17 Mei 2008

Sumpah Kebangsaan

Oleh Yong Ohoitimur MSC

MUNGKIN kebetulan saja, Kebangkitan Nasional 100 tahun lalu dan Reformasi 10 tahun lalu terjadi dalam bulan Mei. Namun hakikat dua peristiwa itu berbeda bagi bangsa Indonesia. Kebangkitan nasional menyatakan tekad Budi Utomo dan generasinya untuk merdeka dari penindasan penjajahan, menjadi bangsa yang bermartabat, dengan tujuan pula untuk menikmati keadilan dan kesejahteraan. Gerakan reformasi menghendaki pemerintahan yang baru, lepas dari kekuasaan Soeharto yang selama 32 tahun memimpin rakyat Indonesia secara sentralistik tanpa semangat demokrasi. Pertanyaannya, apakah hasil kebangkitan nasional dan gerakan reformasi telah dinikmati rakyat Indonesia sekarang ini?
Jawabannya negatif. Berbagai masalah yang besar dan rumit yang mendera kehidupan rakyat negeri ini dengan gamblang memperlihatkan bahwa tidak ada hasil yang sangat signifikan. Dari hari ke hari kita hanya mendapati berbagai masalah yang semakin transparan, terutama masalah ketidakadilan yang mewujud dalam kemiskinan yang diderita rakyat pada umumnya. Pada waktu cita-cita kebangkitan nasional tercapai di saat kemerdekaan diproklamasikan, rakyat tentu berharap bahwa keadilan dan kesejahteraan akan dinikmati. Hidup yang bermartabat dan berperikemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan, dicanangkan oleh founding fathers sebagai arah dan sasaran hidup bernegara. Tujuan mulia itu dibakukan dalam konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Tetapi apakah sekarang ini konstitusi negara masih dipegang teguh sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara? Dengan sedih harus dijawab, tidak jelas. Masalah korupsi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda kepercayaan, menjadi contoh bukti nyata bagaimana konstitusi tidak dipedulikan sama sekali. Pancasila dan konstitusi tidak lagi dirujuk sebagai landasan bagi keputusan-keputusan politis, dan tidak pula dipegang sebagai nilai standar perilaku moral publik.
Sementara itu, gerakan reformasi terasa tak lebih daripada sentimen melawan Soeharto. Pada waktu gerakan itu bergulir, tujuan tunggal yang menonjol hanyalah agar Soeharto berhenti sebagai presiden. Dan itu tercapai. Kurang ruang bagi percakapan serius tentang bagaimana membebaskan negeri ini dari ketidakadilan sosial, kemiskinan dan pengangguran. Hasilnya, sesudah Soeharto berhenti, praktek politik yang dituduhkan pada Soeharto menyebar ke semua penjuru negeri ini. Kita mendapatkan iklim politik yang menjadikan kepentingan material dan kekuasaan sebagai dasar dan ukuran segala pertimbangan publik. Undang-undang dan produk-produk hukum dibuat karena kepentingan sempit, bukan demi kepentingan bangsa sebagai keseluruhan. Pembangunan segala bidang, termasuk pendidikan, dirumuskan dalam bentuk proyek-proyek yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi korupsi dan kolusi. Partai-partai politik sangat berkuasa, dan melalui badan legislatif mengendalikan pemerintah. Saat-saat penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah menjadi bagaikan pasar di mana transaksi politik berlangsung nyaris tanpa etika politik (karena uang menjadi dasar pertimbangan yang sangat menentukan!). Para calon gubernur/bupati/walikota pun hanya bisa berbicara tentang janji-janji yang tak terukur. Dalam batasan itu, kita memilih seseorang lebih berdasarkan harapan (hope), belum atas dasar trust rakyat.
Selama 10 tahun reformasi, sangat dirasakan betapa lemahnya civil society kita, karena tidak ada kesadaran yang menyatukan kita sebagai satu bangsa. Kita terpecah dan terkotak-kotak menurut berbagai kategori seperti agama, suku-ras, golongan, dan juga partai politik. Dalam ruang kategori-kategori itu masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Celakanya, di negeri ini agama-agama dianggap sangat penting, tetapi kesadaran agama justru ditransformasi menjadi kesadaran politik melalui organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.
Maka, pada ulang tahun ke-100 kebangkitan nasional dan ulang tahun ke-10 reformasi semestinya kita membaharui kesadaran kebangsaan kita. Untuk mengatasi masalah-masalah yang begitu banyak, kita mengharapkan pemimpin nasional tampil di hadapan kita untuk memastikan bahwa kita harus kembali kepada dan berpegang teguh pada konstitusi negara. Saatnya juga sekarang, pemimpin nasional memberikan rasa optimisme yang mempersatukan kita untuk bangkit bersama-sama menghadapi masalah-masalah yang ada. Kita memerlukan kesadaran yang menyatukan bangsa, karena hanya dengan kesadaran serupa itu, maka kebijakan atau keputusan publik akan berpihak pada rakyat dan memberikan rasa keadilan bagi semua orang. Singkatnya, kita membutuhkan sekarang ini suatu “Sumpah Kebangsaan” untuk setia pada konstitusi negara dan solider sebagai satu bangsa. #

16 Mei 2008

Duri dalam Daging Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010

Oleh Abraham S Wilar

KEMBALI ke tanah leluhur merupakan suatu hal yang penuh keriangan sebab ada kesempatan lagi untuk melihat tanah leluhur setelah sekian lama tidak dikunjungi. Selain keriangan, ada juga kondisi ‘bertanya-tanya’ atas kondisi tanah leluhur yang telah lama tidak dikunjungi. Walau saat ini informasi tentang tanah leluhur dapat diikuti melalui Manado Post Online dan berbagai informasi oral dari sanak saudara, tetap saja ada nuansa yang berbeda ketika melihat kondisi tanah leluhur dengan mata kepala sendiri ketimbang melihat tanah leluhur dari informasi oral ataupun media cetak. Pengertian semacam inilah yang menciptakan kondisi bertanya-tanya ketika hendak kembali ke tanah leluhur.
Akhirnya waktunya tiba. Penulis bersama keluarga besar kembali ke tanah leluhur dikarenakan adanya hajatan keluarga yang diadakan di Manado Grand Palace pada 25 April 2008 yang lalu. Banyak hal yang penulis lihat tentang Manado selama perjalanan kembali ke tanah leluhur. Tulisan ini ingin menyampaikan sebagian kecil pengalaman tersebut yang mana pengalaman itu diletakkan di dalam bingkai ‘‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010”.
DURI DALAM DAGING
Ketika kaki penulis memijak bumi Nyiur Melambai, bandara Sam Ratulangi yang mungil terlihat berada dalam proses ‘pencantikan’ sehingga di sana-sini banyak terlihat usaha penataan. Saat itu, penulis sangat merasakan detak kehidupan slogan ‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010’ dimulai ketika para tamu menginjakkan kaki mereka di bandara. Namun demikian, penulis sendiri berpandangan bahwa sesungguhnya aura slogan tersebut harus dapat dirasakan di luar kota Manado. Alasannya sederhana, yaitu: bukankah semakin banyak pihak luar tahu mengenai slogan tersebut akan semakin bertanya-tanya dan akhirnya tergerak untuk plesiran ke Manado. Di sini, penulis berbicara tentang penggunaan media informasi sebagai wadah kampanye program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Pihak luar yang penulis maksudkan di sini bukan hanya turis internasional, tetapi juga turis domestik. Kedua jenis turis ini harus menjadi fokus perhatian tanpa harus cenderung mengagungkan turis internasional dan meminggirkan turis domestik. Alasan penulis untuk menekankan pentingnya tidak memilih anak emas dari para turis sebab bila hal tersebut terjadi, itu berarti ada diskriminasi di dalam alam pikiran pelaksana slogan Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010. Diskriminasi di dalam pikiran akan mempengaruhi sikap dan tindakan. Diskriminasi seperti ini tidak boleh ada di bidang pariwisata. Sebab diskriminasi seperti ini sama jahatnya dengan diskriminasi di bidang Hak Asasi Manusia (yaitu: equal treatment)
Pada titik ini, dinas pariwisata merupakan salah satu share-holders tim sukses pelaksanaan slogan tersebut. Pada titik ini, penting kita bertanya: “apakah dinas pariwisata di Manado siap menyukseskan slogan tersebut?”. Kesiapan yang penulis maksud di sini bukan kesiapan bibir mengucapkan kata “ya, kami siap!”, tetapi kesiapan mentalitas aparatur dinas pariwisata di dalam program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, kesiapan program kerja, dan kesiapan pemantauan pelaksanaan program kerja tersebut. Apabila semua itu sudah pernah dibahas secara intensif dan ekstensif (ingat, garis bawahi secara intensif dan ekstensif !), maka baru dapat dikatakan bahwa dinas pariwisata siap menjadi tim sukses Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Setelah mendarat di bandara, perjalanan saya di Manado dimulai. Perjalanan meliputi kota Manado, Manado Grand Palace, Ritzy Hotel, Quality Hotel, Tomohon, Bitung, dan lain sebagainya. Sesampainya saya di Manado, saya dan keluarga check-in di Ritzy Hotel.
Selayaknya hotel, tentu berbagai bentuk promosi dilakukan. Salah satu promosi yang dilakukan Ritzy Hotel ialah adanya welcoming drink, fruits in the room, dan lain sebagainya. Ketika menjejakkan kaki di Ritzy Hotel, saya bertanya-tanya apakah kata promosi sama dengan kata ‘iming-iming’. Sejauh pengetahuan saya, kata promosi lebih berkonotasi positif di dalam kehidupan sehari-hari, sementara itu kata ‘iming-iming’ lebih berkonotasi negatif. Alasannya, kata promosi dipahami sebagai tindakan untuk mempublikasikan hal-hal yang sudah terencana dengan suatu harapan rencana tersebut dapat terlaksana. Sedang kata iming-iming dipakai dalam konteks mempengaruhi orang untuk mengikuti kemauan seseorang namun tidak ada kepastian akan adanya ‘reward’ bila mengikuti kemauan orang tersebut.
Bertolak dari pengertian itu, saya melihat bahwa promosi di Ritzy Hotel merupakan iming-iming. Hal itu dikuatkan ketika ayah saya menelpon front desk guna menyampaikan ketidak-puasan atas apa yang disebut oleh Ritzy Hotel sebagai promosi, tetapi nyatanya saya melihat itu sebagai ‘iming-iming’. Yang menarik (atau lucu??), setelah komplain itu, esok harinya di kamar kami muncul buah-buahan. Ketika melihat hal itu saya bertanya di dalam hati “o bagitu dang, [apakah] di Manado konsumen harus marah-marah dulu agar apa yang menjadi hak-hak konsumen terpenuhi.”
Pada titik ini saya mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel sebagai salah satu stake holder penyuksesan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel di dalam menyukseskan program tersebut sangat penting sebab dari sini dapat dilihat apakah pihak pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 pernah terpikir untuk ‘sidak’ (inspeksi mendadak) ke para share-holders penyuksesan program tersebut. Atau, jangan-jangan yang terjadi ialah pencetus ide hanya mencetuskan dan selebihnya percaya bahwa para share-holders sudah siap menyukseskan program itu? Dan, dari sini kita bisa juga mempertanyakan kesiapan hotel-hotel ataupun penginapan-penginapan yang ada (yang dalam persepsi penulis mereka semua adalah bagian dari share-holders kesuksesan program tersebut).
Masih di Manado. Perhatian penulis kini tertuju kepada toko-toko usaha. Menurut hemat penulis, toko-toko ini juga merupakan share-holders penyuksesan program. Pertanyaan penulis sama dengan pertanyaan untuk Ritzy Hotel, yaitu: apakah toko-toko usaha ini siap menyukseskan program tersebut? Pertanyaan ini penulis sampaikan sebab adanya pengalaman ‘dipandang enteng’ oleh Cella Bakery.
Saat itu, penulis bersama dengan istri dan mama sedang ingin beli klaapetaart di Cella Bakery. Di dalam toko, penulis tertarik membeli dua buah roti coklat, tetapi sampai dua kali penulis sampaikan keinginan membeli roti coklat itu ke pihak penjual, dua kali pula penulis diacuhkan-dianggap tidak ada padahal penulis berhadapan muka dengan pihak penjual (dan pada saat itu, penulis yakin mereka mendengar permintaan penulis).
Alih-alih melayani permintaan penulis (dua roti coklat), dua pelayan yang ada sama-sama lari meninggalkan penulis dan memilih melayani konsumen yang membeli roti dan kue lebih dari dua. Melihat kenyataan itu, penulis merasa sangat terlecehkan, dan kemudian menyampaikan langsung ketidakpuasan pelayanan ke pihak toko seraya membatalkan pesanan dan kemudian pergi dari toko itu.
Dua pengalaman di atas memberi inspirasi ke penulis tentang perlunya code of conduct yang dipegang ke setiap hotel, toko usaha dan para share holders lainnya di dalam usaha menyukseskan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Code of Conduct ini penting agar para share holders memahami nefesy program tersebut, dan bersama-sama menyukseskannya. Ketika berpikir tentang code of conduct ini, penulis bertanya-tanya apakah hal ini telah dipikirkan oleh pencetus ide program ini?
Selama di Manado, penulis beruntung dapat mengunjungi Bunaken dan Bukit Kasih. Kedua tempat ini dapat dikatakan sebagai tempat-tempat yang dibanggakan oleh orang Manado. Ketika masih di Jakarta, informasi tentang Bunaken dan Bukit Kasih sungguh sangat memikat penulis. Namun demikian, keterpukauan penulis agak terpukul ketika di dalam kapal kayu yang membawa penulis beserta rombongan keluarga ke Bunaken, penulis melihat toilet yang ada di kapal kayu itu tidak mempunyai tempat penampungan tinja sehingga semua kotoran manusia dan air kencing dibuang ke laut. Terhenyak penulis melihat kenyataan itu, terlebih ketika penulis menghadapkan pengalaman itu dengan kebanggaan pemerintah Sulut atas dipilihnya Manado sebagai tuan rumah WOC 2009.
Semakin dekat ke Bunaken, penulis semakin terpukul ketika melihat di satu tempat di laut telah menjadi ‘tempat pembuangan sampah’ sehingga perahu kayu yang melintasi daerah itu harus ber-zig-zag untuk menghindari kepungan sampah. Sudah lama penulis dengar bahwa kapal-kapal membuang sampah mereka di laut. Ketika melihat laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah, penulis bertanya-tanya apakah pengagas WOC 2009 menyadari banyaknya sampah di Bunaken, dan apakah mereka pernah terpikir bahwa sampah-sampah di laut itu dapat menjadi perusak image kesungguhan panitia WOC 2009.
Ketika mendarat di Bunaken, penulis semakin terhenyak di saat melihat betapa kumuhnya Bunaken (tepatnya di Tanjung Parigi). Sampah di mana-mana. Pihak pedagang baju/suvenir/makanan di tempat itu berkata bahwa sampah-sampah menumpuk di situ karena kesalahan (dan kemalasan) dinas kebersihan. Sebagai turis, penulis heran mengapa orang-orang di tempat itu tidak berniat membersihkan sampah yang ada dengan menempatkan sampah-sampah itu di karung-karung. Lagi-lagi, pihak pedagang di tempat itu menunjuk hidung dinas kebersihan ketika teman penulis menanyakan mengapa mereka tidak membersihkan sendiri tempat itu. Kata mereka, saat itu, tanggung-jawab dinas kebersihan membersihkan tempat itu bukan tanggung-jawab mereka.
Ketika melihat kondisi kumuh dan penuh sampah di Bunaken, penulis bertanya-tanya apakah pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 mengetahui kondisi Bunaken di saat mereka mempromosikan Bunaken dan menempatkan Bunaken sebagai kebanggaan kota Manado. Selain itu, penulis bertanya-tanya: apakah tanggung-jawab pencetus ide tersebut di dalam mengatasi kondisi kumuh Bunaken?
Setelah plesiran ke Bunaken, penulis beruntung dapat berkunjung ke Bukit Kasih. Lagi-lagi, sebelum ke Bukit Kasih, referensi-referensi positif tentang Bukit Kasih bermunculan di benak sehingga menambah rasa ingin tahu. Sesampainya di Bukit Kasih, penulis pertama kali terpukau oleh tangga-tangga yang menapaki bukit itu. Saat itu, terlintas cetusan: gile, boleh juga. Rasa sedih muncul ketika penulis melayangkan pandangan kepada sejumlah kerusakan yang dialami sejumlah anak tangga dan bangunan-bangunan yang ada. Ketika sedih berkelana di dalam hati, menyeruak pemikiran yaitu: Bukit Kasih dibangun untuk dirusak. Pemikiran penulis ini bisa salah apabila pihak pengelola (menurut informasi, pemerintah adalah pengelolanya) melakukan pemeliharaan rutin (untuk mencegah kerusakan), dan memperbaiki apa yang sudah rusak. Tapi, apa mau dikata, penulis meyakini pemikiran penulis benar sebab setelah Bukit Kasih dibangun kerusakan demi kerusakan yang justru dipelihara.
Semua pengalaman itu, menurut hemat penulis, merupakan duri dalam daging program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Melihat semua pengalaman itu, penulis bertanya-tanya Dunia mana yang dimaksudkan oleh program itu: apakah Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya ini? Atau, jangan-jangan, kata Dunia itu menunjuk kepada Dunia orang-orang Manado dan sekitarnya?
Bila kata Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya maka kerusakan Bukit Kasih, pelayanan diskriminatif di Cella Bakery, pelayanan tidak profesional di Ritzy Hotel, laut menjadi pembuangan sampah plastik bahkan sampah tinja manusia, dan minimnya persiapan dan kordinasi para share-holders di Manado, sesungguhnya tidak boleh ada. Tetapi, kalau kata Dunia itu menunjuk kepada dunia Sulut dan sekitarnya, maka wajarlah semua bentuk itu ada. Mengapa? Sebab, torang samua basudara. Artinya, semua orang di Manado adalah tuan rumah yang menganggap para tamu sebagai saudara dekat/jauh yang karena persaudaraan itu pelayanan ala kadarnya merupakan hal lumrah. Kan’ torang samua basudara, sama jo samua.
Sayang, sungguh sayang, pencanangan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010 tidak diikuti oleh pembangunan mental dan etos kerja para share-holders sehingga mereka semua berwawasan ke-Dunia-an. Yang jelas, penulis berpandangan bahwa sungguh absurd (bila tidak mau dikatakan tolol) bila ada seseorang ingin mengundang tamu-tamu dari berbagai belahan dunia ke rumahnya, tetapi ternyata rumahnya penuh sampah (mulai dari plastik sampai kotoran manusia), kerusakan rumah, penghuni rumah dan tetangga punya kecenderungan diskriminatif terhadap tamu. Pada titik ini, mungkin ada yang beralasan, ya memang ini keadaan kami atau beralasan kesederhanaan dan seterusnya. Menanggapi hal ini penulis berkata bahwa kebiasaan menutupi kekurangan dengan membela diri tidak akan pernah membawa perubahan berpikir, mentalitas dan etos kerja. Oleh karena itu, sejak awal seharusnya ada pertobatan (artinya: mengakui kesalahan yang sudah dilakukan, melakukan evaluasi dan kordinasi, dan kemudian melakukan pembangunan yang terencana, terarah, terukur dan terayomi).
PERTOBATAN DAN PEMBENAHAN
Pertobatan yang penulis maksudkan di sini ialah suatu upaya pembenahan (setelah sebelumnya dilakukan pengakuan kesalahan, evaluasi dan kordinasi internal). Di dalam rangka pembenahan ini, penulis melihat hal tersebut sebagai titik-kritis menguji komitmen dan keseriusan pencanangan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Penulis tentu menyadari bahwa tidak semua share-holders di Manado merupakan perusak dari program tersebut. Ada banyak para share-holders yang dapat dikategorikan sebagai pilar penyokong program. Namun demikian, bila para perusak dan kerusakan yang dibuatnya tidak diperhatikan maka hal-hal tersebut dapat menjadi ‘duri dalam daging’. Dan, sebagaimana diketahui khalayak ramai, bila kita memiliki duri di dalam daging kita maka hal itu mengurangi optimalisme performans. Seperti kata pepatah, tumpah nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, bila memang sudah sungguh-sungguh mencanangkan Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, maka tidak boleh ada ruang ketidaksempurnaan untuk hal itu. Namun demikian, bila pencanangan itu sekadar ‘lips service’ atau semacam gincu pemanis wajah Sulut maka sebaiknya pihak-pihak terkait harus berhati-hati sebab bila memang itu yang terjadi maka telah ‘pembualan publik’. Pembualan publik itu dapat disejajarkan dengan pembohongan publik.
Dampak terparah dari ‘lips service’ ialah terbentuknya mentalitas masyarakat Manado yang senang dengan berkata-kata dan integritas masyarakat Manado akan memudar bahkan bisa hilang. Bila ini terjadi, pembenahan semakin sulit dilakukan sebab apa yang mau dibenahi dari orang-orang yang tidak punya integritas dan hobinya senang berkata-kata (sejajar dengan orang yang malas bekerja). Apapun kegiatan yang dicanangkan, bila yang terlibat adalah orang yang hobi berkata-kata (malas bekerja), dan tidak punya integritas, semua kegiatan itu tidak berkembang dan hancur.
Menurut hemat penulis, pembenahan dapat dimulai dari review rencana makro program tersebut. Kalau menggunakan bahasa para arsitektur, planologi dan maket (dari program) harus dilihat secara cermat. Peninjauan ulang rencana makro penting untuk melihat apakah ada ketidakcocokan fokus pembangunan dengan program. Contoh, di dalam upaya menjadikan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010, maka fokus pembangunan ialah (berpusatkan pada) reklamasi pantai dan pembangunan mal-mal di sepanjang Boulevard, dan (kemudian) membiarkan kerusakan Bukit Kasih, sampah di Bunaken, dan lain sebagainya. Bila ini yang terjadi, hal ini menjadi contoh bagus tentang ketidakcocokkan fokus pembangunan dengan program.
Bila review rencana makro telah dilakukan, fokus diarahkan kepada hal-hal mikro (sub rincian) dan mikrokopis (detail dari sub rincian). Pada titik ini, penting untuk menggagas code of conduct bagi para share-holders program dan aktivitas pemantauan lapangan atas pelaksanaan program tersebut.
PENUTUP
Masih tersisa kurang lebih 1,5 tahun menuju Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Apakah waktu yang tersisa itu dapat digunakan seoptimal mungkin untuk melakukan pembenahan? Jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh aparat pemerintah di Manado dan masyarakat Manado. Penulis tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi yang jelas bila pembenahan terjadi maka Manado akan jauh lebih cantik (karena penuh sambutan kepada para tamu), tertata (karena pembangunan mal dan renovasi daerah rusak lainnya seimbang), sehat (karena udara tetap terjaga segar dan sejuk), indah (karena laut bersih dan karena pemandangan bukit dan gunung hijau), dan bermartabat (karena masyarakat menghargai tamu/turis). Akhir kata, kerja keras telah menanti di depan mata para aparat pemerintah dan masyarakat Manado bila benar-benar ingin melaksanakan program tersebut. Bila tidak, sudah jo.. jang buang energi dan dana voor program ndak jelas. God Bless Manado.#

15 Mei 2008

Hina Jadi Mulia

(Menjawab kekhawatiran warga sekitar TPA dan menilik fenomena energi alternatif)

Oleh Musliyadi Mokoagow*

MASALAH silih berganti menerpa bangsa ini, mulai dari krisis moneter, bencana alam yang berkepanjangan, krisis moral yang kronis dengan merajalelanya kasus suap dan korupsi, meradangnya penyakit krisis energi, tapi masalah muncul bukan untuk diributkan tapi lebih ke bagaimana cara bangsa ini memecahkan masalah yang dihadapi. Kenaikan harga BBM, terutama minyak tanah yang sangat membebani masyarakat, karena sudah terlanjur mengandalkan bahan bakar fosil terutama minyak tanah menjadi sangat bingung mengatur keuangannya terutama, bagi mereka yang berkecimpung di sektor Industri Kecil Menengah yang banyak menggunakan minyak tanah.
Konversi minyak ke gas, yang terkesan dipaksakan, seiring dengan pencabutan subsidi minyak tanah oleh pemerintah, yang menyebabkan kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah di Indonesia. Hilangnya minyak tanah di pasaran seiring pencabutan subsidi oleh pemerintah kini hal yang sama terjadi pada gas, yang ikut-ikutan menghilang di pasaran, sehingga menambah daftar penderitaan masyarakat menengah ke bawah, sehingga berdampak pada berbagai sektor kehidupan yaitu dengan naiknya harga-harga makanan yang dihasilkan oleh industri yang banyak menggunakan minyak tanah, dan ini mungkin hal yang sangat fenomenal bagi pemerintahan SBY dan JK, tapi bukan masalah kalau tidak ada jalan keluarnya.
Kini banyak penelitian mengenai energi alternatif yang bermunculan, mulai dari geothermal, energi matahari, biodiesel, bioetanol, biogas. Teknologi pembuatan biogas dari kotoran ternak hingga kotoran manusia, biogas sebenarnya bukan sesuatu hal yang asing di Amerika. Teknologi ini dipakai puluhan tahun yang lalu, demikian juga di Indonesia. Walaupun demikian, masyarakat tetap lebih suka menggunakan bahan bakar minyak karena dinilai lebih praktis dan ekonomis. Namun seiring perjalanan waktu minyak tanah dinilai lebih praktis namun tidak ekonomis lagi dengan dicabutnya subsidi minyak tanah oleh pemerintah. Betapa tidak kata hina jadi mulia pantas dialamatkan pada salah satu energi yang satu ini. Energi alternatif yang semula adalah kotoran dan sampah organik yang baunya sangat menyengat dan menjijikkan kini dimuliakan dengan digunakannya sebagai energi alternatif yang sangat potensial.
Banyak TPA atau Tempat Pembuangan Akhir, yang sering menimbulkan masalah polusi hingga penolakan warga soal penempatan areal yang dijadikan TPA. Tidak terpikirkan oleh kita bahwa TPA menjadi sumber energi alternatif bila kita manfaatkan limbah-limbah yang semula tidak berguna, diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Seperti daur ulang sampah organik menjadi pupuk organik, biogas sebab sampah organik merupakan sumber gas metan yang bisa kita manfaatkan sebagai sumber energi pengganti minyak tanah.
Masyarakat sekitar TPA di Kelurahan Tewaan Kecamatan Ranowulu Bitung mengaku was-was, seperti berita yang dilansir salah satu harian terbesar di Sulut. Pasalnya, di beberapa titik diduga mengeluarkan gas metan yang bisa menyebabkan kebakaran serta ledakan yang cukup besar, makanya warga sekitar takut sembarang buang api di TPA. Berangkat dari kekhawatiran warga sekitar TPA, penulis bermaksud mengubah kekhawatiran menjadi kegembiraan warga sekitar TPA, apabila pipa-pipa yang dipasang di beberapa tiik guna menguapkan gas metan, dialihkan untuk dibuatkan instalasi gas metan dan dialirkan ke rumah-rumah warga sebagai energi alternatif pengganti minyak tanah yang kini tidak lagi ekonomis, mubazirkan apabila hanya dipasang pipa guna menguapkan (membuang) gas metan (biogas), dari krisis energi seperti ini janganlah kita buang-buang potensi energi yang ada.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada peningkatan penggunaan energi. Berbagai bentuk sumber energi, sebenarnya telah dimanfaatkan oleh manusia seperti minyak bumi, batu bara, gas alam yang merupakan bahan bakar fosil, serta sumber energi tradisional seperti kayu bakar. Sumber energi fosil bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga pemakaiannya harus hemat, selain itu efisiensi panenan dari kayu bakar dan bahan bakar fosil relatif rendah (20-30 persen), sebagai gambaran, ketika kita menggunakan kayu bakar, api yang dihasilkan tidak terfokus (menyebar) dan akan menghasilkan kotoran berupa jelaga. Pada saat memakai minyak tanah atau menyalakan kompor, api yang dihasilkan tidak langsung besar, tetapi akan membesar secara bertahap. Karena itu efisiensi panenan dari biogas lebih besar dari (30-40 persen).Limbah anorganik atau organik sedikit atau banyak akan menimbulkan gangguan. Dalam jumlah sedikit, limbah dan sampah bisa merusak pemandangan kota. Apalagi dalam jumlah yang banyak. Sungguh tidak terbayangkan, puluhan jiwa manusia meninggal hanya karena tumpukan sampah seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung. Dari sinilah dirasakan pentingnya upaya penanganan limbah yang benar. Tujuan utamanya adalah jangan sampai limbah itu merugikan kehidupan manusia. Dampak negatif dari pengolahan sampah kota tidak dapat dihilangkan secara total. Namun, paling tidak diupayakan cara pengelolaan sampah dengan dampak negatif seminimal mungkin atau dampak positif harus dirasakan untuk aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Pupuk organik yang dihasilkan dari pengelolan sampah di TPA, bisa menggantikan pupuk kimia yang harganya tinggi dan selalu meningkat seiring naiknya harga Bahan Bakar Minyak. Demikian pula biogas atau tenaga listrik sampah adalah bahan energi alternatif (biofuel) yang dapat diperbaharui (renewable) sebagai pengganti BBM yang semakin langka dan mahal.
Oleh karena itu, para pengambil kebijakan pengelolaan sampah kota dituntut menemukan pengelolaan lingkungan yang berbasis sistem produksi. Artinya, sampah dilihat sebagai bahan baku untuk diproses menjadi produk yang memiliki nilai komersial serta bersih lingkungan. Tulisan ini diharapkan berguna bagi praktisi lingkungan di Provinsi Sulawesi Utara khususnya Kota Manado, mengingat World Ocean Conference (WOC) yang akan digelar di Sulut 2009 mendatang. Save Our Climate, Save The Planet, Save Our Forest.#

*Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unsrat

Ujian Nasional Sebuah Ironi

Oleh Evelyne Awuy S PAK

TANPA mengurangi rasa hormat terhadap Departemen Pendidikan Nasional dengan program ujian nasional yang sementara berjalan saat ini, tulisan ini hanyalah menjadi perenungan bagi kita bersama untuk lebih menggumuli berbagai persoalan bangsa kita yang salah satu sumbernya berasal dari aspek yang paling hakiki, yakni pendidikan.
Berbagai fakta-fakta yang muncul di seputar ujian nasional yang sementara berjalan saat ini sungguh memiriskan hati. Dan oleh sebab itu menjadi sebuah ironi, di tengah-tengah usaha negara untuk memajukan kehidupan peradabannya melalui lembaga yang paling dipercaya oleh keluarga-keluarga Indonesia untuk menjadikan anak-anak mereka mempunyai masa depan yakni sekolah. Ironi karena ternyata untuk sebuah ujian nasional (Jakarta) di negara kita harus dijaga oleh pasukan elit detasemen khusus Anti Teror 88. Entah siapa teroris yang harus dijaga? Bom kertas, guru teroris atau murid teroris, atau teroris pembocor soal ujian yang menyusup dalam ujian nasional. Ironi karena beberapa guru dan kepala sekolah harus berurusan dengan polisi karena melakukan kejahatan pembocoran soal padahal tujuannya hanyalah untuk “membantu” rupanya mereka tidak percaya dengan usaha mereka mengajar anak selama ini sehingga anak perlu bocoran soal. Ironi karena banyak anak-anak yang menangis ketakutan dan stres karena akan ujian sepertinya mereka akan dibawa ke killing field (ladang pembantaian) momoknya adalah jangan-jangan mereka tidak lulus. Sebab pengalaman tahun yang lalu, banyak siswa berprestasi yang bahkan sudah diterima di universitas luar negeri terjegal dan tidak lulus dengan hasil tidak mencapai batas nilai minimal kelulusan 5. Padahal angka 5 dalam bahasa raport pendidikan berarti tidak cukup. Ironi karena sebagian besar masyarakat Indonesia sementara menghadapi ancaman krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya padahal pendidikan dianggap sebagai jalan keluar untuk entas dari problematika bangsa. Parahnya lagi ternyata ada banyak sarjana dan para muda produktif yang sudah menyelesaikan berbagai pendidikan kursus tapi belum mendapatkan pekerjaan. Ironis betul negara kita Indonesia karena ada begitu banyak siswa negara yang dahulunya datang belajar di Indonesia, sekarang menjadi tempat di mana banyak anak-anak kita pergi untuk studi. Ironis karena negara mereka sudah lebih dahulu sukses dan maju sementara negara kita tempat di mana mereka pernah belajar dahulu, semakin hari semakin terpuruk.
Indonesia yang begitu luas dari Sumatera sampai Papua, dari sekolah dengan standard internasional yang ada di kota-kota, gedung dengan berbagai laboratorium, kelas yang ber-AC, guru yang berpredikat Magister Pendidikan ditambah lagi les privat serta kelas-kelas bimbingan ujian nasional yang bertarif jutaan, yang ironisnya berbanding sebaliknya dengan anak-anak di daerah-daerah misalnya di pelosok Papua yang gurunya sangat minim (bahkan ada sekolah yang gurunya oleh seorang waker-penjaga sekolah). Dalam pelaksanaan ujian, sentralisasi pemeriksaan lewat scaning komputer, pengawasan ketat bahkan melibatkan aparat kepolisian walaupun ada pengkategorian soal ujian, akan tetapi bagaimana mungkin secara nasional hendak disetarakan hasilnya. Belum lagi masalah distribusi ke daerah bahkan juga pengembalian soal-soal dari pulau dan daerah terpencil. Belum lagi masalah eror teknologi komputer dan eror-eror lainnya.
Dua fakta mendasar yang jarang diperhatikan yakni pertama dalam Child Development Goal ada beberapa aspek yang menjadi sasaran: 1. Pengembangan Sosial, 2. Pengembangan Emosional, 3. Pengembangan Fisik, 4. Pengembangan Ekonomi, 5. Pengembangan Kerohanian. 5 pengembangan ini juga disebut pengembangan holistrik/menyeluruh. Pengembangan intelektual hanyalah salah satu aspek dalam fisik anak. Sedangkan menurut Tony Buzan (Head First 2003) ada 10 macam kecerdasan dari multiple intelegences dengan 3 kategori kecerdasan: Pertama, kecerdasan kreatif dan emosi, Kedua, kecerdasan ragawi dan Ketiga, yang disebut kecerdasan tradisional yakni IQ. Perhatikan IQ yang sementara dikejar dalam ujian nasional ini masuk dalam kategori kecerdasan tradisional yang berarti kalau visi ini yang menjadi tujuan utama dalam ujian nasional ini berarti negara kita masih dalam paradigma pendidikan yang bervisi tradisional. Menurut Howard Gardner seorang pakar dalam Multiple Intelegences IQ bukanlah yang paling utama, bahkan ia menambahkan bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan intrapersonal (kemampuan untuk mengetahui dan memahami diri sendiri) dan kecerdasan interpersonal (kemampuan efektif dalam sosialisasi diri). Kecerdasan intelektual bukanlah faktor penentu seorang bisa sukses akan tetapi juga ada faktor-faktor dasariah lainnya yang menjadi penentu seorang anak bisa berhasil dalam hidupnya. Dari dua fakta yang disebutkan di atas, ternyata big question dari program ujian nasional, adalah bahwa apa yang hendak diuji hanyalah menyangkut aspek intelegensi dan hanya menekankan aspek pengetahuan. Sementara sang anak didik ini telah belajar sekian tahun berjuang siang dan malam, melahap semua jenis pengetahuan, belajar etika, sopan santun, belajar bersosialisasi, diberi wejangan nasihat oleh guru setiap hari, dan finalnya hanya ditentukan oleh sebuah ujian yang berlangsung hanya 120 menit. Ironis. Mau jadi apa bangsa kita ini apabila kualitas manusianya hanya ditentukan oleh sebuah hasil ujian. Padahal fakta membuktikan banyak anak-anak yang nilai pelajarannya biasa-biasa saja, akan tetapi kemudian bisa sukses. Sebagai contoh maestro genius dunia, seperti Albert Einstein, dan Thomas A Edison dianggap bodoh oleh gurunya karena nilai pelajarannya rendah, tapi ternyata mereka bisa membuat karya-karya besar. Belum lagi ada begitu banyak orang yang sukses dan berhasil di berbagai bidang termasuk atlet dan artis terkenal yang dahulunya biasa-biasa saja dan boleh dikatakan “bodoh” oleh gurunya semasa mereka bersekolah.
Pendidikan harus dikembalikan pada hakekat dan tujuan luhurnya yang bukan terkontaminasi oleh tujuan politis. Pendidikan harus melihat bahwa seorang anak sebagai sebuah individu yang komplit yang Tuhan sudah ciptakan dengan miliaran sel otak dan potensi tak terbatas dan salah satu tapi bukan satu-satunya aspek intelektual anak yang harus dirangsang dikembangkan. Filosofi guru digugu dan ditiru akan tetapi guru bukanlah menjadikan anak sebagai fotokopi seperti yang diinginkan oleh guru. Tugas guru dalam sebagaimana definisi Pedagogik tugasnya adalah mengantar seorang anak didik untuk menemukan jalan arah supaya dia sendiri akan mengembangkan dirinya menurut arah dan jalan yang telah ditunjukkan oleh seorang mentor atau guru, tugas guru merangsang anak untuk memiliki mimpi (visi) tentang masa depannya, gairah dan kemauan keras untuk memaksimalkan imago Dei (citra Tuhan) yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sehingga seorang anak akan berjuang memaksimalkan semua potensi diri yang sudah ditanamkan lewat miliaran sel otak yang siap berkembang dan bertumbuh secara luar biasa. Tugas guru dan negara-negara adalah menyediakan fasilitas dan melapangkan jalan bagi anak supaya dapat bertumbuh berkembang menjadi generasi bangsa yang luar biasa untuk masa depannya pribadi tetapi juga untuk orang lain. Bangkitlah Pendidikan Indonesia!!!#

*Guru

14 Mei 2008

Upaya Meningkatkan Kualitas Kopra Sulut dengan Memproduksi Kopra Putih

Oleh Dekie S*

MUNGKIN belum banyak petani kelapa di bumi Nyiur Melambai Sulawesi Utara ini yang sudah mengetahui produk kopra putih, bagaimana proses pembuatannya, apa perbedaan mutunya dengan kopra biasa, dan manfaat minyak murni hasil olahannya bagi kesehatan serta prospek unggulannya di masa mendatang.
Sampai saat ini para petani/pemilik perkebunan kelapa masih membuat kopra secara tradisional melalui metode pengasapan langsung yang menghasilkan kopra hari-hari yang kurang higienis, tercemar asap, jamur dan kotoran lain yang berbahaya untuk kesehatan serta kandungan air tinggi. Kualitas kopra seperti ini perlu ditingkatkan untuk menghasilkan produk kopra yang berkualitas yang dapat menjadi suatu produk unggulan Sulawesi Utara di masa depan.
Kopra putih merupakan produk kopra bermutu tinggi, berwarna putih mutiara dan coklat terang, bersih, higienis, berbau harum tidak terkontaminasi aflatoxin, jamur, kotoran dan unsur-unsur berbahaya bagi kesehatan manusia. Minyak hasil olahan dari kopra putih digunakan terutama untuk minyak makan/goreng dan bagi kalangan masyarakat yang mengutamakan kesehatan, dan selain itu dipakai sebagai minyak campuran (edible oil) untuk produk margarine, kosmetik, parfum, sabun, pelembab, campuran chocolate, es cream, bahan pharmaceutical dan kebutuhan industri lainnya.
Ada beberapa metode pembuatan kopra putih, namun yang paling efisien dan efektif adalah dengan menggunakan metode pemanasan tidak langsung (indirect heating) dengan sarana dryer yang metode aslinya berasal dari Salomon Island penghasil kelapa di Pacific Islands, kemudian teknologi ini digunakan di Filipina dan saat ini dimodifikasi, dikembangkan dan diterapkan oleh PT MCM di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) Sulawesi Utara.
Pembuatan kopra putih merupakan upaya mengubah kebiasaan membuat kopra secara tradisionil untuk meningkatkan kualitas hasil produksi kopra untuk mendapatkan nilai tambah yang dapat berdampak positif terhadap peningkatan penghasilan para petani pemilik perkebunan kelapa. Upaya ini memerlukan investasi yang cukup besar terutama untuk mendirikan sarana proses pengeringan yang banyak dan tersebar di sentra-sentra produksi kelapa untuk memudahkan petani kelapa dapat menggunakannya membuat kopra putih. Keberhasilan upaya ini sangat tergantung pada komitmen dan kerjasama dari para pabrikan CNO/minyak goreng untuk memberikan insentif harga dan kondisi lain yang dapat memotivasi petani/pemilik kelapa untuk berubah dan meninggalkan cara/kebiasaan membuat kopra secara tradisional, dan bantuan pemerintah dalam membangun sarana pengolahan, serta kepedulian pihak perbankan dalam memberikan pendanaan baik working capital maupun investment capital di sektor riil ini yang padat karya di pedesaan.
Prospek pemasaran kopra putih terbuka luas di pasar lokal maupun ekspor, dan apabila umumnya para petani kelapa sudah banyak beralih ke produksi kopra putih sehingga volumenya sudah mencukupi, maka hal ini tidak menutup kemungkinan mendirikan pabrik pengolahan minyak makan dengan kapasitas kecil yang khusus memproduksi minyak makan/goreng murni dan sehat untuk kadar ekspor terutama ke masyarakat Uni Eropa yang sangat mengutamakan faktor kesehatan. Pengolahan kopra putih dapat diintegrasikan dengan pembuatan coco fibre, arang tempurung, cuka atau alkohol. Hal ini akan lebih memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani kelapa, penciptaan lapangan kerja di pedeaaan, mengurangi urbanisasi, menggerakkan perekonomian rakyat dan daerah, dan juga memberi kontribusi PAD setempat serta mendukung program revitalisasi perkebunan kelapa di Sulut. #

*Pengolah Kopra Putih di Ratahan

Akselerasi Transformasi Unsrat

(Tulang Punggung WOC)

Oleh Johny Weol*

“IS IT POSSIBLE FOR INDONESIA TO BE APPOINTED A HARVARD UNIVERSITY EXPERT”?
Tantangan Unsrat ke depan antara lain “akselerasi transformasi” menuju universitas riset dan entrepreneurial. “Unsrat sebagai” center of exellent - the Harvard-nya Sulut harus segera berbenah diri, pasca Pilrek 2008.
Terlihat jelas akademisi Unsrat mendominasi peran terselenggaranya WOC 2009. Unsrat menjadi tulang punggung hajatan akbar dan global tersebut. Akselerasi transformasi ini dibutuhkan dalam rangka “tata kelola” Biaya Operasional Pendidikan (BOP) atau biaya yang dibayarkan para orang tua mahasiswa, juga kontribusi dana Non-BOP agar kualitas pendidikan lebih baik. Akses internet seperti lewat gelombang Wi-Fi ke seluruh wilayah kampus perlu ditata. Untuk bersaing perlu kampus ber-AC hingga buku memadai.
Life cycle teknologi yang pendek di mana setiap 2-3 tahun komputer harus diganti, jadi tantangan tersendiri. Termasuk di dalamnya “electronic books” dengan ribuan judul jurnal internasional perlu tersedia. Memang kekeliruan entrepreneurial sering disalahartikan sebagai “bisnis”, “komersialisasi” dan itu salah, karena revenue yang besar akan dikembalikan dalam bentuk kualitas pendidikan.
Tantangan lain, “admission fee”, apa mau melihat seperti Universitas Trisakti Rp40 juta, Binus Rp32 juta, atau sesuai kemampuan yang ada. Dana besar Unsrat atau umumnya PT-PT di Indonesia (apalagi swasta) memang berasal dari BOP.
Yang mampu jelas membayar “full cost”. Jalan keluar yang ada, mahasiswa mendapat pinjaman pendidikan, lalu kembalikan dana itu setelah lima tahun bekerja. Ada juga pemberian “allowance” bagi mahasiswa tak mampu tapi berprestasi. Pungutan liar harus ditiadakan di setiap fakultas apabila ada. Transparansi SPP mesti jelas dan diatur sebijaksana mungkin seraya menghindari gejolak mahasiswa. Terlihat optimalisasi peran alumni perlu sekali digiatkan, disertai penyelenggaraan “academic venture” atau unit usaha academic. Perlu diluncurkan “knowledge venture”, karena Unsrat punya segudang ahli. Semua menuju “commercial venture” dan “asset management” dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan Unsrat. Jelas, budaya wirausaha bukan berarti semua aktivitas harus mendatangkan uang secara langsung. Entrepreneurial juga berarti kerja keras, ulet, innovatif, kreatif, berani ambil risiko (disebut entrepreneurial culture).
Sebaliknya, kadang-kadang kita menghasilkan lulusan yang sangat menguasai keilmuan tertentu, tetapi kebutuhan masyarakat tidak setinggi keilmuan tersebut. Cepat atau lambat, Rektor Unsrat beserta jajarannya, akan mengawal kampus sebagai universitas riset kelas Indonesia dan global yang berkarakter kewirausahaan.
Jelas perlu transformasi di segala bidang. Perlu budaya meneliti para dosen menjadi investasi dan modal penting mewujudkan cita-cita tersebut di atas. Meminjam kata Gumilar Somantri “Lifting to Global Best” yang disambut Sheldon Nord: Time For World-Class Education. Dalam bidang kedokteran “time to call in more doctors” (di Indonesia ada 70.000 dokter untuk melayani 220 juta penduduk, Fakedok 52 se-Indonesia hanya menghasilkan 4.000 dokter setahun). The power of education, memenuhi semua tuntutan derasnya science dan teknologi dan itu berarti perang mutu yang tak ada akhirnya di Kampus Unsrat tercinta. Mari majukan Unsrat menyambut WOC 2009, menjadi peran akademisi plus Rektor Unsrat yang baru mendatang. God Bless Unsrat, Amen!#

13 Mei 2008

Peningkatan Standar UNAS, Solusi Peningkatan Daya Saing

Oleh Rudy S Wenas SE MM

MENGHADAPI Ujian Nasional bagi para siswa SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA merupakan suatu tantangan yang harus dilewati secara traumatis, karena diperhadapkan dengan kekhawatiran untuk tidak dapat lulus yang disebabkan oleh Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ditetapkan oleh pemerintah yang dirasakan terlalu tinggi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007, ditetapkan bahwa standar kelulusan UN SMP, MTs, SMPLB, SMA/SMK, SMALB tahun ini ditingkatkan dari 5,00 menjadi 5,25 untuk nilai rata-rata minimal dan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Keputusan pemerintah ini oleh masyarakat dirasakan sebagai kebijakan yang terlalu dipaksakan dan tidak memihak kepada nasib masyarakat yang sudah tertindih oleh kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kebijakan pemerintah ini dianggap bertolak belakang dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu juga dampak secara langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah tekanan mental anak-anak yaitu hilang kepercayaan diri, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sulit untuk mendapatkan pekerjaan serta kerugian material yang berupa biaya pendidikan yang telah dikeluarkan selama tiga tahun.
Namun bagi pemerintah keputusan ini merupakan keputusan yang sangat tepat sebagai alternatif strategi dalam meningkatkan daya saing bangsa. Berdasarkan hasil survei tingkat persaingan global 2006/2007 oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati peringkat ke 50 dari 125 negara dan hasil survei oleh International Institute For Management, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya, Indonesia menempati peringkat terendah dimana Singapore ke 5, Jepang ke 7, Malaysia ke 26, Thailand ke 35 dan India ke 43.
Mungkin atas dasar inilah sehingga pemerintah dari tahun ke tahun berusaha untuk terus meningkatkan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) siswa. Bagi pemerintah sudah saatnya bangsa kita dipaksa untuk terus meningkatkan keahliannya dan tidak terus dininabobokan dengan keadaan-keadaan yang tidak produktif dan kreatif. Pemerintah merasa bahwa salah satu cara untuk mengubah kompetensi dan kualitas tenaga kerja sebagai aset bangsa harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Memang sulit rasanya untuk mengubah kualitas siswa dan guru secara langsung sebagai input dari suatu sistem pendidikan, oleh karena itu cara yang terbaik adalah menekan outputnya yaitu standar kelulusan. Harapan pemerintah lewat kebijakan ini sepertinya merupakan tindakan pemaksaan, namun hal ini dapat menjadi tolak ukur bagi para guru untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran kepada para siswa dan bagi para siswa itu sendiri harus berusaha untuk belajar, belajar dan belajar.
Kasus kebocoran lembar soal ujian nasional tingkat SMA/MA/SMK/SMALB yang terjadi di Deli Serdang Sumatera Utara dan Makassar Sulawesi Selatan di mana pihak sekolah secara sadar membocorkan soal kepada siswanya memang merupakan suatu bentuk pembelaan karena takut para siswa didiknya tidak lulus. Tapi hal ini sebenarnya merupakan bentuk tidak berhasilnya para guru dalam mendidik anak didiknya sendiri. Seperti kita ketahui bahwa faktor utama keberhasilan anak didik tergantung pada sosok guru yang mampu untuk membina, mendidik dan melakukan transfer ilmu. Seorang pelatih sirkus pun apabila dengan telaten sesuai dengan kompetensinya dapat melatih seekor singa untuk dapat meloncat dan melewati bulatan api yang sedang berkobar.
Saya sebagai seorang pendidik di salah satu universitas negeri di Sulut merasa bahwa seorang anak didik harus dilatih dari pendidikan dasar, agar supaya nanti di bangku kuliah tidak mengalami kesulitan dalam memahami sebagian besar ilmu-ilmu terapan. Di bangku kuliah seorang mahasiswa tidak akan diajarkan kembali penjumlahan, perkalian dan pembagian ataupun tata bahasa dalam menyusun suatu tulisan. Sebagai mahasiswa dituntut untuk dapat melakukan analisis atau proses menginterpretasikan teori-teori yang ada dan bukan lagi mengajarkan kepada mahasiswa untuk dapat menghafal atau mengulang kembali materi-materi yang telah diajarkan sejak berada di pendidikan dasar.
Selain itu juga kekhawatiran saya sebagai tenaga pendidik yaitu terletak pada kualitas anak didik kita: Apakah mereka siap untuk turun ke lapangan pekerjaan?; Apakah mereka siap untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif?; Apakah ada perusahaan yang mau menerima pekerja yang tidak berkualitas atau dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di bawah syarat ketentuan perusahaan (IPK rata-rata diterimanya seorang mahasiswa sekarang ini di atas 3.00).
Sebagai orang tua yang mendapat tugas dari Tuhan untuk membesarkan, mendidik, menjadikan seorang anak manusia yang beradab, berhasil dalam karir dan berguna bagi keluarga serta bangsa negara tentunya tidak perlu khawatir apalagi melakukan penolakan terhadap keputusan pemerintah tentang standar kelulusan. Yang harus dilakukan oleh orang tua dimulai dari lingkungan keluarga itu sendiri adalah mendorong setiap anak untuk terus belajar dan meningkatkan kepintarannya karena Tuhan itu sendiri tidak akan menciptakan manusia bodoh.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini, tindakan pemerintah untuk meningkatkan Standar Kompetensi Lulusan sudahlah tepat karena kebijakan ini merupakan solusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa. Yang sangat diharapkan agar pemerintah bukan hanya menjadikan kebijakan ini sebagai bahan politik atau adanya kepentingan seperti yang telah menjadi budaya bangsa kita yaitu “asal bapak senang” namun pemerintah harus bertanggung jawab dalam melakukan pemerataan pendidikan ke seluruh pelosok Indonesia melalui pembangunan infrastruktur pendidikan seperti sarana fisik sekolah, alat peraga, pengadaan buku, bantuan secara langsung kepada siswa yang tidak mampu dan pelatihan-pelatihan pengajaran serta pemberian kompensasi yang sesuai kepada para guru.#

* Anggota Tim Pemantau Independen Unas Kota Manado; Dosen Fakultas Ekonomi Unsrat

10 Mei 2008

Spiritualitas Sains, Perlukah?

Oleh dr Taufiq Pasiak

ALHAMDULILLAH, hari ini saya mendapat kehormatan untuk menjadi keynote speech dalam satu sesi seminar memperingati dies Natalis Universitas Negeri Jogjakarta (UNJ). Ini bukan sekadar kesempatan untuk sharing, tukar menukar pengalaman, uji gagasan atau promosi hasil penelitian, ide dan karya-karya. Lebih dari itu, bagi saya, ini sebuah kehormatan yang patut disyukuri. Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu eksakta, dan karena itu akrab dengan hal-hal empirik, kesempatan berbicara di hadapan ilmuwan-ilmuwan sosial merupakan kesempatan berharga dalam 2 hal; pertama, menguji gagasan saya tentang spiritualitas yang saya teliti sejak 4 tahun lalu dalam rangka penulisan disertasi, kedua, saya dapat melihat sejauh mana sains sosial melihat spiritualitas dalam dinamika keilmuan mereka. Tema seminar ini sangat menantang; “spiritualitas dalam ilmu pengetahuan sosial”. Pembicaranya merupakan orang yang ahli dalam bidang ini. Pesertanya berasal dari beberapa negara tetangga, di samping dari tanah air sendiri.
Seberapa pentingkah spiritualitas itu dalam sains? Kebanyakan ilmuwan menjawab bahwa spiritualitas memiliki wilayahnya sendiri, dan sains juga memiliki wilayah sendiri. 2 wilayah ini tak mungkin digabung. Ontologi (objek ilmu) dan epistemologi (metode ilmu) nya berbeda. Sains sosial dapat dijangkau pelbagai fenomena yang ada, sementara spiritualitas berada di luar fenomena alias tak dapat dijangkau. Seorang ilmuwan menyatakan; “bagaimana ruh itu bisa dijangkau”. “Jika saya tak percaya adanya ruh bagaimana mungkin saya mempercayai adanya spiritualitas. Seorang psikolog terkenal bahkan dengan garang berkata: “sedangkan jiwa saja tak dapat dijangkau oleh psikologi. Apalagi ruh”. Adalah mustahil membawa spiritualitas ke dalam wilayah sains sebagai mustahilnya membawa sains dalam wilayah spiritualitas. Bahkan dalam banyak hal terdapat pertentangan terbuka antara keduanya. Anda mungkin ingat hukum Kekekalan Energi dari (Lavoiser) yang menyatakan bahwa energi (atau materi) tidak dapat dimusnahkan, kecuali berubah bentuk. Anda bandingkan dengan pernyataan semua kitab suci bahwa benda-benda (tentu mengandung massa dan energi) sekali waktu akan hancur manakala kiamat terjadi. Bumi adalah materi (energi) yang pasti akan hancur. Jelas sekali —kata kebanyakan orang— bahwa sains kimia (Hukum Kekekalan Energi) itu tidak bisa menyatu dengan ajaran kitab suci. Demikian halnya dengan teori Evolusi Darwin yang melihat bahwa manusia berkembang secara evolutif menjadi manusia seperti hari ini. Semula manusia adalah makhluk bersel tunggal yang pelan demi pelan berkembang dan bertumbuh sehingga menghasilkan sejumlah hewan antara yang akhirnya menjadi manusia. Fase-fase antara itu berupa hewan-hewan rendah yang fosilnya dapat ditemukan. Menurut Darwin, homo sapiens (saya dan Anda, dan kita semua manusia) merupakan hasil dari perkembangan homo habilis (makhluk primata non manusia, yang setengah binatang). Bandingkan pendapat sains ini dengan ajaran kitab suci tentang keistimewaan manusia. Alkitab melukiskan manusia sebagai imago dei (citra Tuhan). Alquran menyebut manusia sebagai khalifatun fil ‘ardh (makhluk mulia, pemimpin di dunia). Kebanyakan ahli menyetujui bahwa mustahil menggabungkan kedua wilayah itu. Mustahil, mustahil dan impossible!
Anda perhatikan juga ilmu kedokteran. Ilmu yang paling dekat dengan manusia karena mempelajari manusia secara langsung. Boleh dikata, ilmu ini adalah ilmu yang berada di garda depan menolak spiritualitas meskipun ilmu ini secara gamang mengakui adanya jiwa manusia, melalui cabangnya psikiatri (psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menggabungkan filsafat manusia dan ilmu kedokteran biologis). Ironis, kebanyakan psikiater merupakan dokter yang kurang memahami spiritualitas manusia secara utuh. Mungkin karena pendidikan mereka yang lebih banyak melihat manusia sebagai si sakit jiwa. Paradigma psikiatri hingga saat ini masih berkutat bolak-balik soal mental disorder (gangguan mental). Mereka masih canggung dan ragu masuk dan membahas tentang mental well being. Ironi yang lain, meskipun kebanyakan dokter sudah berkoar tentang pendekatan biopsikososiospiritual terhadap manusia, tetapi ada lebih banyak dokter yang melihat manusia sebagai makhluk biologis semata. Kalau Anda sakit kepala dan datang berobat ke dokter, maka kebanyakan dokter akan memberikan Anda obat penghilang sakit. Solusi ini berlangsung otomatis dalam benak setiap dokter. Kalau ada dokter yang mau tahu lebih jauh, maka itu terjadi karena wawasan atau pengalaman yang lain di luar ilmu kedokteran. Anda tidak usah heran, tidak ada satu titik pun —saya ulangi, satu titik pun— dalam paradigma ilmu kedokteran yang memberi ruang pada spiritualitas ini. Para dokter tidak pernah diajar tentang adanya spiritualitas dalam diri manusia. Yang ada di benak para dokter, sebagaimana itu dididik bertahun-tahun dalam proses pendidikan mereka, manusia hanyalah kumpulan rangka, otot, saraf dan tulang belulang. Kalau ada dokter yang memahami adanya spiritualitas ini, maka itu lebih karena pengalaman dan wawasan mereka. Bukan karena mereka dididik untuk itu. Ada banyak dokter yang meminta pasien mereka untuk berdoa, melakukan ritual tertentu, atau memberikan social support untuk membantu proses pengobatan meskipun mereka tidak bisa menjelaskan dengan meyakinkan alasan-alasan ilmiah untuk itu. Fenomena spiritualitas ini menjadi menarik karena lahirnya KIPDI (Kurikulum Inti Pendidikan Dokter) III yang lebih luas memberikan ruang bagi spiritualitas ini. FK Universitas Pelita Harapan (UPH) bahkan menambah 1 kompetensi lagi (sehingga menjadi 8 kompetensi KIPDI III) dengan judul ‘kompetensi spiritual’ yang harus dimiliki oleh setiap dokter lulusan UPH. FK UMS di Solo bahkan mulai merancang konsep-konsep hipotetik tentang ini.
Spiritualitas sesungguhnya memiliki bukti empirik yang memungkinkannya masuk ke dalam sains tertentu. Riset-riset neurosains menunjukkan banyak sekali bukti adanya sirkuit spiritual dalam otak. Persis seperti sirkuit untuk bahasa, sirkuit spiritual memiliki pemancar-pemancar tertentu yang dapat aktif baik karena rangsangan dari luar maupun dari dalam. Spiritualitas membentang dari sekadar perasaan takjub (terpesona melihat sesuatu), cinta (larut dalam sebuah pikiran atau tindakan) hingga perasaan menyatu (Union Mystica menurut Kristiani, aninhilasi menurut Islam dan nirvana menurut Hindu). Bentangan spiritualitas ini memiliki sirkuit masing-masing yang berbeda dalam otak. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagaimana kegiatan berbahasa, spiritualitas juga diproses secara spesifik dalam otak. Hasil-hasil pemindaian otak menggunakan alat-alat canggih berhasil membuktikan adanya spiritualitas itu. Anda pun bisa mencermati bagaimana perbedaan lahiriah antara penderita skizofrenia (dengan waham agama) dan mistikus yang mengalami perasaan tertentu (Ygy, 090508).#

09 Mei 2008

Desaku “Terabaikan” = Menyimpan “Bom Waktu”

Oleh Welly Waworundeng

DUA topik menarik diberitakan koran Manado Post (28/29) April 2008. Pertama, masyarakat kebanyakan “tidur”, akibatnya banyak lahan tidur (29.381 ribu hektar data dari Dinas Pertanian) di Kabupaten Minahasa. Kedua, warga gengsi bakobong (gengsi jadi petani), karena lebih tergiur jadi tukang ojek (profesi baru yang diminati orang kota dan desa, karena tergiur tidak berkeringat dan cepat dapat uang). Hal tersebut menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Minahasa, terlebih pemerintah dan masyarakat desa (data awal 2008, Minahasa terdiri dari 155 desa, 37 kelurahan dan 12 desa persiapan, penduduk 301.855 jiwa = mayoritas penduduk ada di desa) yang merasakan dampaknya. Dengan banyaknya lahan tidur berarti tanda awas bagi masyarakat di tanah Toar Lumimuut, satu saat akan terjadi kekurangan pangan. Ingat, sekarang dunia dilanda krisis pangan, semua negara sedang mengadapi masalah yang sama dan berusaha untuk mencari solusi. Bagaimana dengan daerah kita?
Sebelum membahas apa solusi terhadap masalah di atas, terlebih dahulu penulis (putra desa di Minahasa) akan mengangkat masalah lain yang menurut penulis tidak kalah pentingnya. Apa yang diberitakan koran Manado Post itu hanya sebagian, tetapi ada banyak masalah lain yang sementara terjadi dan itu kurang diberitakan karena mungkin tidak menarik dan tidak laku di masyarakat serta tidak menjadi topik pembicaraan di kalangan elit pemerintahan dan elit politik. Masalah yang penulis maksudkan, di antaranya: 1) Banyak tanah milik warga desa beralih ke pemegang modal, birokrat dan politisi. Dulunya masyarakat adalah petani pemilik tetapi sekarang petani penggarap, lebih cepat jual tanahnya untuk pegang uang banyak daripada mengolahnya (itulah pikiran “instan” dan malas yang merambah masyarakat desa). Modal yang ada juga tak jarang untuk beli motor dan beralih profesi tukang ojek (sebelumnya pekerjaan sampingan sekarang jadi tetap), pertanyaannya apa cukup untuk biaya hidup keluarga? Dan berapa lama usaha itu bertahan? Mungkin juga lahan tidur di Minahasa bukan milik warga desa biasa lagi, justru pemiliknya orang berduit (hobi koleksi tanah); 2) Kegiatan “mapalus” yang dulunya menjadi andalan utama masyarakat desa untuk mengolah lahan pertanian/perkebunan, membangun rumah dan lain-lain, sekarang hampir tidak ada lagi di desa. 3) Banyak masyarakat yang putus sekolah (pendidikan terabaikan) akibatnya bertambah jumlah pengangguran; 4) Terjadi peningkatan urbanisasi (penduduk desa pindah ke kota), coba adu nasib di kota. Setelah meninggalkan masalah di desa, ciptakan masalah baru di kota; 5) Begitu juga dengan kegiatan kerja bakti (gotong-royong), yang dulunya tradisi ini menjadi program utama desa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di desa (buat dan bersih saluran irigasi, buat dan bersihkan jalan desa, bangun jembatan, bangun balai desa, buat selokan dan lain-lain). Sepertinya, mulai jarang ditemui di desa, karena orang desa dimanjakan dengan proyek pemerintah (ada uang, ada tenaga); 6) Pemerintah dan masyarakat desa di era otonomi daerah ini secara beruntun diperhadapkan dengan kegiatan “pesta demokrasi” (Pemilu, Pilkada dan pemilihan hukum tua). Selain masyarakat dimanjakan dengan pesta (senang sesaat, lelah, tertidur), ternyata pasca pesta demokrasi banyak meninggalkan konflik horisontal di masyarakat. Akibatnya pemerintah dan masyarakat desa terkotak-kotak, karena beda partai, beda calon dan beda kepentingan. Dulunya kalah menang dalam proses pemilihan apapun di desa, hasilnya selalu diterima dengan baik (lapang dada) oleh semua pihak, tetapi sekarang mulai ada penolakan dan ada kecenderungan konflik. Pemerintah dan masyarakat desalah yang merasakan langsung semua permasalahan tersebut.
Belum cukup masalah di atas, ditambah lagi kenyataan sekarang penyelenggaraan pemerintahan di desa seperti “mati suri”, dan banyak hak-hak desa “dipasung”, hampir tidak ada regulasi (Perda, keputusan bupati dan Perdes) yang ditetapkan dan dijalankan, ini berarti penyelenggaraan pemerintahan di desa tidak berjalan, hal itu tanpa disadari oleh orang desa. Kegiatan pemerintah hanya sebatas pelayanan administrasi yang dari tahun ke tahun sudah rutin dilakukan, seperti: pengurusan KTP, surat-surat keterangan, surat jalan, dan administrasi lainnya. Selain itu yang dilakukan pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa lebih pada kegiatan seremonial menghadiri undangan-undangan hajatan (acara suka) dan peristiwa kedukaan. Atau juga disibukkan dengan mengurus persoalan-persoalan rumah tangga, persoalan kenakalan anak muda, persoalan sengketa tanah, perkelahian antar kampung dan Kamtibmas lainnya di masyarakat. Sedangkan, kegiatan utama masyarakat di desa seperti: bertani, berkebun, beternak, pertukangan dan kegiatan sosial kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Selama ini yang kelihatan desa itu ada kegiatan bukan karena kegiatan pemerintahan tetapi kegiatan keagamaan (gereja dalam hal ini). Masyarakat disibukan sebatas kegiatan dan hari-hari raya besar lainnya. Serta kegiatan rukun keluarga di luar itu tidak ada. Ini bagaikan “bom waktu kemiskinan“ yang satu saat akan meledak, berakibat terjadinya pemiskinan kolektif di desa.
Sumber masalah desa selain dari desa itu sendiri, ternyata juga sumbernya dari luar desa (pemerintah supra desa). Selama ini desa kurang dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif (DPRD) kabupaten. Sudah hampir 4 (empat) tahun diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakannya ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, keduanya belum sepenuhnya dilaksanakan sampai di desa. Karena masalahnya produk regulasi di daerah, baik Perda atau Surat Keputusan Bupati yang seharusnya dikeluarkan sebagai ketentuan, pedoman dan acuan teknis pelaksanaan di desa, sebagian besar belum ditetapkan dan mungkin belum pernah dibahas dalam program legislasi daerah. Hal tersebut menjadi kendala terhadap penyelenggaraan pemerintahan di desa, di mana pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat merencanakan, membahas, menetapkan dan melaksanakan Perdes atau aturan lainnya di desa, ada pemerintahannya, ada rakyatnya, ada kegiatannya, tetapi tidak berjalan sebagaimana amat peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005).
Mengapa pengaturan tentang desa itu penting? Karena, dalam PP No. 72, mengatur antara lain tentang urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kedudukan, tugas, wewenang, kewajiban, fungsi, hak dan kedudukan keuangan dari pemerintah desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu, mengatur tentang Peraturan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Keuangan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kerja sama antar desa dan pihak ketiga, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan serta Pembinaan dan Pengawasan. Regulasi ini bertujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa agar berjalan baik dan apa yang menjadi masalah di desa dapat diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat desa itu sendiri. Sudah seharusnya masalah di atas bukan hanya tanggung jawab pemerintah Minahasa tetapi masyarakat desa pun bertanggung jawab.
Menghadapi masalah dan bagaimana mencari solusi, harapan pertama dimulai dari apa yang desa dapat lakukan. Pendapat penulis antara lain: Pertama, harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat desa, bahwa selama ini desa dalam masalah besar, yang sementara menggerogoti kelangsungan kehidupan di desa. Kedua, adanya keinginan yang kuat dari pemerintah dan masyarakat desa untuk maju dalam rangka memperbaiki kesejahteraan hidup yang lebih baik (tidak jatuh miskin). Ketiga, pemerintah dan masyarakat desa harus bersatu. Kalau selama ini ada terkotak-kotak, maka ke depan mulai dari pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda, PKK, dan semua organisasi sosial politik serta masyarakat yang ada di desa harus bersatu. Dengan kekuatan itu diharapkan dapat menjawab masalah yang ada, di mana pemerintah dan masyarakat desa harus sadari masalah desa adalah masalah kita, yang harus diupayakan diselesaikan sendiri. Keempat, harus ada hubungan kerja sama antardesa yang satu dengan desa yang lain, apakah dalam bentuk asosiasi atau perkumpulan lain yang pada intinya dapat memperjuangkan kepentingan desa serta terciptanya kehidupan antardesa yang kondusif. Kelima. desa jangan berharap banyak kepada pemerintah supra desa, karena selama komitmen dan kebijakan politiknya tidak memihak ke desa, selama itu juga desa terabaikan. Ingat, kekuatan kebersamaan itu dapat mempengaruhi kebijakan politik/pembangunan Pemda Minahasa. Selama desa diam, selama itu juga desa hanya menjadi objek dan subjek apabila ada pesta demokrasi atau program/proyek daerah dan nasional.
Harapan kedua, tentunya ditujukan kepada pemerintah Kabupaten Minahasa, agar mempunyai komitmen yang kuat serta didukung dengan adanya kebijakan politik (regulasi) yang memihak kepada desa. Selain itu, ada kebijakan anggaran yang cukup melalui Alokasi Dana Desa (ADD), dan proyek lainnya serta alokasi dana yang sesuai (beban kerja yang besar) kepada bagian pemerintahan desa di Pemkab Minahasa. Sedangkan tugas pengawasan dan pembinaan juga dapat ditingkatkan, seiring semakin banyak masalah di desa. Dengan berpihaknya kebijakan politik pemerintah dan legislatif Kabupaten Minahasa ke desa, akan menjawab masalah yang ada di desa, yang nantinya tercipta penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif, transparan, responsif, dan akuntabel serta terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Memang menyelesaikan masalah di desa tidak semudah “memutar telapak tangan”, tetapi setidaknya harus ada niat dan tindakan nyata. Desa adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (masyarakat desa sejahtera, daerah sejahtera, negara pun sejahtera). Jadikan, syair lagu “desa ku yang ku cinta, pujaan hati ku, tempat ayah dan bunda dan handai tolan ku tak mudah ku lupakan tak mudah bercerai, selalu ku rindukan, desa ku yang permai” akan tetap ada, dan dikenang sepanjang masa.#

07 Mei 2008

Stigma Bidang Pertambangan dan Regulasi Perundangan di Tengah Isu Global

Oleh Benhard C Korah*

BERAWAL dari sebuah persepsi yang dilandasi berbagai paradigma sudah pasti akan membuahkan sebuah stigma.
Dua topik menarik masalah lingkungan mewarnai pemberitaan media cetak nasional bulan Desember di penghujung 2007. Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hasil keseluruhan Konferensi PBB tentang perubahan iklim atau United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), memuaskan. Skema pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang yang sejak awal digagas menjadi salah satu keputusan yang disepakati. “Hasilnya konkret sebagaimana niat awal PBB dan hasil seperti itulah yang diharapkan,’’ kata Menneg LH Rachmat Witoelar di Jakarta, Selasa (18/12-2007). Pada lembaran yang sama Harian Kompas memberitakan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai I Ketut Manika menolak seluruh gugatan WALHI terhadap PT. Newmont Minahasa Raya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Putusan Majelis Hakim yang beranggotakan Efran Basuning dan Edi Risdiyanto diperoleh dengan suara bulat, tanpa “dissenting opinion”. Putusan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 18/12-2007, Majelis Hakim menilai WALHI sebagai organisasi Lingkungan Hidup hanya dapat mengajukan gugatan untuk pelestarian Lingkungan Hidup, mendasarkan pada kerusakan lingkungan dan mendapatkan tuntutan ganti rugi demi kelestarian lingkungan. (Kompas, 19/12-2007).
Suatu respon spontan terekspresi dari masyarakat Buyat dan Ratatotok ketika menyambut Putusan Majelis Hakim Kantor Pengadilan Negeri Jaksel Selasa 18/12-2007.
“Buyat bersih!, kita semua yang hidup disini tahu itu semua dan berharap kini orang lain pun tahu dan percaya itu juga, cukup sudah! ujar Robert Sasuwuhe Kepala Desa Buyat.(Siaran Pers-Media Center PT. NMR, Desember 2007.”
Selanjutnya pernyataan itu menyatakan, agar dengan putusan ini diharapkan para warga dapat melanjutkan kehidupan mereka dengan tenang, damai dan dapat kembali bekerja mencari ikan di Teluk Buyat. Kantor Dinas Pariwisata Pemda terus mempromosikan Teluk Buyat sebagai salah satu lokasi penyelaman terbaik di Indonesia karena airnya jernih dan berlimpah kehidupan laut di sana.
Pada 10 tahun silam (1998) saat penulis bergabung dalam tim eksplorasi PT NMR lokasi lubang dalam (Pit) Mesel di tambang sekitar + 50 - 100 meter dari muka laut (target ± minus 250 m dari muka laut). Pit Mesel menjadi sumber data referensi geologist mendalami tipe mineralisasi guna pengembangan pencaharian ore deposit baru di sekitar Mesel. Awalnya Pit Mesel berbentuk sebuah bukit yang pada peta topografi disebut gunung Mesel dengan ketinggian + 420 m muka laut. Secara geografis berlokasi ± 5 km utara Desa Ratatotok-Mitra/Sulut. Tipe deposit Mesel pada blok eksplorasi Contract of Work Area PT. NMR, HEINS FIND, dengan litologi batuan vulkanik andesit-mengintrusi (menerobos) batuan sedimen batu gamping pada : Au-Cu porphiri dengan adanya VEIN-AU pada batuan vulkanik Andesit porphiri, adanya phenokrist, Quarts eyes dan pyrite dissminated (TURNER et al, 1994). Secara umum litologi batuan di sekitar Mesel pit adalah batuan sedimen batu gamping. Setelah PT. NMR komit dengan konservasi lingkungan sesuai pasal 30 UUPP No. 11/1967 tentang reklamasi lahan bekas tambang pasca mining, kini bentuk fisik morfologi topografi-bentang alam telah kembali semula. Berikut kutipan Data Kronologis Aktivitas dan Rencana Proyek Pasca Penutupan Tambang PT. NMR 2004-2009: Pemantauan Pasca Tambang dan Pemeliharaan Reklamasi, Januari 2010; Penyerahan kembali bekas lahan tambang yang sudah direklamasi kepada pemerintah daerah.
• STIGMA TELUK BUYAT DAN PERSEPSI PERTAMBANGAN
Bila dicermati selama ini seiring jalannya waktu sebelum polemik Teluk Buyat (TB) diputuskan Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berbagai kesan sekitar persoalan dugaan pencemaran telah terintegrasi dalam suatu persepsi yang pada akhirnya menciptakan sebuah stigma secara umum pada bidang pertambangan. Apalagi dikaitkan dengan paradigma yang merupakan contoh kegagalan bidang pertambangan sejak kejatuhan pemerintah Orba. Sebut saja, kasus Karaha Bodas Corporation (panas bumi) dimana perusahaan itu menuntut Pertamina dan Pemerintah RI di Pengadilan Arbiterase Internasional sebesar US $ 319 juta dan dimenangkan KBC. Lalu skandal manipulasi data kandungan emas oleh PT. BRE-X di Busang/Kaltim, PT. Freeport Indonesia dan terakhir PT. Lapindo Brantas (gas alam) di Sidoarjo/Jatim.
Ditambah lagi isu-isu global dunia mulai dari dampak perubahan iklim pemanasan global di Konferensi PBB (UNFCCC) Nusadua Bali Desember 2007. Sebuah informasi faktual ataupun tidak hal itu merupakan faktor penentu langkah awal dalam memahami, melakukan suatu pengamatan (persepsi) terhadap suatu permasalahan. Berdasarkan contoh atau pedoman (paradigma) bila didasari pada hal-hal yang berlebihan sudah pasti akan melahirkan sebuah stigma (Webster’s Dictionary- noda, cacat) dan akan menciptakan sumber krisis. Persepsi itu merupakan bagian dari informasi ilmu komunikasi.
Stigma TB dan persepsi bidang pertambangan lainnya semakin berpolemik di media cetak daerah pra putusan pengadilan di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 18/12-2007 lalu. Selain itu iven internasional konferensi PBB tentang pemanasan global terkait lingkungan di Nusadua Bali boleh jadi dapat menambah beban psikologis sektor pertambangan daerah.
• PEMANASAN GLOBAL
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia disertai meningkatnya kegiatan manusia dalam bidang transportasi maka para pakar atmosfer dunia memprediksi akan terjadi kenaikan suhu di seluruh permukaan bumi atau disebut pemanasan global. Pemanasan global terjadi sangat cepat, karena disebabkan efek rumah kaca/ERK dan gas rumah kaca/GRK, ERK: dimana energi matahari yang masuk ke bumi mengalami 25 persen dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25 persen diserap awan, 45 persen diadsorpsi permukaan bumi, 5 persen dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah (IM) oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar IM yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya untuk dikembalikan kepermukaan bumi. Dalam keadaan normal ERK dibutuhkan. Dengan adanya ERK perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak jauh berbeda; artinya pada waktu malam suhu rata-rata di permukaan bumi yang tidak terkena energi matahari akan sangat rendah bila tidak ada ERK. Selain gas CO2 yang dapat menimbulkan ERK adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dfan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan kholrofluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam peningkatan ERK dan disebut gas rumah kaca/GRK.
Akibat dari kenaikan suhu yang cepat menyebabkan perubahan iklim yang cepat dan akan mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lain, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap CO2 di atmosfer. Dapat menyebabkan lepasnya karbon dalam tanah, dalam bentuk bahan-bahan “organik” yang kemudian teruraikan menjadi CO2 dan CH4 oleh kegiatan mikroba tanah. Iklim yang bertambah panas akan meningkatkan aktivitas mikroba, yang pada akhirnya akan meningkatkan pemanasan global. Gunung–gunung es di daerah kutub mencair dan dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut, erosi wilayah pesisir, kerusakan hutan bakau, terganggunya terumbu karang, naiknya salinitas Estuari dan wilayah pesisir lainnya, perubahan lokasi sedimentasi, berkurangnya intensitas cahaya dasar laut serta tinggi gelombang. Keseimbangan biologis di laut akan mengalami perubahan yang dapat meningkatkan jumlah ganggang di lautan. Beberapa jenis ganggang dapat mengeluarkan racun dan membahayakan kehidupan laut serta berbahaya bagi manusia pekonsumsi ikan dan hasil laut lainnya. Jadi, pemanasan global selain berdampak bagi ekosistem tetapi juga mempengaruhi sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat. (Dr. Rukaesih Achmad, MSi dalam Kimia Lingkungan, h. 2-4, 2004).
• REGULASI PERUNDANGAN PERTAMBANGAN UMUM
Pengusahaan sumber daya alam tak terbarukan (unrenewable) bahan galian vital emas, tembaga, perak dan lain-lain sebagai mineral senyawa anorganik diatur atau diregulasi oleh pemerintah melalui undang-undang negara pertambangan umum. Sedangkan minyak bumi, gas alam dan batu bara merupakan senyawa organik diatur melalui UU Migas dan Panas Bumi. Pengusahaan pertambangan umum dengan sistem kontrak karya (KK) diregulasi melalui UU RI No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Pengelolaan lingkungan hidupnya diatur melalui UU No. 23 tahun 1967. Di saat pemerintah Orba pengusahaan pertambangan berorientasi pada pembangunan seluas-luasnya dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat serta pengelolaan lingkungan hidup sekitarnya. Setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada pasal 10 menyebutkan daerah diberikan kewenangan mengelola SDA nasional yang ada di wilayahnya. Kewenangan dimaksud sesuai peraturan pemerintah/PP No. 25 tahun 2000 sebagai implementasi pasal 12 UUPD tahun 1999, yang mengatur secara jelas tentang bidang-bidang pembangunan yang menjadi kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah provinsi. Antara UUPP 1967 dan UUPD 1999 terdapat perbedaan prinsipil (Abrar S, 2004). Jadi di era Otda sekarang ini UUPP 1967 harus menyesuaikan dengan UUPD 1999, makanya pemerintah sedang meratifikasi Rancangan Undang-Undang Pertambangan Minerba (RUUP Minerba) untuk menggantikan UUPP No. 11/1967.
Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Rakyat. Dalam Pengusahaan pertambangan umum sesuai Pasal 30 UUPP No. 11 tahun 1967 menyebutkan: ‘’Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitar’’.
Dalam rancangan UU Pertambangan Minerba (RUUP Minerba) pada pasal 16 item 2 Bab IV menyebutkan: ‘’Dalam hal hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pada kegiatan studi kelayakan diperkirakan terdapat dampak lingkungan yang bersifat regional, maka IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan IUP Eksplorasi diberikan oleh Gubernur dengan rekomendasi dan Bupati/Walikota yang bersangkutan’’. Hal ini menurut penulis sesuai Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pada gubernur. Selanjutnya pada pasal-pasal 32, 33, 34, 35 dan 36 khusus mengatur tentang; keselamatan kerja pertambangan, pengelolaan dan pemantauan LH, reklamasi, upaya konservasi, pembuangan sisa tambang dan lain-lain. Jelas dalam sistem RUUP Minerba yang baru pengelolaan LH di area lokasi tambang sangat/wajib diperhatikan guna mendapatkan keseimbangan ekosistem dan menjamin pembangunan berkelanjutan melalui pembangunan pertambangan. Seperti kenyataannya saat ini, adanya aktivitas pasca penutupan tambang PT NMR di lokasi Mesel Ratatotok-Kabupaten Mitra Sulut itu hingga penyerahan kembali area lahan bekas tambang kepada pemerintah 2010 mendatang.
Guna kesejahteraan rakyat pada pasal 37 menyebutkan: mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri secara transparan. Pasal 38; tentang membantu pemerintah dalam melaksanakan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat (community development) setempat diatur dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pasal 39; mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, pengusaha kecil/menengah setempat berdasarkan prinsip saling menguntungkan. (RUUP Minerba, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26/No. 2/2007). Perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) dalam sistem KK yang sementara berjalan/beroperasi saat ini diatur dalam pasal-pasal aturan Ketentuan Peralihan RUUP Minerba.
Menurut pengamatan penulis, adanya ‘’Political Will’’ pemerintah mereformasi regulasi UU pertambangan umum di era otonomi daerah dari UUPP 1967 ke UUP Minerba, dimana sistem KK diganti dengan Izin Usaha Pertambangan, sudahlah tepat. UUPP 1967 harus menyesuaikan dengan UUPD 1999 (Abrar S, 2004). Memang UUPP 1967 pada pelaksanaannya lebih berorientasi kepada pembangunan seluas-luasnya (developmentalist), sedangkan di era Otda adanya UUP Minerba (sementara ratifikasi eksekutif dan legislatif) pada pelaksanaannya diharapkan berorientasi kepada konservasi lingkungan ‘’environmentalist’’ (Wibowo, 2005) dan kesejahteraan rakyat (pro rakyat) sesuai pasal 33, ayat (3) UUD 1945. Bagaimana iklim investasi pertambangan daerah Sulut di tengah-tengah isu global?
* IKLIM SEKTOR PERTAMBANGAN DAERAH SULUT
Dewasa ini, setelah kita melihat kenyataan faktual secara hukum keadaan Teluk Buyat, eksistensi aktivitas ideal sektor pertambangan (terlepas dari kegagalan masa lalu) dalam regulasi perundangannya (sistem UUP Minerba), apakah stigma negatif sektor pertambangan (khususnya daerah) masih dipertahankan bahkan dipelihara selamanya? Penulis yakin hingga kini stigma TB itu masih melekat di lembaran sejarah pembangunan daerah, meski secara faktual sesuai yurisprudensi Pengadilan Negeri (PN Manado dan PN Jaksel) telah bulat dan final; tidak ada pencemaran di Teluk Buyat.
Di era globaliasi dimana sistem komunikasi informasi sangat menunjang, berbagai kemajuan dan dampak Iptek telah mengungkapkan (salah satu) penyebab berbagai macam penyakit adalah pemanasan global; deforestasi dan degradasi hutan dapat mengakibatkan bencana alam, pengangguran dan peningkatan jumlah rakyat miskin. Kontribusi terbesar emisi GRK berasal dari penggunaan sumberdaya energi tak terbarukan-bahan bakar fosil bidang transportasi. Negara-negara industri maju penyumbang terbesar emisi karbon CO2 pada pemanasan global, sedangkan RI adalah negara berkembang memerlukan peningkatan pembangunan termasuk bidang pertambangan. Kontribusi bagi devisa negara dari sektor energi migas menyumbangkan 27 persen (Kompas, 5/1-2008). Negara maju harus mengurangi emisi karbon 25-40 persen (dari tingkat emisi 1990), hal ini merupakan kesepakatan konferensi PBB UNFCCC sebagai Bali Road Map menyongsong berakhirnya Protokol Kyoto 2012 mendatang (MP, 17/12-2007). Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto pada 3/12-2004 melalui UU No. 17/2007. Dalam menyikapi lonjakan harga minyak mentah dunia di level 100 US $ perbarel, pemerintah menempuh kebijakan mengurangi tingkat konsumsi BBM, tetapi harus meningkatkan jumlah hasil produksi/daya angkat (lifting) BBM daerah penghasil dalam negeri. Insentif atraktif diberikan pemerintah di bidang pertambangan migas agar lifting dapat digenjot naik. Lifting crude-oil RI dewasa ini hanya mencapai ± 950 ribu barel per hari (data DESDM, Kompas 5-01/2008) sedangkan kebutuhan konsumsi BBM mencapai 1,3 juta barel per hari. Predikat ‘’World Award-NET OIL IMPORTIR’’ telah disandang negara RI karena tingkat kebutuhan (demand) melampaui kemampuan produksi atau ‘’lifting’’ (supply) dalam negeri. Bagaimana kondisi sektor andalan daerah (pariwisata dan perikanan) ketika harga BBM industri harus disesuaikan pemerintah dengan harga keekonomiannya? Iklim sektor pertambangan daerah di tengah berbagai isu global menjelang WOC 2009 mendatang. Kalau saja Pemda akan melakukan suatu inovasi mengapa tak memperhitungkan (atau hanya menutup mata?) atas suatu putusan yustisi positif tentang keadaan faktual TB? Sekarang saatnya kita melakukan introspeksi dan menyadari keadaan TB, sesuai yurisprudensi final Pengadilan (PN Manado dan PN Jaksel) dugaan pencemaran itu tak terbukti, Teluk Buyat bersih!. Seharusnya dengan sebuah resolusi stigma TB itu kita buang saja. Dalam memahami aktivitas pertambangan tak perlu menggunakan paradigma-paradigma tak bertanggung jawab dari perusahaan pertambangan yang bermasalah. Berbagai ‘’dam tailing failure’’ perusahaan mining negara-negara dunia dijadikan paradigma berlebihan. Contoh: Marcopper Mine ditambang Marinduque-Filipina 1996 dan rusaknya Tailing Dam di Mochikoshi-1/Jepang 1978. Memang hal itu tak dapat dipungkiri, tetapi bila digunakan berlebihan, so pasti hasilnya stigma negatif. Padahal banyak saja contoh konkret, bahkan telah menjadi bahan studing anggota dewan yaitu tentang penggunaan ‘’tailing storage facility/TSF’’ di PT ANTAM Pongkor-Jabar. Dam Tailing PT. Nusa Halmahera Minerals/PT. NHM di Halmahera, PT Avoced di Bolmong dan PT. ANTAM di Pongkor-Jabar, ketiganya beroperasi di daerah rawan gempa tektonik tetapi kenyataannya no problem! Secara geologis daerah operasi pemegang kuasa pertambangan di tanah air dari Pulau Sumatera, Jawa, Sumbawa, Papua, Sulawesi dan Halmahera, bahkan hingga negara-negara Filipina, Jepang dan Taiwan berada di zona pinggiran lempeng tektonik bagian selatan-barat Lingkar Pasifik atau ''South West Pasific Rim-Plate Margin’’ pada jalur busur magmatik (pertemuan Eurasian Plate-Australia India Plate-Pacific Plate). Dimana berbagai sistem mineralisasi ore deposit tembaga-emas potensial di tanah air diketemukan (Corbett & Leach, 1996). Magma yang keluar dari perut bumi di ‘’Pacific Ring of Fire atau Cincin Berapi Pasifik’’ itu banyak mengandung berbagai logam berharga (tembaga-emas) terutama di kawasan Indonesia Timur. Dari luas 68 persen wilayah NKRI dengan luas 1,3 juta km2 diperkirakan menyimpan 81,2 persen cadangan bahan tambang Indonesia. (Koesnaryo dalam PERHAPI, 2002: 1, dikutip Kiroyan, 2007).
Berkaitan aktivitas PT Meares Soputan Mining. Kendala operasionalnya, bila hanya dilandasi adanya stigma TB/NMR (2004-2007 sedang proses hukum) sebaiknya persepsi yang ada dikaji ulang. Dewasa ini diperlukan adanya suatu komunikasi proaktif, persuasif tidak defensif dan dengan pendekatan organisasi (Nina Widodo, Kompas, 7/7 2007). Senada Nina, pernyataan Dirjen Minerba DESDM Bapak Dr Ir Simon Sembiring agar Pemda-DPRD dan semua stakeholder dapat duduk satu meja mengkomunikasikan PT MSM (MP, 7/8-2007). TSF PT MSM telah didesain dengan memperhitungkan tingkat gempa maksimum 9 SR. Pengelolaan lingkungan mengikuti standar ekuator prinsipal (standard dunia) dan persetujuannya ditetapkan oleh Bank Dunia. Bila ditinjau dari penerimaan masyarakat untuk sebuah ‘’License to Operate’’ (Kiroyan, 2007). Adanya pernyataan 80 persen masyarakat lingkar tambang hasil survey Lemlit Unsrat April 2007 dan SK hasil sidang pleno 25 anggota DPRD Minut 15 Nopember 2007, dimana ke-13 anggota menerima operasional MSM, hal ini merupakan sinyal positif penerimaan warga masyarakat terhadap PT MSM.
Jangan lupa, sekarang ini sistem KK-UUPP No. 11/1967 telah direformasi, diganti UUP Minerba dengan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pemegang kuasa pertambangan dengan pola KK yang sementara berjalan diatur melalui pasal-pasal ketentuan peralihan. PT Freeport Indonesia, sesuai perkembangan saat ini atas inisiatif legislatif-eksekutif telah memutuskan merevisi 15 poin kewajiban dalam KK, salah satunya besaran royalti, juga PT INCO setuju mengubah royaltinya ke pemerintah. (Kontan 24/7 dan 19/8-2007).
Ada 3 (tiga) hal harus diperhatikan: I) Paradigma usaha pertambangan itu profit baik buat pemerintah dan perusahaan, II) lingkungan dan III) adalah ‘’community development’’. Jelasnya lingkungan dan COMDEV menjadi perhatian khusus. Untuk mencapai pengembangan COMDEV yang bagus dan konservasi lingkungan perusahaan butuh profit. Sedangkan untuk mencapai produksi maksimal harus ada dukungan teknis. (Irwandy Arif/Ketua Perhapi, Kontan 24/8-2007).
Akhir kata, di awal 2008 menyongsong WOC 2009 berdasarkan fakta positif keadaan Teluk Buyat, eksistensi sektor pertambangan daerah dengan adanya reformasi regulasi undang-undang meskipun di tengah-tengah berbagai isu global dunia, sekali lagi stigma TB itu kita tinggalkan saja. Fakta yustisi TB kita jadikan motivasi dengan optimis menyongsong iven mancanegara di Kota Tinutuan Manado. Kita tunjang program pemerintah provinsi di bawah Dinas Pariwisata, mempromosikan di berbagai iven global lainnya bahwa lokasi TB sekarang ini sebagai tempat penyelaman terbaik di Indonesia karenanya air jernih dan berlimpah kehidupan biota laut. Sejauh ini Pemprov sesuai UU Otda benar, dan MSM juga benar, tidak ada yang salah. Yang salah sebenarnya hanyalah persepsi yang diberikan terhadap eksistensi pertambangan umum. Belajar dari pengalaman masa lalu akibat paradigma berlebihan menghasilkan persepsi keliru dan pasti berbuah stigma sebagai sumber polemik dan krisis berkepanjangan. Buang-buang energi saja!#

*Pemerhati Geo Pertambangan

06 Mei 2008

Syndroma Miseropolis dan Penanggulangannya

Oleh Abdul Azis Hunta *

MISEROPOLIS merupakan terminologi yang dipakai untuk menggambarkan kondisi suatu kota yang pengap, kotor, acak-acakan, melarat, tercemar dan menyedihkan, atau secara leksikal mengandung arti Kota yang Sakit (Ghetto). Seperti halnya penyakit yang mengenai fisiologi anatomi makhluk hidup khususnya manusia, miseropolis merupakan suatu kumpulan gejala yang memiliki tingkat keganasan yang sangat tinggi dan sistematik karena mengena organ-organ “tubuh kota” yang sangat vital. Sesungguhnya banyak sekali kelainan-kelainan yang dapat ditimbulkannya, namun tulisan ini hanya mengetengahkan kasus yang “prevalensi rate”nya cukup tinggi:
Gangguan sistem pernafasan yang dapat di diagnosa melalui cukupkah paru-paru kota menyuplai ketersediaan oksigen untuk menjadikan kota bernafas dengan lega. Jika terjadi ketimpangan antara supply dan demand kota akan oksigen maka dia akan terlihat sesak nafas, anemia, pucat, loyo dan kurang bergairah. Penyebab utama penyakit ini adalah seringnya suatu kota terpapar oleh kandungan senyawa kimia seperti emisi Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Plumbum (Pb), Hidrocarbon (HC), yang dilepas ke udara ambient oleh industri dan kendaraan bermotor dari produksi tahun tujuh puluhan sampai tahun sekarang yang sering macet karena jumlahnya yang tidak seimbang lagi dengan kemampuan urat nadi kota yang prasarana jalan. Atau di setiap sudut kota terdapat timbunan sampah yang mengandung Gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amoniak (NH3), Methil Merkaptan (CH3SH), Methil Sulfida ((CH3)2)S, Stirene (C6H5CHCH3) menghembuskan hawa yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak estetis, karena sampah yang tidak terkelola dengan baik. Kondisi ini menyebabkan suatu kota menjadi suatu ruang yang tidak nyaman lagi bagi penghuninya. Orang-orang mapan secara ekonomis menempuh jalan aman dengan cara menutup rapat-rapat kaca jendela mobilnya yang dilengkapi AC mengasingkan diri di dalam ruang sempit itu sekaligus mengasah sikap individualisme dan eksklusifismenya, setelah keluar dari rumahnya dan sebelum memasuki ruang kerjanya yang juga ber AC. Sementara orang-orang biasa, suka atau tidak suka harus menghirup udara tercemar itu sambil menutup hidung, mengucak mata yang pedis dan menutup telinga yang pekak oleh kebisingan yang telah melewati ambang dengar, apa boleh buat dibuat apa yang boleh dibuat.
Sebenarnya senyawa kimia yang disebutkan di atas tidak berbahaya jika kuantitasnya tidak melampaui daya dukung lingkungan (carryng capacity) suatu kawasan. Sama halnya kalau kita terhirup gas kimia berbahaya jika jumlahnya kecil dan waktu pemaparannya singkat, maka tubuh kita mampu menetralisir bahan kimia tersebut secara alamiah sehingga tidak fatal bagi sistem anatomi fisiologi tubuh kita. Kapasitas paru-paru kota dalam hal ini vegetasi yang ada dalam suatu kawasan kota harus memiliki kemampuan untuk menetralisir bahan kimia yang terlepas ke udara ambient kota, oleh sebab itu kota yang dikatakan memiliki sistem pernafasan yang baik adalah kota yang memiliki luasan vegetasi kota dalam hal ini hutan kota yang rasional. Secara kuantitatif luas hutan kota dapat ditentukan melalui beberapa pendekatan, (1) Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota. (2) Perhitungan perkapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya. (3) Berdasarkan isu utama yang muncul. Misalnya untuk menghitung luasan hutan kota pada suatu kota dapat dihitung berdasarkan tujuan pemenuhan kebutuhan akan oksigen. Di Malaysia luas hutan kota ditetapkan sebesar 1,9 m2/jiwa, di Jepang sebesar 5,0 m2/jiwa, di Kota Lancashire Inggris 11,5 m2/jiwa, sementara Amerika Serikat 60 m2/jiwa. Di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.63/2002 tentang hutan kota, pasal 8 ayat 3 dikatakan presentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Kota Manado dengan luas 159,82 km2 (Data Dinkes Provinsi Sulut) maka minimal luas hutan kota yang harus ada adalah 16 km2. Atau jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk maka dengan jumlah penduduk 422.355 jiwa (Data Dinkes Provinsi Sulut) luas hutan kota yang harus tersedia di Kota Manado adalah kurang lebih 25 km2 jika kita meniru pendekatan yang digunakan Amerika Serikat.
Hutan Kota sebagai paru-paru kota dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting untuk menciptakan suasana nyaman bagi kualitas udara ambient. Tahukah Anda bahwa sebatang pohon dewasa menghasilkan kesejukan yang setara dengan 5 unit AC yang running selama 12 jam perhari dan dapat menghemat 10-50 persen energi yang digunakan untuk mengoprasikan AC, pepohonan yang ditanam secara kolektif dapat menurunkan temperatur 3-10 derajat, tiap hektar pepohonan mampu menyuplai oksigen bagi 38 orang setiap harinya dan mampu menyerap CO2 (Gas penyumbang terbesar dalam pemanasan global) setara dengan jumlah gas CO2 yang dihasilkan oleh mobil yang dikendarai sejauh 52.000 mil. Sebatang pohon yang sehat mampu mengeliminir 48 ponds CO2 di udara setiap tahunnya, mengkonservasi persediaan air tanah dan mencegah limpasan air permukaan, meningkatkan nilai ekonomi suatu kawasan, sebagai habitat bagi satwa, dan masih banyak lagi manfaat lain seperti memberikan suasana kota yang nyaman, menyemburkan suasana rileks, membuat kota tampak cantik, erotis, indah dan menggairahkan.
Gangguan jantung dan sistem peredaran darah, Pusat-pusat perbelanjaan, pusat perekonomian dalam tulisaan ini dapat dianalogikan sebagai jantung suatu kota yang memompakan sumber-sumber ekonomi baik barang maupun jasa ke seluruh tubuh kota. Sementara akses jalan, sarana dan prasarana transportasi dari dan ke tempat itu merupakan pembuluh darah dan urat nadinya perekonomian. Gangguan jantung dan sistem peredaran darah kota dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti tidak lancarnya sirkulasi darah dari dan ke jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah, prasarana jalan yang bolong-bolong kemacetan lalu lintas, pengaturan jalur lalulintas dan perparkiran yang tidak tepat dan gangguan fungsi jantung lain. Dari sekian banyak gangguan fungsi jantung, yang menggejala dewasa ini adalah gangguan irama jantung yang terjadi manakala serambi dan bilik-bilik jantung kota kita tidak berdenyut seirama dengan kondisi riil perekonomian suatu kota, terjadi pemusatan ekonomi hanya kepada kelompok-kelompok tertentu, konglomerasi, the have, sementara pelaku usaha sektor informal yang juga sebagai kontributor terhadap perputaran roda perekonomian suatu kota tidak mendapatkan perhatian yang proporsional, dipinggirkan dari segi ruang, jauh dari akses fasilitas-fasilitas ekonomi yang memberinya dan kesempatan untuk maju secara bersama-sama. Alasan klasiknya mengganggu keindahan kota, mencederai citra dan harga diri kota. Syndroma terakhir ini sama seperti gangguan jantung pada manusia bersumber dari gaya hidup (life style) sebagai factor risikonya. Kota dipaksakan harus menjadi metropolis sebelum waktunya, dipoles dengan gaya modern, dijauhkan dari kesan yang kumuh-kumuh dan dekil-dekil, seakan-akan yang boleh lewat di pusat-pusat kota hanya orang yang bermobil mewah, mentereng, menggunakan pakaian bermerk, dan berbau harum, tidak ada lagi ruang bagi pedagang kecil, pedagang makanan khas setempat digusur dan diganti dengan resto, yang menyajikan masakan cepat saji produk import bercholesterol tinggi, Trigilesida tinggi, HDL/LDL tinggi, makan di sana harus memegang sertifikat table maner, setelah medical checkup didiagnosa menderita kena jantung koroner, Hypertensi, Asam Urat, Diabetes Mellitus. Masalah yang tidak kalah peliknya yang menyusul kemudian adalah munculnya kantong-kantong kumuh, berpindahnya persoalan ke pinggiran kota, karena yang diubahnya hanya sebatas posisi geografisnya bukan kapasitas dan kemampuan manusianya ( capacity building) untuk menjadi lebih baik secara ekonomi dan sosial budaya. Dari sanalah muncul berbagai penyakit sosial: kriminalitas, prostitusi atau penyakit dalam pengertian yang sebenarnya: HIV/AIDS, TBC, ISPA, Dermatitis, Deman Berdarah, dan penyakit-penyakit infektif lainnya.
Prof Dr Eko Budiharjo dalam bukunya Kota Berwawasan Lingkungan mengatakan bahwa citra kota yang sesungguhnya adalah tidak sekadar terbentuk dari monumen pencakar langit yang arogan di tengah kota, tetapi juga nuansa herak, tingkah dan aktivitas manusia baik yang modern dan kapitalistik di sektor formal maupun terlebih-lebih yang tradisional dan merakyat di sektor informal. Dikatakannya daya tarik kota justru kadang-kadang terpencar dari latar kegiatan ala bazaar yang serba tidak terduga dan sulit ditebak tetapi penuh makna. Konfilk perkotaan wajib dihadapi bersama-sama, tidak diselesaikan diam-diam secara sepihak, juga tidak untuk dihindari karena ada rasa miris atau was-was. Penyelesaian konflik yang baik dan terbuka, merupakan tanda kedewasaan dan kematangan suatu kota. Perencanaan yang serba didikte dari luar dan dari atas tanpa mempedulikan suara yang lirih dari masyarakat akar rumput, besar kemungkinan akan menimbulkan penyakit baru di belakang hari. Menjamurnya kantong-kantong kumuh dengan segudang permasalahannya itu adalah suatu manifestasi klinis dari tidak bekerjanya suatu elemen fungsional dari sistem organ tubuh kota.
Gangguan fungsi ginjal dan sistem ekskresi. Penyakit ini menyerang fungsi ginjal dan sistem ekskresi kota yaitu sistem pembuangan air limbah kota (Municipality Sewerage System). Gejala fisik yang timbul karena gangguan ini ditandai dengan air buangan kota yang berwarna kehitaman, keruh, berbau. Kondisi ini dikarenakan masuknya buangan air limbah ke saluran-saluran yang terdiri dari buangan domestik yang berasal dari pemukiman, pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, yang dominan mengandung bahan-bahan organik (Nitrat, Nitrit, NH3, H2S, Surfactant, Phospat) dengan ciri khas nilai-nilai oksigen terlarut rendah dan BOD (Biological Oxigen Demand) sedang sampai tinggi.
Jumlah air limbah domestik kota dapat dihitung secara empirik ± 85 persen dari konsumsi air bersih perkapita perhari (190 liter/perkapita/hari) dikalikan dengan jumlah penduduk suatu kota. Kota Manado misalnya dengan jumlah penduduk 422.355, kapasitas buangan limbah domestik perhari adalah: 85 persen (422.355 jiwa x 190 liter) = 68.210.33 m3/hari (jumlah ini belum termasuk limbah industri). Air buangan ini akan mengalir ke selokan, saluran umum, kanal, sungai membawa serta sampah pemukiman yang dibuang sembarangan dan pada akhirnya masuk ke laut. Bayangkan setiap harinya sungai-sungai yang melintas di Kota Manado menerima limbah sebanyak itu, apalagi jika limbah tersebut dibuang dengan tanpa ditreatmen terlebih dahulu, maka ketika sungai-sungai tersebut tidak mampu lagi menetralkan dirinya sendiri (selt purification) karena banyaknya buangan yang masuk secara kontinyu, yang muncul kemudian adalah sungai tampak tidak cantik lagi, kusut karena dialiri oleh air yang tidak jernih lagi, tidak beriak lagi, berbau lagi. Dan laut mau tidak mau harus menelan semua suguhan itu tiap harinya, mengusir jauh ikan-ikan ke laut lepas sehingga menurunkan hasil tangkapan ikan nelayan, mengusik ketentraman ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun (sea grass). Kemunculan ikan purba Coelacanth diperairan Manado boleh jadi bukan suatu kebetulan dan tidak patut menjadi suatu kebanggaan karena kemungkinan besar dia mulai sesak nafas di dasar laut sana dan naik ke permukaan laut karena menyangka di sini masih nyaman untuk hidup, ternyata apes, dia tertangkap dan dielu-elukan.
Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung tanpa solusi, tidak ada upaya antisipasi sejak awal, sementara jumlah air buangan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka masalah ini akan berakumulasi dan suatu saat kelak muncul sebagai suatu masalah dan untuk menanganinya membutuhkan biaya yang sangat besar. Sama seperti jika manusia telah mengalami “gagal ginjal”, maka yang bisa dilakukan hanya melakukan hemodialisis (cuci darah) sambil berdoa menunggu kematian yang sudah pasti. Gagal ginjal pada suatu kota ditandai oleh suatu kumpulan gejala yaitu tidak ada atau tidak berjalannya sistem baik administrasi, hukum, teknologi, dan kebijakan mengenai pengelolaan limbah kota yang konsisten dijalankan secara profesional. Untuk mengatasi masalah air buangan kota ini, mungkin dapat dijadikan contoh apa yang dilakukan oleh salah satu kota kecil di Sulawesi Selatan yaitu Soroako, pengelolaan limbah domestiknya ditangani secara komunal di mana seluruh limbah domestik dari pemukiman, pusat perdagangan, hotel, restoran, dan lain-lain dialirkan ke saluran (riol) kota yang kesemuanya bermuara pada satu Instalasi Pengolah Limbah (IPAL), di sana semua air limbah tersebut diolah, fisik, kimia maupun mikrobiologis, hasil olahannya dianalisa di laboratorium, dan setelah dipastikan sudah benar-benar aman selanjutnya dibuang ke Danau Matano yang sangat indah. Sistem ini memang sangat mahal, namun merupakan sistem yang ideal di masa depan, karena ditangani secara profesional, mudah dalam pengoprasian dan pengawasannya.
Gangguan kulit dan estetika. Kulit adalah lapisan terluar dari sistem fisiologi anatomi makhluk hidup. Terutama pada manusia, dari kulit biasanya dapat diketahui seberapa pedulinya sesorang terhadap perawatan kulit. Meskipun dapat memperdaya kebanyakan lelaki tertarik pada wanita yang memiliki kulit bersih, mulus, seksi demikian juga sebaliknya. Tidak bedanya seperti manusia, kota yang cantik akan tampak secara fisik dari kulitnya.
Sejak perkenalan pertama akan ketahuan kualitas kulit kota ketika pertama kali menjabat tangan-tangan tetamu yang datang bertandang kepadanya. Ya… bandara, terminal bus, stasiun kereta api, pelabuhan laut. Bagian kota ini adalah tempat-tempat yang akan memberikan kesan pertama wajah suatu kota secara keseluruhan. Bersihkah kulit itu, muluskah dia, atau sebaliknya kasar, berminyak, dekil? Bagaimana dengan penanganan kebersihan di sana? Untuk pelabuhan udara mungkin tidak banyak menimbulkan masalah karena sudah ada standard operasional prosedur yang dijalankan secara profesional oleh maskapai penerbangan, pengelola bandara dan pengguna jasa angkutan udara pada umumnya dari kalangan yang mapan secara ekonomi, pendidikan, relatif berperilaku lebih baik dari segi kebersihan dan kesehatan. Tapi bagaimana dengan terminal angkutan darat antar kota, pelabuhan laut. Semakin ke arah pusat kota, bagaimana dengan pasar-pasar tradisional, pusat jajanan, pasar malam? Di sana terdiri dari beragam lapisan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda kultur, sosial budaya, ekonomi yang menyiratkan kerumitan. Pemandangan yang lazim ditemui misalnya rumah makan/kopi yang tempat masak dan tempat makan tamu tidak dapat dipisahkan sehingga asap pembakaran sate memenuhi ruang makan juga, di bawah meja makan berserakan sampah bekas tissue, tusuk gigi, kertas pembungkus makanan, tulang ikan dan tumpahan air; Di jalan dekat dan arah menuju tempat parkir banyak kertas bekas retribusi parkir, bekas pembungkus rokok, puntung rokok, bekas pembungkus jajanan yang dibuang begitu saja, meskipun di sekitar tempat itu tersedia tempat sampah apa adanya; penjual bakso yang mencuci mangkok hanya sekali saja tanpa desinfektan itupun hanya dengan mencelupkan dan menggosoknya dengan jari-jari tangan seperlunya; dan masih banyak lagi.
Tidak ada yang salah dari kegiatan yang mereka lakukan itu, mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu kota dan mereka harus tetap hidup. Yang diperlukan adalah pengawasan, pembinaan terus-menerus dengan metode pendekatan yang tepat sasaran, misalnya diberi pengetahuan bagaimana menangani sampah rumah tangga (onsite handling), yang benar, diberi muatan penerapan 3R: Reuse, Reduksi, Recycle, sehingga lambat laun terjadi adopsi inovasi dalam diri setiap individu warga kota yang tampak dari adanya peran aktif yang berkesinambungan.
Pengelolaan sampah secara nasional sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah setempat dan pada umumnya setiap kota maupun kabupaten telah memiliki Standard Operasional Prosedur (SOP) yang disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Secara umum sistem persampahan yang lazim dilakukan di Indonesia ialah sistem yang didasarkan atas premis kesehatan, yaitu bahwa sampah merupakan bahaya kesehatan (health hazard), dan oleh karenanya harus dikumpulkan, diangkut, dibuang secepatnya agar sesedikit mungkin berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa kota-kota sedang dan besar pada umumnya hanya mampu mengangkut 70-80 persen dari seluruh timbulan sampahnya. Sampah yang tidak terangkut umumnya dibakar, dipendam, atau dibuang ke selokan dan sungai yang menyebabkan kemampetan-kemampetan dan banjir. Ini belum bicara bagaimana suatu kota seharusnya memilih sistem pembuangan sampah yang ideal yaitu Sanitary Land Fill yang biayanya sangat mahal dalam pembuangan sampahnya.
Sebenarnya terdapat suatu sistem pemanfaatan sampah oleh para pemulung yang secara potensial dapat membantu mengurangi beban dalam pengelolaan sampah kota. Mereka memilah-milah dan menjualnya untuk didaur ulang, seperti karton, kertas, plastik kaca, metal dan bahan anorganik lain. Penelitian yang dilakukan oleh PPLH-ITB bekerjasama dengan Institute of Social Study (ISS), Den Hag memperkirakan kontribusi pemulung bisa mencapai 5-10 persen. Terlepas dari kecilnya prosentase yang disumbangkan oleh pemulung untuk mengurangi timbulan sampah melalui daur ulang, yang terpenting ialah diketemukannya suatu mekanisme di dalam masyarakat yang dapat membantu untuk mengurangi beban lingkungan yang sekaligus dapat membuka peluang-peluang lain. Pendaurulangan sampah mengandung arti bahwa sampah dapat mempunyai nilai ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan di sektor informal, menekan kebutuhan akan bahan baku seperti kertas, kayu, dan lain-lain, juga dapat mengurangi biaya transportasi.
Namun demikian pendaurulangan akan lebih efektif jika kelompok pemulung diberi pengakuan dan perlindungan, dan pemberdayaan, peran mereka sebaiknya diorganisir secara profesional misalnya melalui “Koperasi Daur Ulang”. Malalui wadah ini secara bertahap keterampilan mereka dapat dikembangkan dengan Teknologi Tepat Guna (TTG) misalnya teknologi pembuatan kompos, biogas dan lain-lain.
Pengelolaan sampah kota memang membutuhkan biaya yang sangat besar, seperti seorang wanita yang memelihara kulitnya dengan berbagai perangkat dan bahan yang mahal harganya, namun demikian keterbatasan biaya bukan alasan yang tepat untuk tidak tampil cantik dan berkulit mulus, sesungguhnya terdapat banyak tumbuhan, herbal yang tumbuh di sekitar kita yang dapat digunakan untuk memelihara kulit secara tradisional. Pemberdayaan masyarakat pemulung, daur ulang sampah, pemanfaatan kembali sampah, komposting misalnya merupakan metode perawatan kecantikan kulit kota yang murah dan menguntungkan.#

*Pemerhati Masalah Lingkungan, Karyawan BTKL-PPM Manado