Sejauh ini berbagai upaya pengelolaan kelompok-kelompok kesenian kian professional, ini ditandai dengan pentas kesenian Minahasa yang dilaksanakan tidak hanya di daerah namun di wilayah nusantara, bahkan ke luar negeri, hal ini juga ditunjang oleh pemerintah, ini menunjukkan adanya trend peningkatan yang signifikan. Peran pihak swasta dan perorangan yang akhir-akhir ini gencar mengadakan berbagai lomba, pelatihan, pertunjukan dalam berbagai variasi bentuk kegiatannya, tentunya hal ini diupayakan guna pelestarian budaya yang saat ini semakin terkikis dengan pengaruh globalisasi.
Beberapa tim kesenian yang ada di Sulawesi Utara bahkan mengharumkan Sulawesi Utara melalui pergelaran kesenian tarian Minahasa, di antaranya yang dilakukan oleh Tim Kesenian Ikatan Waraney Wulan Minahasa bersama Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, Drs SH Sarundajang, yang tampil memukau pada Gala Dinner Coral Triangle Inisiative (CTI) Melia Hotel, Nusa Dua Bali, pada 6 Desember 2007 dan selanjutnya pentas kepada peserta UNFCCC 7 Desember 2007, Tim Kesenian IWWM mendapat kehormatan tampil mempesona di panggung utama tempat penyelenggaraan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change) UNFCCC, Plaza Westin Hotel Nusa Dua Bali. Pergelaran kesenian Minahasa ini menyedot perhatian ratusan peserta Conference of Parties (CoP) ke-13 di Bali. Banyak yang berdiri memotret, mengambil gambar dan beberapa kali memberi applaus.
Pesona tarian tradisional kreasi di Minahasa di antaranya adalah tari Lenso, tari ini merupakan tari pergaulan muda-mudi rakyat Minahasa. Tarian ini menceritakan bagaimana seorang pemuda Minahasa mencari jodohnya atau calon istri. Dalam tarian ini, yang menjadi perantara adalah lenso atau selendang. Pada saat si pemuda mau melamar sang gadis dengan memberikan lenso atau selendang pada sang gadis. Apabila lenso atau selendang di buang oleh sang gadis berarti lamarannya ditolak, sebaliknya jika lenso atau selendang diterima oleh sang gadis berarti cintanya diterima. Selain itu ada juga tari Katrili yang menurut legenda rakyat Minahasa, adalah salah satu tari yang dibawa oleh Bangsa Spanyol pada waktu mereka datang dengan maksud untuk membeli hasil bumi yang ada di tanah Minahasa. Karena mendapatkan hasil yang banyak, mereka menari-nari tarian Katrili. Lama-kelamaan mereka mengundang seluruh rakyat Minahasa yang akan menjual hasil bumi mereka dengan menari bersama-sama sambil mengikuti irama musik dan aba-aba. Ternyata tarian ini boleh juga dibawakan pada waktu acara pesta perkawinan di tanah Minahasa. Sekembalinya Bangsa Spanyol ke negaranya dengan membawa hasil bumi yang dibeli di Minahasa, maka tarian ini sudah mulai digemari rakyat Minahasa pada umumnya. Tari Katrili termasuk tari modern yang sifatnya kerakyatan, setiap wisatawan nusantara maupun mancanegara yang berkunjung ke Sulawesi Utara seringkali disuguhi tarian ini dan berpartisipasi menari bersama para penari Katrili, selain tarian di atas ada sekian banyak tari tradisional Minahasa maupun kreasi lainnya, di Tim Kesenian Ikatan Waraney Wulan Minahasa memiliki koleksi sekitar 20 jenis tarian Minahasa.
Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management 11th Edition memperkenalkan seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan dalam hal ini kepada para pelaku seni untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran yakni “Bauran pemasaran” Marketing Mix, McCarthy mengklasifikasikan alat-alat itu menjadi empat kelompok yang luas yang disebut 4P dalam pemasaran: Produk (Product), Harga (Price), Tempat (Place) dan Promosi (Promotion). Untuk menjadikan atraksi tarian marketable para pelaku seni tari dapat menggunakan strategi bauran pemasaran ini, produk dalam bentuk tarian harus memiliki keragaman tarian, kualitas, design, bagaimana tarian dikemas semenarik mungkin, dan variabel lainnya. Harga yang kompetitif dan menekan cost namun tetap profitable. Dari segi tempat, pemerintah sangat diharapkan mempersiapkan tempat-tempat pergelaran kesenian yang representatif dan lokasi yang strategis mempermudah wisatawan nusantara dan mancanegara untuk menonton. Dan tentunya promosi harus ditingkatkan melalui berbagai media baik cetak, elektronik dan periklanan, bahkan pemasaran langsung (direct marketing) strategi promosi ini sangat efektif karena langsung memperkenalkan Sulawesi Utara melalui pergelaran kesenian Minahasa di nusantara maupun mancanegara, ketika orang tertarik menikmati pertunjukan kesenian, diharapkan mereka akan berkunjung ke Sulawesi Utara untuk berwisata atau berbisnis, pesona tarian Minahasa ini dapat menjadi trigger orang mengunjungi Sulawesi Utara, sehingga length of stay meningkat, lebih banyak uang tertinggal di Sulawesi Utara, untuk itu diharapkan profesionalitas semua sanggar/tim kesenian di Sulawesi Utara untuk menebar pesona atraksi wisata melalui tarian Minahasa guna menunjang pelaksanaan WOC 2009.(#/*)

*Pegawai Dinas Pariwisata & Budaya Kabupaten Minahasa dan Sekretaris Ikatan Waraney Wulan Minahasa

15 Maret 2008

Ayat-Ayat Cinta

Oleh dr Taufiq Pasiak

SAYA bukan seorang pemuja cinta, apalagi cinta birahi. Namun, 3 hari lalu, atas desakan 2 anak saya, kami bertiga menonton film ayat-ayat cinta. Meskipun menonton film adalah salah satu hobi kami yang penting, tetapi itu lebih banyak dilakukan di rumah (kami punya kurang lebih 300 koleksi film box office, pemenang Oscar, dan peraih penghargaan lain, yang pernah dibuat di dunia). Menonton film bukan saja mengasyikan karena kita melihat kolaborasi yang hebat antara kepiawaian memilih kata, setting dan karakter yang sangat beragam, alur cerita yang mempesona, dan permainan teknologi yang canggih, tetapi juga menonton film merupakan salah satu cara mengayakan hati. Jika Anda pernah menonton film In the Spirit of the House, yang salah satu pemainnya adalah Meryl Streep, jiwa Anda akan menjadi lebih kaya karena melihat betapa cinta bukan satu-satunya varian penentu kehidupan seseorang. Seringkali terjadi, pilihan politik mengalahkan cinta yang setulus-tulusnya. Jika Anda menonton film the Legend of the Fall Anda akan mendapati kisah bahwa cinta tidak sama dengan memiliki ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Memiliki seseorang tidak lantas juga berarti memiliki cinta. Jika Anda menonton film the Pursuit of Happines Anda akan melihat bahwa mendapatkan cinta yang sesungguhnya membutuhkan pengorbanan yang tak kecil. Jika Anda menonton film Run dari Akira Kuroshawa Anda akan melihat bahwa –sekali lagi– politik dan kekuasaan dapat mengalahkan cinta dan persaudaraan sedarah. Demikian halnya jika Anda mencermati dengan seksama film-film Hero, Fearless, Romeo must Die, once upon a time China, the Master, Swordsman dan lain-lain, yang umumnya dimainkan Jet Li, Anda akan mendapati bahwa cinta memiliki fondasi yang luhur tentang makna kehidupan. Jika Anda tak memiliki ilmu membaca kehidupan, Anda tak akan memiliki cinta yang sebenarnya. Atau, jika Anda sudah menonton film Romeo and Juliet atau Hotel Rwanda, Anda akan melihat bahwa cinta dapat mengalahkan rintangan apapun. Cinta juga mengatasi perbedaan status sosial dan ekonomi. Cinta memberikan nuansa pada hal-hal yang kita yakini sebagai kemanusiaan. Dan ketika saya menonton film ayat-ayat cinta –meskipun tak seindah novelnya– saya menyadari bahwa –sekali lagi– cinta tak berarti memiliki, cinta mengatasi keberadaan fisik, cinta membumikan semangat persaudaraan dan cinta memiliki tempat berlabuhnya yang pasti. Sialnya, cinta bisa membuat seseorang menjadi gila!
Saya juga punya kisah yang lebih faktual dan nyata, lebih dari sekadar kisah film, tentang makna sebuah cinta. 2 pasang suami istri kenalan baik saya meninggal secara berurutan, dengan jarak waktu yang pendek, ketika salah seorang di antara mereka meninggal. Ketika sang suami meninggal, maka tak lama kemudian istrinya menyusul. Ketika sang istri meninggal, tak lama kemudian sang suami menyusul. Dengan mata kepala saya sendiri saya sudah menyaksikan bahwa ketika salah satu pasangan mereka meninggal dunia, maka istri atau suami yang ditinggalkan perlahan, tapi pasti, mengalami depresi dan tekanan mental yang makin hari makin memperburuk kesehatannya, dan akhirnya meninggal. Mereka (mungkin) memaknai cinta sebagai penyatuan diri sehidup semati. Mereka juga mungkin mengartikan cinta sebagai kepemilikan yang tak bisa dipindahtangankan, dengan alasan apapun juga. Di tempat lain, saya mendapati kisah bahwa cinta romantis tidak akan pernah hilang karena berlalunya waktu. Seorang kakek 65 dan seorang nenek berusia 62 tahun bertahan hidup serumah selama 45 tahun pernikahan, meskipun hidup susah dan selalu kekurangan, dapat bertahan karena cinta yang tumbuh dalam hati mereka tidak pernah surut. Bahkan makin mekar sejalan dengan bertambahnya usia. Saya pikir ada banyak kisah lain yang lebih hebat melukiskan betapa cinta merupakan energi kehidupan.
JENIS CINTA APAKAH YANG ANDA MILIKI?
Kawan saya, seorang lelaki playboy kampungan, mendefenisikan cinta sebagai ‘memiliki dan menjadi’ (mungkin ia pernah membawa buku Erich From, to Have and to Be). Ia memaksudkan defenisi itu sebagai; “ketika Anda bertemu seorang perempuan, maka milikilah dia segera. Tangkap semua tubuhnya, dan jadikan ia sebagai milik pribadi. Seketika itu Anda dapat menjadikannya apa saja. Mungkin sebagai game, toys atau apa saja yang Anda suka”. “Wow, ini defenisi kasar, lucu dan sedikit porno,” kata saya padanya. Namun, dalam beberapa hal, saya pikir, ia benar. Mengutip Helen Fisher (2004) dari Universitas Rutgers, New Jersey yang puluhan tahun meneliti tentang kimia cinta, ia membagi cinta dalam 3 fase atau manifestasi; birahi (lust), romantisme (romance) dan keterikatan (attachment). Ketiganya menggunakan jalur saraf dan zat kimia yang berbeda di otak Anda.
Nafsu-Birahi (The Lust)
Jika Anda bertemu dengan seorang perempuan yang secara fisik menarik (mungkin wajahnya cantik, atau body-nya yahud), lalu ada keinginan untuk bersama (memeluk, mencium, atau sejenisnya), maka Anda sedang berada pada fase pertama cinta; fase birahi. Anda sedang bernafsu dan terangsang secara seksual. Perasaan cinta ini bersifat sejenak dan sementara. Setelah puas dan bosan terhadap si dia, maka Anda mengalami rasa bosan yang menetap. Tanpa sadar, kebanyak ABG berada pada fase ini. Tidak usah heran kalau hubungan seks di luar nikah menjadi bumbu dari fase birahi ini. Pernahkah Anda melihat monyet atau gorila yang sedang birahi? Begitulah Anda dan saya ketika berada pada fase birahi, tetapi mungkin kita sedikit lebih ‘beradab’. Cinta birahi akan cepat berakhir karena zat kimia untuk itu cepat pula hilang. Jika Anda mencintai seseorang karena faktor-faktor fisik, maka sekali waktu Anda pasti kecewa.
Romantisme-Asmara (The Romance)
Jika Anda melihat seorang perempuan, melewati nafsu birahi Anda, yang membuat Anda terbayang-bayang. Perhatian Anda tercurah pada dirinya yang membuat Anda kehilangan selera melakukan hal lain. Seperti kata sebuah lagu romantis tempo dulu; “di mana-mana ada kamu. Di dada ada kamu. Di bibir ada kamu. Di jendela ada kamu. Di kamar ada kamu”. Ketika Anda mengalami ini –laiknya orang buta warna yang hanya mampu melihat satu warna saja– maka itu artinya Anda sedang berada pada fase kedua; fase romantisme. Artinya, Anda sedang dirundung asmara. Kata orang, Anda sedang jatuh cinta. Ketika Anda berada pada fase ini –seperti dulu saya alami ketika pertama memacari istri saya– dunia menjadi sangat indah. Saya terjaga sepanjang waktu, memikirkan dan seolah-olah melihatnya di atas bulan-bulan dan bintang gemintang. Saya seolah kehilangan akal sehat dan merasa enjoy setiap mengingat pengalaman yang dilalui. Saya mengalami, seperti diungkapkan penyanyi Gombloh; “ketika cinta melekat, tahi kucing rasa coklat”. Jika ketika itu otak saya diperiksa dengan alat MRI, maka akan terlihat jelas nucleus accumbens, nucleus caudatus dan Area Ventralis Tegmenti, yang berada di tengah otak saya, menyala dengan tajam. Seketika zat kimia bernama Dopamin dilepaskan, memancar ke mana-mana.
Saya tidak heran ketika teman saya rela mendaki tebing terjal, licin, dan jauh dari keramaian, hanya untuk menemui pacarnya. 3 kali seminggu ia mendaki bukit terjal itu, tanpa merasa lelah, padahal saya tahu betul ia tak pernah berolahraga, apalagi mendaki. Nucleus caudatus, nucleus accumbens dan VTA-lah yang membuat ia begitu. Cinta telah membuat tumbuhnya perasaan tak kenal lelah dan siap berkorban. Aktivasi pada daerah otak ini pula yang membuat sepasang kakek nenek menikah lagi pada usia 60-an tahun setelah lebih dari 30 tahun tak bertemu. Ketika muda mereka berpacaran dengan hebatnya sampai si lelaki harus ke luar daerah untuk bekerja. Dan pada usia senja –ketika masing-masing sudah memiliki anak dan selusin cucu– mereka memadu lagi cinta yang putus.
Cinta romantis –jika memiliki objek yang lebih dari sekadar kekasih– juga dapat membawa Anda pada suatu pencerahan jiwa, yang disebut sebagai self Transendensi. Transendensi diri dicirikan oleh 3 hal; 1) self forgetfullness (Anda mengalami perasaan ‘kehilangan’ atau ‘kelupaan’ diri. Otak belakang Anda yang berfungsi mendeteksi lingkungan tidak berfungsi optimal), 2) transpersonal identification (suatu perasaan ‘menyatu’ dengan dunia. Anda kehilangan diri Anda secara subjektif. Yang ada hanyalah dunia yang satu di mana Anda lebur di dalamnya. Para mistikus menyebut keadaan ini awal dari suatu keadaan fana dan 3) mysticism (suatu keadaan penyatuan yang paling tinggi, suatu union mystica dalam istilah kristiani, atau nirvana dalam istilah Hindu). Dan tahukah Anda bahwa transendensi diri dan cinta romantis diatur oleh bagian otak yang sama dan menggunakan transmiter saraf yang sama? Cinta romantis pada pasangan Anda dapat membawa Anda pada suatu keadaan spiritual yang mantap. Tidak usah heran, dalam satu sisi, cinta romantis sedikit mirip dengan keadaan obsesif-kompulsif, sebuah gangguan jiwa. Jika Anda tak bisa mengontrol cinta romantis Anda, maka sesungguhnya Anda sedang menderita sakit jiwa.
Cinta yang menyatukan (the attachment).
Jika 2 fase di atas dimainkan oleh zat kimia dopamin, epinefrin, serotonin dan endorfin, maka fase ketiga dimainkan terutama oleh oksitoksin dan vasopresi. Zat ini yang dilepas ketika munculnya keterikatan, seperti ketika si bayi menyusui tetek ibunya. Diproduksi oleh hipotalamus dan gonad pada kedua jenis kelamin dan memberikan rasa tenang, damai dan sentosa. Karena itu, kedua zat ini sering disebut ‘hormon-hormon kepuasan’ atau ‘hormon pengasuhan’. Oksitoksin menyebabkan perasaan menyatu dan terikat pada perempuan, sedangkan vasopresin untuk lelaki. Tahukah Anda, hormon ini dilepas ketika sepasang kekasih saling berdekapan? Ketika Anda mendekap pasangan Anda dengan perasaan hangat dan sayang, maka oksitoksin memberikan kenikmatan melebihi kenikmatan birahi yang diberikan oleh dopamin dan endorfin. (Saya menyarankan 2 hal berikut, jika Anda mengalami problem seksual berkaitan dengan orgasme dan birahi: dekaplah pasangan Anda. Akan ada kenikmatan jangka panjang melebihi kenikmatan birahi; Pijat dan eluslah dengan lembut pasangan Anda. Pijatan dengan lembut dapat merangsang pelepasan oksioksin). Sebuah studi menemukan bahwa pada tikus padang rumput dengan tingkat oksitoksin yang sangat tinggi perkawinan hanya terjadi sekali seumur hidup! Ketika para ilmuwan menghambat produksi oksitoksin, maka tikus padang ini tidak lagi monogami. Ia menjadi liar dan berkelana bebas.
Perempuan-perempuan –dalam film Ayat-ayat cinta– mencintai Fachri dengan bentuk cinta romantis dan attachment sekaligus. Cinta merebut hidup mereka dan membawa siksa batin yang sulit diobati.#

14 Maret 2008

Duapuluh Persen Anggaran Pendidikan

Oleh Edwin R CH Moniaga*

……. dalih agar ketentuan 20 persen anggaran pendidikan akan mudah terpenuhi (Tahun 2007 sudah berkisar 18 persen) sungguh merupakan suatu “penyiasatan” konstitusional yang menyesatkan. (Disenting Opinion - Abdul Mukhtie Fadjar)
Menurunnya human development indeks, rendahnya kemampuan membaca, rendahnya produktivitas SDM, tingginya produksi perguruan tinggi yang menganggur, mismatch pendidikan, guru dan dosen yang mangkir dari tugas utamanya sampai pada bangunan sekolah yang rusak merupakan cermin yang kisruh dalam dunia pendidikan Indonesia atau kalau disangkal hal ini merupakan hipotesa menurunnya mutu pendidikan di Indonesia.
Salah satu indikasi dari faktor-faktor tersebut adalah rendahnya pembiayaan pendidikan, data menunjukan perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan seperti yang dikeluarkan UNESCO dan bank dunia/The world Bank (2004): education in Indonesia: managing the transition to decentralization (Indonesia education sector review) volume 2 Indonesia adalah negara terendah dalam pembiayaan pendidikan sekalipun dibandingkan dengan India bahkan Srilangka.
Perubahan UUD 1945 pasal 31 ayat (4) mengatakan: negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dinamika proses pendidikan dalam kebijakan pemerintah menunjukan adanya “noise” yang kuat yaitu:
- Ketika 1997 terjadi krisis moneter dan keuangan maka subsidi pemerintah pada pendidikan terasa sangat rendah sementara keadaan menuntut produksi SDM yang unggul dan kompetitif dalam merespon era globalisasi, salah satu langkah pemerintah dalam menyiasati kekurangan dana yang ada kala itu adalah kebijakan penetapan BHMN pada empat Perguruan Tinggi Negeri (UI, UGM, ITB dan IPB), BHMN ini kemudian berlanjut menjadi BHP yang saat ini sedang digodok dan akan ditetapkan dalam institusi pendidikan baik sekolah swasta maupun negeri.
- Pemerintah hanya mengalokasi anggaran pendidikan APBN 2005 sebesar 8,1 persen dan pada 2006 sebesar 9,1 persen suatu angka yang jauh dari yang diamanatkan oleh konstitusi RI sebesar duapuluh persen. Selain tidak memenuhi persentasi anggaran hal ini juga bertentangan dengan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah 4 Juli 2005 yang menetapkan kenaikan anggaran bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6 persen (2004), 9,29 persen (2005), 12,1 persen (2006) 14,68 persen (2007), 17,40 persen (2008) dan 20,10 persen (2009) .
Pengaruh-pengaruh ini tentunya memunculkan kegelisahan masyarakat bukan hanya pada tataran perwujudan konstitusi Negara Republik Indonesia yang dalam mukadimahnya menyatakan tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa tapi juga penciptaan dan atau pemenuhan keadilan yang merupakan hak setiap warga negara. Cela terhadap tafsir dan uji konstitusipun terbuka dan hal ini dapat dilihat:
- PGRI dan ISPI melakukan proses Judicial Review Undang-Undang APBN 2005 dan 2006 terhadap UUD 1945. Pendapat MK mengabulkan permohonan pemohon lewat keputusan No. 012/PUU-III/2005 tertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa pasal 31 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) atau harus secara konsisten dilaksanakan. Begitu pula keputusan MK No. 011/PUU-III/2005 yang menyatakan pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda dan menyatakan penjelasan pasal 49 ayat (1) UU SISDIKNAS tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Selesai dengan masalah anggaran 20 persen yang harus diwujudkan pemerintah, muncul permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2006 tentang anggaran APBN 2007 dan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS terhadap UUD 1945 oleh Rahmatiah Abbas guru SD di Sulawesi Selatan dan Prof. Dr. Badryah Rifai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar. Persoalannya terletak pada alokasi anggaran duapuluh persen seperti yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (4) harus diartikan bahwa duapuluh persen termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. MK mengabulkan permohonan pemohon dengan alasan anggaran pendidikan saat ini menjadi delapanbelas persen sehingga pemerintah dan DPR hampir dapat mewujudkan amanat kontitusi.
Suatu permasalahan yang muncul adalah apakah Putusan MK soal alokasi duapuluh persen anggaran pendidikan hanya semata-mata untuk mewujudkan aturan atau konstitusi dalam artian positivisme undang-undang (legisme) ataukah apakah putusan MK adalah langkah penciptaan/pemenuhan keadilan bagi pendidik dan peserta didik?
Konstitusi antara Legisme dan Keadilan
Perubahan UUD 1945 pasal 31 ayat (4) ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa dalam praktik penyelenggaraan negara menunjukan kurang dipahaminya pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang pada hakikatnya mengandung prinsip demokrasi pendidikan.
Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan pengujian oleh beberapa pemohon berpijak pada alasan bahwa konstitusi harus dilaksanakan oleh pemerintah tidak menjadi persoalan apakah duapuluh persen anggaran termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan atau tidak, substansial anggaran duapuluh persen sebagaimana yang diamatkan konstitusi harus diwujudkan.
Pola pengambilan keputusan MK terkesan legalistik, dalam teori argumentasi yuridis (legal reasoning) suatu keputusan apalagi menyangkut kepentingan umum haruslah melibatkan interpretasi lainnya dan hal ini diabaikan MK. Guru dan dosen sebagai pendidik harus disinergikan juga kebutuhannya dengan peserta didik.
Apakah adil sekiranya 20 persen tidak termasuk gaji guru dan dosen, bagaimana dengan kesejahteraan guru, apakah kesejahteraan bisa mempengaruhi kinerja dan kualitas guru serta dosen, apakah cukup 20 persen untuk membiayai sarana dan prasarana demi terpenuhinya fasilitas pendidikan dalam rangka menunjang kualitas peserta didik. Negara hukum menurut J Van der Hoeven memprasyaratkan terpenuhinya kebutuhan meteriil minimum bagi kehidupan manusia yang menjamin keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi.
Ketika 20 persen tidak dikaji dengan mempertimbangkan metode interpretasi secara gramatikal, historikal, sistimatikal dan sosiologikal maka suatu keputusan akan sangat positivistik dalam kalimat lain, “yang penting UUD 1945 harus dan atau telah dilaksanakan”. Pemerintah dan pihak yudikatif harus berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan apalagi terkait dengan kepentingan masyarakat yang hakiki seperti pendidikan.
Dalam kasus Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai hakim konstitusi terkesan mendasari keputusannya pada penegakan aturan (legisme) yaitu UUD 1945 hal ini terlihat dalam keputusan MK beserta Disenting Opinion di mana Hakim Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Hakim MK Maruarar Siahaan dan Hakim MK H Harjono ingin mendekatkan anggaran yang ada sekarang yaitu telah mencapai delapanbelas persen dengan duapuluh persen anggaran seperti yang diamanatkan konstitusi atau ketiga hakim ini ingin memperbesar anggaran sedangkan Hakim MK Muktie Fadjar terkesan mempertahankan UUD 1945 dengan memahami duapuluh persen itu tidak termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan. Bahkan menurut hakim ini kedua guru tersebut tidak dirugikan.
Dalam keputusan MK ini tidak terasa suatu pemenuhan kebutuhan kolektif untuk memberikan rasa keadilan sebagai hak asasi manusia. Suatu negara menurut Schindler dan Engels (dikutip oleh B Arief Sidharta) adalah suatu penataan yuridisial, di mana kekuasaan yang terlegitimasi dijalankan untuk mewujudkan cita-cita politik dan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan kolektif. Mark Elliot dalam The Contitusional Fondations of judicial review memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapapun.
Ketika keputusan tidak mempertimbangkan faktor–faktor keadilan dalam masyarakat maka kuat dugaan terjadi dekadensi moral dalam suatu institusi yang diharapkan perannya dalam penegakan aturan maupun keadilan. W Friedman mengatakan bahwa dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang sangat mendasar maka semua nilai-nilai dan asas-asas hukum yang sangat fundamental untuk mewujudkan keadilan justru dapat menjauhkan hukum dari keadilan atau kebutuhan hukum riil dari masyarakat yang sesungguhnya.
Mahkamah Konstitusi selaku pengawal konstitusi selain harus konsisten dengan penegakan aturan (legisme/positivisme) juga harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan kolektif bukan hanya bagi peserta didik tapi juga pada pendidik. Sebelum memutuskan maka MK harus memulai dengan suatu permasalahan yaitu mengapa duapuluh persen alokasi anggaran untuk pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 harus dilaksanakan oleh pemerintah. Begitu pula dengan keputusan MK harus memuat dalil-dalil yang kuat dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang adil dalam dunia pendidikan. John Rawls menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebajikan utama yang harus dipegang teguh sekaligus menjadi semangat dasar dari pelbagai lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Aristoteles dan Plato tidak hanya menyebut keadilan sebagai kebajikan utama tapi keadilan begitu utamanya sehingga di dalam keadilan termuat semua kebajikan. Dengan demikian peserta didik mendapatkan pendidikan bermutu dan guru tidak menjadi tiran.
Ketika suatu keputusan menjiwai keadilan maka kegelisahan dan harapan masyarakat Indonesia termasuk Rahmatiah Abbas guru SD dan Prof. Dr. Badryah Rifai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar sesungguhnya akan dapat dipenuhi serta tidak terjadi penyiasatan yang menyesatkan pada konstitusi Indonesia. Constitutions is not the act of government but the people contituing a government. Ut Omnes Unum Sint
* (Dosen dan Deputi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Unsrat; Alumnus Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

13 Maret 2008

Pilwako Kotamobagu: Pertarungan Dua Pemimpi

Oleh Suyono K Datundugon*

APA bedanya Pemimpi (Pemilik impian) dengan Pemimpi (Pemilik mimpi)? Bukankah penulisan kedua frase tersebut sama? Jawabannya, iya. Namun, dalam hal makna, jelas bahwa kedua frase tersebut sangat jauh berbeda. Tulisan ini bukan sekadar guyonan atau mungkin sensasi bagi pembaca. Tulisan ini juga bukan bermaksud untuk membuat terminologi baru. Tulisan ini dibuat untuk merangkai kalimat yang memiliki benang merah dengan pemimpin dalam kaitannya dengan pemilihan walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu. Pemimpi adalah salah satu prasyarat untuk menjadi pemimpin. Dan pemimpin harus berangkat dari seorang pemimpi. Itulah benang merahnya.
Di dalam setiap komunitas, selalu ada yang namanya pemimpin. Baik secara alami maupun rekayasa. Entah itu komunitas legal maupun illegal. Lihatlah komunitas semut, lebah, monyet dan sebagainya. Pemimpinnya secara alamiah adalah yang ukuran anatomi tubuhnya lebih besar atau di atas rata-rata. Tanpa melalui proses Pilkada/Pilwako/Pilsung dan sebagainya, otomatis jadilah ia pemimpin. Bagi komunitas ini (semut, lebah dan sebagainya) yang memiliki anatomi yang besar, memang secara alamiah dilahirkan untuk jadi pemimpin. Lihat pula para gank, mafia, penyelundup kayu, pasti ada pemimpinnya (minimal mem-back-up). Demikian pula dalam keluarga, desa, negara. Bedanya, di kalangan monyet misalnya, sebagai makhluk yang berperadaban rendah, tidak ada proses pemilihan oleh sesama mereka. Tapi bagi manusia yang beradab dan berperadaban (minimal yang punya moral), ada proses yang kemudian diatur dengan undang-undang yang bernama pemilihan. Entah itu Pilkades, Pilkada, Pilwako dan sebagainya. Melalui proses ini, ada yang berhasil menjadi pemimpin karena pintar, atau karena kaya, atau karena punya kharisma atau karena hal-hal lainnya. Tidak lupa pula, ada yang jadi pemimpin karena garis tangan (nasib) kata peramal, maupun karena campur tangan (intervensi siapa?) Yang jelas, apapun motivasi seseorang untuk jadi pemimpin, minimal ada satu prasyarat yang mutlak harus dimiliki terlebih dahulu oleh calon pemimpin. Ada itu? Dia harus berangkat dari seorang pemimpi terlebih dahulu.
Pemimpi? Orang yang kerjanya hanya tidur melulu untuk mencari bunga tidur? Tentunya bukan pemimpi yang dimaksud di sini bukan pemimpi biasa. Pemimpi yang dimaksud adalah orang yang memiliki impian, cita-cita yang jelas. Ia seorang visioner. Pemimpi jenis lain adalah hanya memiliki mimpi alias tukang tidur doang alias dreamer.
Ternyata banyak pemimpin besar di dunia yang berangkat dan berasal dari hanya sebagai seorang pemimpi. Kita sering kehabisan stok pemimpin besar, karena hanya sedikit yang berani memiliki impian yang besar, cita-cita besar. Untuk menjadi pemimpi saja tidak berani, apalagi untuk menjadi pemimpin.
Mari kita tengok sepintas sejarah bangsa Jepang, yang pada 6 Agustus 1945 pasukan sekutu di bawah komando Amerika menjatuhkan bom atom yang dalam hitungan menit, berhasil membumihanguskan Kota Hiroshima. Selang beberapa hari kemudian, pasukan sekutu kembali berhasil meluluhlantakkan Kota Nagasaki. Jepang benar-benar menjadi kota mati. Benar-benar bertekuk lutut. Padahal, saat itu Jepang hampir berada di gerbang penguasaan Asia Timur Raya. Spontan dan tanpa syarat, Jepang harus menyerah kepada sekutu.
Namun, di belakang layar di sebuah ruangan yang tidak terjamah oleh insan pers, beberapa jam setelah Kota Nagasaki dibombardir, Sang Kaisar Jepang melontarkan pertanyaan kepada para pembantunya. Sebuah kalimat pertanyaan yang hampir tidak terekam oleh catatan sejarah. Pertanyaan Sang Kaisar adalah: “Para menteriku! Berapa banyak paramedis dan guru yang masih hidup?” Ada apa dengan paramedis (tenaga kesehatan) dan guru (tenaga pengajar/pendidik)? Mengapa tidak menanyakan berapa banyak konglomerat atau politisi yang masih hidup?
Ternyata dari pertanyaan sederhana inilah yang kemudian menjadikan bangsa Jepang sebagai salah satu macan Asia bahkan dunia, tidak lebih dari 50 tahun kemudian, Sang Kaisar yang ternyata memiliki impian ke depan, visi yang jelas dan tepat menempatkan paramedis dan guru sebagai kunci utama kebangkitan Jepang yang telah porak poranda.
Mungkin para pemimpin kita malu meniru/mencontoh bangsa Jepang yang menjadikan bidang kesehatan dan pendidikan sebagai pondasi yang kokoh untuk membangun sebuah peradaban yang gemilang.
Pemimpin besar senantiasa memiliki impian/cita-cita yang besar dan berjiwa besar pula. Orang yang berjiwa besar, selalu memiliki rasa percaya diri yang besar. “Kalau Anda percaya bisa berhasil, Anda akan benar-benar berhasil.” Demikian kata DJ Schwartz dalam bukunya The Magic Of Thinking Big. Dale Carnegie menambahkan: “Orang yang berjiwa besar akan kelihatan dari caranya memperlakukan orang kecil”. Nabi Muhammad SAW memberikan tuntunan dalam mengambil keputusan atau bertindak: “….tanyakanlah kepada hatimu. Jika menurut hatimu itu baik, maka kerjakanlah.”
Pemilihan Walikota (Pilwako) Kotamobagu (Insya Allah) 2008, jauh-jauh hari sudah mulai memunculkan figur (atau hanya sekadar figuran) yang bakal mencari kendaraan untuk lolos sebagai calon tetap walikota (walikota tetap calon?) Siapa pun Anda, majulah untuk bertarung. Asal jangan hanya siap menang saja. Karena yang menang pasti hanya satu, maka yang lain harus siap kalah. Apapun konsekuensinya, harus diterima dengan berjiwa besar. Pilwako Kotamobagu dapat terlaksana tentunya dengan biaya yang besar. Dan itu adalah uang rakyat juga.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di ajang Pilwako Kotamobagu nanti, bakal diwarnai dengan praktik politik uang (money politics). Entah itu bernama biaya/ongkos politik, atau ucapan terima kasih pra pencoblosan/serangan fajar dan sebagainya. Ini bukan justifikasi (pembenaran) akan praktik money politics ini, tapi inilah realita masyarakat pemilih kita.
Di satu sisi, untuk menang kita masih suka membodohi masyarakat, tapi di sisi yang lain, masyarakat pun masih suka dibodohi. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Yang salah adalah apabila tidak ada perhelatan pemilihan, tiba-tiba ada yang mengaku sebagai pemenang.
Namun, siapa pun yang menang nanti, meskipun dengan segala macam trik dan strategi untuk menang, beranikah sang pemenang bermimpi dan bercia-cita besar untuk menjadikan Kota Kotamobagu sebagai kota yang dapat mencatat sejarah peradaban tersendiri di bagian timur Indonesia ini? Ingat, wacana Provinsi Totabuan bakal menjadikan Kota Kotamobagu sebagai ibukota provinsi.
Buat para kandidat, bermainlah dengan cantik. Jika Anda yakin bisa menang, Anda pasti akan menang. Enjoy aja. And, jika Anda berjiwa besar, pasti Pilwako Kotamobagu 2008 adalah perkara kecil. So, jika Anda kandidat yang berjiwa besar, pastikan diri Anda, bahwa Anda siap menang siap kalah. Masyarakat akan melihat, apakah sang pememang nanti adalah seorang Pemimpi (Pemilik impian) atau Pemimpi (Pemilik mimpi doang).
Kata orang: “Lebih baik jadi orang benar meskipun tidak pintar. Jangan menjadi orang pintar tapi tidak benar.” Hal ini adalah baik namun menurut hemat penulis: “Lebih baik jadi orang pintar dan benar, daripada jadi orang yang tidak pintar lalu tidak benar pula”. Warning! Yang terakhir ini adalah kalangan yang terbanyak di masyarakat kita.
Terakhir. Ingatlah!!! Menjadi orang penting itu baik. Tetapi menjadi orang baik, itu lebih penting. Ok? #

* (Warga Kotamobagu Pro Pilwako Damai)