29 Februari 2008

Aksi Anarkis Mahasiswa Pasca Pemilihan Rektor Unsrat

(Suatu Tinjauan Kriminologi)

Oleh Drs Samuel Madianung MSi
(Pakar Kriminologi Polri; Alumni Pasca Sarjana/S2 Kriminologi UI 2003; Mantan Anggota Densus 88/Anti Teror Mabes Polri; Mantan Dosen Selapa Polri; Kanit 3 Sat Ops I Dit Reskrim Polda Sulut)

AKSI anarkis mahasiswa yang terjadi pada Rabu 27 Februari 2008 di Kampus Unsrat Manado sangat disesalkan dan disayangkan, karena mahasiswa adalah kaum intelektual yang memiliki nilai moral dan kesantunan yang tinggi, apalagi yang terlibat di dalamnya dimulai dari aksi unjuk rasa mahasiswa Fakultas Hukum yang nantinya akan menjadi ahli-ahli hukum, tapi sebelum menjadi Sarjana Hukum sudah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Yang sangat merugikan nama baik Unsrat.
Tapi sepenuhnya kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa tersebut. Karena kita harus melihat apa sebab mereka melakukan tindakan tersebut, yaitu hukum sebab akibat, aksi reaksi, ada sebab sampai ada akibat, ada aksi sampai ada reaksi.
Kekerasan menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang baik berupa ancaman saja maupun sudah merupakan suatu tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik ataupun kematian pada seseorang.
Kekerasan selain dilakukan secara individual dapat juga dilakukan secara kolektif. Kekerasan secara kolektif dapat dibedakan atas 3 (tiga) kategori yaitu kekerasan kolektif primitif, kekerasan kolektif reaksioner, dan kekerasan kolektif modern (Tilly 1966). Kekerasan kolektif primitif pada umumnya bersifat non politis, ruang lingkupnya terbatas pada suatu komunitas lokal, misalnya pengeroyokan dan penganiayaan. Sementara yang dimaksud dengan kekerasan kolektif reaksioner, umumnya merupakan reaksi terhadap penguasa. Pelaku dan pendukungnya tidak semata-mata berasal dari suatu komunitas lokal melainkan siapa saja yang merasa kepentingan dengan tujuan kolektif yang menentang suatu kebijakan atau sistem yang dianggap tidak adil dan jujur. Sedangkan kekerasan kolektif modern merupakan alat untuk mencapai tujuan ekonomis dan politis dari suatu organisasi yang tersusun dan terorganisir dengan baik, misalnya kekerasan dalam pemogokan buruh, terorisme dan lain-lain.
Timbul pertanyaan mengapa massa menjadi begitu beringas dan tak terkendali? Secara teoritis, khususnya dalam jenis kekerasan kolektif primitif sangat sedikit ditemukan, bahwa tingkah laku itu direncanakan dan direkayasa sebelumnya. Kebanyakan kerusuhan merupakan ledakan spontan dari kelompok yang kecewa, memberikan reaksi terhadap peristiwa dan isu yang muncul.
Menurut Horton dan Hunt (1994) kerusuhan mencakup pameran kekuatan, penyerangan terhadap kelompok yang tidak disenangi, perampasan dan pengrusakan harta benda terutama milik kelompok yang dibenci. Setiap kekerasan kolektif memberikan dukungan kerumunan dan kebebasan dari tanggung jawab moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan dorongan hati. Secara psikologis orang yang berada dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan dan mengenalnya. Dan dalam kerumunan orang banyak, mereka menjadi gampang meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan lepas kendali, sehingga memungkinkan seseorang melakukan tindakan agresif dan destruktif. Dari sinilah lahir tingkah laku manusia yang kejam dan sadistik. Tetapi proses penurunan intelektual dan moral, serta hilangnya rasionalitas dari pada individu yang ada dalam kerumunan tadi.
Peristiwa yang terjadi Rabu, 27 Februari 2008, dimulai dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat, kemudian terjadi saling serang dengan mahasiswa Fakultas Teknik yang mengakibatkan korban manusia maupun harta benda merupakan puncak akumulasi kekecewaan mahasiswa Fakultas Hukum, karena tidak dilantiknya Rektor Unsrat terpilih Prof Dr Donald Rumokoy SH yang juga adalah Dekan Fakultas Hukum, ditambah lagi adanya perintah dari Menteri Pendidikan Nasional untuk melakukan pemilihan ulang rektor Unsrat. Padahal kalau ditarik ulur ke belakang sebenarnya kesalahannya terletak pada Plh Rektor Unsrat dan panitia pemilihan Rektor Unsrat. Saya tidak perlu jelaskan di sini, tapi saya sangat yakin dan percaya Plh Rektor Unsrat Prof Dr Lucky Sondakh sangat tahu kesalahan apa yang ia lakukan, dan untuk tujuan apa kesalahan tersebut dilakukannya, namun yang pasti peristiwa memalukan tersebut telah terjadi, dan nama almamater Unsrat yang kita banggakan telah tercemar.
Dalam teori kriminalogi yaitu Differential Association Teory oleh Edwin Sutherland dijelaskan bahwa kejahatan terjadi karena proses pembelajaran apakah melalui pergaulan di lingkungannya ataupun melalui media elektronik seperti TV, dan media cetak (surat kabar).
Masyarakat Sulut umumnya, dan masyarakat Manado khususnya adalah masyarakat yang religius dan anti kekerasan, namun seringnya nonton TV melihat aksi-aksi unjuk rasa yang anarkis di Indonesia, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi pola pikir maupun kepribadian mereka, hal inilah yang menyebabkan peristiwa hari Rabu terjadi.
Untuk itu sangat diharapkan peristiwa tersebut tidak terulang lagi, marilah kita salurkan aspirasi secara baik dan benar, serta bijaksana, gunakan akal sehat sehingga gelar masyarakat kampus sebagai masyarakat intelektual yang bermoral dan santun tidak tercoreng.#

27 Februari 2008

Membangun Manusia Sulut Seutuhnya

Oleh Max Wilar

I. Pendahuluan
Tulisan-tulisan yang disampaikan pada saya untuk ditanggapi [menurut urutan tiba di tangan saya pada 19 Februari 2008], adalah sebagai berikut: [1] Keminahasaan dalam Keindonesiaan: Kontribusi Budaya Minahasa Membangun Manusia Utuh Indonesia – Menjawab Tantangan Pluralisme oleh Pdt. Richard A.D. Siwu [2] Menggali Sistem Nilai Kepercayaan Masyarakat Sulawesi Utara untuk Membangun Manusia Sulawesi Utara Seutuhnya oleh Prof. H.H.T. Usup [3] Spiritual Bantik oleh Ratty Supit, dan [4] Tuhan Palsu oleh Pdt. Glorius Bawengan.
2. Pengundang membatasi eksplorasi seminar pada sistem nilai kepercayaan yang ada di masyarakat Sulawesi Utara secara realita dewasa ini [esei undangan] sehingga penulis harus membatasi pembahasan pada acuan tersebut, sekalipun disana-sini ada yang melenceng dan bahkan tidak relevan. Tidak semua pikiran pemakalah mampu penulis elaborasi dalam tanggapan yang sangat terbatas ini, dan disiapkan dalam waktu yang sangat terbatas pula, namun sebagai pengantar diskusi, kiranya bermanfaat adanya.
II. Abstrak
1. Pemahaman sistem nilai dari sudut pandang sosiologi amat beragam karena tradisi-tradisi [termasuk keagamaan] yang dimiliki oleh setiap individu dalam kehidupan berkelompok [masyarakat] yang kumulatif dan kohesif, serta-merta menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem-sistem, dimana penyatuan keanekaragaman disebabkan oleh pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih, dan dari pola tersebut terbentuk satu tujuan atau tujuan utama yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan berpola [Parsudi Suparlan], yang menjadi keterikatan, solidaritas sosial dan kemasyarakatan yang berpusat pada simbol-simbol utama yang dibedakan antara sacred dan profane [Durkheim,] serta historis, dinamis, dan rasional [Weber ].
2. Saya menangkap benang merah makalah Siwu, Usup, Supit dan Bawengan, bertemu di satu koridor, yaitu adanya kesadaran tentang realita kemajemukan [plurality] sebagai fakta sosial dalam sistem nilai kepercayaan masyarakat di Sulawesi Utara, dimana postulat dominan adalah sistem nilai masyarakat agraris, sementara kemajemukan dalam sistem nilai masyarakat industri, adalah:
The language of pluralism is not the language of sameness, nor is it simply the erasing differences, but about engaging differences in the creating of a common society. The language of pluralism is the language of traffic, exchange, dialogue, and debate. From a religious or theological standpoint, it is the language of faith, held not in isolation from those of other faiths, but in relation to them
3. Paham kemajemukan dalam masyarakat agraris Indonesia menurut Furmivall adalah given dimana masing-masing kelompok berdiri sendiri-sendiri, saling terpisah, dan masing-masing kelompok menempatkan yang lain sebagai kelompok luar yang berbeda, atau dalam bahasa Clifford Geertz, dipertajam dengan pandangan bahwa kesetiaan pada kelompok asal tidak mudah pudar. Ciri total-komunalistik masyarakat agraris terstruktur menjadi sifat institusionalistik sangat kental, sementara dalam masyarakat modern lebih bersifat relasional dan individualistik. Dengan asumsi itu, maka secara kultural kemajemukan di masyarakat Sulawesi Utara cenderung statis dan tertutup, sehingga apa yang disarankan Siwu tentang pentingnya reaktualisasi makna religius dan reformasi persepsi beragama merupakan strategi kebudayaan untuk memasuki masyarakat industri. Untuk itu, Usup memberikan beberapa rekomendasi behaviourism yang khas dan bagus, sementara Supit dan Bawengan memberikan referensi spiritualistik yang deduktif-induktif.
3. Pemahaman kemajemukan secara relasional dalam masyarakat industri dapat mengacu pada referensi yang dielaborasi dari tesis kontemporer Harvard University untuk studi tentang kemajemukan, sebagai berikut:
[1] pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. [2] pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. [3] pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. [4] pluralism is based on dialogue, atau dalam filsafat Martin Buber, “human beings may adopt two attitudes toward the world: I-Thou or I-It. I-Thou is a relation of subject-to-subject, while I-It is a relation of subject-to-object. In the I-Thou relationship, human beings are aware of each oher as having a unity of being.
III. Manusia Indonesia
1. Manusia Indonesia [menurut Mochtar Lubis] secara kultural memiliki ciri-ciri dominan, sebagai berikut: [1]. Hipokritis alias munafik, yaitu berpura-pura, merupakan ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama. Feodalisme adalah sumber dari stereotip munafik manusia Indonesia. [2] Segan dan enggan bertanggung-jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. [3] Feodalisme dalam bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia. [4] Manusia Indonesia masih percaya takhyul. [5] Manusia Indonesia artistik. Karena yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuatan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. [6] Manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. dan [7] Manusia Indonesia tidak hemat, dia bukan economic animal, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia, gampang senang dan bangga pada hampa-hampa, manusia sok, tukang tiru, bahkan juga memiliki sifat-sifat manusia yang buruk-buruk. Manusia Indonesia bisa juga kejam, bisa meledak, ngamuk, membunuh, membakar, khianat, menindas, memeras, menipu, mencuri, korupsi, khianat, dengki, suka bermalas-malas, menggunakan logika yang salah, tidak peduli akan nasib orang [selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat padanya]. Potret buram Manusia Indonesia yang dibuat budayawan Mochtar Lubis tahun 1977, termasuk Manusia Sulawesi Utara yang terdiri atas 20 suku bangsa dan sub-suku bangsa ternyata menjadi semakin dipertebal dengan praktika Korupsi, Kolusi, Nepotisme [KKN], konsumerisme, hedonisme, fundamentalisme sempit, bad governance [lawan dari good governance], dirty government [lawan dari clean government], money politics, teror, dan narsistik. Tanda-tanda tambahan agenda buruk bias semakin menebal bila isu-isu negatif kontemporer antara lain tentang ketidakadilan, kemiskinan, Hak Asasi Manusia [HAM], Lingkungan Hidup, civil society, dan seterusnya, tidak teratasi secara kultural dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Tantangan di abad ke-21 mengisyaratkan pemberlakukan nilai-nilai fundamental baru, yaitu: [1] freedom [2] equality [3] solidarity [4] tolerance, dan [5] shared responsibility yang secara psikologi akan bersikutat dengan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu [1] kebutuhan fisiologis, [2] kebutuhan keamanan dan keselamatan [3] kebutuhan sosial [4] kebutuhan penghargaan, dan [5]. kebutuhan aktualisasi diri .
IV. Manusia Sulawesi-Utara
1. Saya menangkap apa yang dikatakan Siwu tentang adanya apa yang disebut krisis identitas, di wilayah keberagamaan, yang dari sudut pandang sosiologi agama berkaitan dengan empat tingkat keagamaan, yaitu: [1] tingkat rahasia, yakni, seseorang memegang agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan pada orang lain [2] Tingkat privat atau pribadi, yakni, dia mendiskusikan dengan, atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang adalah pribadi amat dekat hubungannya dengan dirinya [3] Tingkat denominasi, yakni, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau yang privat, dan [4] Tingkat masyarakat, yakni individu memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan keagamaan dari warga masyarakat tersebut. Sementara krisis identitas di wilayah kebudayaan berada di sistem kemasyarakatan [di Minahasa], yaitu [1] stratifikasi sosial yang tidak konkret [2] solidaritas dan mapalus yang berdasarkan prinsip resiprokal, dan [3] kerukunan di aras keluarga dan teritorial, yang semakin kehilangan sengatnya karena tercabut dari akar.
2. Muara sistem nilai kepercayaan di Sulawesi Utara ditinjau dari sudut kohesi relasional, seyogianya melahirkan profil manusia ideal, seperti: terpercaya (trustworthiness], bertanggungjawab (responsible), ikhlas (sincere), berbakti (dedication), kesederhanaan (moderation), rajin (diligence), pembawaan bersih (clean conduct), suka kerjasama (cooperativenss), kehormatan (honourable) dan bersyukur (gratitude), tampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, kebudayaan sebagai social capital belum mampu keluar dari nilai-nilai masyarakat agraris, dan juga buah dari kegagalan dari akselerasi pembangunan 25 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru. Kebijakan otonomi daerah pun cenderung akan gagal, jika tidak disertai dengan gerakan budaya untuk menegakkan kembali harkat dan matabat komunitas yang memberi peluang dalam aktualisasi kebudayaan daerah sebagai identitas jati diri komunitas atau, dalam bahasa Abraham Silo Wilar, healing the others who are wounded by my religion. Artinya, diperlukan semacam inward looking untuk memperkuat social capital yang dimiliki Sulawesi Utara. Dari titik ini saya mencatat prakarsa pelaksanaan World Ocean Conference [WOC] 2009, di Manado, Sulawesi Utara sebagai model terobosan yang dapat memaknai upaya membangun manusia pembangun.
VI. Catatan Kritis
Bila dialog adalah esensi dari kemajemukan yang relasional, atau dalam teori fungsional Talcott Parson tentang pentingnya hubungan respirokal antara sistem kebudayaan, sosial, dan kepribadian, maka sederet bahaya yang mengancam efektifitas dialog adalah: [1] Sentralisme Kekuasaan yang menekankan pendekatan top-down. Pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah yang tertentu dan konkret. Tanggung jawab daerah juga tidak ada atau, paling tidak, sedikit sekali. Pemusatan kekuasaan juga mendorong ke arah penyeragaman sistem sosial. [2] Etnosentrisme-Primordialisme dimana yang dianggap serta diperlakukan sebagai manusia hanyalah orang sebangsa, sesuku bangsa, sedesa dan sebagainya. Lingkup sikap seperti itu dapat dipersempit oleh atau diperluas lagi. Dalam bentuk luas atau sempit sikap itu nampak dalam primordialisme. Dalam primordialisme orang tidak sanggup lagi mengatasi ketertutupan satuan sosialnya, tidak dapat dan tidak sanggup lagi mengakui satuan sosial lainnya serta melibatkan diri di dalamnya. Orang juga tidak hanya menolak orang atau suku bangsa lain termasuk agama serta adat-istiadatnya, melainkan juga membencinya sehabis-habisnya. [3] Ketidakadilan sosial dapat dan de facto melemahkan, melumpuhkan, dan mematikan semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Ketidakadilan sosial dapat disebabkan juga oleh sentralisme kekuasaan dan pendekatan top-down .
IV. Kesimpulan
Menggali sistem nilai kepercayaan masyarakat Sulawesi Utara adalah academic achievement yang sangat penting dilakukan, karena dengan cara itu semua stake holders [pemangku kepentingan] dapat memberi sumbangan nyata bagi penguatan kultural suku bangsa dan sub-suku bangsa dalam memaknai Indonesia di masa depan.
Tanggapan terhadap makalah seminar Menggali Sistem Nilai Kepercayaan Masyarakat Sulawesi Utara untuk Membangun Manusia Sulawesi Utara Seutuhnya yang dilaksanakan oleh Dewan Pengurus Aliansi Gerakan Membangun [AGM] Sulawesi Utara, di Restoran Sindang Reret, Jl. Wijaya I/34, Kebayoran Baru, Jakarta, 23 Februari 2008.
Max Wilar, Member, International Association for the Promotion of Christian Higher Education [IAPCHE], Dordt College Campus, 498 4th Avenue NE, Sioux Center, Iowa 51250-606, USA. Email: maxwilar@telkom.net

26 Februari 2008

UNSRAT : MEMILIH JALAN BARU

OLEH : BONNY F. SOMPIE) *

Tanggal 28 Agustus 1963 Martin Luther King (alm) Pemenang Nobel (1964) dan pejuang hak-hak sipil USA di Washington berucap : ”I have a dream”; a dream of the time when the evils of prejudice and segregation will vanish.”
Mimpi (lebih cocok “VISI”) ini terwujud beberapa tahun kemudian di mana persamaan hak disahkan oleh Konggres USA. Dari berita yang dapat kita simak di berbagai media cetak dan elektronika akhir-akhir ini Calon Presiden USA 2008, Barrack Obama , kulit berwarna , turunan campuran, penganut Baptis seperti Martin Luther King merupakan calon kuat untuk Presiden USA dari Partai Demokrat. Padahal tradisi untuk menjadi presiden USA; biasanya kulit putih, keturunan Irlandia dan penganut Presbyterian. Nampak jelas ada perubahan yang sedang terjadi di negara adidaya Amerika Serikat.
Akhir tahun 1975, penulis sebagai mahasiswa affiliasi Unsrat menyelesaikan studi pada Departemen Jurusan Sipil ITB. Waktu itu Sekretaris Universitas Prof. Timboeleng (alm) dan Ir. W.A. Kamagi (alm), Dekan Fak. Teknik meminta penulis menjadi staf pengajar dan diajak bersama membangun Fakultas padahal Alumni ITB jarang yang memilih karier pengabdian menjadi PNS karena tawaran swasta begitu menggiurkan.
Tahun 1976, penulis memulai karier sebagai Dosen di Fakultas Teknik yang serba berkekurangan dalam segala aspek pendidikan a.l : dosen sangat sedikit , fasilitas akademis (ruang kuliah/praktikum, peralatan praktikum), pendanaan serba kurang dari pemerintah pusat dan daerah.
Fakultas Teknik tetap bekerja sama dengan ITB untuk penyelesaian studi mahasiswa S1 dan angkatan terakhir mahasiswa afiliasi pada tahun 1984. Kemudian dilanjutkan dengan pengiriman lulusan S1 untuk mengambil S2 yang dipersiapkan menjadi staf penggajar.
Penulis bermimpi kapan Fakultas Teknik (waktu itu hanya satu Jurusan Teknik Sipil) menjadi seperti Jurusan Sipil ITB. Dan kapan secara institusi Unsrat sekelas ITB. Kerja keras, semangat dan jalan yang “benar“ yang ditempuh pimpinan Fakultas dari waktu ke waktu mimpi penulis terwujud 30 tahun kemudian. Pada tahun 2006, Jurusan Teknik Sipil terakreditasi dengan grade A “Sama seperti Jurusan Teknik Sipil ITB” kini ada 4 Jurusan di Fakultas Teknik, 3 Jurusan lainnya yaitu Arsitektur, Mesin dan Elektro terakreditasi dengan grade B”. Hanya Jurusan yang terakreditasi A dan B yang berhak membuka program S2 dan pada Program Sarjana Unsrat ada Jurusan Teknik Sipil dan Arsitektur.
Bagaimana jurusan-jurusan lainnya pada Fakultas di lingkungan Unsrat? Sepengetahuan penulis baru di tiga Fakultas terfavorit: kedokteran, Teknik dan Ekonomi terbanyak Jurusan terakreditasi grade A. Banyak Jurusan di Unsrat mulai tidak diminati peminat (konsumen) dan bahkan tidak ada ”penghuni” lagi. Kebijakan Dirjen Dikti mulai mengevaluasi jurusan-jurusan yang tak perlu lagi atau digabungkan untuk dapat menjaring peminat.
Jurusan/program studi adalah ujung tombak setiap Universitas/Institute. Investasi Universitas (UNSRAT) haruslah dialokasikan di Program Studi/Jurusan. Baik investasi Sumberdaya Manusia (Dosen) maupun peralatan praktikum, perpustakaan dan fasilitas akademis lainnya seharusnya diprogramkan sesuai kebutuhan dari program studi/jurusan.
Perekrutmen dosen misalnya harus ditentukan oleh program studi/jurusan karena di sinilah yang paling tahu tentang kebutuhan akan kualifikasi serta jumlah yang diperlukan, bukan pejabat-pejabat di tingkat universitas. Tugas utama universitas (Rektorat) adalah bagaimana pengembangan akademis diarahkan termasuk pengembangan Jurusan/Program Studi, dan pengaturan/penataan administrasi/umum yang ”standar” sehingga fungsi pelayanan kepada publik ada kepastian dan pada gilirannya masyarakat ada kepercayaan (trust) pada institusi.
Kajian Majalah Globe Asia, terbitan awal Februari 2008 memperlihatkan 20 Universitas Negeri dan Swasta terbaik di Indonesia. Rangking pertama UI (skor 366), rangking kedua Universitas Pelita Harapan (skor 356). Rangking ke-20 Universitas Petra Surabaya (skor 151). Dari Indonesia Timur hanya UNHAS (skor 259) yang masuk rangking (9) .
Penentuan skor dihitung dari penilaian dari tiga kriteria :
1) Akademic Greatness
2) Holistic Education and Campus Dynamism
3) Impact to Society.
Penulis coba-coba menghitung posisi Unsrat dan Kriteria di atas dan didapat skor diantara 90-100. Apakah mimpi Unsrat masuk 10 terbaik di Indonesia akan terwujud ini yang perlu di kaji Unsrat sendiri. Mewujudkan mimpi (Visi) perlu ada kemampuan awal dari institusi dengan tidak berandai-andai, melainkan perlu menempuh jalan pengembangan institusi yang benar.
Penulis ingat tahun 1976 terjadi penggantian Rektor dari Prof.Dr. Kandow (alm) pada Prof. W.J. Waworuntu, mantan Ketua Jurusan Planologi dan Ketua Pusat Pengembangan Teknologi ITB ditunjuk oleh Dirjen Dikti waktu itu Prof. Doddy Tisnaamijaya, mantan Rektor ITB.
Beliau memulai konsep pengembangan Universitas yang membingungkan petinggi dan dosen Unsrat dengan model pengembangan ITB yang di kenal salah satu dari ”The Big Four University”. Beliau mulai meletak dasar bagaimana membangun Universitas dengan filosofi, skenario-skenario berdasarkan kemampuan kekinian dan keakanan (future), visi, misi dan action plan dengan bertumpu pada pembangunan sumberdaya manusia. Warga dan masyarakat waktu itu lebih menginginkan pembangunan pada orientasi fisik/bangunan. Beliau berpendapat kita bisa bangun bangunan-bangunan yang megah tapi kalau tidak ada sumberdaya manusia dalam menata dan mengelola akan mubasir. Lihat contoh Kampus Unsrat Sea, Pandu dan Likupang hampir sirna. Beliau menemukan dan mengangkat filosofi ”Si Tou Timou Tumou Tou” sehingga Unsrat dikenal dengan credo tersebut.
Pengganti beliau berturut-turut Prof. Tangkudung (alm), Prof. Paruntu dan Prof. Sondakh dan saat ini Unsrat siap-siap kedatangan pemimpin baru.
Penulis masih ingat era Prof. Tangkudung mulai ditata administrasi Institusi yang baik. Beliau merekrut 2 dosen Unsrat menjadi kepala Biro dan mulai meletak dasar pengembangan akademis yang dirintis Prof Waworuntu. Di era beliau nuansa politis sangat kental, dan mulai meninggalkan nilai-nilai teknis. Salah satu contoh pengangkatan Pimpro bukan seseorang yang mempunyai kemampuan teknis tetapi non teknis. Dosen dari Fisip jadi Pimpro dan dilanjutkan di era Prof. Paruntu berturut-turut dari Pertanian, Hukum dan Peternakan, bukan dari Teknik yang lebih profesional dan mempunyai kompetensi mengelola proyek fisik. Di sini penulis melihat Unsrat mulai memilih jalan yang salah ”yang di jaman Waworuntu” mulai diatur ”the right man on the right place”.
Era Prof. Paruntu meneruskan program Prof. Tangkudung dengan merevisi Renstra dikenal Restra Unsrat 2010. Era Prof.Sondakh meneruskan program Prof. Paruntu dengan merevisi lagi restra dan menetapkan visi dan misi baru tapi terobsesi dan mulai melirik Unsrat menjadi BHMN/BHP, meskipun UU untuk itu belum disahkan DPR RI.
Resistensi atas gagasan ini mengalir seperti bola salju termasuk dari Pemda dan DPRD Provinsi mempertanyakan kelayakan Unsrat.
Pertanyaan muncul ”Apakah jalan yang ditempuh Unsrat dengan tiga Rektor terakhir sudah benar atau ada sesuatu yang hilang (missing link)”.
Inilah kesempatan yang baik bagi warga Civitas Unsrat dan pemangku kepentingan (Pemda, Pemerhati Pendidikan, Masyarakat) untuk mulai bercermin diri dan menilai, mengadakan refleksi untuk menentukan jalan pengembangan Unsrat lebih baik.
Penulis ingin meminjam ide dari Dr. Rizal Ramli waktu penulis mengikuti seminar Alumni ITB 10 November 2007, Jalan Baru Kebangkitan Indonesia. Nampaknya Unsrat perlu memilih ”Jalan Baru” dengan berani meninggalkan jalan-jalan yang salah/keliru yang pernah ditempuh dan dijalani.
Otto von Bismarch, peletak dasar Kekaisaran Jerman, mengatakan orang pandai dan bijak mau belajar dari pengalaman orang lain, sedangkan orang pandai tapi dungu mengira bahwa ia hanya bisa belajar dari pengalamannya sendiri. Perubahan perlu suatu proses, seperti tulisan di Westminster Abbey Inggris, 1100 M, ”The Willingness to Change” jangan bermimpi merubah dunia kalau belum dimulai dari diri sendiri.
Kebangkitan Unsrat perlu mengambil ”Jalan Baru” dengan landasan filosofi dari nama yang disandang Unsrat SAM RATULANGI yakni: SI TOU TUMOU TUMOU TOU.
Kalau GAMA (Universitas Gajah Mada) tetap mempertahankan diri sebagai Kampus ”Rakyat” meskipun telah BHMN, kenapa Unsrat tidak kembali menjadi Kampus Si Tou Timou Tumou Tou. Bukan rahasia lagi, publik telah mengetahui: ada anak orang tidak mampu, meskipun berkualitas jangan bermimpi bisa masuk fakultas favorit di Unsrat yang biayanya (”pungutannya”) tinggi. Inikah implementasi Credo Si Tou Timou Tumou Tou?. Mari kita merenungkan dan mengheningkan cipta bahwa ”Si Tou Timou Tumou Tou” telah mati di Unsrat. Amin.
Kepada Rektor Baru yang akan nantinya memimpin Unsrat, di mana publik mengharapkan sebagai penyelamat (”Mesias” ) dengan menempuh ”Jalan Baru” penulis ingin titipkan kata-kata bijak Raja Salomo :
”Tetapi jalan orang benar itu seperti cahaya fajar, yang kian bertambah terang sampai rembang tengah hari. Jalan orang fasik itu seperti kegelapan, mereka tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tersandung”.
Selamat Menempuh Jalan Baru buat Unsrat. Semoga.

25 Februari 2008

Potensi Konflik Wilayah Kian Terbuka

Oleh Drs Josdy Damopolii MAP
(Kepala Seksi Analisa dan Pengkajian (DSPARTM)
Jl. Amoniak 5 No 11/12 Kav Pupuk Kujang Kodya Depok Jabar)

LUASNYA wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia dengan luas wilayah perairan mencapai hampir dua pertiga dari seluruh wilayah Indonesia serta berada pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Hal tersebut merupakan posisi yang sangat strategis baik bagi bangsa Indonesia maupun bagi negara lain dengan berbagai kepentingan kekayaan alam yang dimiliki merupakan sumber kesejahteraan bagi bangsa dan merupakan aset yang sangat menguntungkan. Namun di sisi lain pada wilayah tertentu dapat memunculkan kerawanan yang setiap saat menjadi ancaman baik potensial maupun faktual, sehingga diperlukan upaya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum serta pengawasan ketat.
Ancaman yang muncul akhir-akhir ini seperti keamanan dan kerawanan perbatasan dimana disinyalir beberapa patok batas wilayah Indonesia yang berada di perbatasan Kalimantan Timur berdasarkan hasil survey dari dinas Topografi TNI Angkatan Darat telah berubah dan bergeser ke wilayah Indonesia. Belum lagi permasalahan laut sengketa blok Ambalat yang berada di wilayah perairan Kalimantan Timur sempat memanas. Bahkan akhir-akhir ini kapal-kapal perang dan pesawat udara Malaysia pun sering memasuki daerah tersebut.
Menghadapi potensi konflik tersebut, sesuai dengan amanat UU No 34 Tahun 2004, TNI mengemban tugas sebagai alat pertahan negara di Darat, Laut, dan Udara. Berkewajiban menjaga kedaulatan negara Republik Indonesia. Namun apa yang terjadi wilayah negara Indonesia dewasa ini intensitas gangguan yang datang dari negara tetangga maupun negara lain kian mengancam kedaulatan bangsa Indonesia semakin hari meningkat. Bahkan ada indikasi pemerintah Malaysia merekrut warga negara Indonesia menjadikan milisi untuk membela perbatasan Malaysia Askar Wataniah ini merupakan hal yang harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah Indonesia.
Direktur Kekuatan Pertahanan, Departemen Pertahanan RI, Pieter LD Wattimena saat menjabat mengakui, Indonesia mempunyai potensi konflik perbatasan mirip Ambalat dengan hampir seluruh negara yang berbatasan langsung. Potensi konflik itu bisa terjadi kapan saja. ‘’Pada saat mereka mulai klaim masalah itu, kita keteteran, kita akan kebakaran jenggot,’’ katanya di Bandung, Senin (14/3). (Sumber harian Tempo)
Belum lagi dalam bulan Juli 2007 pihak TNI AU telah mendeteksi adanya aktivitas 2 kapal perang asing jenis Fregat melakukan pelanggaran wilayah laut RI di sekitar perairan kepulauan Natuna. Kapal perang itu tertangkap layar monitor pesawat intai Boeing 737 milik TNI Angkatan Udara yang tengah bergabung dalam latihan bersama TNI AU dengan Angkatan Udara Singapura (Royal Singapore Air Force/RSAF di kepulauan Natuna.
Tidak kalah pentingnya, tepatnya pada 3 Juli 2003 lalu, sempat membelalakan mata kita semua, lima jet tempur F-18 Hornet milik Angkatan Udara AS melakukan manuver di atas perairan Pulau Bawean, Jawa Timur, dan dua pesawat F-16 milik TNI-AU kemudian dikerahkan dari Lanud Iswahyudi, Madiun, untuk mengidentifikasi keberadaan kelima pesawat AS itu. Keberadaan lima F-18 Hornet saat itu dipergoki oleh sebuah pesawat penumpang yang tengah melintas di Bawean pada saat yang sama, yang kemudian melaporkannya kepada menara radar di Surabaya dan Jakarta. Sebagai protes, pemerintah Indonesia menyusun nota diplomatik kepada AS atas terjadinya manuver lima jet tempur F-18 itu. Sementara itu, untuk memantapkan operasi pertahanan terhadap ancaman kekuatan udara pihak asing di wilayah Indonesia.
Begitu juga aktivitas kapal perang asing di perairan Natuna. Siaran pers Dinas Penerangan Armada TNI AL Kawasan Barat (Armabar) di Jakarta, Kamis (17/7), menyebutkan, kapal perang TNI KRI Teuku Umar mendeteksi konvoi kapal-kapal itu yang merupakan kapal perang dari Angkatan Laut Singapura dan Amerika Serikat (AS). Konvoi kapal perang Singapura itu terdeteksi KRI Teuku Umar Rabu (16/7) pukul 06.00 WIB, kemudian terus menerus dimonitoring melalui manuver taktis. Namun karena tidak memberikan jawaban saat dikonfirmasi tujuannya, KRI Teuku Umar terus membayang-bayangi hingga pukul 08.15 WIB. Dari hasil pengamatan visual radar, tujuh kapal asing itu terdiri atas tiga kapal perang Angkatan Laut Singapura, dua kapal perang AS, dua lainnya belum diketahui. Kapal perang Singapura terdiri dari RSS Valiant, RSS Vigour (keduanya jenis corvet), RSS Sea Wolf (jenis fast attack craft). Dua kapal perang AS salah satunya adalah USS Vincennes (cruisser). Menurut Panglima Komando Armada Barat saat itu Laksamana Muda Mualimin Santoso, dari hasil evaluasi selama pemantauan oleh KRI Teuku Umar, tujuh kapal perang itu dilihat dari manuver dan formasinya diduga sedang melakukan latihan bersama. Sedangkan dari plotting lokasi, kehadiran mereka masih berada dalam wilayah perairan internasional. ‘’Kita terus waspada dengan adanya kejadian ini," Belum selesai permasalahan pelanggaran wilayah itu menerpa Indonesia, pada akhir 2004, pemerintah Australia berencana menerapkan sistem pertahanan ekspansif dengan memberlakukan Zona Informasi Maritim Australia (AMIZ) yang menjangkau 2/3 wilayah Indonesia. Menlu Hassan Wirajuda bereaksi keras dan menolak rencana tersebut, mengingat jangkauan radar Australia dapat memantau aktivitas Laut Jawa dan sekitarnya, dimana pusat pemerintahan Indonesia berada. Sebagai langkah antisipasi, Menhan Juwono Sudarsono pada waktu itu dengan tegas mengatakan akan mengerahkan kekuatan laut nasional untuk menangkal segala usaha intervensi Australia di wilayah teritorial Indonesia.
Karena pada dasarnya Indonesia dan Australia ikut terlibat dan terdaftar sebagai negara yang menandatangani Konvensi Hukum Laut Internasional, UNCLOS (United Nations Convention on Law of the Sea) PBB tahun 1982. Terdapat pasal kritis UNCLOS yang menjadi titik pangkal perbedaan interpretasi terhadap konsep pertahanan AMIZ tersebut, yaitu artikel 49 menyatakan dengan tegas status legal negara kepulauan (Indonesia) berkedaulatan penuh atas perairan dan landas kontinen di bawah serta udara di atasnya.
Belum selesai masalah yang mendera Indonesia, Indonesia kembali mendapat gangguan yang berpotensi menjadi konflik terbuka dari negara serumpun Malaysia di gugusan kaya ladang minyak Ambalat, Kalimantan Timur pada 2005. Mereka ingin mengulang keberhasilan mengambil alih kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan memasuki tahun 2006 ada indikasi upaya serupa dengan klaim kawasan Gosong Niger (P. Gosong) di wilayah Kalimantan Barat, dimana dilaporkan tentara kerajaan Malaysia telah mengusir nelayan Indonesia dari wilayah itu, sumber (Kompas: 18/1/2006).
Menghadapi permasalahan potensi konflik yang kian terbuka, belum lagi dihadapkan pada kondisi Alat Utama Sistim Senjata (Alutsista) peralatan yang dimiliki TNI sangat tidak memadai akibat embargo terhadap suku cadang dan peralatan militer, berdasarkan keputusan politik Amerika Serikat yang diberlakukan terhadap Indonesia, walaupun embargo itu telah dicairkan namun kenyataan Indonesia harus menempuh beberapa syarat di bawah bayang-bayang tarik ulur politik Amerika.
Di sisi lain pemerintah Indonesia menganggarkan budget anggaran yang dialokasikan terhadap pertahanan dan keamanan sangat tidak memadai, demikian juga peralatan pertahanan yang kita miliki sangat tidak seimbang, kaitannya luas wilayah kita yang begitu luas yang membentang dari Sabang sampai Merauke bila dilihat dari potensi konflik tadi kita sandingkan dan suatu saat kita diperhadapkan pada tiga daerah Truble Spot secara bersamaan apakah dengan kekuatan TNI yang ada sekarang mampu untuk menanggulanginya? Ini merupakan pertanyaan yang perlu dijawab oleh pemerintah dan DPR. Sebagai contoh baru-baru ini terjadi tragedi tenggelamnya Tank Amphibi jenis BTR-50P buatan Rusia tahun 1962 milik TNI AL (Marinir) dan menewaskan 7 orang prajurit, yang tengah melakukan latihan Armada Jaya XXVII di perairan Banongan Asembagus Situbondo. Ini merupakan parameter terhadap alutsista kita betapa uzurnya (ketinggalan zaman) alat tempur yang kita miliki yang sudah berusia 46 tahun. Di sisi lain prajurit TNI harus dituntut profesionalis, sementara alat peralatan tempur yang mereka awaki sudah ketinggalan zaman. Sungguh sangat ironis, setelah terjadi korban berjatuhan di pihak prajurit TNI dan muncul komentar yang beraneka ragam, bukan sebatas pada peralatan tempur Tank saja tetapi peralatan TNI yang lainpun seperti pesawat banyak yang mengalami tragedi serupa namun lagi-lagi prajuritlah yang menjadi korban. Inilah menjadi renungan kita semua terlepas siapa yang benar dan yang salah.
Kalkulasi peta kekuatan TNI sekarang tidak dapat diukur dengan jumlah (kuantitas) prajurit yang kita miliki sekarang. Bila benar-benar perang terjadi toh yang paling memegang peranan adalah peralatan persenjataan yang menentukan karena sangat kecil kemungkinan bila perang terjadi maka yang muncul bukan lagi perang konvensional melainkan perang modern. Siapa memiliki teknologi yang unggul maka dialah memenangkan peperangan.
Kalau demikian adanya saya boleh berpendapat, Anda boleh berpendapat, karena tercukupinya anggaran pertahanan suatu negara merupakan simbol kewibawaan negara. Sebagai perbandingan kekuatan Indonesia di tahun 60–an era Presiden Ir Soekarno yang menjadi presiden pertama RI kekuatan angkatan perang Indonesia tercatat paling terkuat di Asia hal ini sejarah mencatatnya. Muncul pertanyaan kenapa Indonesia sedemikian getolnya memperkuat angkatan perangnya…? Ini terjadi karena Presiden Ir Soekarno yang notabenenya sosok sipil tetapi mempunyai konsep dan strategi pertahanan maritim dengan melihat konstalasi posisi wilayah Indonesia yang rawan terhadap ancaman dan gangguan, yang jelas hal ini untuk melindungi wilayahnya dari gangguan dari luar. Serta kewibawaan pemerintahan dan negara.
Sebagai perbandingan kekuatan saat tahun 60-an dan sekarang ini kekuatan di era tahun 60-an kekuatan perang Indonesia sangat ditakuti dan menjadi perhitungan pada saat itu kekuatan laut dan udaranya sangat dominan dan menjadi momok negara-negara lain. Karena pada saat itu Indonesia telah mempunyai 12 buah kapal selam buatan Rusia dan termodern di masa itu dan Indonesia mempunyai kapal penjelajah semi kapal induk KRI Irian, belum lagi kekuatan laut lainya seperti kapal Destroyer, Fregat, serta kapal KCT yang berpeluru kendali didukung kekuatan udaranya yang saat itu cukup diandalkan.
Bercermin pada jayanya angkatan perang Indonesia di masa tahun 60-an itu, dibandingkan dengan kekuatan TNI sekarang ini dan dihadapkan pada beberapa potensi konflik kian terbuka di beberapa daerah perbatasan Indonesia, menjadikan saatnya Indonesia duduk bersama memikirkan dan adanya konsensus nasional yang didukung oleh komponen masyarakat Indonesia untuk memodernisasi peralatan dan menyiapkan anggaran yang memadai bagi TNI sebagai garda terdepan dalam melindungi negara kesatuan Indonesia menangkal setiap ancaman yang datang dan membahayakan keutuhan wilayah.
Sekarang beberapa negara kawasan seperti Singapura, Malaysia sangat getol memperkuat dan memperbaharui peralatan angkatan perangnya untuk melindungi negaranya sebagai simbol kewibawaan negaranya. Sementara itu di bagian selatan Indonesia potensi konflik maritim dengan Australia yang bersumber pada pelaksanaan doktrin Howard merupakan bom waktu bagi Indonesia, jangan sampai negara kita terninabobok oleh perjalanan waktu dan alasan tidak mendesak, sehingga selalu merasa terdadak karena tidak ada kesiapan dalam mengantisipasi sebelumnya hal ini dapat kita lihat politik Australia yang kadang kala merugikan bangsa kita Indonesia, termasuk beberapa waktu lalu bagaimana mereka bermuka dua dalam proses jajak pendapat di daerah yang dulunya dikenal Timor-Timur dan sekarang menjadi negara kecil berdaulat (Timor Leste). Begitu juga beberapa waktu lalu mereka memberikan dan mendukung beberapa warga negara Indonesia asal Papua yang meminta suaka politik.
Di samping tidak tertutup kemungkinan akan muncul benih-benih konflik maritim yang bersumber dari masalah Spratly dan Paracel di perairan Natuna. Kemudian potensi konflik maritim yang bersumber pada masalah perbatasan laut dengan beberapa negara tetangga yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Palau, Timor Leste, Papua Nugini dan Australia. Sekarang ada 12 pulau yang berada di beberapa wilayah Indonesia yang menyimpan bom waktu bagi Indonesia untuk itu pemerintah harus melakukan terobosan langka nyata untuk mendaftarkan pulau-pulau tersebut ke PBB sebagai bukti kepemilikan, agar tidak terjadi lagi keberadaan pulau-pulau kita yang lain menjadi Sipadan/Ligitan berikutnya.#

23 Februari 2008

Humanisme dari Timur

Oleh Pastor DR Yong Ohoitimur MA MSC
(Pakar Etika, Moral pada STF Seminari Pineleng)

EZRA Muyu termenung. Siswa kelas II SMP itu tak mengerti mengapa tanggal 7 Februari 2008 yang lalu sekolahnya diliburkan. ‘’Tahun Baru Imlek, libur nasional,’’ kata gurunya. Ia lebih bingung lagi ketika diajak teman-temannya untuk menonton ritual keagamaan Cap Go Meh. Namun Ezra tidak sendirian. Warga masyarakat yang tidak akrab dengan tradisi Tionghoa, mungkin saja tidak banyak tahu mengenai seluk-beluk tahun baru Imlek dan puncak ritual suci 15 malam sesudahnya yang disebut Cap Go Meh tadi. Tahun ini adalah Tahun Baru Imlek 2559, dihitung menurut sistem peredaran bulan (lunar calendar) berawal dari tahun 551 sebelum Masehi, yaitu tahun kelahiran Konfusius—nama Latin untuk Nabi Khongcu atau K’ung Fu-tzu atau Khonghucu.
Dalam kalangan para filsuf, Konfusius dikenal sebagai penggagas dan penganjur humanisme dari Timur. Betapa tidak. Konfusius ditinggal mati oleh ayahnya ketika ia baru berusia 3 tahun. Ia dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Konfusius mengalami benar hidup sebagai orang miskin dan menderita. Ia akrab dengan rakyat kebanyakan yang menjadi korban anarki sosial akibat peperangan terus-menerus dan korupsi yang merajalela. Terjadi dekadensi moral sosial secara menyeluruh. Dalam kondisi itu, hanya pertanyaan yang terpenting dan paling mendesak adalah ‘’Bagaimana agar masyarakat dapat hidup damai, sejahtera dan menikmati keadilan?’’
Walaupun pernah beberapa kali menduduki jabatan sebagai menteri di negaranya, Konfusius terkenal bukan sebagai politisi yang berhasil. Ia lebih mahsyur sebagai seorang guru. Mula-mula sebagai guru privat, tetapi kemudian guru-bangsa, dan guru umat manusia. Apa yang diajarkan? Buku Lun-Yu (bunga rampai yang memuat perkataan-perkataan Konfusius) memberikan kesaksian mengenai pokok-pokok ajaran kemanusiaan Konfusius. Menurutnya, kondisi masyarakat yang anarkis dan praktek ketidakadilan yang merajalela dapat diatasi hanya apabila rasa manusiawi terhadap sesama menjadi karakter yang umum. Konfusius menyebutnya ‘’jen’’ yang secara harafiah menyatakan hubungan antarmanusia. Jen menunjuk kepada kemampuan khas yang dimiliki oleh seorang manusia, dibandingkan dengan binatang, yaitu kemampuan untuk menghendaki kebaikan dan melakukan apa yang baik bagi sesama. Martabat manusia terletak pada kemampuan mencintai sesama, mendukung kebaikan dan kesejahteraan orang lain, tidak merugikan atau menjahati orang lain. Ketika Chung-Kung bertanya tentang jen, Konfusius menjawab, ‘’Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak kehendaki orang lain lakukan bagimu’’. Aturan emas ini berarti, dalam segala keadaan setiap orang selalu harus menunjukkan kehendak baiknya terhadap orang lain. Hanya apabila kesadaran itu menjadi karakter yang secara umum dimiliki penguasa, pemerintah, dan warga masyarakat, maka peperangan, tindak kekerasan, praktek ketidakadilan, kekejaman dan kelaliman, akan dapat dihentikan, sehingga ‘’dalam batas empat samudera semua orang bersaudara”.
Gagasan Konfusius tentang kemampuan mencintai sebagai karakter manusiawi mengandung implikasi penting bagi moralitas. Konfusius berkata, ‘’Kemakmuran dan kehormatan dicari oleh setiap orang. Tetapi apabila semua itu dicapai seseorang melalui tindakan yang menyimpang dari moralitas, maka sesungguhnya ia tidak mendapatkan apa pun juga. Kemiskinan dan kesederhanaan tidak disukai setiap orang. Tetapi apabila semuanya itu dihindari melalui cara dan perilaku yang menyimpang dari moralitas, maka sesungguhnya ia belum berhasil menghindarinya. Jika seorang atasan menjauh dari kemanusiaan (jen), bagaimana mungkin ia dapat merealisasi tugas jabatannya? Seorang atasan sejati sepantasnya tak pernah boleh melupakan (jen) bahkan sewaktu makan sekalipun. Dalam keadaan tergesa-gesa sekalipun, ia harus bertindak sesuai kemanusiaan. Dalam keadaan sulit dan dalam kebingungan, ia harus tetap setia pada kemanusiaan.”
Dari mana awalnya pertumbuhan karakter manusiawi itu? Konfusius menjawab, diri sendiri dan keluarga. ‘’Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah-tangga. Jika ada keserasian dalam rumah-tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia.” Hancurnya watak atau karakter individu merupakan sumber rusaknya keharmonisan dalam keluarga. Dan dari keluarga yang tidak harmonis, tidak dapat diharapkan kontribusi ketertiban dan perdamaian bagi masyarakat dan negara.
Selanjutnya, kesejahteraan dan ketertiban masyarakat ditentukan pula oleh apa yang Konfusius sebut ‘’rektifikasi nama” (cheng-ming). Katanya, ‘’Biarlah pemerintah menjadi pemerintah, rakyat tetap rakyat, seorang bapak keluarga tetap sebagai bapak keluarga, dan seorang anak tetap sebagai seorang anak.” Pemerintah harus benar-benar bertindak sebagai yang memerintah, tindakannya harus sesuai dengan ideal yang terkandung dalam sebutan atau jabatannya sebagai ‘’pemerintah’’. Begitu pula dengan seorang bapak keluarga harus benar-benar menjadi bapak keluarga dan bertindak sesuai nama kedudukannya. Jadi, apabila raja berperilaku sebagai pedagang, dan seorang guru berperilaku bagaikan raja, maka akan terjadi kekacauan relasi dan identitas sosial menjadi kabur.
Kutipan-kutipan di atas kiranya cukup memperlihatkan bahwa Konfusius menarik seluruh realitas sosial yang anarkis pada satu akar penyebab, yaitu kehilangan karakter manusiawi. Dan, menurutnya, karakter yang hilang itu tidak lain dari jen. Hilangnya karakter tersebut mengkondisikan mekarnya keserakahan dan egoisme, yang pada akhirnya melahirkan konflik, memicu perebutan kekuasaan, dan menyuburkan praktek-praktek korupsi. Kemiskinan dan penderitaan adalah buahnya. Maka untuk memulihkan keadaan, menurut Konfusius, pendidikan karakter manusiawi sungguh mendesak. Sebelum Konfusius memberikan pengajaran untuk membentuk karakter murid-muridnya, ia sendiri tak jemu-jemunya belajar sejak usia muda. Yang ia pelajari, bukanlah teknik perang atau ilmu politik, melainkan ilmu kearifan hidup sebagai manusia. Ia menimba kearifan dan merintis jalan hidup yang benar melalui studi kebudayaan lama. Ia mencintai warisan leluhurnya, ia mengagumi keutamaan-keutamaan yang telah teruji mendatangkan hidup yang tentram dan damai. Ia mencintai nilai dan tradisi agung nan luhur dari masa lampau.
Tahun Baru Imlek dan ritual Cap Go Meh sebenarnya membuka pintu kepada suatu warisan luhur kemanusiaan atas nama Konfusius. Namun dalam era sekarang siapakah yang masih berminat untuk mencari ‘’jalan hidup’’ yang benar? Apakah pendidikan atau pengajaran yang diterima anak-anak kita di zaman sekarang menumbuhkan karakter manusiawi dan menuntun di jalan hidup dan kebenaran? Mungkin saja Ezra Muyu termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu juga.***

22 Februari 2008

Pilkada Bagian dari Pembangunan Politik

Oleh Taufik M Tumbelaka
(Alumni Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta)

TULISAN Dr Wahyudi Winarjo yang berjudul ‘Pilkada Kembali ke Pola Lama’ (Manado Post, 8 Februari 2008) sangat menarik. Tulisan tersebut mencoba melihat sisi lain dari proses demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia, khususnya sisi negatif yang muncul. Setiap proses tentu ada sisi negatif dan positif, termasuk dalam proses demokrasi, terlebih dalam hal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Namun guna menentukan pilihan tentu kita harus melihat sisi mana yang lebih dominan.
PEMBANGUNAN POLITIK
Selama rezim Soeharto berkuasa dapat dikatakan tidak ada demokrasi, pembangunan politik tidak dilakukan. Demi mempertahankan kekuasaan, rezim Soeharto melakukan pembonzaian terhadap demokrasi. Demokrasi yang dilakukan hanya sebatas prosedural dan formalitas, bukan dalam arti demokrasi yang sebenarnya. Akibatnya aspirasi rakyat menjadi terhambat dan partisipasi politik rakyat terbelenggu. Oleh karena hal tersebut maka pada era reformasi pembangunan politik mendapat perhatian yang besar. Pembangunan politik menjadi penting karena bukan hanya sekadar jalannya proses demokrasi, namun akan bermuara pada naiknya kualitas hidup rakyat dalam segala bidang. Menurut Samuel P Huntington: ‘Tujuan dari pembangunan politik adalah untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi; melembaganya pemerataan bagi warga; terbangunnya iklim yang demokratis; terciptanya stabilitas dan otonomi nasional’.
Rezim Soeharto dalam Pemilihan Umum (Pemilu) menggunakan sistem proporsional representatif dalam mendapatkan ‘’wakil rakyat’’ yang akan duduk di DPR, DPRD I, dan DPRD II. Para anggota DPRD I akan memilih gubernur dan anggota DPRD II memilih bupati/walikota. Cara pemilihan seperti ini sering berdampak dengan munculnya gubernur; bupati/walikota yang tidak sesuai dengan harapan rakyat. Era reformasi berusaha membuat cara yang lebih baik, yaitu gubernur, bupati/walikota dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Cara pemilihan semacam ini diharapkan dapat menghasilkan pemimpin yang lebih sesuai dengan harapan rakyat karena rakyat dapat langsung melihat, menilai dan memilih pemimpin yang dianggap cocok menjadi gubernur, bupati/walikota.
PARTAI POLITIK
Dalam perkembangan demokratisasi di Indonesia telah muncul fenomena menurunnya partisipasi politik rakyat dalam Pilkada di beberapa daerah. Misalkan di DKI Jakarta sebagai ‘’Indonesia Kecil’’ dan merupakan barometer politik nasional, dalam Pilkada gubernur hanya mencapai tingkat partisipasi rakyat sekitar 70 persen. Hal ini diduga karena rakyat merasa kurang puas dengan kandidat yang diajukan oleh Partai Politik (Parpol). Rakyat merasa Parpol kurang memperhatikan figur yang tepat untuk diajukan dalam proses Pilkada. Hal ini tentu memprihatinkan, karena salah satu fungsi dari Parpol adalah menyalurkan aspirasi masyarakat sebagai usaha guna mendapatkan dukungan dari rakyat itu sendiri. Sigmund Neumann dalam tulisan Modern Political Parties menyatakan ‘Parpol adalah organisasi dari para aktivitis politik yang berusaha mendapatkan kekuasaan pemerintahan dan merebut dukungan rakyat’. Kegagalan Parpol dalam mengajukan kandidat pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat menyebabkan timbulnya wacana calon pemimpin dari jalur independen.
DEMOKRASI TIDAK INSTAN
Guna mencapai alam demokrasi yang baik tentu dibutuhkan proses. Dalam hal demokratisasi, Indonesia lebih baik daripada Pakistan dan India, dimana demokratisasi di kedua negara telah dikotori oleh jatuhnya darah dan nyawa dari pemimpin mereka. Jika ingin dibandingkan dengan Amerika Serikat, maka Indonesia masih lebih beruntung. Amerika butuh lebih dari satu abad guna mendapatkan era demokrasi seperti yang diharapkan, bahkan dalam proses mewujudkan cita-cita demokrasi harus kehilangan putra-putra terbaik mereka, Abraham Lincoln dan John F Kennedy secara tragis.
Indonesia sedang berbenah guna mendapatkan cita-cita demokrasi, dari segi pengalaman tentu masih kurang. Rakyat baru 1 (satu) kali memilih pemimpinnya di tingkat nasional untuk presiden, provinsi untuk gubernur dan kabupaten/kota untuk bupati/walikota, maka Pilkada yang ada perlu diberi kesempatan untuk berkembang. Biarlah pola Pilkada sekarang tetap berjalan, tentunya dengan pembenahan-pembenahan dan penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan harapan rakyat. Pada dasarnya Pilkada punya peluang besar untuk berkembang dengan baik, karena pemilihan langsung seorang pemimpin oleh rakyat telah dikenal berpuluh tahun di Indonesia dalam pemilihan kepala desa di berbagai daerah.
Pembangunan politik sebagai bagian demokratisasi perlu dikawal oleh rakyat, perbaikan-perbaikan dengan tujuan penyempurnaan perlu dilakukan tapi tentu harus dengan cara yang benar. Huntington mengingatkan dalam tulisannya di Journal World Politics yang berjudul Political Development and Political Decay: ‘Jika demokratisasi dilakukan dengan serampangan, maka rakyat justru akan semakin kehilangan kekuatannya seperti yang terjadi di banyak negara berkembang’. Maka biarlah proses pembangunan politik terus berjalan, masih terlalu pagi untuk memutuskan Pilkada kembali ke pola lama.#

Identifikasi dan Pengendalian Penyakit Busuk Pucuk Kelapa'

Oleh Dr Ir Sonny Warokka
(Peneliti Madya pada Balitka;
Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA)

BERDASARKAN laporan masyarakat dan Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Utara melalui pemberitaan di media massa bahwa penyakit busuk pucuk yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora makin berkembang dan menyerang kelapa di 5 kabupaten yaitu Minahasa, Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kota Tomohon, dan Bolaang Mongondow.
Untuk menekan berkembang penyakit ini beberapa hal sudah dan sedang dilakukan identifikasi oleh Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain Manado seperti mekanisme penularan penyakit, faktor-faktor yang menunjang berkembangnya penyakit, kultivar kelapa yang tahan maupun peka, operasional pengendalian di lapang.
MEKANISME PENYEBARAN PENYAKIT BUSUK PUCUK
Angin
Penularan penyakit busuk pucuk berawal dari pohon yang terserang sebelumnya yang hanya dibiarkan di kebun, kemudian menular ke pohon-pohon yang ada di sekitarnya. Penularan penyakit sangat cepat dilakukan oleh angin yang membawa spora-spora Phytophthora.
Kumbang kelapa Oryctes rhinoceros
Di samping oleh angin, agen lain yang turut menularkan spora Phytophthora adalah serangga kumbang kelapa yang dikenal dengan Oryctes rhinoceros. Peranan serangga ini karena biasanya menggerek atau memakan daun pucuk kelapa sampai ke bagian dalamnya baik pada pohon sehat maupun pohon terserang penyakit. Spora-spora Phytophthora biasanya menempel pada bagian tubuh serangga yang kemudian berpindah ke pohon lainnya sehingga mempercepat proses penularan penyakit busuk pucuk.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERLUASAN SERANGAN
PENYAKIT BUSUK PUCUK
FAKTOR PATOGEN
- P. Palmivora tersedia setiap waktu di kebun
- Kemampuan memproduksi bermacam spora seperti: sporangia dan zoospora untuk waktu singkat dan klamidospora dan oospora untuk waktu lama
- Sporulasi yang cepat, 3-5 hari untuk menginfeksi, dan cepat menular pada kondisi lingkungan yang cocok
- Kemampuan bertahan hidup dalam waktu lama
- Spora yang dapat tertular melalui udara, angin dan air
FAKTOR TANAMAN INANG
- Lebih 130 jenis tanaman termasuk kelapa, kakao, lada, dan lain-lain.
- Kelapa Hibrida PB-121 dan Dalam Afrika Barat (WAT) sangat peka
- Kelapa terserang PBP dibiarkan/tidak ditebang
- Kelapa terserang masih dapat diambil buahnya sebelum mati
- Biaya penebangan cukup mahal
- Buah gugur akibat penyakit gugur buah dibiarkan di kebun
FAKTOR LINGKUNGAN
- Curah hujan tinggi
- Kelembaban tinggi
- Kebun sering tergenang air mendorong perkembangan patogen
- Jarak tanam kelapa yang rapat
FAKTOR MANUSIA
- Kemauan dan kemampuan petani melakukan pengendalian belum optimal
- Ketergantungan terhadap bantuan institusi terkait sangat tinggi
- Teknologi pengendalian tidak dimanfaatkan
- Petugas lapangan/penyuluh tidak optimal mendampingi petani dalam pengendalian karena wilayah kerjanya terlalu luas


PENGENDALIAN
KIMIAWI
- Fungisida sistemik (fosetyl-Al, phosphorous acid, folirfos) dengan dosis 40-60 ml/phn/6 bln) diberikan melalui infus akar /injeksi batang.
- Apabila terjadi eksplosi seperti sekarang ini, sekitar pohon terserang diinfus/injeksi batang setiap 2 bulan berturut-turut selama 3 kali, kemudian seterusnya setiap 6 bulan.
KULTUR TEKNIS
- Pembuatan parit drainase untuk mencegah penggenangan air dan mengurangi kelembaban kebun
SANITASI
- Bersamaan waktu panen bersihkan kotoran, sisa-sisa buah dan bunga yg terselip di ketiak daun untuk mengurangi kelembaban
TEBANG DAN BAKAR
- Pohon terserang PBP harus ditebang dan dibakar mahkotanya untuk mengurangi sumber inokulum
- Buah gugur karena PGB harus dikumpulkan dan dibakar karena menjadi sumber inokulum
IDENTIFIKASI KULTIVAR KELAPA
Kultivar Kelapa Tahan Busuk Pucuk
1. Kelapa Dalam Mapanget
2. Kelapa Dalam Sawarna
3. Kelapa Dalam Bali
4. Kelapa Dalam Palu
5. Kelapa Dalam Tenga
6. Kelapa Hibrida GKB x DTE
7. Kelapa Hibrida GRA x DMT
8. Kelapa Genjah Salak (GSK)
9. Kelapa Genjah Raja (GRA)
Kultivar Kelapa Rentan Busuk Pucuk
1. Kelapa Dalam Afrika Barat (WAT)
2. Kelapa Genjah Kuning Nias (GKN)
3. Kelapa Hibrida PB-121
SARAN DAN TINDAK LANJUT
- Harus mengenal gejala BPK
- Apabila ada serangan baru pohon segera ditebang dan bakar mahkota dan lainnya
- Lakukan pengamatan bulanan untuk mengetahui ada tidaknya serangan baru
- Pohon-pohon di sekitarnya diinfus/injeksi dengan fungisida sistemik untuk mencegah penularan
- Perlu difasilitasi bahan kimia/fungisida
- Perlu difasilitasi untuk penebangan pohon terserang
- Pendampingan petugas lapangan saat pengendalian
- Identifikasi ulang Phytophthora penyebab penyakit busuk pucuk mengingat sebelumnya hanya menyerang kelapa Hibrida, sedangkan sekarang ini mulai menyerang kelapa Dalam lokal. Hal ini dimungkinkan dengan terjadinya perubahan strain Phytophthora yang menyerang kelapa.#

21 Februari 2008

Pelacuran dan Perdagangan Orang

Oleh FA Hendra Zachawerus SH

HAMPIR di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis telah diambil pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan persuatif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang pelacuran tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi adalah pelacuran tidak dapat dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai. Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan terhadap seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi, penculikan dan berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak setuju harus bekerja dalam bisnis pelacuran. Pemaksaan ini merupakan salah satu bagian dari perdagangan orang (trafficking). Permasalahan ini telah meresahkan masyarakat dan menimbulkan ketakutan dalam masyarakat manakala hal itu menimpa anak, saudara, atau teman kita. Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan masalah ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya barang yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan telah terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pemerintah telah berusaha dengan berbagai cara untuk menangani dampak dari masalah yang ditimbulkan oleh bisnis pelacuran tersebut khususnya perdagangan orang (trafficking), baik melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, seminar, pelatihan-pelatihan kerja dan yang terakhir adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ walaupun Undang-Undang ini dianggap cukup terlambat mengingat pemerintah daerah Sulut sudah terlebih dahulu mengeluarkan suatu Peraturan Daerah No 01 Tahun 2004 tentang ‘’Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) Terutama Perempuan dan Anak’’. Tetapi dengan dikeluarkannya undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan dampak dari masalah pelacuran khususnya mengenai perdagangan orang (trafficking). Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah undang-undang ini memasukan pelacuran sebagai bagian dari perdagangan orang? Jika tidak, bagaimana dengan penyelesaian masalah pelacuran di Indonesia yang sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat, yang merupakan salah satu akar penyebab terjadinya perdagangan orang (trafficking) itu sendiri?.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’, pengertian perdagangan orang sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) adalah ‘’Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi’’. Sedangkan pengertian mengenai Eksploitasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (7) yaitu '‘Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial’’ dan Pasal 1 ayat (8) ‘’Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan’’. Jika dihubungkan ketiga ayat di atas, maka akan dipahami bahwa Undang-Undang ini tidak memasukkan pelacuran sebagai objek dari wilayah berlakunya Undang-Undang ini, tetapi hanya melingkupi subjek dari para pelaku dalam kegiatan pelacuran/prostitusi tersebut. Atau pengertian lainnya adalah bahwa Undang-Undang ini tidak ‘’melarang’’ adanya kegiatan pelacuran/prostitusi, tetapi melarang dan memberikan hukuman apabila dalam kegiatan pelacuran/prostitusi dilakukan dengan cara memperdagangkan orang atau perdagangan orang/trafficking sesuai dengan bunyi ayat-ayat dalam Undang-Undang itu. Tidak dimasukkannya kegiatan pelacuran/prostitusi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ tentunya harus dipahami secara bijak, mengingat Undang-Undang ini lebih dikhususkan pada kegiatan pemberantasan perdagangan orang bukan ditujukan pada kegiatan pelacuran/prostitusi. Walaupun diketahui bahwa perdagangan orang/trafficking dan pelacuran/prostitusi memiliki hubungan korelasi yang sangat erat, karena kebanyakan korban perdagangan orang/trafficking dipekerjakan atau dijadikan sebagai pelacur. Contoh: beberapa wanita Sulut yang dikirim ke Balikpapan untuk bekerja di salon ternyata akan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil. Beberapa wanita yang diiming-iming kerja rumah makan di Papua ternyata dipekerjakan di cafĂ©/pub dan masih banyak lagi persoalan pelacuran yang didasari oleh suatu kegiatan perdagangan orang/trafficking. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang rancu apabila berbicara mengenai perdagangan orang/trafficking tetapi tidak membicarakan masalah pelacuran, karena kebanyakan motif terjadinya kejahatan perdagangan orang didasari pada kepentingan bisnis pelacuran/prostitusi.
Pelacuran/prostitusi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perdagangan orang/trafficking perlu dipikirkan dengan serius untuk mencari solusi penyelesaiannya, agar akibat atau dampak dari kegiatan itu dapat diminimalisir dan kalau bisa dihapuskan yaitu perdagangan orang, penyakit menular seksual, HIV/AIDS, permasalahan sosial dan berbagai dampak lainnya yang disebabkan oleh kegiatan pelacuran/prostitusi. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pelacuran/prostitusi merupakan masalah besar yang perlu diatur dalam suatu perundang-undangan, tetapi karena alasan agama, ketimuran, adat, budaya dan alasan-alasan subjektifisme lainnya sehingga masalah ini seolah-olah tabu untuk dibicarakan dan diatur dalam suatu perundang-undangan. Walaupun ada beberapa daerah yang sudah mencoba untuk mengatur dalam peraturan daerah. Tetapi efektifitasnya masih diragukan, karena masalah pelacuran/prostitusi merupakan masalah lintas daerah, lintas budaya, lintas agama dan bahkan lintas negara sehingga untuk menjangkau persoalan ini dibutuhkan kaidah yang berlaku secara nasional, agar permasalahan pelacuran/prostitusi dapat diselesaikan secara komprehensif, utuh dan menyeluruh di setiap daerah. Karena apabila masalah pelacuran/prostitusi diselesaikan secara parsial atau per daerah tidak secara menyeluruh, maka pelacuran/prostitusi tidak akan terpecahkan secara komprehensif. Tetapi hanya memindahkan persoalan saja, dari satu daerah ke daerah yang lain. Contoh: Apabila masalah pelacuran/prostitusi hanya diselesaikan di Kota Tomohon, maka para pelaku dalam kegiatan tersebut akan berpindah ke daerah lain misalnya ke Kota Manado. Sehingga masalah pelacuran/prostitusi tidak akan terselesaikan tetapi hanya memindahkan saja dari satu daerah ke daerah lain. Pelacuran/prostitusi harus dilihat secara objektif sebagai suatu fenomena yang berkembang dalam masyarakat dan fenomena ini harus dipandang secara utuh tanpa menitikberatkan pada satu sisi saja yaitu agama, budaya, atau adat istiadat. Tetapi harus dilihat dari segala sisi termasuk kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia agar persoalan pelacuran/prostitusi dapat dikelola dan diselesaikan secara baik. Untuk itu perlu adanya Undang-Undang khusus yang mengatur hal tersebut, agar masalah tersebut dapat terselesaikan secara komprehensif, utuh dan menyeluruh. Sehingga dampak dari kegiatan tersebut dapat diminimalisir, dikelola, dan ditanggulangi secara baik dan profesional.
Untuk itu disimpulkan bahwa, pelacuran dan perdagangan orang memiliki korelasi yang sangat erat yaitu pelacuran merupakan salah satu motif utama terjadinya tindak pidana perdagangan orang/trafficking. Oleh karena itu dalam upaya melakukan pemberantasan perdagangan orang/trafficking sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang’’, perlu juga untuk ‘’memberantas atau mengatur’’ masalah pelacuran/prostitusi dengan suatu Undang-Undang khusus. ‘’Memberantas’’ atau ‘’mengatur’’ pelacuran/prostitusi merupakan suatu pilihan yang perlu dipilih secara bijak, dengan melihat secara objektif persoalan pelacuran/prostitusi merupakan sebagai masalah nasional yang sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat, dari kota sampai desa, dari daerah berkembang sampai daerah terpencil, dari daerah yang maju sampai daerah yang terbelakang dan dari semua tingkat sosial ekonomi masyarakat tidak terluput dari permasalahan pelacuran/prostitusi. Oleh karena itu pengaturan mengenai pelacuran/prostitusi sangat urgen untuk segera diatur dalam suatu Undang-Undang sehingga dapat meminimalisir dampak dan akibat dari kegiatan pelacuran/prostitusi, termasuk dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang/trafficking.#

20 Februari 2008

Bitung Menuju Kota Investasi

Oleh Stanley AR Pasulatan SE MSi
(Kepala BKPMD Kota Bitung)

KOTA Bitung merupakan Kota Serba Dimensi yang terdiri dari 8 kecamatan dan 69 kelurahan dengan jumlah penduduk berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bitung tahun 2006 sebanyak 169.777 jiwa.
Sejak Wali Kota Hanny Sondakh SE MM dan Wakil Wali Kota Robert Lahindo SH MSi dilantik memimpin Kota Bitung pada 20 Februari 2006, Kota Serba Dimensi makin menunjukkan kemajuan di berbagai bidang secara signifikan, salah satunya bidang ekonomi. Ditunjukkan dari nilai nominal PDRB 2006 atas dasar harga berlaku yang sebesar Rp2,598 triliun, dibandingkan 2005 yang sebesar Rp2,346 triliun. Dengan kata lain PRDB Kota Bitung 2006 atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan Rp0,252 triliun atau naik 9 persen dibanding 2005. Sedangkan atas dasar harga konstan 2000 (tahun dasar) mencapai Rp1,74 triliun atau naik 5,45 persen dibanding 2005 yang sebesar Rp1,66 triliun.
Adapun PRDB per kapita di Bitung pada 2006 sebesar Rp15.302.870. Jika dibandingkan dengan PDRB per kapita di Bitung 2000 sebesar Rp10.238.508, maka PDRB per kapita di Bitung 2006 mengalami kenaikan Rp5.064.362 atau naik 33 persen. Angka ini menunjukkan besarnya produktivitas penduduk pada 2006. Sedangkan pendapatan perkapita di Bitung 2006 adalah Rp13.105.859, jika dibandingkan dengan 2000 yang sebesar Rp8.041.497, maka pendapatan perkapita di Bitung 2006 naik 38 persen.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bitung 2006, bahwa pertumbuhan ekonomi Kota Bitung 2006 yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan 2000 mengalami peningkatan 2,91 persen. Pertumbuhan ini melambat dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 5,38 persen.
Mengapa melambat? Hal ini sangat dipengaruhi oleh menurunnya produksi sektor perikanan sebagai salah satu penyumbang pertumbuhan ekonomi Kota Bitung. Tentunya hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi berbagai pihak yang berkompeten guna mencari solusi untuk menggenjot produksi sektor perikanan. Adapun pertumbuhan ekonomi Kota Bitung tersebut secara riil didukung oleh tiga sektor yakni sektor primer, sekunder, dan tersier. Sektor primer yaitu sektor pertanian, pertambangan dan galian. Sektor sekunder mencakup sektor industri, listrik, dan air bersih, dan sektor bangunan/kontruksi. Sektor tersier mencakup sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor bank, lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa. Keberadaan pelabuhan yang berskala besar juga menyumbang perekonomian yang cukup signifikan bagi Kota Bitung.
Untuk lebih meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Bitung ke depan secara makro ataupun mikro, maka diperlukan upaya konkret dari pengambil kebijakan dengan menciptakan iklim usaha yang sehat bagi investor sehingga investor yang datang ke Bitung tidak hanya sekadar numpang lewat tetapi benar-benar menanamkan usahanya dan menjalankan bisnisnya di kota ini. Iklim usaha yang sehat bagi investor tentu mencakup antara lain pelayanan birokrasi yang profesional, kepastian hukum, dan kenyamanan berusaha.
Berbicara mengenai investasi tentu tak lepas dari adanya Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) serta non PMA/PMDN. Seperti diketahui sejumlah investor asing dan dalam negeri serta investor non PMA/PMDN sering mengeluhkan iklim usaha di sejumlah daerah yang tidak kondusif. Permasalahan utamanya adalah birokrasi yang tak profesional, yakni prosedur perijinan yang kurang jelas, biaya (tarif) perizinan yang tinggi dan kurang jelas, pelayanan tidak tepat waktu dan terlalu lama. Juga karena sistem pelayanan perizinan bagi investor baik PMA/PMDN maupun non PMA/PMDN masih tersebar pada unit-unit kerja teknis sehingga mengurangi minat para pelaku dunia usaha untuk berinvestasi di suatu daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka sudah saatnya Pemerintah Kota Bitung mengambil langkah-langkah konkret untuk menjadikan iklim usaha di Kota Serba Dimensi menjadi lebih kondusif lagi. Di antaranya dengan mempercepat Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) sesuai amanat Undang Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Percepatan PPTSP tentu saja mempunyai maksud, tujuan, dan sasaran. Maksudnya yakni, (1) meningkatkan pelayanan/perizinan kepada masyarakat secara langsung (one line, tanpa perantara), cepat (simultan, terukur waktunya) dan jelas (jelas biayanya, jelas ditolak atau diterima); (2) Peningkatan kemudahan bagi calon investor dalam melakukan studi kelayakan usaha di Kota Bitung; (3) Penyelenggaraan izin yang proses pengolahannya mulai dari tahap permohonan sampai dengan terbitnya dokumen perizinan dilakukan dalam satu tempat. Tujuannya yakni, meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik dan meningkatkan investasi pembangunan oleh dunia usaha dan masyarakat. Sasarannya yakni, terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau serta meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), sistem pelayanan perizinannya yaitu: (a) Sederhana: Tatacara pelayanan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipakai dan mudah dilaksanakan. (b) Jelas dan Pasti: Adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur pelayanan (persyaratan, biaya dan jadwal waktu penyelesaian). (c) Keterbukaan/transparan meliputi: Prosedur/tatacara, kesatuan kerja, pejabat yang bertanggung-jawab, waktu penyelesaian dan rincian biaya, wajib diinformasi secara terbuka agar mudah dipahami dan diketahui oleh masyarakat dan investor.
Selanjutnya mekanisme pelayanan perizinan adalah: (a) Pemohon datang ke loket pelayanan untuk mengambil blangko permohonan, (b) Setelah blangko diisi dilampiri persyaratan yang dibutuhkan, (c) Diadakan pemeriksaan berkas, (d) Pemeriksaan lapangan dibuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), (e) Evaluasi (diterima/ditolak), (f) Proses, (g) Penetapan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD), (h) Pembayaran sesuai ketentuan yang berlaku, (i) Penyerahan surat izin.
Dalam implementasinya, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Bidang Penanaman Modal bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Hal itu sesuai amanat Undang Undang No.25 Tahun 2007 (UU No.25/2007) tentang Penanaman Modal, Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 (Permendagri No.24/2006) tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 (PP No.41/2007) tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 2007 (PP No.38/2007) tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
Terbitnya sejumlah aturan perundang-undangan tersebut telah menciptakan kepastian hukum bagi para penanam modal atau investor sehingga mendatangkan kenyamanan bagi investor dalam berusaha. Adapun sejumlah pasal yang mengatur tentang Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan kaitannya dengan Bidang Penanaman Modal adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan PP No.41/2007 Pasal 47 ayat 1 menyebutkan:
Untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang perizinan yang bersifat lintas sektor, Gubernur/Bupati/Walikota dapat membentuk unit pelayanan terpadu.
2. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 (Permendagri No. 24/2007) Mengamanatkan semua bentuk pelayanan perizinan di daerah dengan sistem satu pintu.
Jelasnya pada Pasal 1 ayat 6 yang berbunyi :
Perangkat Daerah penyelenggara Pelayanan Tepadu Satu Pintu, selanjutnya disingkat PPTSP adalah Perangkat Pemerintah Daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelolah semua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu.
Pasal 1 ayat 11 menyebutkan:
Penyelenggaraan Pelayanan Tepadu satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya mulai dari tahap permohonan sampai terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat.
3. Sedangkan UU No. 25/2007 Bab XI Pasal 25 ayat 4,5 menyebutkan:
(4). Perusahaan Penanaman Modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
(5). Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan satu pintu.
Pada UU No. 25/2007 Pasal 26 ayat 1,2 menyebutkan:
(1). Pelayanan Terpadu Satu Pintu bertujuan membantu Penanam Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, faslitas fiskal dan informasi mengenai Penanaman Modal.
(2). Pelayanan Terpadu Satu Pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di Bidang Penanaman Modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi atau kabupaten/Kota.
4. Selanjutnya pada UU No. 25/2007, Bab XXI, Pasal 28 ayat 1 point j menyebutkan:
Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal mempunyai tugas dan fungsi mengoordinasi dan melaksanakan Pelayanan terpadu Satu Pintu.
5. Kemudian ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota
Pada Pasal 7 ayat 2.i yaitu Penanaman Modal adalah salah satu urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
6. Adapun penjelasan PP No. 38/2007 bahwa di Kabupaten/Kota yang melaksanakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu berdasarkan Pendelegasian atau Pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah Bidang Penanaman Modal.
Mencermati amanat aturan perundang-undangan tersebut di atas, tak pelak Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kota Bitung yang merupakan instansi yang berwenang di Bidang Penanaman Modal di Kota Serba Dimensi siap melaksanakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Walikota Bitung dan Wakil Walikota, Bapak Hanny Sondakh SE MM dan Bapak Robert K Lahindo SH MSi dua tahun memimpin Kota Bitung, sejauh ini telah menciptakan iklim usaha yang kondusif di Kota Bitung. Buktinya, 2007 terjadi peningkatan jumlah perusahaan PMA dan PMDN serta realisasi investasinya.
Pada 2007 jumlah PMA sebanyak 31 perusahaan dibanding 2003 yakni 25 perusahaan atau naik 25,15 persen. Sedangkan realisasi investasi PMA pada 2007 sebesar 87.892.000 dollar Amerika Serikat atau naik 54 persen dibanding 2003 yang realisasi investasinya sebanyak 40.149.000 dollar Amerika Serikat. Sedangkan jumlah tenaga kerja Indonesia yang berhasil diserap PMA pada 2007 meningkat 11 persen atau sebanyak 3086 orang dibanding 2003 sebanyak 2735. Sedangkan tenaga kerja asing di perusahaan PMA pada 2007 berkurang menjadi 74 orang atau 14 persen dibanding 2003 sebanyak 84 orang atau berkurang 10 orang, peran tenaga kerja asing mulai digantikan tenaga kerja Indonesia. Adapun jumlah PMDN 2007 sebanyak 18 perusahaan atau naik 17 persen dibanding 2003 sebanyak 15 perusahaan. Dengan realisasi investasi PMDN 2007 sebesar Rp.490,780 triliun atau naik 69 persen dibanding 2003 yang sebanyak Rp.153,762 triliun. Jumlah tenaga kerja Indonesia pada perusahaan PMDN 2007 berjumlah 2736 orang atau naik 16 persen dibanding 2003 yang berjumlah 2294 orang. Sedangkan jumlah tenaga kerja asing selang 2003-2007 tetap berjumlah 5 orang.
Melihat perkembangan PMA/PMDN yang makin menggembirakan tersebut, diharapkan ke depan dengan dilaksanakannya Pelayanan Terpadu Satu Pintu oleh instansi yang berwenang di Bidang Penanaman Modal, dapat membuat iklim usaha menjadi lebih kondusif sehingga visi pemerintahan Kota Bitung yakni: Terwujudnya Bitung Kota Industri, Maritim dan Bahari, yang memiliki SDM handal, mandiri dan SADAR (Sejahtera, Aman, Demokratis, dan Religius) dapat tercapai.
Dengan begitu diharapkan ke depan Kota Bitung menjadi kota investasi yang paling menarik di Sulawesi Utara bahkan di Kawasan Timur Indonesia bagi para investor. Apalagi objek usaha bagi investor yang hendak menanamkan modalnya di kota serba dimensi ini bervariatif, antara lain sektor industri perikanan (pengalengan, pengasapan, dan penangkapan), sektor pariwisata (wisata alam dan wisata bahari), transportasi darat dan laut, telekomunikasi, perbankan, perdagangan, hotel, dan restoran serta jasa.
Ke depan Kota Bitung tentunya sangat mengharapkan objek usaha yang bervariatif tersebut dapat disinergikan dengan realisasi IHP dan FTZ oleh pemerintah pusat. Otomatis kondisi tersebut dapat menjadi daya tarik bagi investor guna menanamkan modalnya sehingga membuka lapangan kerja, mengurangi angka pengangguran dan kriminalitas, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatkan masyarakat, menekan angka kemiskinan yang akhirnya meningkatkan kualitas kesehatan, pendidikan dan taraf hidup masyarakat. Dengan demikian cita-cita kita bersama untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di Kota Bitung, Sulawesi Utara bahkan Indonesia pada umumnya dapat tercapai.#

19 Februari 2008

Kritik Ala Tukul

Oleh Abd Hamid Tome
(Ketua Umum HPMIG Cabang Manado)

‘’KEMBALI ke laptop.......!!!!!!!!!”, ungkapan ini sudah tak asing di telinga masyarakat penikmat dunia hiburan tatkala menyaksikan penampilan dari empunya istilah Tukul Arwana. Fenomena Tukul Arwana sampai sekarang ternyata masih saja membius masyarakat yang haus akan dunia hiburan yang penuh dengan gelak tawa. Acara talkshow yang dikemas rapi oleh tim kreatif di salah satu stasiun tv swasta ini menjadi tontonan menarik dan wajib bagi mereka yang telah terhipnotis dengan kumis tipis sang katro (julukan kepada Tukul Arwana). Meskipun dikritik oleh para kaum intelektual, sebut saja Paulus Mujiran dalam tulisannya Pendidikan Anti Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Muhammad Syihabuddin dalam tulisannya Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik (lafadl.wordpress.com), bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan alasan Tukul terlalu vulgar dan merendahkan serta mengeksploitasi kekurangan fisik manusia. Namun tidak menjadikan Tukul berang lalu membalas kritikan itu dengan mengerahkan massa secara besar-besaran untuk mendemo mereka yang mengkritiknya atau mengambil tindakan represif lainnya demi pemulihan nama baiknya. Hal ini dilakukannya, bukan karena dia orang yang tidak memiliki wawasan untuk membalas kritikan itu atau dia takut melawan mereka karena tidak memiliki ornamen-ornamen kekuasaan untuk melawan, sebagaimana yang selalu dilakukan oleh para penguasa dalam membungkam para kaum oposan yang selalu mengkritik mereka. Justru dia sendiri sering mengkritik diri sendiri sebagai upaya untuk mencegah terhindar dari dosa karena membuka aib orang lain, maka dia lebih memilih untuk mengkritik dirinya sendiri karena dalam kamus hidupnya ‘’pujian adalah teror’’. Alhasil, Tukul tetap menjadi sebuah fenomena menarik, dia lebih sukses daripada pejabat publik yang korup, guyonannya lebih sehat daripada korupsi.
Dalam kamus bahasa Indonesia, kritik secara harfiah adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh argumen baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi maupun tindakan seseorang atau kelompok. Ironinya, kritik seakan menjadi sesuatu yang haram bagi mereka yang memiliki ‘’telinga tipis’’. Ketika kritik dianggap bukan lagi sebagai koreksi atau kontrol terhadap pemikiran atau tindakan, baik yang dilakukan secara invidual atau kelompok, maka sang pemberi kritik akan menuai kecaman hingga kebencian dari yang menerima kritik. Hal ini terjadi karena:
1. Masyarakat tidak terbiasa menerima kritik justru lebih sering mengeluarkan kritikan tanpa melihat realitas yang terjadi di sekitarnya.
Individu-individu seperti ini mewakili kehidupan masyarakat tertutup, yang melihat dirinya sendiri merupakan sesuatu yang sempurna sehingga menafikan keberadaan orang lain yang berada di sekitarnya. Ia bagaikan hidup di sebuah pulau dan melihat pulau yang berada di sebelahnya tidak ada wujudnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan atau tidak ada barang-barang yang dapat dilihat. Tanpa ia sadari, dia hidup di tempat yang terkungkung, yang tak dapat melihat apa-apa kecuali ketiadaan dan keremang-remangan dari kegelapan yang pekat.
Pada dasarnya manusia hidup ditentukan dengan cara dia melihat dunia di sekitarnya. Karenanya manusia harus melihat dirinya sebagai bagian dari makhluk-makhluk yang ada, ketika hal ini lahir maka dia akan mampu melihat dengan jernih maksud dan tujuan dalam kehidupannya. Menurut Rizal Mallarangeng, manusia adalah hasil dari evolusi yang panjang dengan karakteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamatanya sendiri, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistik itu akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, karena pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem yang baru, tetapi di tingkat fundamental ingin menciptakan manusia baru dengan karateristik yang baru.
2. Belum adanya sikap kedewasaan diri dari yang mengkritik dan yang dikritik.
Kadangkala kritikan yang dikeluarkan oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok yang lain merupakan pemikiran yang subjektif yang lahir dari ungkapan amarah kepada orang lain. Sehingga menjadikan kritik bukan lagi tempat untuk memperbaiki kehidupan yang kebablasan tetapi menjadi ajang caci maki dari masing-masing kelompok untuk saling menjatuhkan. Belum lagi ketidaksiapan dari yang dikritik untuk menerima kritikan.
3. Kritik menjadi arena benturan kepentingan
Setiap manusia jelas memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan kehidupannya. Benturan kepentingan yang penulis maksudkan adalah ketika kritik yang muncul merupakan sebuah kritik untuk mematikan kinerja lawan politik. Alhasil, benturan kepentingan pun tak dapat dielakkan dan sudah pasti korbannya adalah masyarakat yang sebenarnya tidak tahu-menahu dengan duduk persoalan yang ada. Tipologi masyarakat ini akan muncul ketika adanya iven-iven politik, sehingga masing-masing individu/kelompok meramu konsepnya masing-masing dengan menggunakan kritikan sebagai senjata yang paling ampuh untuk membungkam kekuatan lawan, kritikan-kritikan yang dibangun dari waktu ke waktu hanya berkutat pada pembusukkan karakter orang yang menjadikan kritikan menjadi kumuh dan tidak memiliki nilai akademik untuk mendidik masyarakat. Implikasi dari pemikiran kumuh ini adalah munculnya kemungkinan-kemungkinan yang sangat terbatas, bahkan bisa jadi muncul kecenderungan meringkas kenyataan menjadi dua dan saling berlawanan. Akibat yang lebih jauh, seturut dengan Sri Subagyo bahwa munculnya kecenderungan pemutlakan pemikiran yang mengarah pada eklusifisme dan sektarianisme.
Kritik dan Kehidupan Demokrasi
Dalam kehidupan demokrasi, budaya kritik merupakan hal yang lumrah, apalagi yang mengeluarkan kritik adalah mereka yang merupakan kaum oposisi. Sadar atau tidak, dalam kehidupan manusia yang ke-kini-an kita diperhadapkan dengan dimensi hidup yang serba pluralis sehingganya tidak menutup kemungkinan sebuah perbedaan akan menghiasi bingkai kehidupan manusia, entah itu yang baik atau yang buruk, yang benar atau salah. Maka, jalan satu-satunya kita memerlukan sebuah frame lain, untuk menyeimbangi hidup ini dengan membiasakan diri menerima kritikan sebagai upaya untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih harmoni. Bukankah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi dari semua manusia sebagaimana yang termaktub dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan UUD 1945 Pasal 28?. Untuk itu, masyarakat harus diberikan kemerdekaan pada ruang publik dan ruang dialektika untuk mengeluarkan kritik dengan landasan argumen yang objektif tanpa didasari oleh rasa iri, benci, dengki dan amarah sehingga nantinya akan lahir pemikiran-pemikiran yang partisipatif dalam mengaktualisasikan proses demokratisasi. Konsekuensi lebih lanjut dari asumsi pemikiran ini akan menempatkan kritikan untuk dimakna sebagai proses pembentukan diri sekaligus sebagai kenyataan yang sangat determinan dalam dinamika perubahan, sehingga dalam konteks ini pula semua kemungkinan dimaknai sebagai proses pembelajaran, baik dalam bentuk kemungkinan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki.
Ironinya, dalam kehidupan kenegaraan seringkali tidak mengenal apa yang namanya kritik, karena dianggap hanya akan membahayakan posisi dari sang pemegang kekuasaan. Hal ini, dapat kita lihat dalam rentetan sejarah yang telah terukir, dimana penguasa yang selalu menggunakan ornamen-ornamen kekuasaannya untuk mengambil tindakan represif terhadap mereka yang tidak sepaham dengannya meskipun rakyat harus menjadi tumbal dengan tindakan despotiknya yang anti kritik. Bahkan dalam ruang lingkup kehidupan yang paling kecil yakni keluarga yang notabene merupakan wadah yang paling strategis dalam mengajarkan konsep demokrasi ternyata masih mengajarkan nilai-nilai dehumanisasi yang selalu melihat anggota keluarga yang dibawanya hanya merupakan pelengkap sehingga tidak berhak dalam mengatur kehidupan rumah tangga, contohnya; ketika sang anak memberikan kritikan/masukan seringkali hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dengan alasan yang sangat klasik –kalian masih muda belum tahu apa-apa. Maka jangan heran kemudian generasi yang lahir adalah generasi yang berwatak despotik.
Sebagai manusia, siapapun dia, harus diberikan ruang kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tanpa ada intervensi dari siapapun karena itu merupakan penilaian empiriknya dalam memberikan sumbangsih pemikiran dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang bermartabat serta sebagai upaya partisipatif dalam proses pembangunan daerah/negara yang sementara dijalankan. Sehingga tak ada lagi ruang diskriminasi terhadap masyarakat yang nantinya hanya akan menciptakan golongan yang dipertuan dan golongan yang diperhamba. Bukankah kesejahteraan dan kemuliaan hanya dapat diperoleh apabila masyarakat dapat hidup dan bergerak dalam suasana kebebasan bukan dalam naungan kehidupan tirani? Masyarakat pun harus tahu bagaimana menggunakan kebebasan yang ada padanya sebagai hak kodrati yang telah dia peroleh sejak berada dalam kandungan. Kita dapat mengeluarkan pendapat baik itu merupakan kritikan atau dukungan terhadap sesuatu selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak asasi dari orang lain. Karena kebebasan seseorang berhenti ketika telah melanggar hak-hak dari orang lain.
Bagi seorang Milan Kundera, kritik adalah perjuangan melawan lupa. Kritik merupakan alat untuk mengingatkan. Karenanya, kritik tidak selalu menebar harapan untuk mengubah dan mewujudkan setiap ide, tetapi kritik adalah alat untuk menampilkan kenyataan yang mungkin bisa menjadi wacana alternatif. Lebih lanjut daripadanya, kritik adalah manifestasi pembebasan masyarakat dari tirani wacana, kontrol politik yang taat, dan pengendalian kehidupan secara tunggal. Dengan begitu, pengritik telah dapat melepaskan diri dan mengambil jarak dengan apa yang akan dikritik.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa kita tidak terbiasa dalam kehidupan menerima kritikan orang lain? Jawabannya ada pada diri kita apakah kita siap menerima kritik atau tidak ataukah kita harus banyak belajar dari seorang Tukul yang ndeso dan katro yang selalu mengkritik dirinya sendiri sebelum mengkritik orang lain bahkan lebih dari itu Tukul dengan kepolosannya mampu mengilhami orang lain, dengan segala keterbatasan yang ada dalam diri orang itu untuk tetap terus berjuang meraih kesuksesan tanpa mengganggu kehidupan orang yang berada di sekelilingnya.#

18 Februari 2008

Sirkus Media, Akhir Kisah Paman Gober

Oleh M Fahri Damopolii
(Presidium Korps Alumni Makassar Indonesia-Bolaang Mongondow KAMI-BolMong)

SIRKUS media secara implisit memuat kelaziman ataupun kemunafikan. Kelaziman ketika itu membawa asas manfaat yang berdampak luas pada kepentingan khalayak ramai, dan kemunafikan ketika kungkungan kapitalisme media sedang memanipulasi emosi publik. Dalam kasus sakit sampai meninggalnya mantan penguasa orde baru, Soeharto, hal yang disebutkan terakhir sangat dominan, dalam artian bahwa kelaziman yang dimaksud hanya berada pada tataran memenuhi kriteria laiknya sebuah berita. Arya Gunawan, mantan wartawan Kompas dan BBC di London, dalam salah satu kolomnya di majalah Tempo, mengemukakan setidaknya dua unsur utama yang memicu sirkus media: besarnya peristiwa yang tengah berlangsung dan nama besar tokoh yang menjadi subjek berita, bahwa sakitnya Soeharto memenuhi dua unsur tadi. Balutan kontekstualisasi yang ‘’terbatas’’, apalagi ketika kelaziman menjadi penakar laik tidaknya sebuah berita dipublikasikan, kedua unsur tersebut, lebih khususnya yang disebutkan pertama, seharusnya ditampilkan dengan tidak mengabaikan nilai/faedah esensial media, terutama dalam aspek ‘’kemanfaatan’’ yang diperuntukkan kepada publik. Unsur perimbangan akan lebih terjaga ketika peristiwa ‘’besar’’ yang dimaksudkan, dirasakan akan membawa faedah dan berdampak luas bagi masyarakat karena mendatangkan ‘’manfaat’’. Untuk kasus Soeharto, asas manfaat yang merupakan bagian dari kelaziman, tenggelam oleh hiruk pikuk kemunafikan yang dimanipulasi. Akan lebih bertanggungjawab ketika perhelatan ‘’sirkus’’ yang digadangkan media akan melahirkan perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat luas, terutama bagaimana caranya agar mereka dapat makan, minum, tidur serta mencari nafkah dengan tenang di negeri dimana asap polusi korupsi, kolusi, dan nepotisme sering menjadi kabut tebal penghalang jalan menuju kemakmuran.
Sirkus media yang sedang berlangsung saat ini, pada dasarnya digagas untuk sebuah tujuan manipulatif. Ini terlihat sangat jelas dengan tidak henti-hentinya beberapa media menampilkan Soeharto ketika sakit dalam balutan keprihatinan, kesehatan yang terus labil, dan beberapa kali dalam kondisi sangat kritis, bahkan sampai ia meninggal pun, dengan vulgarnya media menyuguhkan alur sejarah tentang ‘’heroisme’’ Soeharto yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Dan kesemuanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yakni membangkitkan sekaligus menggugah sisi emosional khalayak, bahwa sudah sepatutnya ia dikasihani, dan mengingat jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, sepantasnya ia untuk ‘’dimaafkan’’. Dalam titik ini, dapat dikatakan bahwa media berhasil mencengkeram publik untuk mengikuti arus opini yang dibentuk. Ini ditandai oleh bertubi-tubinya komentar yang meminta agar masyarakat Indonesia memaafkan Soeharto, mengemuka di hadapan khalayak. Bagi yang bukan bagian dari korban kekejaman dan kediktatoran rezim orde baru, kata maaf mungkin bisa membuka sekat keikhlasan jiwa manusia untuk sekadar menghormati kodratnya sebagai makhluk pemaaf. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarga korban G-30-S PKI yang mengalami pembantaian massal dan ditindas berpuluh-puluh tahun, para anggota Gerwani yang tiba-tiba dikukuhkan sebagai antek PKI, kelurga pendiri bangsa ini, Bung Karno−terkecuali Guruh Soekarno Putra, tahanan-tahanan politik masa orde baru, korban peristiwa Malari, korban pembantaian Tanjung Priok, para korban pelanggaran HAM di Aceh, Timor-Timor, Papua, keluarga para aktivis orde baru yang dihilangkan secara misterius, tragedi Mei 98, kasus Trisakti dan sederet kisah tragis para korban kekejaman Soeharto semasa memimpin negeri ini, apakah keikhlasan untuk memaafkan akan bernaung dalam setiap jiwa dan hembusan nafas mereka. Itu tentu bukan perkara gampang yang bisa selesai dengan kata ‘’maaf’’. Mereka (para korban dan keluarga) sudah pasti tidak akan semudah itu untuk memberi maaf, terlebih kata maaf akan memiliki arti ketika keikhlasan bisa merajut lubuk hati manusia yang paling dalam. Negeri ini, dimana kita semua sedang berpijak sambil menjunjung langit, kealpaan, ketakutan ataupun kesengajaan sering menyeruak untuk membungkam logika sistem yang diakui dan ditetapkan, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Setidaknya adagium latin ‘’Justitia ruat caelum,”, biarpun langit runtuh, hukum harus ditegakkan, wajib menjadi pijakan serta menghinggapi setiap relung jiwa para penegak hukum. Untuk kasus Soeharto, hampir sepuluh tahun lamanya, hasil konkret penyelesaian masalah hukumnya tidak pernah membersitkan titik terang. Semuanya samar, gelap, tidak jauh bedanya dengan para korban ‘’Rezim Soeharto” yang menuntut keadilan dan rehabilitasi.
Soeharto bisa dikatakan mujur oleh kapitalisme dan rezim penguasa saat ini. Sirkus media yang ditampilkan sudah sangat berlebihan. Bertolak belakang ketika Gus Dur sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, media tidak menyuguhkan peliputan yang bernuansa ‘’sirkus’’, apalagi Bung Karno yang nyata-nyatanya adalah pendiri republik ini. Sekadar diingat, sebagaimana salah satu kolom pemimpin redaksi malajah Medika, Kartono Mohamad, ‘’Bung Karno, dari Catatan Seorang Perawat”, mengungkap fakta sejarah dari catatan perawat yang mendampingi Bung Karno pada masa menjelang akhir hayatnya di Wisma Yaso (sakit dan diasingkan), lebih khususnya catatan pada hari ulang tahun beliau (6/6-69 & 6/6-70), bahwa yang terjadi pada kedua hari istimewa tersebut adalah kesunyian, keterlantaran, dan keterasingan. Penggambaran tentang ketidakadilan yang sangat jelas terlihat.
Memang, sirkus media tak lepas dari upaya pemberian pemahaman kepada khalayak tentang subjek berita, akan tetapi ketika itu menyentuh aspek-aspek non substansial, di luar koridor, jauh dari kepantasan dan kepatutan, pada akhirnya ia akan menjadi sesuatu yang mubazir, tidak memiliki arti. Terkecuali memang ada maksud lain dari sisi peliputan berita, dan seluruh masyarakat Indonesia tentu dengan mudah bisa membaca itu.
Lepas dari itu, ‘’Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek” begitu prolog pembuka Butet Kertaradjasa ketika bermonolog dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma, yang ditulis 1994 ‘’Kematian Paman Gober”, pada acara penyerahan Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. ‘’Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati, Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah”….Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya ketika saya diminta menjadi ketua perkumpulan unggas kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya., sampai berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada Bebek lain yang mampu menjadi ketua?, kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, pergulatan batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan” (Kompas, 12/01-08).
Untuk saat ini, Butet Kertaradjasa mungkin bisa bermonolog dengan lebih lega lagi. Kota Bebek, tak lagi menunggu-nunggu kematian Paman Gober, tak perlu khawatir dengan kekuatan, kelicinan, maupun kekayaannya, karena sang paman telah mengakhiri kisahnya, pergi membawa sederet masalah, kontroversi dan misteri sejarah yang tidak pernah bisa diungkapkan.#