27 Desember 2007

Lemak Sehat dari Babi

Oleh Hapry FN Lapian

(Staf Fakultas Peternakan Unsrat; Mahasiswa S3 di Ist. di Biologia e Genetica, Universita Politecnica delle Marche, Ancona, Italia)

UNTUK alasan kesehatan, konsumsi daging babi sebagai salah satu sumber makanan kita sehari-hari, sering dikurangi atau bahkan dihindari oleh sebagian atau mungkin saja oleh banyak orang. Lebih lagi dengan kenyataan bahwa kandungan lemak babi (seperti juga lemak asal sapi dan ayam) memang tidak terlalu baik bagi kesehatan. Walaupun demikian, sebagai sumber nutrisi, hasil olahan ternak babi, sapi, atau ayam tidak mungkin diabaikan dalam komposisi makanan sehari-hari. Protein harus tetap ada (seperti juga karbohidrat dan lemak) karena berbagai fungsi tubuh akan terhambat apabila kita kekurangan jenis-jenis nutrisi ini.

Komposisi makanan asal ternak memang kaya akan kandungan lemak. Lemak hewani sering didakwa sebagai sumber berbagai penyakit yang cenderung meningkat di perkotaan-perkotaan. Tingginya konsumsi daging beserta ikutan lemak dari ternak terbukti positif memperbanyak insiden penyakit, mulai dari jantung, tekanan darah tinggi, penyempitan pembuluh darah, sampai stroke. Oleh sebab itu sangat wajar apabila saran-saran medis untuk membatasi konsumsi lemak hewani menjadi sering kita dengar. Bertolak belakang dengan itu, upaya untuk mendorong konsumsi ikan, baik ikan air tawar maupun ikan laut, cenderung meningkat akhir-akhir ini. Perbedaan saran konsumsi kedua sumber makanan ini, yaitu hewan ternak dan ikan, mungkin terletak pada perbedaan jenis lemaknya. Apabila pada hewan ternak diketahui tinggi kadar asam lemak omega-6, maka lemak pada ikan adalah jenis asam lemak omega-3.

Berbeda dengan asam lemak omega-6 pada hewan ternak yang dikatakan di atas sebagai salah satu faktor penting pencetus terhadap berbagai penyakit pada manusia, omega-3 justru mempunyai banyak keuntungan bagi kesehatan. Asam lemak omega-3 dibutuhkan manusia untuk meningkatkan berbagai vitalitas tubuh. Pada 8 Sept. 2004, “the US. Food and Drug Administration” (FDA) mengelompokkan EPA dan DHA (keduanya merupakan jenis asam lemak omega-3) sebagai bahan yang berguna bagi kesehatan, terutama untuk menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Asam lemak omega-3 juga terbukti berperan melawan depresi.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa minyak ikan (yang kaya omega-3) dapat menurunkan kemungkinan terjadinya stroke. Artikel di “Jurnal of the American Medical Association (2006)” menyimpulkan adanya hubungan antara omega-3 dengan pencegahan penyakit kanker. Sebelumya pada tahun 2002, “British Medical Journal” juga memberitakan fakta akan kegunaan omega-3 terhadap penurunan insiden penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) dan kanker. Bagi anak-anak dan balita yang dalam masa pertumbuhan, EPA dan DHA amat penting untuk perkembangan otak dan berbagai fungsi tubuh lainnya.

Walaupun disarankan untuk memilih ikan dibandingkan daging asal ternak untuk alasan kesehatan, tetapi konsumsi daging dan hasil olahan asal ternak justru terus meningkat. Peningkatan ini mungkin saja disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain oleh lebih terjaminnya suplai makanan yang berasal dari ternak. Sedangkan suplai ikan sangat dibatasi oleh berbagai sebab, termasuk faktor cuaca. Apabila musim ombak atau badai, maka dapat diduga bahwa suplai ikan untuk konsumen akan berkurang. Akibatnya, harga ikan di pasaran akan meningkat. Sementara itu, suplai ternak dapat dikatakan tidak terbatas mengingat proses budidaya yang sudah intensif pada usaha-usaha peternakan, baik skala kecil (di masyarakat) maupun skala besar (di industri-industri peternakan).

Kebaikan omega-3 pada ikan dan keburukan omega-6 pada ternak memunculkan pemikiran bagi kalangan ilmuwan bidang peternakan untuk memproduksi hasil ternak yang kaya akan omega-3 tetapi rendah omega-6. Agak kontrovesial memang, tetapi kemungkinan menghasilkan ternak yang memiliki lemak seperti ikan bisa saja dilakukan melalui pendekatan seluler atau genetis.

Pada 2004, sekelompok peneliti, yang dipimpin oleh L. Lai, dari Devisi Peternakan, Univeritas Missouri, Amerika, berhasil membiakkan babi yang dapat mengubah asam lemak omega-6 yang tidak baik bagi kesehatan menjadi omega-3 yang dibutuhkan oleh tubuh. Kelompok peneliti ini melakukan tehnik “kloning” untuk menghasilkan anak babi yang dapat memproduksi enzim khusus yang mampu mengubah asam lemak omega-6 menjadi omega-3. Enzim ini diperoleh para peneliti dari cacing tanah. Cacing tanah diketahui mempunyai DNA khas yang menghasilkan enzim pengubah omega-6 ke omega-3. Pada tahapan teknis, DNA cacing tersebut “dicangkokan” ke dalam DNA babi yang nantinya menghasilkan babi transgenik (babi yang mendapat transfer DNA dari luar) yang berlemak omega-3. Hasil penelitian ini telah dipublikasi pada jurnal “Nature Biotechnology 24, 435-436 (2006)”.

Pengamatan selanjutnya membuktikan bahwa sebanyak rata-rata 8 % dari total lemak babi transgenik adalah lemak omega-3, bandingkan dengan hanya 1 sampai 2% kadar omega-3 pada babi normal. Bahkan Jing Kang dari Harvard Medical School, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, yakin bahwa melalui penelitian lanjutan, kelompok peneliti bidang ini dapat meningkatkan kadar omega-3 pada babi seperti proporsi yang dimiliki oleh ikan.

Alternatif penggunaan babi beromega-3 menjadi sangat prospek, mengingat adanya kelemahan lain dari penggunaan ikan. Di berbagai negara penghasil ikan, saat ini marak ditemukan penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya (seperti formalin) sebagai bahan pengawet. Juga terdapat bukti tercemarnya laut oleh logam-logam berat berbahaya seperti merkuri. Oleh sebab itu, peneliti babi transgenik beromega-3 lainnya yaitu Yifan Dai dari University of Pittsburg, Pennsylvania, Amerika mengatakan bahwa “jika kita mendapatkan suplai omega-3 yang bebas kontaminasi, maka itu akan sangat baik bagi konsumen”. Dan itu dapat dicapai melalui suplai asal ternak.

Penggunaan untuk konsumen umum terhadap babi transgenik beromega-3, walaupun demikian, masih menunggu persetujuan dari otoritas pengatur, seperti Food and Drug Administration (FDA), di Amerika. Pada saat ini, babi-babi transgenik di Amerika tetap terus diternakkan untuk kepentingan penelitian-penelitian di bidang penyakit jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler), kanker, dan penyakit-penyakit lainnya. Pada saatnya nanti, apabila telah diberikan persetujuan oleh FDA untuk komsumen umum, maka kita tidak perlu takut mengonsumsi daging babi dan hasil olahannya. Walaupun demikian, seperti juga diingatkan oleh kelompok peneliti yang berhasil memproduksi babi omega-3, sangat tidak dianjurkan untuk memakan dalam jumlah besar daging babi, ayam, atau sapi yang telah mengandung ikutan lemak omega-3. Saran yang tentunya dapat diterima mengingat sumber nutrisi lainnya amat sangat dibutuhkan dalam suatu keseimbangan yang proporsional. Filosofi 4 sehat dan 5 sempurna masih harus diingat dalam memilih komposisi diet makanan sehari-hari.#