29 Desember 2007

Pilkada Masih Senilai Sembako

Edisi 27 Desember 2007 Catatan Akhir Tahun (1)
Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com

FAKTOR apa saja yang sangat menentukan seseorang memenangkan pertarungan di ajang pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) di tingkat kabupaten/kota? Jawabannya: uang, jaringan, dan figur. Uang, tampaknya, faktor yang paling dominan.
Fenomena ini dapat dilihat dengan mata telanjang pada ajang Pilkada di kabupaten/kota se-Sulut yang digelar sejak tahun 2005. Dimulai dengan Pilkada di Minsel, Tomohon, Manado dan Minut (2005), disusul Pilkada di Bitung (2005), diikuti Pilkada di Bolmong dan Sangihe (2006), dan terakhir Pilkada di Minahasa (2007). Uang sungguh mujarab untuk meraih tiket menjadi calon dan menentukan pilihan seseorang di ajang Pilkada.
Modus penyebaran uang di ajang Pilkada bermacam-macam. Mulai dari yang paling halus: bantuan untuk rumah-rumah ibadah, sumbangan di iven keagamaan, bantuan duka, dan bantuan tak terduga. Yang semi halus: investasi memenangkan pemilihan di tingkat desa, bantuan pendidikan, bantuan pembuatan jalan, bantuan bibit, juga penyaluran raskin. Yang kasar: uang dan beras menjelang pemilihan. Jumlahnya, pada pasaran terakhir, sudah di kisaran Rp100.000 per pemilih.
Hitung yang bagian terakhir saja. Andai seorang kandidat harus mengongkosi 10.000 pemilih, uang yang ludes mencapai Rp1 miliar. Jika 50.000 pemilih yang disasar, harus disediakan Rp5 miliar. Ini baru urusan menjelang pemilihan di hari ”H”. Belum urusan kaos, spanduk, billboard, leaflet, dan macam-macam bantuan plus investasi jangka panjang dan jangka pendek yang harus ditunaikan. Hitung pula biaya pencitraan: promosi, iklan, dan survey.
Jika item serangan fajar itu saja sudah mencapai Rp5 miliar, seorang kandidat agaknya harus menyediakan modal ”minimal” Rp10 miliar untuk ikut bertarung di ajang Pilkada. Ini perkiraan biaya yang tak termasuk jor-joran. Kalau ingin "mengalahkan” kompetitor, biaya yang ludes bisa dua sampai tiga kali lipat. Mungkin, yang moderat, di kitaran Rp25 miliar.
Pilkada yang diikuti oleh 4-5 pasangan boleh jadi menghabiskan biaya politik beromset sedikitnya Rp100 miliar. Dana ini sudah cukup membuat jalan hotmix kualitas nomor satu sepanjang 100 km. Ini tak termasuk biaya resmi yang dikeluarkan oleh APBD untuk penyelenggaraan Pilkada yang disalurkan kepada KPUD, Panwas, atau untuk urusan pengamanan dan satgas Pilkada di lingkungan pemda.
Banyak pihak melegitimasi belanja ratusan miliaran rupiah itu sebagai ”ongkos politik”. Juga sebagai sesuatu yang lumrah untuk mendapatkan jabatan prestisius. Tidak mungkin menggapai sesuatu tanpa pengorbanan – demikian pembenaran yang lain. Kata pepatah lama: ”tak ada makan siang yang gratis.”
Mungkin, inilah akibat ”demokrasi di tengah perut yang lapar”. Para pemilih dan yang dipilih masih dikerangkeng oleh logika perut: memilih sesuai bayaran, bukan sesuai hati nurani. Ini menyangkut persoalan ”di sini” dan ”saat ini”. Bukan ”nanti”. Maka, pilihan pemilih jatuhnya pada logika yang amat pragmatis – mungkin juga konyol: ”tempo apa lagi, cuma skarang torang pe kesempatan. Kalu so tapilih dorang so lupa pa torang.”
Pemilihan umum secara langsung sebenarnya hendak menggugurkan logika ini: hubungan yang terputus antara pemilih dan yang dipilih. Pada pemilu yang hanya mencoblos tanda gambar, mereka yang dipilih hanya memerlukan konstituen pada saat pemilu. Usai itu pemilih tak diperlukan lagi karena tak jelas mana dan siapa konstituen yang sesungguhnya. Keterputusan ini diatasi dengan mengubah sistem mencoblos: coblos tanda gambar dan nama orangnya. Perkembangan yang lebih berkualitas: coblos nama orangnya saja. Ini akan membuat pemilih dan yang terpilih harus senantiasa menjalin hubungan yang langgeng sebagai syarat adanya kesinambungan (manfaat) politik secara timbal balik.
Pilkada sesungguhnya telah mematahkan kelemahan pokok pada pencoblosan tanda gambar (saja). Di bilik suara, pemilih tak disuguhkan tanda gambar partai politik. Pemilih mencoblos tanda gambar pasangan calon. Mekanisme ini membuat hubungan pemilih dan yang dipilih bersifat langsung, dan berkesinambungan. Dalam ”wilayah kesinambungan” itu, tak relevan kata-kata: ”kalu so tapilih dorang solupa pa torang.”
Pilkada, agaknya, masih gagal mentransformasikan sistem nilai lama pada pemilu-pemilu sebelumnya ke sistem pemilu saat ini yang membawa nilai-nilai baru. Pemilu yang baru masih sebatas pada ”demokrasi prosedural-formal”, belum pada hal-hal yang bersifat subtansial dan makna hakiki sebuah demokrasi. Dalam kondisi itu, pemilu termasuk Pilkada) tidak ditempatkan sebagai proses sirkulasi kepemimpinan yang sehat untuk mencapai masyarakat yang sejahtera dan bermartabat. Tetapi masih dilihat sebagai ”momen” untuk mendapatkan kaos, paket sembako, uang, beras, pesta makan, keliling gratis, dan menciptakan perkoncoan politik dan ekonomi: membangun dinasti baru untuk kelanggengan kekuasaan.
Situasi ini telah melahirkan kenyataan baru: industri politik. Mungkin inilah tipikal demokrasi di tengah perut lapar dan keserakahan. Sulit dibilang demokrasi telah ditekuk oleh kapitalisme. Sebab kapitalisme membawa nilai-nilai yang rasional dan terbuka dalam memilih, meskipun sangat kental dengan dimensi peruntungan. Mungkin lebih pas: pilkada masih senilai paket sembako.
Kita amat sedih. Tapi inilah kenyataannya. Seorang pendatang baru di panggung politik dapat saja menang asal memiliki ”gizi yang berlimpah”. Seorang pemain lama bisa come back dengan modal yang sama. Dan seorang incumbent tetap mengeluarkan belanja yang amat mahal, padahal sudah lima tahun memberi bukti.
Modal uang itu pula yang akan memperkuat jaringan kekuatan sampai di tingkat akar rumput. Jaringan formal dan informal dapat dibentuk. Tetapi belum tentu efektif tanpa faktor uang. Pilkada kabupaten/kota di sejumlah tempat menunjukkan, jaringan birokrasi lebih menentukan daripada jaringan partai. Jika keduanya bersinergi, ditambah dengan kekuatan jaringan informal, menjadi sulit ditandingi. Jaringan birokrasi pemda hingga ke desa-desa hanya mungkin dikalahkan oleh jaringan partai dan jaringan informal yang kuat, dengan didukung oleh kekuatan modal (uang) yang hebat. Tanpa uang, jaringan apapun –birokrasi, partai, dan informal – akan lumpuh. Jaringan birokrasi bisa saja payah. Tetapi jaringan partai dan informal harus solid, plus memiliki dukungan logistik dan finansial yang kuat. Bisa saja incumbent menguasai jaringan birokrasi dan partai yang solid. Tetapi jika penantang memiliki modal yang kuat, punya jaringan informal dan partai yang ok, plus figur yang layak jual, incumbent bisa tumbang.
Figur, untuk pilkada di kabupaten/kota, merupakan faktor ketiga. Mungkin pengaruhnya sekitar 20-25 persen. Sekitar 45% ditentukan oleh kekuatan uang, dan faktor jaringan sekitar 30-35%. Apa boleh buat, pilkada masih memilih sembako, belum memilih figur.
Orang bisa saja membantah dengan argumentasi ini: bukankah sejumlah partai politik menentukan calonnya berdasarkan hasil survey? Benarlah argumentasi ini. Tetapi yang memenangkan survey tetap saja mengeluarkan uang yang (mungkin) lebih banyak dibandingkan dengan yang kalah di survey. Lagi pula survey dilakukan untuk tunduk pada keinginan dan kebutuhan pemesan: harus menang di Pilkada. Maka survey di ajang Pilkada masih lebih sebagai alat propaganda politik.
Tahun 2008 demokrasi di ajang pilkada kabupaten/kota makin jauh dari cita-cita hakikinya: membentuk masyarakat yang sehat, bermartabat dan mendapatkan pemimpin yang visioner. Partai-partai politik besar di tingkat nasional makin direpotkan oleh dua hal: memburu target pemenangan pilkada yang belum tercapai, dan pemilu nasional 2009 sudah di depan mata. Pada tataran lokal ada target dan ambisi petinggi partai: ingin punya prestasi dan karena itu mesti sapu bersih. Kombinasi kepentingan tingkat nasional dan lokal ini akan membuat Pilkada dianggap ”momentum hidup atau mati”.
Diperkirakan, pertarungan akan makin keras, suhu politik meningkat, dan perlombaan sembako akan lebih jor-joran. Pertarungan kekuatan modal (uang) makin terbuka dan terjadi secara kasat mata. Perebutan pemilih menaikkan tarif, dan akan terjadi mekanisme ”penawar harga tertinggi”. Makan siang bukan cuma tak gratis. Tetapi juga harus menyuguhkan undian, voucher dan/atau hadiah tunai.
Usai itu, bandar harus pulang modal. Malah, menurut logika ekonomi, mesti untung. Maka, sesungguhnya yang ’dirampok’ adalah hak rakyat. Tinggal terserah rakyat: Terus menerus pasrah hak-haknya diperkosa, dijarah dan dicampakkan senilai paket sembako.****