Catatan Akhir Tahun (2)
Oleh Suhendro Boroma
suhendro@mdopost.com
APA khabar gembira untuk Sulut di akhir tahun 2007? Indeks Pembangunan Manusia (IPM) jawabannya. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Development Programme (UNDP), di tahun 2006 IPM Sulut mencapai 74,4, hanya kalah dari DKI Jakarta yang sudah mencapai 76,1. IPM Sulut lebih tinggi dari rata-rata nasional (72,8), urutan kedua di Indonesia.
Di kawasan timur Indonesia (KTI), Sulut berhasil mempertahankan IPM di atas rata-rata nasional pada periode 1999-2006. IPM Provinsi Maluku pada 1999, 2002 dan 2004 di atas rata-rata IPM nasional, namun di tahun 2005 sudah berada di bawah rata-rata nasional. IPM Sulteng, Sulsel, Sultra, Gorontalo, Malut, Papua Barat, NTT, NTB dan Papua di bawah rata-rata IPM nasional. Sementara IPM Sulut terus meningkat, dari 67,1 pada 1999, 71,3 (2002), 73,4 (2004), 74,2 (2005) dan 74,4 (2006). Capaian pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Sulut ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional, yang di tahun 1999, 2002, 2004, 2005, dan 2006 berturut-turut mencapai indeks 64,3, 65,8, 68,7, 69,6, dan 72,8 (BPS, 2007).
Dibandingkan keadaan tahun 1999, di KTI hanya Sulut yang mengalami perbaikan peringkat, dari 6 ke peringkat 2 nasional. Sementara sepuluh provinsi lain di KTI semua mengalami penurunan dalam daftar rangking IPM nasional. Hal ini menunjukkan, meskipun rata-rata IPM provinsi-provinsi di KTI naik setiap tahun, namun provinsi-provinsi di kawasan lain lebih cepat pertumbuhannya. Fakta ini memberi gambaran, tanpa perubahan kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan yang memadai dan proporsional, peringkat IPM provinsi-provinsi di KTI akan terus memburuk, meskipun secara absolut angka-angka capaian IPM provinsi-provinsi di kawasan ini naik tiap tahun.
IPM provinsi-provinsi di KTI hanya tumbuh rata-rata antara 1-2 poin dalam periode 1999-2006. Jika pertumbuhan IPM ini tidak berubah dalam jangka menengah hingga jangka panjang, maka kita memelihara atau melestarikan kesenjangan IPM antara KTI dan KBI. Kesenjangan ini akan bersifat permanen dan terus memerosotkan kualitas sumberdaya manusia di KTI.
Diperlukan perubahan kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan manusia di KTI. Tanpa usaha dan tindakan yang nyata untuk mengubah kenyataan ini, KTI tetap akan menjadi kantong ketertinggalan IPM nasional, dan peringkat provinsi-provinsi di kawasan ini akan makin menjauh atau makin memburuk. Hal itu sekaligus menunjukkan memburuknya rata-rata perkembangan kualitas hidup rakyat Indonesia di KTI, meskipun setiap daerah relatif mengalami pertumbuhan IPM.
Untuk Sulut, mempertahankan pola kebijakan nasional seperti saat ini akan menguntungkan. Sulut masih tetap akan bertahan di rangking kedua atau ketiga di Indonesia. Tetapi secara nasional kebijakan seperti sekarang bermasalah dalam jangka menengah dan jangka panjang. Kesenjangan antar kawasan (KTI dan KBI), dan antar provinsi terus akan melebar. Nasib kualitas sumberdaya manusia di KTI akan makin terpuruk.
Di Sulut sendiri harus ada perhatian yang serius dan sungguh-sungguh, terutama di tingkat kabupaten/kota. Meskipun secara nasional Sulut bertahan di rangking kedua dalam periode 2002-2006, namun IPM kabupaten/kota di Sulut terus mengalami penurunan peringkat dalam periode yang sama.
IPM di kabupaten/kota se Sulut secara absolut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kabupaten Bolmong membukukan IPM sebesar 68,7 pada 2002, menjadi 70,7, 71,6, dan 71,8 pada 2004, 2005 dan 2006. IPM Kabupaten Minahasa mencapai 72,0, 73,5, 74,0 dan 74,2 pada 2002, 2004, 2005, dan 2006. Kota Manado memiliki tren peningkatan IPM dari 74,2 pada 2002, menjadi 76,4 pada 2006. Bitung mencatat IPM 70,7 pada 2002, naik jadi 73,7 pada 2006. Kabupaten Sangihe bertumbuh dari 70,1 (2002) menjadi 73,8 pada 2006, Tomohon dari 72,9 (2002) menjadi 74,7 pada 2006, Minsel dari 71,2 (2002), menjadi 72,3 (2006), Talaud dari 71,8 (2002) menjadi 73 di tahun 2006, dan Minut dari 72,7 (2002) menjadi 74,2 pada 2006.
Tren peningkatan IPM kabupaten/kota di Sulut itu tidak berjalan beriringan dengan posisi relatif dalam daftar IPM nasional. Posisi Kabupaten Minahasa dalam daftar peringkat IPM nasional terus memburuk. Pada 2002 Minahasa berada pada peringkat 38 dalam daftar peringkat IPM kabupaten/kota se-Indonesia. Namun pada 2004, 2005, dan 2006 Minahasa melorok ke peringkat 47, 46, dan 57.
Kabupaten Bolmong berada pada peringkat 88 secara nasional pada 2002. Pada 2004 terpental ke peringkat 121, naik ke posisi 105 pada 2005, tetapi terpuruk lagi ke peringkat 126 pada 2006. Kota Bitung relatif mampu bertahan pada 2002, 2004, dan 2005, dengan peringkat 59, 56, dan 59. Namun di tahun 2006, Bitung sudah turun ke peringkat 68. Peringkat Manado juga memburuk. Dari rangking 8 pada 2002 dan 2004, melorot ke posisi 12 pada 2005, dan turun ke peringkat 14 pada 2006. Kabupaten Minsel berada pada peringkat 96 pada 2004, turun ke posisi 113 pada 2005, dan membaik ke peringkat 100 pada 2006.
Terdapat tiga kabupaten yang relatif berhasil memperbaiki peringkat dalam daftar IPM nasional. Dua kabupaten justru dari daerah kepulauan, yakni Kabupaten Sangihe dan Kepulauan Talaud. Sangihe bertengger di peringkat 68 pada 2002, naik ke posisi 67 dan 64 pada 2004 dan 2005, turun ke peringkat 66 pada 2006. Kabupaten Talaud hanya turun tipis, dari peringkat 80 pada 2004, turun ke posisi 81 pada 2006. Sementara Minut berhasil memperbaiki peringkat dalam tiga tahun terakhir. Berada pada rangking 69 di tahun 2004, naik ke peringkat 57 dan 55 di tahun 2005 dan 2006.
Minut merupakan satu-satunya daerah di Sulut dengan IPM yang meningkat secara absolut dan peringkatnya membaik secara nasional. Di luar itu, semua mengalami peningkatan IPM, tetapi peringkatnya melorot dalam daftar IPM nasional.
Data ini menunjukkan, meski IPM kabupaten/kota di Sulut naik setiap tahun, namun peningkatan ini kalah dibandingkan dengan sejumlah kabupaten/kota lain di Indonesia. Tanpa perubahan yang berarti, dalam beberapa tahun kedepan posisi kabupaten/kota di Sulut dalam daftar IPM nasional akan melorot jauh, dan sangat terbuka kemungkinan IPM absolut kabupaten kota di Sulut akan dilewati oleh sejumlah kabupaten/kota lain di Indonesia. Pada tahapan itu, IPM Sulut akan terganggu, dan bisa saja posisi Sulut dalam daftar IPM nasional turun peringkat saat ini.
Tanpa perubahan perhatian dan kebijakan, tren peningkatan IPM kabupaten/kota di Sulut akan terus terjadi di masa datang, tetapi juga dengan peringkat yang terus melorot dalam daftar IPM nasional. Karena itu, sebelum waktu itu tiba, kabupaten/kota se-Sulut, di bawah koordinasi Pemprov Sulut perlu membuat strategi kebijakan bersama untuk mempertahankan dan meningkatkan capaian IPM selama ini. Kebijakan tersebut semestinya berdimensi jangka pendek dan jangka panjang, mengingat tak ada jalan pintas untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Capaian dari sebuah angka IPM merupakan hasil dari upaya berkesinambungan dalam jangka 10-15 tahun, bahkan 25-30 tahun. Patut diingat, tak ada cara yang instan dalam usaha ini.
Sebagaimana kita ketahui, IPM merupakan indeks komposit yang dibentuk oleh angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, dan pengeluaran riil per kapita per bulan.Sulut memiliki modal sosial yang kuat dalam meningkatkan usia harapan hidup dan memiliki tradisi sekolah yang sudah sangat tua. Tetapi dalam urusan peningkatan pendapatan riil per kapita urusannya tak sederhana. Selain membutuhkan pilihan kebijakan yang tepat, juga mesti memberi manfaat efektif bagi peningkatan IPM.
Data menunjukkan, terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kemajuan pembangunan ekonomi dan tingkat IPM. Pengeluaran riil per kapita di Papua lebih tinggi dari rata-rata nasional pada 1999, namun provinsi ini memiliki IPM yang paling rendah di KTI selama periode 1999-2005. Sulut sendiri merupakan contoh yang menyolok mengenai rendahnya kaitan antara tingkat pembangunan ekonomi dan IPM. Dalam periode 2002-2006, Sulut berada di rangking 2 IPM nasional. Namun selama periode yang sama, tingkat pengeluaran riil per kapita Sulut masih di bawah rata-rata nasional. IPM Sulut terutama dibentuk oleh kualitas kesehatan dan tingkat pendidikan penduduk.
Sebuah isyarat, modal sosial dan modal ekonomi di Sulut harus dipadukan dalam disain kebijakan yang tepat dan efektif bagi peningkatan IPM. Kabupaten/kota dan Pemprov Sulut dituntut untuk menerapkan kebijakan budget pro poor, pro job, pro pendidikan, dan pro kesehatan, dibarengi upaya meningkatkan kemandirian ekonomi rakyat secara berkesinambungan. Dengan begitu, setiap orang terbuka kemampuannya untuk secara swadaya meningkatkan IPM tanpa tergantung secara berlebihan kepada pemerintah.
Harus diingat, apa yang kita banggakan sebagai peringkat kedua nasional, belum sebanding dengan kualitas manusia di negara lain. Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 negara dalam peringkat IPM/HDI dunia. IPM Indonesia masih jauh dibandingkan dengan IPM Singapura (peringkat 25), Malaysia (63), Chili (40), atau Samoa dan Suriname (77 dan 85). Apa yang kita capai di Sulut masih di bawah rata-rata kualitas IPM Filipina dan Vietnam, yang menduduki rangking 90 dan 105 dalam daftar peringkat IPM dunia yang dikeluarkan UNDP pada 2007.***