31 Desember 2007

WOC BUKAN TUJUAN AKHIR!

Oleh: Agus Tony Poputra

Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Unsrat, Program Magister Ekonomi Pembangunan Unsrat, dan Program Magister Manajemen Unsrat

Nilai tambah WOC bagi industri pariwisata Sulut tidak akan luar biasa apabila landasan pariwisata yang kokoh tidak dibangun mulai dari sekarang. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Mind Set yaitu : Gambaran mengenai masa depan bukanlah spekulasi atau sebuah perjalanan ke daerah yang belum dikenal, melainkan pada analisis mengenai masa sekarang.

Abad ini merupakan abad kemasyuran bagi dunia pariwista. Pariwisata bagaikan berlian yang berkilau seiring meningkatnya kemakmuran masyarakat dan kebutuhan untuk menyegarkan diri dari kepenatan rutinitas. Bagi suatu negara, pariwisata akan mendatangkan devisa tanpa harus mengorbankan sumber alam dan pariwisata menjadi komoditi yang tak pernah habis dikonsumsi. Cina merupakan contoh monumental bagi kedigjayaan pariwisata. Bila dirupiahkan, Cina berhasil mengeruk penghasilan ratusan triliun per tahun dari sektor ini. Angka tersebut mendekati total APBN Negara kita, sementara kita sibuk memompa migas dan merusak lingkungan lewat penambangan serta pembabatan hutan untuk membiayai belanja negara.
Dalam konteks pembangunan industri pariwisata, pada beberapa kesempatan, Gubernur Sulut sebagai pencetus World Ocean Conference (WOC) menyatakan bahwa WOC bukanlah tujuan akhir. Bila dilihat dari esensi WOC, maka pernyataan tersebut sangat bijaksana adanya. WOC pada dasarnya merupakan pemicu (trigger) signifikan dalam pengembangan pariwisata Sulut sebab lewat WOC, diharapkan dunia lebih mengenal Sulut secara lebih dekat. Tujuan akhir sesungguhnya adalah menjadikan pariwisata sebagai tambang emas Sulut di masa mendatang lewat penciptaan Sulut menjadi suatu daerah dan komunitas wisata global yang solid.
Namun demikian, nilai tambah WOC bagi industri pariwisata Sulut tidak akan luar biasa apabila landasan pariwisata yang kokoh tidak dibangun mulai dari sekarang. Hal tersebut selaras dengan apa yang dikatakan John Naisbitt dalam bukunya yang berjudul Mind Set yaitu “gambaran mengenai masa depan bukanlah spekulasi atau sebuah perjalanan ke daerah yang belum dikenal, melainkan pada analisis mengenai masa sekarang.” Sesuatu yang kita harapkan di masa depan adalah hasil dari apa yang kita kerjakan saat ini. Bila kita mengharapkan Sulut akan mencapai kemakmuran lewat pariwisata, maka sekaranglah waktunya bertindak secara berarti dan terencana.
Landasan pariwisata yang kokoh perlu melibatkan semua pihak yang terkait (stakeholders) termasuk masyarakat kalangan bawah yang umumnya akan memperoleh manfaat yang berarti dari keberadaan pariwisata. Langkah pertama yang dibutuhkan adalah pembentukan suatu Badan Koordinasi Promosi Pariwisata Sulut secara formal yang melibatkan unsur pemerintah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta pihak swasta yang berada dalam sektor pariwisata. Badan tersebut tidak sekedar mempromosikan pariwisata Sulut secara terintegrasi melainkan juga terlibat dalam pembenahan sarana dan prasarana kepariwisataan Sulut serta melatih masyarakat Sulut menjadi suatu komunitas wisata. Keberadaan badan ini sangat mendesak karena saat ini pemerintah dan para pelaku lainnya dalam industri pariwisata terkesan berjalan sendiri-sendiri dan belumnya adanya suatu grand design pariwisata yang membumi dan dirasakan oleh para pelaku sebagai milik bersama yang perlu dijaga dan dikembangkan secara terkoordinasi.
Selama ini, pariwisata Sulut seakan identik dengan Bunaken. Kesan ini mempersempit pasar pariwisata Sulut. Pariwisata Sulut seharusnya dibangun dalam suatu paket wisata yang dikemas secara menarik yang mencakup wisata alam, budaya, dan belanja sehingga memperoleh pasar yang lebih luas serta memberi banyak pilihan bagi wisatawan. Di samping wisata alam Sulut yang sangat bergantung pada Bunaken, fakta di lapangan juga menunjukan bahwa wisata budaya merupakan titik terlemah dari suatu paket pariwisata Sulut. Apabila setiap anak Bali dimintakan menari tarian daerahnya, maka dengan lemah gemulai mereka akan menampilkan. Namun performa semacam itu sulit diperlihatkan anak Sulut bila dimintakan menari Maengket atau tarian daerah Sulut lainnya. Demikian juga dalam konteks kebahasaan, anak Sulut terutama yang berdiam di kota tidak mampu berkomunikasi menggunakan bahasa daerah.
Kelemahan tersebut semestinya seharus cepat dicari solusinya. Salah satu solusi tercepat dapat dilakukan oleh Dinas Pendidikan Nasional Sulut dengan memasukan tarian dan bahasa daerah sebagai muatan lokal kurikulum sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Upaya ini perlu ditunjang oleh keberadaan sanggar-sanggar tari yang secara rutin menyajikan atraksinya lewat kerjasama dengan Badan Koordinasi Promosi Pariwisata Sulut.
Selain apa yang disebutkan di atas, hal penting untuk dikembangkan dalam memajukan pariwisata Sulut adalah mengubah perilaku masyarakat Sulut menjadi masyarakat yang berwawasan pariwisata. Berwawasan pariwisata berarti mau menjadi tuan rumah yang baik dan memanfaatkan pariwisata sebagai obyek mendatangkan pendapatan lewat usaha yang kreatif dan inovatif. Kreativitas dan inovasi menambah nilai yang luar biasa atas apa yang kita tawarkan sebagaimana ada ungkapan yang menyatakan bahwa “sepotong kayu di tangan seorang ibu rumah tangga, hanya akan menjadi kayu api, namun bila berada di tangan pengukir yang handal, maka akan menjadi patung yang bernilai seni dan mahal.”