Edisi 31 Desember 2007
Catatan Akhir Tahun (3)
Oleh : Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com
PEMILIK cengkih dan kopra akhir tahun ini sumringah. Harga emas coklat – julukan untuk komoditi cengkih— melejit hingga di angka Rp46.000/kg. Sementara harga kopra melonjak hingga di kisaran Rp5.000/kg. Harga cengkih ini tertinggi setelah pada masa krisis ekonomi 1998 yang mencapai Rp97.000/kg. Sementara harga kopra melebihi rekor yang pernah dicapai pada 1998, Rp4.000-an/kg.
Kenaikan harga dua komoditi andalan Sulut ini lebih disebabkan oleh market mecanism –bukan by design. Cengkih tahun ini memasuki panen raya. Tetapi akibat musim yang tak bersahabat, hujan terus mengguyur di musim panen, ramalan produksi meleset. Tahun depan tidak ada panen raya cengkih. Supply menurun, tetapi demand cukup tinggi. Efeknya adalah harga cengkih yang terdongkrat dari Rp27.000/kg, menjadi Rp46.000/kg, atau naik 70,37 persen, hanya dalam waktu satu bulan terakhir.
Para pedagang cengkih di Manado memperkirakan, tahun datang harga emas coklat itu masih akan terdongkrat. Diperkirakan akan mencapai Rp50.000/kg, atau akan bertahan di kisaran Rp45.000 hingga Rp50.000/kg. Tentu saja menggembirakan bagi pemilik cengkih.
Lebih tepat disebut menggembirakan bagi ”pemilik cengkih”. Tidak terlalu tepat disebut ”menggembirakan petani cengkih”. Soalnya, cengkih sekarang sudah lebih banyak dimiliki oleh pedagang pengumpul, atau pedagang menengah-besar. Petani mungkin masih punya stok 300 hingga 500 kg. Stok yang besar, dalan ukuran puluhan ton, sudah dimiliki oleh bukan petani. Mereka itulah yang menikmati margin kenaikan harga cengkih yang mencapai 70-75 persen. Mungkin mereka membeli cengkih pada harga 27.000 – 30.000/kg. Saat harga sudah menyentuh Rp45.000 – 50.000, para pedagang pengumpul dan pedagang menengah besar itu akan menjual cengkih. Mereka itulah yang sesungguhnya menikmati kenaikan harga cengkih dalam satu bulan terakhir hingga tahun depan.
Begitulah nasib petani. Selalu saja kalah. Tahun ini kekalahannya minimal dari empat arah: buruh pemetik mahal (langka), dipukul musim hujan, kebanyakan menjual cengkih pada saat harga baru impas (belum untung), dan menyaksikan pesta para pedagang pengumpul, atau pedagang menengah besar menikmati pesta kenaikan harga cengkih.
Kenaikan harga kopra mungkin agak menolong petani kelapa. Sebagaimana diketahui, mayoritas kebun kelapa di Sulut dimiliki oleh rakyat. Itu berarti kenaikan harga kopra akan dinikmati oleh petani kelapa. Tetapi jerat ijon sudah lama menjadi ”setan desa”. Maka, bisa jadi kenaikan harga kopra itu, maksimal dinikmati fifty-fifty oleh petani kelapa dan pengijon kopra. Masih lebih lumayan dibandingkan dengan nasib petani cengkih.
Kenaikan harga kopra juga dipincu oleh permintaan yang tidak sebanding dengan persediaan. Kelapa di Sulut umumnya sudah tua renta, dengan tingkat penurunan produksi yang terus menukik setiap tahun. Penurunan produksi itu dipicu oleh empat hal: peremajaan kelapa yang lamban, menuanya usia mayoritas tanaman kelapa, serangan hama dan penyakit (hama sexava dan busuk pucuk), dan terus meningkatnya pemotongan pohon-pohon kelapa. Yang terakhir ini dipicu oleh dua masalah: kelapa makin tua dan kayu makin susah didapat. Pohon kelapa saat ini sudah menjadi alternatif bagi ketiadaan kayu untuk kebutuhan di sektor kontruksi.
Akibatnya, laju kehilangan pohon kelapa tidak sebanding dengan peremajaan kelapa. Saat ini Sulut memiliki sekitar 257.000 hektare kebun kelapa. Diperkirakan, sekitar 35 persen dari total luas areal perkebunan kelapa itu sudah rusak alias tak berproduksi.Laju kerusakan produksi pertahun rata-rata mencapai 10%, atau sedikitnya 100 hektare per tahun. Sementara kemampuan meremajakan kembali hanya mencapai 50-60% dari kerusakan produksi kelapa. Ketidakseimbangan ini dipicu, paling tidak oleh dua hal: penyediaan bibit dan kurang, dan motivasi petani yang rendah karena harga kelapa tidak merangsang.
Jika ketidakseimbangan ini terus terjadi, Sulut terus akan mengalami kekurangan pasokan kopra. Bersamaan dengan itu, kemungkinan harga kopra akan meningkat. Tetapi dalam jangka menengah hingga jangka panjang, industri kelapa di Sulut akan gulung tikar. Sulut kehilangan jati dirinya: daerah Nyiur Melambai yang sudah hilang kelapanya. Apa jadinya identitas daerah semacam itu.
Agar tidak terjadi masa ”aneh bin ajaib” itu, satu-satunya cara melakukan rehabilitasi dan peremajaan kelapa secara besar-besaran. Pemprov Sulut dan kab/kota se-Sulut harus kompak untuk urusan ini. Diperlukan sedikitnya 500 ribu hingga 750 ribu bibit kelapa per tahun untuk mengatasi masalah ini. Sekitar 75% dari kebutuhan bibit itu hendaknya disediakan oleh pemerintah, selebihnya rakyat dirangsang melakukan penyediaan bibit secara swadaya.
Tahun 2008, Pemprov Sulut dan pemkab se-Sulut sudah mulai keroyokan menyediakan bibit. Ini menggembirakan. Melalui APBD Sulut dan APBD kab/kota se-Sulut disediakan sekitar 375.000 bibit, dan 125.000 dirangsang untuk disediakan secara mandiri oleh rakyat. Tapi program ini belum bisa mengatasi masalah penurunan produksi kelapa dalam jangka pendek dan menengah. Meskipun laju kehilangan pohon kelapa sama dengan laju peremajaan, produksi belum pulih ke level semula. Sebab, tanaman kelapa memerlukan waktu 15 tahun untuk berbuah normal. Itu berarti, tingkat produksi kopra di Sulut mungkin nanti akan pulih 15-20 tahun mendatang. Lumayan, tak butuh sampai satu generasi. Lagi pula kita tetap masih pantas menyandang daerah Nyiur Melambai. Plus tak perlu mengganti lambang daerah Sulut – juga lambang Unsrat Manado.
Target itu akan tercapai jika program peremajaan dan rehabilitasi tanaman kelapa menjadi gerakan yang serius. Untuk kemulusannya, selain perlu keroyokan Pemprov dan pemkab se-Sulut, pemerintah pusat mutlak harus membantu. Dulu ada program dana rehabilitasi kelapa (DRK). Sekarang entah apa namanya, tapi pemerintah pusat tak bisa berpangku tangan. Daerah-daerah yang memiliki tanaman khas yang sudah menjadi jati dirinya dan tempat mayoritas rakyatnya menggantungkan nasibnya wajib dibantu. Ini sebagai program untuk melestarikan dan meningkatkan komoditas unggulan rakyat sesuai dengan kondisi iklim, kesuburan tanah, dan kultur masyarakat setempat.
Agar lebih terjamin pencapaian target dan kesinambungannya, paling bagus dan berkualitas jika program ini menjadi ”gerakan rakyat”. Ini dapat dilakukan dari sisi input, atau dari sisi output. Dari sisi input berarti pemerintah menyediakan bibit, membantu pupuk dan kredit untuk petani. Dari sisi output, ini yang paling murah dan efektif, membuat harga kopra terus menguntungkan hingga senantiasa merangsang petani secara mandiri meremajakan kelapanya. Boleh juga kombinasi antara pendekatan dari sisi input dan output. Tinggal pilih mana yang efektif dan menguntungkan.
Pemerintah Indonesia selama puluhan tahun belum familiar dengan kebijakan pertanian yang menekankan pada pendekatan sisi output. Selalu saja doyan dengan pendekatan dari sisi input. Sejumlah kelemahan dari pendekatan ini: dananya gampang dikorupsi, petani menjadi tergantung kepada pemerintah, dan harga pada banyak kasus merugikan petani. Sebaliknya, pada pendekatan dari sisi output, petani terdorong untuk berusaha secara swadaya, terjamin harga yang menguntungkan, petani tidak tergantung secara berlebihan kepada pemerintah, dan petani siap menanggung risiko tanpa perlu menyalahkan pemerintah.
Petani Sulut sebenarnya sudah membuktikan keampuhan pendekatan dari sisi input. Jutaan tanaman kelapa yang masih dinikmati hingga saat ini tidak ditanam atas arahan program bernama intensifikasi dan ekstensifikasi tanaman pertanian/perkebunan. Demikian juga tanaman cengkih, pala, coklat dan vanila. Semua dilakukan oleh petani atas kelihaiannya membaca peluang pasar, atau sebagai respon petani atas tingginya harga komoditas-komoditas itu di masa lalu. Lalu, mengapa modal sosial ini tidak kita gunakan untuk menggelorakan program pertanian sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani?
Entalah? Yang pasti, kita semestinya bisa belajar dari keledai: tak mau terperosok di lobang yang sama. Kecuali untuk alasan lain: ”lobang” itu nikmat, menyenangkan dan menguntungkan.(habis).***