17 Mei 2008

Sumpah Kebangsaan

Oleh Yong Ohoitimur MSC

MUNGKIN kebetulan saja, Kebangkitan Nasional 100 tahun lalu dan Reformasi 10 tahun lalu terjadi dalam bulan Mei. Namun hakikat dua peristiwa itu berbeda bagi bangsa Indonesia. Kebangkitan nasional menyatakan tekad Budi Utomo dan generasinya untuk merdeka dari penindasan penjajahan, menjadi bangsa yang bermartabat, dengan tujuan pula untuk menikmati keadilan dan kesejahteraan. Gerakan reformasi menghendaki pemerintahan yang baru, lepas dari kekuasaan Soeharto yang selama 32 tahun memimpin rakyat Indonesia secara sentralistik tanpa semangat demokrasi. Pertanyaannya, apakah hasil kebangkitan nasional dan gerakan reformasi telah dinikmati rakyat Indonesia sekarang ini?
Jawabannya negatif. Berbagai masalah yang besar dan rumit yang mendera kehidupan rakyat negeri ini dengan gamblang memperlihatkan bahwa tidak ada hasil yang sangat signifikan. Dari hari ke hari kita hanya mendapati berbagai masalah yang semakin transparan, terutama masalah ketidakadilan yang mewujud dalam kemiskinan yang diderita rakyat pada umumnya. Pada waktu cita-cita kebangkitan nasional tercapai di saat kemerdekaan diproklamasikan, rakyat tentu berharap bahwa keadilan dan kesejahteraan akan dinikmati. Hidup yang bermartabat dan berperikemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan, dicanangkan oleh founding fathers sebagai arah dan sasaran hidup bernegara. Tujuan mulia itu dibakukan dalam konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Tetapi apakah sekarang ini konstitusi negara masih dipegang teguh sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara? Dengan sedih harus dijawab, tidak jelas. Masalah korupsi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda kepercayaan, menjadi contoh bukti nyata bagaimana konstitusi tidak dipedulikan sama sekali. Pancasila dan konstitusi tidak lagi dirujuk sebagai landasan bagi keputusan-keputusan politis, dan tidak pula dipegang sebagai nilai standar perilaku moral publik.
Sementara itu, gerakan reformasi terasa tak lebih daripada sentimen melawan Soeharto. Pada waktu gerakan itu bergulir, tujuan tunggal yang menonjol hanyalah agar Soeharto berhenti sebagai presiden. Dan itu tercapai. Kurang ruang bagi percakapan serius tentang bagaimana membebaskan negeri ini dari ketidakadilan sosial, kemiskinan dan pengangguran. Hasilnya, sesudah Soeharto berhenti, praktek politik yang dituduhkan pada Soeharto menyebar ke semua penjuru negeri ini. Kita mendapatkan iklim politik yang menjadikan kepentingan material dan kekuasaan sebagai dasar dan ukuran segala pertimbangan publik. Undang-undang dan produk-produk hukum dibuat karena kepentingan sempit, bukan demi kepentingan bangsa sebagai keseluruhan. Pembangunan segala bidang, termasuk pendidikan, dirumuskan dalam bentuk proyek-proyek yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi korupsi dan kolusi. Partai-partai politik sangat berkuasa, dan melalui badan legislatif mengendalikan pemerintah. Saat-saat penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah menjadi bagaikan pasar di mana transaksi politik berlangsung nyaris tanpa etika politik (karena uang menjadi dasar pertimbangan yang sangat menentukan!). Para calon gubernur/bupati/walikota pun hanya bisa berbicara tentang janji-janji yang tak terukur. Dalam batasan itu, kita memilih seseorang lebih berdasarkan harapan (hope), belum atas dasar trust rakyat.
Selama 10 tahun reformasi, sangat dirasakan betapa lemahnya civil society kita, karena tidak ada kesadaran yang menyatukan kita sebagai satu bangsa. Kita terpecah dan terkotak-kotak menurut berbagai kategori seperti agama, suku-ras, golongan, dan juga partai politik. Dalam ruang kategori-kategori itu masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Celakanya, di negeri ini agama-agama dianggap sangat penting, tetapi kesadaran agama justru ditransformasi menjadi kesadaran politik melalui organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.
Maka, pada ulang tahun ke-100 kebangkitan nasional dan ulang tahun ke-10 reformasi semestinya kita membaharui kesadaran kebangsaan kita. Untuk mengatasi masalah-masalah yang begitu banyak, kita mengharapkan pemimpin nasional tampil di hadapan kita untuk memastikan bahwa kita harus kembali kepada dan berpegang teguh pada konstitusi negara. Saatnya juga sekarang, pemimpin nasional memberikan rasa optimisme yang mempersatukan kita untuk bangkit bersama-sama menghadapi masalah-masalah yang ada. Kita memerlukan kesadaran yang menyatukan bangsa, karena hanya dengan kesadaran serupa itu, maka kebijakan atau keputusan publik akan berpihak pada rakyat dan memberikan rasa keadilan bagi semua orang. Singkatnya, kita membutuhkan sekarang ini suatu “Sumpah Kebangsaan” untuk setia pada konstitusi negara dan solider sebagai satu bangsa. #

16 Mei 2008

Duri dalam Daging Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010

Oleh Abraham S Wilar

KEMBALI ke tanah leluhur merupakan suatu hal yang penuh keriangan sebab ada kesempatan lagi untuk melihat tanah leluhur setelah sekian lama tidak dikunjungi. Selain keriangan, ada juga kondisi ‘bertanya-tanya’ atas kondisi tanah leluhur yang telah lama tidak dikunjungi. Walau saat ini informasi tentang tanah leluhur dapat diikuti melalui Manado Post Online dan berbagai informasi oral dari sanak saudara, tetap saja ada nuansa yang berbeda ketika melihat kondisi tanah leluhur dengan mata kepala sendiri ketimbang melihat tanah leluhur dari informasi oral ataupun media cetak. Pengertian semacam inilah yang menciptakan kondisi bertanya-tanya ketika hendak kembali ke tanah leluhur.
Akhirnya waktunya tiba. Penulis bersama keluarga besar kembali ke tanah leluhur dikarenakan adanya hajatan keluarga yang diadakan di Manado Grand Palace pada 25 April 2008 yang lalu. Banyak hal yang penulis lihat tentang Manado selama perjalanan kembali ke tanah leluhur. Tulisan ini ingin menyampaikan sebagian kecil pengalaman tersebut yang mana pengalaman itu diletakkan di dalam bingkai ‘‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010”.
DURI DALAM DAGING
Ketika kaki penulis memijak bumi Nyiur Melambai, bandara Sam Ratulangi yang mungil terlihat berada dalam proses ‘pencantikan’ sehingga di sana-sini banyak terlihat usaha penataan. Saat itu, penulis sangat merasakan detak kehidupan slogan ‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010’ dimulai ketika para tamu menginjakkan kaki mereka di bandara. Namun demikian, penulis sendiri berpandangan bahwa sesungguhnya aura slogan tersebut harus dapat dirasakan di luar kota Manado. Alasannya sederhana, yaitu: bukankah semakin banyak pihak luar tahu mengenai slogan tersebut akan semakin bertanya-tanya dan akhirnya tergerak untuk plesiran ke Manado. Di sini, penulis berbicara tentang penggunaan media informasi sebagai wadah kampanye program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Pihak luar yang penulis maksudkan di sini bukan hanya turis internasional, tetapi juga turis domestik. Kedua jenis turis ini harus menjadi fokus perhatian tanpa harus cenderung mengagungkan turis internasional dan meminggirkan turis domestik. Alasan penulis untuk menekankan pentingnya tidak memilih anak emas dari para turis sebab bila hal tersebut terjadi, itu berarti ada diskriminasi di dalam alam pikiran pelaksana slogan Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010. Diskriminasi di dalam pikiran akan mempengaruhi sikap dan tindakan. Diskriminasi seperti ini tidak boleh ada di bidang pariwisata. Sebab diskriminasi seperti ini sama jahatnya dengan diskriminasi di bidang Hak Asasi Manusia (yaitu: equal treatment)
Pada titik ini, dinas pariwisata merupakan salah satu share-holders tim sukses pelaksanaan slogan tersebut. Pada titik ini, penting kita bertanya: “apakah dinas pariwisata di Manado siap menyukseskan slogan tersebut?”. Kesiapan yang penulis maksud di sini bukan kesiapan bibir mengucapkan kata “ya, kami siap!”, tetapi kesiapan mentalitas aparatur dinas pariwisata di dalam program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, kesiapan program kerja, dan kesiapan pemantauan pelaksanaan program kerja tersebut. Apabila semua itu sudah pernah dibahas secara intensif dan ekstensif (ingat, garis bawahi secara intensif dan ekstensif !), maka baru dapat dikatakan bahwa dinas pariwisata siap menjadi tim sukses Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Setelah mendarat di bandara, perjalanan saya di Manado dimulai. Perjalanan meliputi kota Manado, Manado Grand Palace, Ritzy Hotel, Quality Hotel, Tomohon, Bitung, dan lain sebagainya. Sesampainya saya di Manado, saya dan keluarga check-in di Ritzy Hotel.
Selayaknya hotel, tentu berbagai bentuk promosi dilakukan. Salah satu promosi yang dilakukan Ritzy Hotel ialah adanya welcoming drink, fruits in the room, dan lain sebagainya. Ketika menjejakkan kaki di Ritzy Hotel, saya bertanya-tanya apakah kata promosi sama dengan kata ‘iming-iming’. Sejauh pengetahuan saya, kata promosi lebih berkonotasi positif di dalam kehidupan sehari-hari, sementara itu kata ‘iming-iming’ lebih berkonotasi negatif. Alasannya, kata promosi dipahami sebagai tindakan untuk mempublikasikan hal-hal yang sudah terencana dengan suatu harapan rencana tersebut dapat terlaksana. Sedang kata iming-iming dipakai dalam konteks mempengaruhi orang untuk mengikuti kemauan seseorang namun tidak ada kepastian akan adanya ‘reward’ bila mengikuti kemauan orang tersebut.
Bertolak dari pengertian itu, saya melihat bahwa promosi di Ritzy Hotel merupakan iming-iming. Hal itu dikuatkan ketika ayah saya menelpon front desk guna menyampaikan ketidak-puasan atas apa yang disebut oleh Ritzy Hotel sebagai promosi, tetapi nyatanya saya melihat itu sebagai ‘iming-iming’. Yang menarik (atau lucu??), setelah komplain itu, esok harinya di kamar kami muncul buah-buahan. Ketika melihat hal itu saya bertanya di dalam hati “o bagitu dang, [apakah] di Manado konsumen harus marah-marah dulu agar apa yang menjadi hak-hak konsumen terpenuhi.”
Pada titik ini saya mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel sebagai salah satu stake holder penyuksesan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel di dalam menyukseskan program tersebut sangat penting sebab dari sini dapat dilihat apakah pihak pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 pernah terpikir untuk ‘sidak’ (inspeksi mendadak) ke para share-holders penyuksesan program tersebut. Atau, jangan-jangan yang terjadi ialah pencetus ide hanya mencetuskan dan selebihnya percaya bahwa para share-holders sudah siap menyukseskan program itu? Dan, dari sini kita bisa juga mempertanyakan kesiapan hotel-hotel ataupun penginapan-penginapan yang ada (yang dalam persepsi penulis mereka semua adalah bagian dari share-holders kesuksesan program tersebut).
Masih di Manado. Perhatian penulis kini tertuju kepada toko-toko usaha. Menurut hemat penulis, toko-toko ini juga merupakan share-holders penyuksesan program. Pertanyaan penulis sama dengan pertanyaan untuk Ritzy Hotel, yaitu: apakah toko-toko usaha ini siap menyukseskan program tersebut? Pertanyaan ini penulis sampaikan sebab adanya pengalaman ‘dipandang enteng’ oleh Cella Bakery.
Saat itu, penulis bersama dengan istri dan mama sedang ingin beli klaapetaart di Cella Bakery. Di dalam toko, penulis tertarik membeli dua buah roti coklat, tetapi sampai dua kali penulis sampaikan keinginan membeli roti coklat itu ke pihak penjual, dua kali pula penulis diacuhkan-dianggap tidak ada padahal penulis berhadapan muka dengan pihak penjual (dan pada saat itu, penulis yakin mereka mendengar permintaan penulis).
Alih-alih melayani permintaan penulis (dua roti coklat), dua pelayan yang ada sama-sama lari meninggalkan penulis dan memilih melayani konsumen yang membeli roti dan kue lebih dari dua. Melihat kenyataan itu, penulis merasa sangat terlecehkan, dan kemudian menyampaikan langsung ketidakpuasan pelayanan ke pihak toko seraya membatalkan pesanan dan kemudian pergi dari toko itu.
Dua pengalaman di atas memberi inspirasi ke penulis tentang perlunya code of conduct yang dipegang ke setiap hotel, toko usaha dan para share holders lainnya di dalam usaha menyukseskan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Code of Conduct ini penting agar para share holders memahami nefesy program tersebut, dan bersama-sama menyukseskannya. Ketika berpikir tentang code of conduct ini, penulis bertanya-tanya apakah hal ini telah dipikirkan oleh pencetus ide program ini?
Selama di Manado, penulis beruntung dapat mengunjungi Bunaken dan Bukit Kasih. Kedua tempat ini dapat dikatakan sebagai tempat-tempat yang dibanggakan oleh orang Manado. Ketika masih di Jakarta, informasi tentang Bunaken dan Bukit Kasih sungguh sangat memikat penulis. Namun demikian, keterpukauan penulis agak terpukul ketika di dalam kapal kayu yang membawa penulis beserta rombongan keluarga ke Bunaken, penulis melihat toilet yang ada di kapal kayu itu tidak mempunyai tempat penampungan tinja sehingga semua kotoran manusia dan air kencing dibuang ke laut. Terhenyak penulis melihat kenyataan itu, terlebih ketika penulis menghadapkan pengalaman itu dengan kebanggaan pemerintah Sulut atas dipilihnya Manado sebagai tuan rumah WOC 2009.
Semakin dekat ke Bunaken, penulis semakin terpukul ketika melihat di satu tempat di laut telah menjadi ‘tempat pembuangan sampah’ sehingga perahu kayu yang melintasi daerah itu harus ber-zig-zag untuk menghindari kepungan sampah. Sudah lama penulis dengar bahwa kapal-kapal membuang sampah mereka di laut. Ketika melihat laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah, penulis bertanya-tanya apakah pengagas WOC 2009 menyadari banyaknya sampah di Bunaken, dan apakah mereka pernah terpikir bahwa sampah-sampah di laut itu dapat menjadi perusak image kesungguhan panitia WOC 2009.
Ketika mendarat di Bunaken, penulis semakin terhenyak di saat melihat betapa kumuhnya Bunaken (tepatnya di Tanjung Parigi). Sampah di mana-mana. Pihak pedagang baju/suvenir/makanan di tempat itu berkata bahwa sampah-sampah menumpuk di situ karena kesalahan (dan kemalasan) dinas kebersihan. Sebagai turis, penulis heran mengapa orang-orang di tempat itu tidak berniat membersihkan sampah yang ada dengan menempatkan sampah-sampah itu di karung-karung. Lagi-lagi, pihak pedagang di tempat itu menunjuk hidung dinas kebersihan ketika teman penulis menanyakan mengapa mereka tidak membersihkan sendiri tempat itu. Kata mereka, saat itu, tanggung-jawab dinas kebersihan membersihkan tempat itu bukan tanggung-jawab mereka.
Ketika melihat kondisi kumuh dan penuh sampah di Bunaken, penulis bertanya-tanya apakah pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 mengetahui kondisi Bunaken di saat mereka mempromosikan Bunaken dan menempatkan Bunaken sebagai kebanggaan kota Manado. Selain itu, penulis bertanya-tanya: apakah tanggung-jawab pencetus ide tersebut di dalam mengatasi kondisi kumuh Bunaken?
Setelah plesiran ke Bunaken, penulis beruntung dapat berkunjung ke Bukit Kasih. Lagi-lagi, sebelum ke Bukit Kasih, referensi-referensi positif tentang Bukit Kasih bermunculan di benak sehingga menambah rasa ingin tahu. Sesampainya di Bukit Kasih, penulis pertama kali terpukau oleh tangga-tangga yang menapaki bukit itu. Saat itu, terlintas cetusan: gile, boleh juga. Rasa sedih muncul ketika penulis melayangkan pandangan kepada sejumlah kerusakan yang dialami sejumlah anak tangga dan bangunan-bangunan yang ada. Ketika sedih berkelana di dalam hati, menyeruak pemikiran yaitu: Bukit Kasih dibangun untuk dirusak. Pemikiran penulis ini bisa salah apabila pihak pengelola (menurut informasi, pemerintah adalah pengelolanya) melakukan pemeliharaan rutin (untuk mencegah kerusakan), dan memperbaiki apa yang sudah rusak. Tapi, apa mau dikata, penulis meyakini pemikiran penulis benar sebab setelah Bukit Kasih dibangun kerusakan demi kerusakan yang justru dipelihara.
Semua pengalaman itu, menurut hemat penulis, merupakan duri dalam daging program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Melihat semua pengalaman itu, penulis bertanya-tanya Dunia mana yang dimaksudkan oleh program itu: apakah Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya ini? Atau, jangan-jangan, kata Dunia itu menunjuk kepada Dunia orang-orang Manado dan sekitarnya?
Bila kata Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya maka kerusakan Bukit Kasih, pelayanan diskriminatif di Cella Bakery, pelayanan tidak profesional di Ritzy Hotel, laut menjadi pembuangan sampah plastik bahkan sampah tinja manusia, dan minimnya persiapan dan kordinasi para share-holders di Manado, sesungguhnya tidak boleh ada. Tetapi, kalau kata Dunia itu menunjuk kepada dunia Sulut dan sekitarnya, maka wajarlah semua bentuk itu ada. Mengapa? Sebab, torang samua basudara. Artinya, semua orang di Manado adalah tuan rumah yang menganggap para tamu sebagai saudara dekat/jauh yang karena persaudaraan itu pelayanan ala kadarnya merupakan hal lumrah. Kan’ torang samua basudara, sama jo samua.
Sayang, sungguh sayang, pencanangan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010 tidak diikuti oleh pembangunan mental dan etos kerja para share-holders sehingga mereka semua berwawasan ke-Dunia-an. Yang jelas, penulis berpandangan bahwa sungguh absurd (bila tidak mau dikatakan tolol) bila ada seseorang ingin mengundang tamu-tamu dari berbagai belahan dunia ke rumahnya, tetapi ternyata rumahnya penuh sampah (mulai dari plastik sampai kotoran manusia), kerusakan rumah, penghuni rumah dan tetangga punya kecenderungan diskriminatif terhadap tamu. Pada titik ini, mungkin ada yang beralasan, ya memang ini keadaan kami atau beralasan kesederhanaan dan seterusnya. Menanggapi hal ini penulis berkata bahwa kebiasaan menutupi kekurangan dengan membela diri tidak akan pernah membawa perubahan berpikir, mentalitas dan etos kerja. Oleh karena itu, sejak awal seharusnya ada pertobatan (artinya: mengakui kesalahan yang sudah dilakukan, melakukan evaluasi dan kordinasi, dan kemudian melakukan pembangunan yang terencana, terarah, terukur dan terayomi).
PERTOBATAN DAN PEMBENAHAN
Pertobatan yang penulis maksudkan di sini ialah suatu upaya pembenahan (setelah sebelumnya dilakukan pengakuan kesalahan, evaluasi dan kordinasi internal). Di dalam rangka pembenahan ini, penulis melihat hal tersebut sebagai titik-kritis menguji komitmen dan keseriusan pencanangan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Penulis tentu menyadari bahwa tidak semua share-holders di Manado merupakan perusak dari program tersebut. Ada banyak para share-holders yang dapat dikategorikan sebagai pilar penyokong program. Namun demikian, bila para perusak dan kerusakan yang dibuatnya tidak diperhatikan maka hal-hal tersebut dapat menjadi ‘duri dalam daging’. Dan, sebagaimana diketahui khalayak ramai, bila kita memiliki duri di dalam daging kita maka hal itu mengurangi optimalisme performans. Seperti kata pepatah, tumpah nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, bila memang sudah sungguh-sungguh mencanangkan Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, maka tidak boleh ada ruang ketidaksempurnaan untuk hal itu. Namun demikian, bila pencanangan itu sekadar ‘lips service’ atau semacam gincu pemanis wajah Sulut maka sebaiknya pihak-pihak terkait harus berhati-hati sebab bila memang itu yang terjadi maka telah ‘pembualan publik’. Pembualan publik itu dapat disejajarkan dengan pembohongan publik.
Dampak terparah dari ‘lips service’ ialah terbentuknya mentalitas masyarakat Manado yang senang dengan berkata-kata dan integritas masyarakat Manado akan memudar bahkan bisa hilang. Bila ini terjadi, pembenahan semakin sulit dilakukan sebab apa yang mau dibenahi dari orang-orang yang tidak punya integritas dan hobinya senang berkata-kata (sejajar dengan orang yang malas bekerja). Apapun kegiatan yang dicanangkan, bila yang terlibat adalah orang yang hobi berkata-kata (malas bekerja), dan tidak punya integritas, semua kegiatan itu tidak berkembang dan hancur.
Menurut hemat penulis, pembenahan dapat dimulai dari review rencana makro program tersebut. Kalau menggunakan bahasa para arsitektur, planologi dan maket (dari program) harus dilihat secara cermat. Peninjauan ulang rencana makro penting untuk melihat apakah ada ketidakcocokan fokus pembangunan dengan program. Contoh, di dalam upaya menjadikan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010, maka fokus pembangunan ialah (berpusatkan pada) reklamasi pantai dan pembangunan mal-mal di sepanjang Boulevard, dan (kemudian) membiarkan kerusakan Bukit Kasih, sampah di Bunaken, dan lain sebagainya. Bila ini yang terjadi, hal ini menjadi contoh bagus tentang ketidakcocokkan fokus pembangunan dengan program.
Bila review rencana makro telah dilakukan, fokus diarahkan kepada hal-hal mikro (sub rincian) dan mikrokopis (detail dari sub rincian). Pada titik ini, penting untuk menggagas code of conduct bagi para share-holders program dan aktivitas pemantauan lapangan atas pelaksanaan program tersebut.
PENUTUP
Masih tersisa kurang lebih 1,5 tahun menuju Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Apakah waktu yang tersisa itu dapat digunakan seoptimal mungkin untuk melakukan pembenahan? Jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh aparat pemerintah di Manado dan masyarakat Manado. Penulis tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi yang jelas bila pembenahan terjadi maka Manado akan jauh lebih cantik (karena penuh sambutan kepada para tamu), tertata (karena pembangunan mal dan renovasi daerah rusak lainnya seimbang), sehat (karena udara tetap terjaga segar dan sejuk), indah (karena laut bersih dan karena pemandangan bukit dan gunung hijau), dan bermartabat (karena masyarakat menghargai tamu/turis). Akhir kata, kerja keras telah menanti di depan mata para aparat pemerintah dan masyarakat Manado bila benar-benar ingin melaksanakan program tersebut. Bila tidak, sudah jo.. jang buang energi dan dana voor program ndak jelas. God Bless Manado.#

15 Mei 2008

Hina Jadi Mulia

(Menjawab kekhawatiran warga sekitar TPA dan menilik fenomena energi alternatif)

Oleh Musliyadi Mokoagow*

MASALAH silih berganti menerpa bangsa ini, mulai dari krisis moneter, bencana alam yang berkepanjangan, krisis moral yang kronis dengan merajalelanya kasus suap dan korupsi, meradangnya penyakit krisis energi, tapi masalah muncul bukan untuk diributkan tapi lebih ke bagaimana cara bangsa ini memecahkan masalah yang dihadapi. Kenaikan harga BBM, terutama minyak tanah yang sangat membebani masyarakat, karena sudah terlanjur mengandalkan bahan bakar fosil terutama minyak tanah menjadi sangat bingung mengatur keuangannya terutama, bagi mereka yang berkecimpung di sektor Industri Kecil Menengah yang banyak menggunakan minyak tanah.
Konversi minyak ke gas, yang terkesan dipaksakan, seiring dengan pencabutan subsidi minyak tanah oleh pemerintah, yang menyebabkan kelangkaan minyak tanah di berbagai daerah di Indonesia. Hilangnya minyak tanah di pasaran seiring pencabutan subsidi oleh pemerintah kini hal yang sama terjadi pada gas, yang ikut-ikutan menghilang di pasaran, sehingga menambah daftar penderitaan masyarakat menengah ke bawah, sehingga berdampak pada berbagai sektor kehidupan yaitu dengan naiknya harga-harga makanan yang dihasilkan oleh industri yang banyak menggunakan minyak tanah, dan ini mungkin hal yang sangat fenomenal bagi pemerintahan SBY dan JK, tapi bukan masalah kalau tidak ada jalan keluarnya.
Kini banyak penelitian mengenai energi alternatif yang bermunculan, mulai dari geothermal, energi matahari, biodiesel, bioetanol, biogas. Teknologi pembuatan biogas dari kotoran ternak hingga kotoran manusia, biogas sebenarnya bukan sesuatu hal yang asing di Amerika. Teknologi ini dipakai puluhan tahun yang lalu, demikian juga di Indonesia. Walaupun demikian, masyarakat tetap lebih suka menggunakan bahan bakar minyak karena dinilai lebih praktis dan ekonomis. Namun seiring perjalanan waktu minyak tanah dinilai lebih praktis namun tidak ekonomis lagi dengan dicabutnya subsidi minyak tanah oleh pemerintah. Betapa tidak kata hina jadi mulia pantas dialamatkan pada salah satu energi yang satu ini. Energi alternatif yang semula adalah kotoran dan sampah organik yang baunya sangat menyengat dan menjijikkan kini dimuliakan dengan digunakannya sebagai energi alternatif yang sangat potensial.
Banyak TPA atau Tempat Pembuangan Akhir, yang sering menimbulkan masalah polusi hingga penolakan warga soal penempatan areal yang dijadikan TPA. Tidak terpikirkan oleh kita bahwa TPA menjadi sumber energi alternatif bila kita manfaatkan limbah-limbah yang semula tidak berguna, diolah menjadi bahan yang bermanfaat bagi masyarakat banyak. Seperti daur ulang sampah organik menjadi pupuk organik, biogas sebab sampah organik merupakan sumber gas metan yang bisa kita manfaatkan sebagai sumber energi pengganti minyak tanah.
Masyarakat sekitar TPA di Kelurahan Tewaan Kecamatan Ranowulu Bitung mengaku was-was, seperti berita yang dilansir salah satu harian terbesar di Sulut. Pasalnya, di beberapa titik diduga mengeluarkan gas metan yang bisa menyebabkan kebakaran serta ledakan yang cukup besar, makanya warga sekitar takut sembarang buang api di TPA. Berangkat dari kekhawatiran warga sekitar TPA, penulis bermaksud mengubah kekhawatiran menjadi kegembiraan warga sekitar TPA, apabila pipa-pipa yang dipasang di beberapa tiik guna menguapkan gas metan, dialihkan untuk dibuatkan instalasi gas metan dan dialirkan ke rumah-rumah warga sebagai energi alternatif pengganti minyak tanah yang kini tidak lagi ekonomis, mubazirkan apabila hanya dipasang pipa guna menguapkan (membuang) gas metan (biogas), dari krisis energi seperti ini janganlah kita buang-buang potensi energi yang ada.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia. Hal ini berpengaruh pada peningkatan penggunaan energi. Berbagai bentuk sumber energi, sebenarnya telah dimanfaatkan oleh manusia seperti minyak bumi, batu bara, gas alam yang merupakan bahan bakar fosil, serta sumber energi tradisional seperti kayu bakar. Sumber energi fosil bersifat tidak dapat diperbaharui sehingga pemakaiannya harus hemat, selain itu efisiensi panenan dari kayu bakar dan bahan bakar fosil relatif rendah (20-30 persen), sebagai gambaran, ketika kita menggunakan kayu bakar, api yang dihasilkan tidak terfokus (menyebar) dan akan menghasilkan kotoran berupa jelaga. Pada saat memakai minyak tanah atau menyalakan kompor, api yang dihasilkan tidak langsung besar, tetapi akan membesar secara bertahap. Karena itu efisiensi panenan dari biogas lebih besar dari (30-40 persen).Limbah anorganik atau organik sedikit atau banyak akan menimbulkan gangguan. Dalam jumlah sedikit, limbah dan sampah bisa merusak pemandangan kota. Apalagi dalam jumlah yang banyak. Sungguh tidak terbayangkan, puluhan jiwa manusia meninggal hanya karena tumpukan sampah seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung. Dari sinilah dirasakan pentingnya upaya penanganan limbah yang benar. Tujuan utamanya adalah jangan sampai limbah itu merugikan kehidupan manusia. Dampak negatif dari pengolahan sampah kota tidak dapat dihilangkan secara total. Namun, paling tidak diupayakan cara pengelolaan sampah dengan dampak negatif seminimal mungkin atau dampak positif harus dirasakan untuk aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Pupuk organik yang dihasilkan dari pengelolan sampah di TPA, bisa menggantikan pupuk kimia yang harganya tinggi dan selalu meningkat seiring naiknya harga Bahan Bakar Minyak. Demikian pula biogas atau tenaga listrik sampah adalah bahan energi alternatif (biofuel) yang dapat diperbaharui (renewable) sebagai pengganti BBM yang semakin langka dan mahal.
Oleh karena itu, para pengambil kebijakan pengelolaan sampah kota dituntut menemukan pengelolaan lingkungan yang berbasis sistem produksi. Artinya, sampah dilihat sebagai bahan baku untuk diproses menjadi produk yang memiliki nilai komersial serta bersih lingkungan. Tulisan ini diharapkan berguna bagi praktisi lingkungan di Provinsi Sulawesi Utara khususnya Kota Manado, mengingat World Ocean Conference (WOC) yang akan digelar di Sulut 2009 mendatang. Save Our Climate, Save The Planet, Save Our Forest.#

*Mahasiswa Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unsrat

Ujian Nasional Sebuah Ironi

Oleh Evelyne Awuy S PAK

TANPA mengurangi rasa hormat terhadap Departemen Pendidikan Nasional dengan program ujian nasional yang sementara berjalan saat ini, tulisan ini hanyalah menjadi perenungan bagi kita bersama untuk lebih menggumuli berbagai persoalan bangsa kita yang salah satu sumbernya berasal dari aspek yang paling hakiki, yakni pendidikan.
Berbagai fakta-fakta yang muncul di seputar ujian nasional yang sementara berjalan saat ini sungguh memiriskan hati. Dan oleh sebab itu menjadi sebuah ironi, di tengah-tengah usaha negara untuk memajukan kehidupan peradabannya melalui lembaga yang paling dipercaya oleh keluarga-keluarga Indonesia untuk menjadikan anak-anak mereka mempunyai masa depan yakni sekolah. Ironi karena ternyata untuk sebuah ujian nasional (Jakarta) di negara kita harus dijaga oleh pasukan elit detasemen khusus Anti Teror 88. Entah siapa teroris yang harus dijaga? Bom kertas, guru teroris atau murid teroris, atau teroris pembocor soal ujian yang menyusup dalam ujian nasional. Ironi karena beberapa guru dan kepala sekolah harus berurusan dengan polisi karena melakukan kejahatan pembocoran soal padahal tujuannya hanyalah untuk “membantu” rupanya mereka tidak percaya dengan usaha mereka mengajar anak selama ini sehingga anak perlu bocoran soal. Ironi karena banyak anak-anak yang menangis ketakutan dan stres karena akan ujian sepertinya mereka akan dibawa ke killing field (ladang pembantaian) momoknya adalah jangan-jangan mereka tidak lulus. Sebab pengalaman tahun yang lalu, banyak siswa berprestasi yang bahkan sudah diterima di universitas luar negeri terjegal dan tidak lulus dengan hasil tidak mencapai batas nilai minimal kelulusan 5. Padahal angka 5 dalam bahasa raport pendidikan berarti tidak cukup. Ironi karena sebagian besar masyarakat Indonesia sementara menghadapi ancaman krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya padahal pendidikan dianggap sebagai jalan keluar untuk entas dari problematika bangsa. Parahnya lagi ternyata ada banyak sarjana dan para muda produktif yang sudah menyelesaikan berbagai pendidikan kursus tapi belum mendapatkan pekerjaan. Ironis betul negara kita Indonesia karena ada begitu banyak siswa negara yang dahulunya datang belajar di Indonesia, sekarang menjadi tempat di mana banyak anak-anak kita pergi untuk studi. Ironis karena negara mereka sudah lebih dahulu sukses dan maju sementara negara kita tempat di mana mereka pernah belajar dahulu, semakin hari semakin terpuruk.
Indonesia yang begitu luas dari Sumatera sampai Papua, dari sekolah dengan standard internasional yang ada di kota-kota, gedung dengan berbagai laboratorium, kelas yang ber-AC, guru yang berpredikat Magister Pendidikan ditambah lagi les privat serta kelas-kelas bimbingan ujian nasional yang bertarif jutaan, yang ironisnya berbanding sebaliknya dengan anak-anak di daerah-daerah misalnya di pelosok Papua yang gurunya sangat minim (bahkan ada sekolah yang gurunya oleh seorang waker-penjaga sekolah). Dalam pelaksanaan ujian, sentralisasi pemeriksaan lewat scaning komputer, pengawasan ketat bahkan melibatkan aparat kepolisian walaupun ada pengkategorian soal ujian, akan tetapi bagaimana mungkin secara nasional hendak disetarakan hasilnya. Belum lagi masalah distribusi ke daerah bahkan juga pengembalian soal-soal dari pulau dan daerah terpencil. Belum lagi masalah eror teknologi komputer dan eror-eror lainnya.
Dua fakta mendasar yang jarang diperhatikan yakni pertama dalam Child Development Goal ada beberapa aspek yang menjadi sasaran: 1. Pengembangan Sosial, 2. Pengembangan Emosional, 3. Pengembangan Fisik, 4. Pengembangan Ekonomi, 5. Pengembangan Kerohanian. 5 pengembangan ini juga disebut pengembangan holistrik/menyeluruh. Pengembangan intelektual hanyalah salah satu aspek dalam fisik anak. Sedangkan menurut Tony Buzan (Head First 2003) ada 10 macam kecerdasan dari multiple intelegences dengan 3 kategori kecerdasan: Pertama, kecerdasan kreatif dan emosi, Kedua, kecerdasan ragawi dan Ketiga, yang disebut kecerdasan tradisional yakni IQ. Perhatikan IQ yang sementara dikejar dalam ujian nasional ini masuk dalam kategori kecerdasan tradisional yang berarti kalau visi ini yang menjadi tujuan utama dalam ujian nasional ini berarti negara kita masih dalam paradigma pendidikan yang bervisi tradisional. Menurut Howard Gardner seorang pakar dalam Multiple Intelegences IQ bukanlah yang paling utama, bahkan ia menambahkan bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan intrapersonal (kemampuan untuk mengetahui dan memahami diri sendiri) dan kecerdasan interpersonal (kemampuan efektif dalam sosialisasi diri). Kecerdasan intelektual bukanlah faktor penentu seorang bisa sukses akan tetapi juga ada faktor-faktor dasariah lainnya yang menjadi penentu seorang anak bisa berhasil dalam hidupnya. Dari dua fakta yang disebutkan di atas, ternyata big question dari program ujian nasional, adalah bahwa apa yang hendak diuji hanyalah menyangkut aspek intelegensi dan hanya menekankan aspek pengetahuan. Sementara sang anak didik ini telah belajar sekian tahun berjuang siang dan malam, melahap semua jenis pengetahuan, belajar etika, sopan santun, belajar bersosialisasi, diberi wejangan nasihat oleh guru setiap hari, dan finalnya hanya ditentukan oleh sebuah ujian yang berlangsung hanya 120 menit. Ironis. Mau jadi apa bangsa kita ini apabila kualitas manusianya hanya ditentukan oleh sebuah hasil ujian. Padahal fakta membuktikan banyak anak-anak yang nilai pelajarannya biasa-biasa saja, akan tetapi kemudian bisa sukses. Sebagai contoh maestro genius dunia, seperti Albert Einstein, dan Thomas A Edison dianggap bodoh oleh gurunya karena nilai pelajarannya rendah, tapi ternyata mereka bisa membuat karya-karya besar. Belum lagi ada begitu banyak orang yang sukses dan berhasil di berbagai bidang termasuk atlet dan artis terkenal yang dahulunya biasa-biasa saja dan boleh dikatakan “bodoh” oleh gurunya semasa mereka bersekolah.
Pendidikan harus dikembalikan pada hakekat dan tujuan luhurnya yang bukan terkontaminasi oleh tujuan politis. Pendidikan harus melihat bahwa seorang anak sebagai sebuah individu yang komplit yang Tuhan sudah ciptakan dengan miliaran sel otak dan potensi tak terbatas dan salah satu tapi bukan satu-satunya aspek intelektual anak yang harus dirangsang dikembangkan. Filosofi guru digugu dan ditiru akan tetapi guru bukanlah menjadikan anak sebagai fotokopi seperti yang diinginkan oleh guru. Tugas guru dalam sebagaimana definisi Pedagogik tugasnya adalah mengantar seorang anak didik untuk menemukan jalan arah supaya dia sendiri akan mengembangkan dirinya menurut arah dan jalan yang telah ditunjukkan oleh seorang mentor atau guru, tugas guru merangsang anak untuk memiliki mimpi (visi) tentang masa depannya, gairah dan kemauan keras untuk memaksimalkan imago Dei (citra Tuhan) yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sehingga seorang anak akan berjuang memaksimalkan semua potensi diri yang sudah ditanamkan lewat miliaran sel otak yang siap berkembang dan bertumbuh secara luar biasa. Tugas guru dan negara-negara adalah menyediakan fasilitas dan melapangkan jalan bagi anak supaya dapat bertumbuh berkembang menjadi generasi bangsa yang luar biasa untuk masa depannya pribadi tetapi juga untuk orang lain. Bangkitlah Pendidikan Indonesia!!!#

*Guru

14 Mei 2008

Upaya Meningkatkan Kualitas Kopra Sulut dengan Memproduksi Kopra Putih

Oleh Dekie S*

MUNGKIN belum banyak petani kelapa di bumi Nyiur Melambai Sulawesi Utara ini yang sudah mengetahui produk kopra putih, bagaimana proses pembuatannya, apa perbedaan mutunya dengan kopra biasa, dan manfaat minyak murni hasil olahannya bagi kesehatan serta prospek unggulannya di masa mendatang.
Sampai saat ini para petani/pemilik perkebunan kelapa masih membuat kopra secara tradisional melalui metode pengasapan langsung yang menghasilkan kopra hari-hari yang kurang higienis, tercemar asap, jamur dan kotoran lain yang berbahaya untuk kesehatan serta kandungan air tinggi. Kualitas kopra seperti ini perlu ditingkatkan untuk menghasilkan produk kopra yang berkualitas yang dapat menjadi suatu produk unggulan Sulawesi Utara di masa depan.
Kopra putih merupakan produk kopra bermutu tinggi, berwarna putih mutiara dan coklat terang, bersih, higienis, berbau harum tidak terkontaminasi aflatoxin, jamur, kotoran dan unsur-unsur berbahaya bagi kesehatan manusia. Minyak hasil olahan dari kopra putih digunakan terutama untuk minyak makan/goreng dan bagi kalangan masyarakat yang mengutamakan kesehatan, dan selain itu dipakai sebagai minyak campuran (edible oil) untuk produk margarine, kosmetik, parfum, sabun, pelembab, campuran chocolate, es cream, bahan pharmaceutical dan kebutuhan industri lainnya.
Ada beberapa metode pembuatan kopra putih, namun yang paling efisien dan efektif adalah dengan menggunakan metode pemanasan tidak langsung (indirect heating) dengan sarana dryer yang metode aslinya berasal dari Salomon Island penghasil kelapa di Pacific Islands, kemudian teknologi ini digunakan di Filipina dan saat ini dimodifikasi, dikembangkan dan diterapkan oleh PT MCM di Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra) Sulawesi Utara.
Pembuatan kopra putih merupakan upaya mengubah kebiasaan membuat kopra secara tradisionil untuk meningkatkan kualitas hasil produksi kopra untuk mendapatkan nilai tambah yang dapat berdampak positif terhadap peningkatan penghasilan para petani pemilik perkebunan kelapa. Upaya ini memerlukan investasi yang cukup besar terutama untuk mendirikan sarana proses pengeringan yang banyak dan tersebar di sentra-sentra produksi kelapa untuk memudahkan petani kelapa dapat menggunakannya membuat kopra putih. Keberhasilan upaya ini sangat tergantung pada komitmen dan kerjasama dari para pabrikan CNO/minyak goreng untuk memberikan insentif harga dan kondisi lain yang dapat memotivasi petani/pemilik kelapa untuk berubah dan meninggalkan cara/kebiasaan membuat kopra secara tradisional, dan bantuan pemerintah dalam membangun sarana pengolahan, serta kepedulian pihak perbankan dalam memberikan pendanaan baik working capital maupun investment capital di sektor riil ini yang padat karya di pedesaan.
Prospek pemasaran kopra putih terbuka luas di pasar lokal maupun ekspor, dan apabila umumnya para petani kelapa sudah banyak beralih ke produksi kopra putih sehingga volumenya sudah mencukupi, maka hal ini tidak menutup kemungkinan mendirikan pabrik pengolahan minyak makan dengan kapasitas kecil yang khusus memproduksi minyak makan/goreng murni dan sehat untuk kadar ekspor terutama ke masyarakat Uni Eropa yang sangat mengutamakan faktor kesehatan. Pengolahan kopra putih dapat diintegrasikan dengan pembuatan coco fibre, arang tempurung, cuka atau alkohol. Hal ini akan lebih memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani kelapa, penciptaan lapangan kerja di pedeaaan, mengurangi urbanisasi, menggerakkan perekonomian rakyat dan daerah, dan juga memberi kontribusi PAD setempat serta mendukung program revitalisasi perkebunan kelapa di Sulut. #

*Pengolah Kopra Putih di Ratahan

Akselerasi Transformasi Unsrat

(Tulang Punggung WOC)

Oleh Johny Weol*

“IS IT POSSIBLE FOR INDONESIA TO BE APPOINTED A HARVARD UNIVERSITY EXPERT”?
Tantangan Unsrat ke depan antara lain “akselerasi transformasi” menuju universitas riset dan entrepreneurial. “Unsrat sebagai” center of exellent - the Harvard-nya Sulut harus segera berbenah diri, pasca Pilrek 2008.
Terlihat jelas akademisi Unsrat mendominasi peran terselenggaranya WOC 2009. Unsrat menjadi tulang punggung hajatan akbar dan global tersebut. Akselerasi transformasi ini dibutuhkan dalam rangka “tata kelola” Biaya Operasional Pendidikan (BOP) atau biaya yang dibayarkan para orang tua mahasiswa, juga kontribusi dana Non-BOP agar kualitas pendidikan lebih baik. Akses internet seperti lewat gelombang Wi-Fi ke seluruh wilayah kampus perlu ditata. Untuk bersaing perlu kampus ber-AC hingga buku memadai.
Life cycle teknologi yang pendek di mana setiap 2-3 tahun komputer harus diganti, jadi tantangan tersendiri. Termasuk di dalamnya “electronic books” dengan ribuan judul jurnal internasional perlu tersedia. Memang kekeliruan entrepreneurial sering disalahartikan sebagai “bisnis”, “komersialisasi” dan itu salah, karena revenue yang besar akan dikembalikan dalam bentuk kualitas pendidikan.
Tantangan lain, “admission fee”, apa mau melihat seperti Universitas Trisakti Rp40 juta, Binus Rp32 juta, atau sesuai kemampuan yang ada. Dana besar Unsrat atau umumnya PT-PT di Indonesia (apalagi swasta) memang berasal dari BOP.
Yang mampu jelas membayar “full cost”. Jalan keluar yang ada, mahasiswa mendapat pinjaman pendidikan, lalu kembalikan dana itu setelah lima tahun bekerja. Ada juga pemberian “allowance” bagi mahasiswa tak mampu tapi berprestasi. Pungutan liar harus ditiadakan di setiap fakultas apabila ada. Transparansi SPP mesti jelas dan diatur sebijaksana mungkin seraya menghindari gejolak mahasiswa. Terlihat optimalisasi peran alumni perlu sekali digiatkan, disertai penyelenggaraan “academic venture” atau unit usaha academic. Perlu diluncurkan “knowledge venture”, karena Unsrat punya segudang ahli. Semua menuju “commercial venture” dan “asset management” dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan Unsrat. Jelas, budaya wirausaha bukan berarti semua aktivitas harus mendatangkan uang secara langsung. Entrepreneurial juga berarti kerja keras, ulet, innovatif, kreatif, berani ambil risiko (disebut entrepreneurial culture).
Sebaliknya, kadang-kadang kita menghasilkan lulusan yang sangat menguasai keilmuan tertentu, tetapi kebutuhan masyarakat tidak setinggi keilmuan tersebut. Cepat atau lambat, Rektor Unsrat beserta jajarannya, akan mengawal kampus sebagai universitas riset kelas Indonesia dan global yang berkarakter kewirausahaan.
Jelas perlu transformasi di segala bidang. Perlu budaya meneliti para dosen menjadi investasi dan modal penting mewujudkan cita-cita tersebut di atas. Meminjam kata Gumilar Somantri “Lifting to Global Best” yang disambut Sheldon Nord: Time For World-Class Education. Dalam bidang kedokteran “time to call in more doctors” (di Indonesia ada 70.000 dokter untuk melayani 220 juta penduduk, Fakedok 52 se-Indonesia hanya menghasilkan 4.000 dokter setahun). The power of education, memenuhi semua tuntutan derasnya science dan teknologi dan itu berarti perang mutu yang tak ada akhirnya di Kampus Unsrat tercinta. Mari majukan Unsrat menyambut WOC 2009, menjadi peran akademisi plus Rektor Unsrat yang baru mendatang. God Bless Unsrat, Amen!#

13 Mei 2008

Peningkatan Standar UNAS, Solusi Peningkatan Daya Saing

Oleh Rudy S Wenas SE MM

MENGHADAPI Ujian Nasional bagi para siswa SMP/MTs/SMPLB dan SMA/MA merupakan suatu tantangan yang harus dilewati secara traumatis, karena diperhadapkan dengan kekhawatiran untuk tidak dapat lulus yang disebabkan oleh Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang ditetapkan oleh pemerintah yang dirasakan terlalu tinggi. Sesuai dengan Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007, ditetapkan bahwa standar kelulusan UN SMP, MTs, SMPLB, SMA/SMK, SMALB tahun ini ditingkatkan dari 5,00 menjadi 5,25 untuk nilai rata-rata minimal dan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dan nilai mata pelajaran lainnya minimal 6,00.
Keputusan pemerintah ini oleh masyarakat dirasakan sebagai kebijakan yang terlalu dipaksakan dan tidak memihak kepada nasib masyarakat yang sudah tertindih oleh kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Kebijakan pemerintah ini dianggap bertolak belakang dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu juga dampak secara langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat adalah tekanan mental anak-anak yaitu hilang kepercayaan diri, tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sulit untuk mendapatkan pekerjaan serta kerugian material yang berupa biaya pendidikan yang telah dikeluarkan selama tiga tahun.
Namun bagi pemerintah keputusan ini merupakan keputusan yang sangat tepat sebagai alternatif strategi dalam meningkatkan daya saing bangsa. Berdasarkan hasil survei tingkat persaingan global 2006/2007 oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati peringkat ke 50 dari 125 negara dan hasil survei oleh International Institute For Management, Indonesia menempati peringkat ke 60 dari 61 negara. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia lainnya, Indonesia menempati peringkat terendah dimana Singapore ke 5, Jepang ke 7, Malaysia ke 26, Thailand ke 35 dan India ke 43.
Mungkin atas dasar inilah sehingga pemerintah dari tahun ke tahun berusaha untuk terus meningkatkan Standar Kompetensi Kelulusan (SKL) siswa. Bagi pemerintah sudah saatnya bangsa kita dipaksa untuk terus meningkatkan keahliannya dan tidak terus dininabobokan dengan keadaan-keadaan yang tidak produktif dan kreatif. Pemerintah merasa bahwa salah satu cara untuk mengubah kompetensi dan kualitas tenaga kerja sebagai aset bangsa harus dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Memang sulit rasanya untuk mengubah kualitas siswa dan guru secara langsung sebagai input dari suatu sistem pendidikan, oleh karena itu cara yang terbaik adalah menekan outputnya yaitu standar kelulusan. Harapan pemerintah lewat kebijakan ini sepertinya merupakan tindakan pemaksaan, namun hal ini dapat menjadi tolak ukur bagi para guru untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran kepada para siswa dan bagi para siswa itu sendiri harus berusaha untuk belajar, belajar dan belajar.
Kasus kebocoran lembar soal ujian nasional tingkat SMA/MA/SMK/SMALB yang terjadi di Deli Serdang Sumatera Utara dan Makassar Sulawesi Selatan di mana pihak sekolah secara sadar membocorkan soal kepada siswanya memang merupakan suatu bentuk pembelaan karena takut para siswa didiknya tidak lulus. Tapi hal ini sebenarnya merupakan bentuk tidak berhasilnya para guru dalam mendidik anak didiknya sendiri. Seperti kita ketahui bahwa faktor utama keberhasilan anak didik tergantung pada sosok guru yang mampu untuk membina, mendidik dan melakukan transfer ilmu. Seorang pelatih sirkus pun apabila dengan telaten sesuai dengan kompetensinya dapat melatih seekor singa untuk dapat meloncat dan melewati bulatan api yang sedang berkobar.
Saya sebagai seorang pendidik di salah satu universitas negeri di Sulut merasa bahwa seorang anak didik harus dilatih dari pendidikan dasar, agar supaya nanti di bangku kuliah tidak mengalami kesulitan dalam memahami sebagian besar ilmu-ilmu terapan. Di bangku kuliah seorang mahasiswa tidak akan diajarkan kembali penjumlahan, perkalian dan pembagian ataupun tata bahasa dalam menyusun suatu tulisan. Sebagai mahasiswa dituntut untuk dapat melakukan analisis atau proses menginterpretasikan teori-teori yang ada dan bukan lagi mengajarkan kepada mahasiswa untuk dapat menghafal atau mengulang kembali materi-materi yang telah diajarkan sejak berada di pendidikan dasar.
Selain itu juga kekhawatiran saya sebagai tenaga pendidik yaitu terletak pada kualitas anak didik kita: Apakah mereka siap untuk turun ke lapangan pekerjaan?; Apakah mereka siap untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif?; Apakah ada perusahaan yang mau menerima pekerja yang tidak berkualitas atau dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di bawah syarat ketentuan perusahaan (IPK rata-rata diterimanya seorang mahasiswa sekarang ini di atas 3.00).
Sebagai orang tua yang mendapat tugas dari Tuhan untuk membesarkan, mendidik, menjadikan seorang anak manusia yang beradab, berhasil dalam karir dan berguna bagi keluarga serta bangsa negara tentunya tidak perlu khawatir apalagi melakukan penolakan terhadap keputusan pemerintah tentang standar kelulusan. Yang harus dilakukan oleh orang tua dimulai dari lingkungan keluarga itu sendiri adalah mendorong setiap anak untuk terus belajar dan meningkatkan kepintarannya karena Tuhan itu sendiri tidak akan menciptakan manusia bodoh.
Sebagai kesimpulan akhir dari tulisan ini, tindakan pemerintah untuk meningkatkan Standar Kompetensi Lulusan sudahlah tepat karena kebijakan ini merupakan solusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan daya saing bangsa. Yang sangat diharapkan agar pemerintah bukan hanya menjadikan kebijakan ini sebagai bahan politik atau adanya kepentingan seperti yang telah menjadi budaya bangsa kita yaitu “asal bapak senang” namun pemerintah harus bertanggung jawab dalam melakukan pemerataan pendidikan ke seluruh pelosok Indonesia melalui pembangunan infrastruktur pendidikan seperti sarana fisik sekolah, alat peraga, pengadaan buku, bantuan secara langsung kepada siswa yang tidak mampu dan pelatihan-pelatihan pengajaran serta pemberian kompensasi yang sesuai kepada para guru.#

* Anggota Tim Pemantau Independen Unas Kota Manado; Dosen Fakultas Ekonomi Unsrat

10 Mei 2008

Spiritualitas Sains, Perlukah?

Oleh dr Taufiq Pasiak

ALHAMDULILLAH, hari ini saya mendapat kehormatan untuk menjadi keynote speech dalam satu sesi seminar memperingati dies Natalis Universitas Negeri Jogjakarta (UNJ). Ini bukan sekadar kesempatan untuk sharing, tukar menukar pengalaman, uji gagasan atau promosi hasil penelitian, ide dan karya-karya. Lebih dari itu, bagi saya, ini sebuah kehormatan yang patut disyukuri. Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu eksakta, dan karena itu akrab dengan hal-hal empirik, kesempatan berbicara di hadapan ilmuwan-ilmuwan sosial merupakan kesempatan berharga dalam 2 hal; pertama, menguji gagasan saya tentang spiritualitas yang saya teliti sejak 4 tahun lalu dalam rangka penulisan disertasi, kedua, saya dapat melihat sejauh mana sains sosial melihat spiritualitas dalam dinamika keilmuan mereka. Tema seminar ini sangat menantang; “spiritualitas dalam ilmu pengetahuan sosial”. Pembicaranya merupakan orang yang ahli dalam bidang ini. Pesertanya berasal dari beberapa negara tetangga, di samping dari tanah air sendiri.
Seberapa pentingkah spiritualitas itu dalam sains? Kebanyakan ilmuwan menjawab bahwa spiritualitas memiliki wilayahnya sendiri, dan sains juga memiliki wilayah sendiri. 2 wilayah ini tak mungkin digabung. Ontologi (objek ilmu) dan epistemologi (metode ilmu) nya berbeda. Sains sosial dapat dijangkau pelbagai fenomena yang ada, sementara spiritualitas berada di luar fenomena alias tak dapat dijangkau. Seorang ilmuwan menyatakan; “bagaimana ruh itu bisa dijangkau”. “Jika saya tak percaya adanya ruh bagaimana mungkin saya mempercayai adanya spiritualitas. Seorang psikolog terkenal bahkan dengan garang berkata: “sedangkan jiwa saja tak dapat dijangkau oleh psikologi. Apalagi ruh”. Adalah mustahil membawa spiritualitas ke dalam wilayah sains sebagai mustahilnya membawa sains dalam wilayah spiritualitas. Bahkan dalam banyak hal terdapat pertentangan terbuka antara keduanya. Anda mungkin ingat hukum Kekekalan Energi dari (Lavoiser) yang menyatakan bahwa energi (atau materi) tidak dapat dimusnahkan, kecuali berubah bentuk. Anda bandingkan dengan pernyataan semua kitab suci bahwa benda-benda (tentu mengandung massa dan energi) sekali waktu akan hancur manakala kiamat terjadi. Bumi adalah materi (energi) yang pasti akan hancur. Jelas sekali —kata kebanyakan orang— bahwa sains kimia (Hukum Kekekalan Energi) itu tidak bisa menyatu dengan ajaran kitab suci. Demikian halnya dengan teori Evolusi Darwin yang melihat bahwa manusia berkembang secara evolutif menjadi manusia seperti hari ini. Semula manusia adalah makhluk bersel tunggal yang pelan demi pelan berkembang dan bertumbuh sehingga menghasilkan sejumlah hewan antara yang akhirnya menjadi manusia. Fase-fase antara itu berupa hewan-hewan rendah yang fosilnya dapat ditemukan. Menurut Darwin, homo sapiens (saya dan Anda, dan kita semua manusia) merupakan hasil dari perkembangan homo habilis (makhluk primata non manusia, yang setengah binatang). Bandingkan pendapat sains ini dengan ajaran kitab suci tentang keistimewaan manusia. Alkitab melukiskan manusia sebagai imago dei (citra Tuhan). Alquran menyebut manusia sebagai khalifatun fil ‘ardh (makhluk mulia, pemimpin di dunia). Kebanyakan ahli menyetujui bahwa mustahil menggabungkan kedua wilayah itu. Mustahil, mustahil dan impossible!
Anda perhatikan juga ilmu kedokteran. Ilmu yang paling dekat dengan manusia karena mempelajari manusia secara langsung. Boleh dikata, ilmu ini adalah ilmu yang berada di garda depan menolak spiritualitas meskipun ilmu ini secara gamang mengakui adanya jiwa manusia, melalui cabangnya psikiatri (psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menggabungkan filsafat manusia dan ilmu kedokteran biologis). Ironis, kebanyakan psikiater merupakan dokter yang kurang memahami spiritualitas manusia secara utuh. Mungkin karena pendidikan mereka yang lebih banyak melihat manusia sebagai si sakit jiwa. Paradigma psikiatri hingga saat ini masih berkutat bolak-balik soal mental disorder (gangguan mental). Mereka masih canggung dan ragu masuk dan membahas tentang mental well being. Ironi yang lain, meskipun kebanyakan dokter sudah berkoar tentang pendekatan biopsikososiospiritual terhadap manusia, tetapi ada lebih banyak dokter yang melihat manusia sebagai makhluk biologis semata. Kalau Anda sakit kepala dan datang berobat ke dokter, maka kebanyakan dokter akan memberikan Anda obat penghilang sakit. Solusi ini berlangsung otomatis dalam benak setiap dokter. Kalau ada dokter yang mau tahu lebih jauh, maka itu terjadi karena wawasan atau pengalaman yang lain di luar ilmu kedokteran. Anda tidak usah heran, tidak ada satu titik pun —saya ulangi, satu titik pun— dalam paradigma ilmu kedokteran yang memberi ruang pada spiritualitas ini. Para dokter tidak pernah diajar tentang adanya spiritualitas dalam diri manusia. Yang ada di benak para dokter, sebagaimana itu dididik bertahun-tahun dalam proses pendidikan mereka, manusia hanyalah kumpulan rangka, otot, saraf dan tulang belulang. Kalau ada dokter yang memahami adanya spiritualitas ini, maka itu lebih karena pengalaman dan wawasan mereka. Bukan karena mereka dididik untuk itu. Ada banyak dokter yang meminta pasien mereka untuk berdoa, melakukan ritual tertentu, atau memberikan social support untuk membantu proses pengobatan meskipun mereka tidak bisa menjelaskan dengan meyakinkan alasan-alasan ilmiah untuk itu. Fenomena spiritualitas ini menjadi menarik karena lahirnya KIPDI (Kurikulum Inti Pendidikan Dokter) III yang lebih luas memberikan ruang bagi spiritualitas ini. FK Universitas Pelita Harapan (UPH) bahkan menambah 1 kompetensi lagi (sehingga menjadi 8 kompetensi KIPDI III) dengan judul ‘kompetensi spiritual’ yang harus dimiliki oleh setiap dokter lulusan UPH. FK UMS di Solo bahkan mulai merancang konsep-konsep hipotetik tentang ini.
Spiritualitas sesungguhnya memiliki bukti empirik yang memungkinkannya masuk ke dalam sains tertentu. Riset-riset neurosains menunjukkan banyak sekali bukti adanya sirkuit spiritual dalam otak. Persis seperti sirkuit untuk bahasa, sirkuit spiritual memiliki pemancar-pemancar tertentu yang dapat aktif baik karena rangsangan dari luar maupun dari dalam. Spiritualitas membentang dari sekadar perasaan takjub (terpesona melihat sesuatu), cinta (larut dalam sebuah pikiran atau tindakan) hingga perasaan menyatu (Union Mystica menurut Kristiani, aninhilasi menurut Islam dan nirvana menurut Hindu). Bentangan spiritualitas ini memiliki sirkuit masing-masing yang berbeda dalam otak. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagaimana kegiatan berbahasa, spiritualitas juga diproses secara spesifik dalam otak. Hasil-hasil pemindaian otak menggunakan alat-alat canggih berhasil membuktikan adanya spiritualitas itu. Anda pun bisa mencermati bagaimana perbedaan lahiriah antara penderita skizofrenia (dengan waham agama) dan mistikus yang mengalami perasaan tertentu (Ygy, 090508).#

09 Mei 2008

Desaku “Terabaikan” = Menyimpan “Bom Waktu”

Oleh Welly Waworundeng

DUA topik menarik diberitakan koran Manado Post (28/29) April 2008. Pertama, masyarakat kebanyakan “tidur”, akibatnya banyak lahan tidur (29.381 ribu hektar data dari Dinas Pertanian) di Kabupaten Minahasa. Kedua, warga gengsi bakobong (gengsi jadi petani), karena lebih tergiur jadi tukang ojek (profesi baru yang diminati orang kota dan desa, karena tergiur tidak berkeringat dan cepat dapat uang). Hal tersebut menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Minahasa, terlebih pemerintah dan masyarakat desa (data awal 2008, Minahasa terdiri dari 155 desa, 37 kelurahan dan 12 desa persiapan, penduduk 301.855 jiwa = mayoritas penduduk ada di desa) yang merasakan dampaknya. Dengan banyaknya lahan tidur berarti tanda awas bagi masyarakat di tanah Toar Lumimuut, satu saat akan terjadi kekurangan pangan. Ingat, sekarang dunia dilanda krisis pangan, semua negara sedang mengadapi masalah yang sama dan berusaha untuk mencari solusi. Bagaimana dengan daerah kita?
Sebelum membahas apa solusi terhadap masalah di atas, terlebih dahulu penulis (putra desa di Minahasa) akan mengangkat masalah lain yang menurut penulis tidak kalah pentingnya. Apa yang diberitakan koran Manado Post itu hanya sebagian, tetapi ada banyak masalah lain yang sementara terjadi dan itu kurang diberitakan karena mungkin tidak menarik dan tidak laku di masyarakat serta tidak menjadi topik pembicaraan di kalangan elit pemerintahan dan elit politik. Masalah yang penulis maksudkan, di antaranya: 1) Banyak tanah milik warga desa beralih ke pemegang modal, birokrat dan politisi. Dulunya masyarakat adalah petani pemilik tetapi sekarang petani penggarap, lebih cepat jual tanahnya untuk pegang uang banyak daripada mengolahnya (itulah pikiran “instan” dan malas yang merambah masyarakat desa). Modal yang ada juga tak jarang untuk beli motor dan beralih profesi tukang ojek (sebelumnya pekerjaan sampingan sekarang jadi tetap), pertanyaannya apa cukup untuk biaya hidup keluarga? Dan berapa lama usaha itu bertahan? Mungkin juga lahan tidur di Minahasa bukan milik warga desa biasa lagi, justru pemiliknya orang berduit (hobi koleksi tanah); 2) Kegiatan “mapalus” yang dulunya menjadi andalan utama masyarakat desa untuk mengolah lahan pertanian/perkebunan, membangun rumah dan lain-lain, sekarang hampir tidak ada lagi di desa. 3) Banyak masyarakat yang putus sekolah (pendidikan terabaikan) akibatnya bertambah jumlah pengangguran; 4) Terjadi peningkatan urbanisasi (penduduk desa pindah ke kota), coba adu nasib di kota. Setelah meninggalkan masalah di desa, ciptakan masalah baru di kota; 5) Begitu juga dengan kegiatan kerja bakti (gotong-royong), yang dulunya tradisi ini menjadi program utama desa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di desa (buat dan bersih saluran irigasi, buat dan bersihkan jalan desa, bangun jembatan, bangun balai desa, buat selokan dan lain-lain). Sepertinya, mulai jarang ditemui di desa, karena orang desa dimanjakan dengan proyek pemerintah (ada uang, ada tenaga); 6) Pemerintah dan masyarakat desa di era otonomi daerah ini secara beruntun diperhadapkan dengan kegiatan “pesta demokrasi” (Pemilu, Pilkada dan pemilihan hukum tua). Selain masyarakat dimanjakan dengan pesta (senang sesaat, lelah, tertidur), ternyata pasca pesta demokrasi banyak meninggalkan konflik horisontal di masyarakat. Akibatnya pemerintah dan masyarakat desa terkotak-kotak, karena beda partai, beda calon dan beda kepentingan. Dulunya kalah menang dalam proses pemilihan apapun di desa, hasilnya selalu diterima dengan baik (lapang dada) oleh semua pihak, tetapi sekarang mulai ada penolakan dan ada kecenderungan konflik. Pemerintah dan masyarakat desalah yang merasakan langsung semua permasalahan tersebut.
Belum cukup masalah di atas, ditambah lagi kenyataan sekarang penyelenggaraan pemerintahan di desa seperti “mati suri”, dan banyak hak-hak desa “dipasung”, hampir tidak ada regulasi (Perda, keputusan bupati dan Perdes) yang ditetapkan dan dijalankan, ini berarti penyelenggaraan pemerintahan di desa tidak berjalan, hal itu tanpa disadari oleh orang desa. Kegiatan pemerintah hanya sebatas pelayanan administrasi yang dari tahun ke tahun sudah rutin dilakukan, seperti: pengurusan KTP, surat-surat keterangan, surat jalan, dan administrasi lainnya. Selain itu yang dilakukan pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa lebih pada kegiatan seremonial menghadiri undangan-undangan hajatan (acara suka) dan peristiwa kedukaan. Atau juga disibukkan dengan mengurus persoalan-persoalan rumah tangga, persoalan kenakalan anak muda, persoalan sengketa tanah, perkelahian antar kampung dan Kamtibmas lainnya di masyarakat. Sedangkan, kegiatan utama masyarakat di desa seperti: bertani, berkebun, beternak, pertukangan dan kegiatan sosial kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Selama ini yang kelihatan desa itu ada kegiatan bukan karena kegiatan pemerintahan tetapi kegiatan keagamaan (gereja dalam hal ini). Masyarakat disibukan sebatas kegiatan dan hari-hari raya besar lainnya. Serta kegiatan rukun keluarga di luar itu tidak ada. Ini bagaikan “bom waktu kemiskinan“ yang satu saat akan meledak, berakibat terjadinya pemiskinan kolektif di desa.
Sumber masalah desa selain dari desa itu sendiri, ternyata juga sumbernya dari luar desa (pemerintah supra desa). Selama ini desa kurang dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif (DPRD) kabupaten. Sudah hampir 4 (empat) tahun diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakannya ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, keduanya belum sepenuhnya dilaksanakan sampai di desa. Karena masalahnya produk regulasi di daerah, baik Perda atau Surat Keputusan Bupati yang seharusnya dikeluarkan sebagai ketentuan, pedoman dan acuan teknis pelaksanaan di desa, sebagian besar belum ditetapkan dan mungkin belum pernah dibahas dalam program legislasi daerah. Hal tersebut menjadi kendala terhadap penyelenggaraan pemerintahan di desa, di mana pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat merencanakan, membahas, menetapkan dan melaksanakan Perdes atau aturan lainnya di desa, ada pemerintahannya, ada rakyatnya, ada kegiatannya, tetapi tidak berjalan sebagaimana amat peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005).
Mengapa pengaturan tentang desa itu penting? Karena, dalam PP No. 72, mengatur antara lain tentang urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kedudukan, tugas, wewenang, kewajiban, fungsi, hak dan kedudukan keuangan dari pemerintah desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu, mengatur tentang Peraturan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Keuangan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kerja sama antar desa dan pihak ketiga, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan serta Pembinaan dan Pengawasan. Regulasi ini bertujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa agar berjalan baik dan apa yang menjadi masalah di desa dapat diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat desa itu sendiri. Sudah seharusnya masalah di atas bukan hanya tanggung jawab pemerintah Minahasa tetapi masyarakat desa pun bertanggung jawab.
Menghadapi masalah dan bagaimana mencari solusi, harapan pertama dimulai dari apa yang desa dapat lakukan. Pendapat penulis antara lain: Pertama, harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat desa, bahwa selama ini desa dalam masalah besar, yang sementara menggerogoti kelangsungan kehidupan di desa. Kedua, adanya keinginan yang kuat dari pemerintah dan masyarakat desa untuk maju dalam rangka memperbaiki kesejahteraan hidup yang lebih baik (tidak jatuh miskin). Ketiga, pemerintah dan masyarakat desa harus bersatu. Kalau selama ini ada terkotak-kotak, maka ke depan mulai dari pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda, PKK, dan semua organisasi sosial politik serta masyarakat yang ada di desa harus bersatu. Dengan kekuatan itu diharapkan dapat menjawab masalah yang ada, di mana pemerintah dan masyarakat desa harus sadari masalah desa adalah masalah kita, yang harus diupayakan diselesaikan sendiri. Keempat, harus ada hubungan kerja sama antardesa yang satu dengan desa yang lain, apakah dalam bentuk asosiasi atau perkumpulan lain yang pada intinya dapat memperjuangkan kepentingan desa serta terciptanya kehidupan antardesa yang kondusif. Kelima. desa jangan berharap banyak kepada pemerintah supra desa, karena selama komitmen dan kebijakan politiknya tidak memihak ke desa, selama itu juga desa terabaikan. Ingat, kekuatan kebersamaan itu dapat mempengaruhi kebijakan politik/pembangunan Pemda Minahasa. Selama desa diam, selama itu juga desa hanya menjadi objek dan subjek apabila ada pesta demokrasi atau program/proyek daerah dan nasional.
Harapan kedua, tentunya ditujukan kepada pemerintah Kabupaten Minahasa, agar mempunyai komitmen yang kuat serta didukung dengan adanya kebijakan politik (regulasi) yang memihak kepada desa. Selain itu, ada kebijakan anggaran yang cukup melalui Alokasi Dana Desa (ADD), dan proyek lainnya serta alokasi dana yang sesuai (beban kerja yang besar) kepada bagian pemerintahan desa di Pemkab Minahasa. Sedangkan tugas pengawasan dan pembinaan juga dapat ditingkatkan, seiring semakin banyak masalah di desa. Dengan berpihaknya kebijakan politik pemerintah dan legislatif Kabupaten Minahasa ke desa, akan menjawab masalah yang ada di desa, yang nantinya tercipta penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif, transparan, responsif, dan akuntabel serta terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Memang menyelesaikan masalah di desa tidak semudah “memutar telapak tangan”, tetapi setidaknya harus ada niat dan tindakan nyata. Desa adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (masyarakat desa sejahtera, daerah sejahtera, negara pun sejahtera). Jadikan, syair lagu “desa ku yang ku cinta, pujaan hati ku, tempat ayah dan bunda dan handai tolan ku tak mudah ku lupakan tak mudah bercerai, selalu ku rindukan, desa ku yang permai” akan tetap ada, dan dikenang sepanjang masa.#