31 Desember 2007

Enyahkan Eceng Gondok

Bekerja Lebih Pintar, Bukan Lebih Keras

Oleh Alva Supit SKed
(akademisi/penulis)


PADA suatu hari, terdengarlah rintihan dari sebuah danau yang sedang dilanda masalah. Namanya adalah Danau Tondano. Selama berabad-abad, Danau Tondano telah menghidupi jutaan orang Minahasa dari berbagai generasi. Dan sekarang, dalam keheningannya, ia mengerang, berusaha mengebaskan eceng gondok yang menumbuhi tubuhnya. Tapi sayang, ia tidak bisa…
Satu Masalah //Sub
Eceng gondok (EG) atau Eichorrnia crasippus merupakan tanaman air yang paling invasif di muka bumi. Dalam waktu 6-18 hari, EG dapat bertambah banyak dua kali lipat. Sebuah survei menyebutkan bahwa EG telah menutupi 10 persen dari permukaan Danau Tondano (Kompas, 17/09/07). Nah, bila tidak ada EG yang hanyut ke Sungai Tondano, maka dengan perhitungan sederhana, kita akan mendapati bahwa EG akan menutupi seluruh danau dalam 2,5 bulan!
Dampak negatif yang ditimbulkan EG di danau kita antara lain: menutupi jalur transportasi air, merusak generator PLTA, merusak jaring (karamba) milik nelayan, menyebabkan pendangkalan tepian danau, serta merusak keindahan. Bukan hanya itu saja! Tanpa terlihat oleh mata, EG juga menurunkan kesuburan air danau oleh karena berkurangnya fito- dan zooplankton, menjadi tempat pembiakan nyamuk, serta menyebabkan penguapan air meningkat 4 kali lipat dibandingkan normal.
Dua Solusi //Sub
Menyikapi masalah di atas, ada dua solusi utama yang muncul: (1) pembasmian radikal sampai EG habis, dan (2) pemanfaatan EG untuk kerajinan.
Tampaknya, orang Indonesia tidak suka hal-hal yang radikal. Dalam tingkatan tertentu, kita telah berhasil memanfaatkan EG untuk berbagai kerajinan tangan (tas, dompet, bahkan mebel), sampai-sampai Mesir belajar dari kita untuk hal ini.
Sayang sekali, menurut teori ekonomi sederhana, kerajinan (handycraft) merupakan kebutuhan tersier. Dan itu berarti, angka kebutuhan pasar terhadap hasil kerajinan sungguhlah berada jauh di bawah kebutuhan terhadap ikan payangka dan mujair yang terkenal di danau kita (makanan = kebutuhan primer). Bila kita hendak mengolah EG menjadi bahan kerajinan, mungkin kita dapat memperoleh uang tambahan darinya. Tapi, itu tak akan mengatasi masalah: EG akan tetap membunuh danau kita. Pemberantasan radikal merupakan cara terbaik, setidaknya untuk saat ini.
Cara Tiga //Sub
Ada tiga cara pemberantasan EG: mekanik, kimiawi, dan biologik.
Mekanik, berarti mengangkat EG secara manual (dengan tenaga manusia) atau dengan mesin. Cara ini telah kita lakukan secara bertahun-tahun, baik dalam skala kecil maupun skala besar. Hasilnya? Kita menjadi capek dan EG tetap berlipat ganda dalam 6-18 hari.
Secara kimiawi, yaitu dengan menggunakan racun (herbisida). Ada beberapa jenis herbisida yang aman dipakai untuk membasmi EG. Namun, bila disetujui pemerintah, tampaknya pemakaian herbisida, walaupun (katanya) aman, akan menimbulkan masalah baru yang klasik, yaitu pertentangan antara aktivis lingkungan dengan pemerintah.
Pembasmian secara biologik yaitu pembasmian dengan menggunakan makhluk hidup lain yang merusak dan membunuh EG. Ini merupakan salah satu alternatif yang patut kita pertimbangkan!
Belajar Dari Danau Lain //Sub
Untunglah, Danau Tondano bukanlah satu-satunya danau yang mengalami masalah EG. Di Australia dan Amerika Selatan (tempat asal EG), dikembangkan serangga khusus yang membunuh EG. Ada beberapa jenis kumbang dan ngengat yang telah terbukti berhasil membasmi EG, seperti Neochetina eichhorniae, Neochetina bruchi, dan Niphograpta albiquttalis. Serangga ini bertelur di bagian gondok dari tanaman, dan larva yang menetas akan menggali terowongan di daun EG. Bakteri dan jamur akan menginfeksi EG, gondok akan kemasukan air, dan akhirnya EG akan mati.
Ada juga ikan grass carp atau ikan koan (Clenophoryingodon idella) yang memakan akar EG. Keseimbangan EG di permukaan air akan hilang, daunnya akan menyentuh air dan kemudian dimakan ikan. Penggunaan ikan koan telah terbukti berhasil membasmi EG di Danau Kerinci, Provinsi Jambi.
Tahun 1995, EG telah menutupi lebih dari separuh permukaan Danau Kerinci. Lalu, atas kerja sama dengan Fakultas Perikanan IPB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dilakukanlah pelepasan benih ikan koan ke Danau Kerinci. Danau ini memiliki luas 4.200 hektar, dan di sini dilepaskan 47.000 ekor benih (11 ekor per hektar). Hal ini dilakukan selama 3 tahun berturut-turut.
Hasilnya, saat ini, EG berkurang secara nyata. Di sudut-sudut danau masih terlihat sisa EG yang berwarna kuning kecoklatan Danau Kerinci pun kembali tersenyum, seperti nelayan-nelayan yang berlayar di atasnya.
Bagaimana dengan danau kita? Hmm… Kita harus bekerja lebih pintar, bukan lebih keras.#