30 April 2008

‘’Sejarah Tidak Pernah Bohong’’

(Catatan ringan menjelang Pilwako Kotamobagu)

Oleh Suardi “Didi” Musa

GERAK waktu senantiasa melukiskan sejarah dengan goresan berbeda dari tiap pelukisnya. Tiap lekuk goresan itu menunjukkan betapa sejarah dicipta oleh keyakinan, pengorbanan dengan melibatkan sedemikian banyak tragedi berdarah dan memilukan. Dalam perjalanannya bisa kita menyimak penderitaan para nabi dan rasul menghadapi para penguasa dzalim, para martir yang harus ikhlas kehilangan nyawa karena mempertahankan keyakinannya, para pemikir yang harus menghadapi tuduhan dan dicap “gila”, karena pemikirannya melampaui zamannya. Para seniman dengan segudang karya penuh kontroversi menggugat kebekuan masyarakat. Kesemuanya memberi pijakan bagi perubahan, mengapa harus dengan kata perubahan? Tapi entah dengan referensi apa berdasarkan miskinnya perbendaharaan bahasa, kata perubahan senantiasa merangsang dan menantang dalam mengambil tindakan untuk mencipta.
Jejak-jejak peradaban meninggalkan pesan tentang perjuangan panjang yang menyertakan ide-ide fundamental dan radikal, dan seringkali tidak populis, di masa peletakan pondasi peradaban Yunani, sosok Socrates memberikan inspirasi bagi jutaan generasi berikutnya bahwa, kesetiaan pada ide adalah penentu bagi bangkitnya sebuah bangsa di pentas dunia, ini tentunya bukan tanpa alasan tapi fakta dalam setiap lembar sejarah.
Pada bagian ini penulis secara lugas memaparkan, betapa Jazirah Arab yang ganas dan liar, justru menjadi sentra kelahiran peradaban Islam, kegelapan abad pertengahan tersibak oleh Cogito Ergo Sum Descartes, tumbangnya kaum Borjuis di Perancis, hingga revolusi industri di Inggris, sebagai cikal bakal bangkitnya masa pencerahan di Eropa, ini semua tentunya menunjukkan adanya fase perubahan sebagai konsekuensi dan kegelisahan manusia akan masa depannya.
Mengapa penting bagi kita untuk menyibak fakta sejarah? Alasannya sangat simpel. Kita dituntut untuk menelaah secara kritis tiap kilasan sejarah, karena kepastian waktu senantiasa memberikan peluang bagi kita untuk menempatkan kembali nilai universal sebagai acuan untuk kontekstualisasi di masa kini dan masa depan Kota Kotamobagu. Di sisi inilah penulis melihat secara kritis untuk menggagas paradigma yang fundamental walau terkadang kurang atau tidak populis.
Kota Kotamobagu membutuhkan pemimpin (baca: walikota dan wakil walikota) yang memiliki ide-ide brilian, yang mampu membawa perubahan dari berbagai sisi, sebagai konsekuensi dari daerah otonom baru. Untuk itu penulis, menorehkan beberapa hal yang nantinya “harus dilakukan” oleh para pengambil keputusan (pemimpin) Kota Kotamobagu ke depan yakni:
1. Definisi wilayah perkotaan yang harus dirumuskan dengan tepat agar tidak menciptakan jurang ketimpangan sosial.
2. Master plan, penataan Kota Kotamobagu dari sisi estetika, jasa, dan bisnis.
3. Pemberdayaan kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industri kecil lainnya yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, yang harus dikelola secara profesional.
4. Sektor kebijakan publik berupa regulasi yang berpihak kepada masyarakat.
5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan dan sarana penunjang kegiatan belajar mengajar.
6. Mendorong terciptanya kesadaran politik yang bermuara pada partisipasi masyarakat secara kritis, objektif dan bernilai secara substansial bagi demokrasi.
Penulis akan mencoba mengulas mengenai dua hal yang sangat butuh perhatian semua pihak dan sangat berkaitan erat dengan pesta demokrasi, pemilihan walikota dan wakil walikota Kotamobagu yang pertama kali digelar pada 2008 ini. Dua hal yang menurut penulis masuk pada kategori emergency:
PERTAMA: SISTEM DEMOKRASI
Memetik pengalaman pemilihan kepala daerah: gubernur, bupati, walikota di negeri ini yang terkadang berujung pada bentroknya pendukung kandidat dengan kelompok massa lainnya, bahkan dengan satuan pengamanan (polisi, TNI dan pengamanan lainnya) dan seringkali berakhir tragis di mana korban luka sampai korban tewas di kedua belah pihak dan bahkan melebar lagi pada kerugian materi, tidak bisa dihindari ketika emosi massa yang “buta” sudah mencapai klimaks dan tidak terkendali.
Penulis berupaya mancari sebab musabab hal tersebut dari berbagai referensi dan menarik satu kesimpulan, bahwa masyarakat terkadang keliru mengejawantahkan arti berdemokrasi dan seringkali para elit politik menjadikan pendukungnya sebagai objek.
Untuk masyarakat Kotamobagu, penulis bermaksud mengurai apa sebenarnya demokrasi Pancasila, dengan tujuan utama adalah terlaksananya pemilihan walikota dan wakil walikota Kotamobagu dengan aman, tertib dan lancar sampai selesai.
Demokrasi (Yunani: demokratia: demos = rakyat, kratein = memerintah, kratia = pemerintahan) atau lebih simpel demokrasi adalah pemerintahan dengan pengawasan rakyat, dalam arti kata agar lebih sebagai keseluruhan daripada sebagai kelas, golongan atau perseorangan, dengan tambahan dalam istilahnya, seperti demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi, demokrasi berarti pengawasan lembaga-lembaga kemasyarakatan oleh dan untuk kepentingan rakyat. Dalam negara kota (city states) Yunani, demokrasi bagi warga negara saja (sebagai lawan orang asing dan budak belian). Demokrasi modern digerakkan oleh revolusi kaum puritan di Inggris, serta revolusi-revolusi Amerika dan Perancis, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Jefferson, adalah ahli-ahli teori demokrasi yang berpengaruh. Demokrasi timbul dengan adanya tuntutan persamaan, pertama-tama dalam bidang politik dan hukum, kemudian juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Negara demokrasi modern, dengan khas telah menumpahkan kepercayaannya pada suatu sistem partai-partai politik yang bersaingan, sejak didekritkannya kembali UUD 1945. Di Indonesia berlaku Demokrasi Terpimpin, yang pelaksanaannya diatur dalam ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965. Demokrasi Terpimpin dimaksudkan untuk menentang sifat-sifat liberal dari pada Demokrasi Barat, yang bertentangan dengan azas-azas permusyawaratan untuk mencapai mufakat sesuai dengan Pancasila. Dalam pelaksanaannya Demokrasi Terpimpin terlalu menonjolkan unsur pimpinan, yang diberi hak untuk mengambil keputusan apabila tidak dicapai mufakat dalam suatu permusyawaratan dan oleh karena itu meluncur ke arah kediktatoran, sehingga membuahkan pemberontakan G 30 S/PKI (1 Oktober 1965). Dalam rangka pemurnian Pancasila dan UUD 1945 di alam orde baru, maka ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, kemudian dicabut dan diganti dengan ketetapan Nomor XXXVII/MPRS/1968, yang memuat pedoman pelaksanaan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ketetapan tersebut juga dinamakan “Ketetapan tentang Pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila” (Ensiklopedi umum 1977).
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam demokrasi Pancasila tidak diberikan peranan atau kedudukan yang berlebih-lebihan kepada pemimpin sebagaimana halnya dalam Demokrasi Terpimpin, sehingga dicegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang mengakibatkan kediktatoran. Hal ini adalah tanggung jawab kita semua. Khususnya elit politik, untuk memberikan pendidikan politik yang baik.
KEDUA: PENDIDIKAN
(Menuju Kota Kotamobagu sebagai Kota Pelajar)
Mari kita lihat secara kasat mata betapa sungguh miris sekaligus memilukan, pendidikan sebagai tiang utama penyangga peradaban, harus secara santun minggir di tepi jurang ketidakpedulian, apalagi ditunjang oleh semakin meningkatnya biaya pendidikan dan kurangnya pemahaman masyarakat akan pendidikan yang sekadar ditafsir sebagai sekolah. Padahal pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung secara terus menerus, sepanjang nafas masih tetap mengalir di rongga hidung kita, memang tidak disangkal masyarakat kita menilai bahwa sekolah merupakan ukuran kemajuan suatu daerah, bahkan jenjang sekolah menentukan status sosial seseorang di tengah masyarakat.
Naif memang jika sekolah beramai-ramai dijadikan ajang perebutan status sosial, padahal saat manusia dilahirkan keduanya ini, telah diberikan hak dan keistimewaan sederajat sebagai manusia tetapi sistem pendidikan yang bernama sekolah ini. Telah turut mencipta konstruksi sosial yang menggusur substansi pendidikan. Sesungguhnya pendidikan menjadi kehilangan rohnya, jika harus berorientasi di ruang pengakuan sebuah status.
Seakan mengulangi kejayaan masa feodalisme, pendidikan di Indonesia sedemikian gagap dan latah menanggapi terjangan globalisasi, sehingga terkadang dengan ‘’sengaja’’ harus mengangkangi cita-cita pendiri republik ini, sebuah cita ideal bagi terwujudnya bangsa yang kuat dan negara yang berwibawa di pentas dunia, sebagaimana konsepsi Bung Karno presiden RI, tentang Trisakti mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, bermartabat dalam kebudayaan, apalagi globalisasi adalah keturunan sah dari Neo Liberalisme, di mana pada saat ini pasar adalah “Dewa Agung” yang mendapat sanjungan dan puja puji bagi hasrat penumpukan materi, sementara pendidikan kita turut punya andil beramai-ramai mencetak foto buram nan muram dengan menempatkan pendidikan berdasarkan kebutuhan pasar. Mari kita lihat pangsa pasar pendidikan, tidak hanya mode pakaian yang selalu memunculkan trend, ternyata pendidikan pun memiliki trend tersendiri, dengan rentang waktu tiap dasawarsa simaklah tahun 60-an, sedemikian gencar gelar dokter, 70-an hingga akhir 80-an, gelar insinyur merajai atmosfer gelar, bahkan film-film nasional menampilkan adegan betapa hebatnya gelar insinyur, memasuki era 90-an, hingga memasuki fase milenium, berlomba-lomba para lulusan SLTA, mencari perguruan tinggi yang menyediakan Jurusan Ilmu Komputer dan seterusnya, karena sering disebut milenium era reformasi, seakan kegagapan kita akan globalisasi tidak memberikan ruang untuk berkreasi.
Berdasarkan situasi dan kondisi nasional bahkan tingkat lokal, pendidikan bukan hanya sekadar trend, saat sekarang ini pendidikan sudah menjadi ajang bisnis, dengan biaya meroket.
Lalu seperti apakah lokalitas Kota Kotamobagu (pemerintah) merespon, menganalisa dan mengambil tindakan kreatif mewujudkan ide-ide dasariahnya? Terakhir, penulis sangat sepakat dan mendukung sepenuhnya Kota Kotamobagu sebagai “kota pelajar”, dengan sepotong catatan untuk pemerintah Kota Kotamobagu: Tingkatkan pembiayaan APBD untuk sektor pendidikan, membuka peluang investasi bagi pengusaha yang bergerak di bidang pendidikan, untuk mendirikan sekolah dengan kualitas bertaraf nasional dan biaya murah, meniadakan segala jenis pungutan liar yang berdalih kewajiban dan dibungkus keharusan membeli seragam bagi siswa baru dan siswa yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan yang paling utama tindak tegas oknum pegawai, yang terlibat sogok menyogok untuk mendapatkan jabatan kepala sekolah dasar.#

28 April 2008

Pemotongan Anggaran Prokesos dan Pengakuan Eksistensi Profesi Pekerja Sosial

Oleh Drs Jefry Prang MSi*

PADA Sabtu, 29 Maret 2008 melalui surat kabar Harian Manado Post penulis terkejut ketika membaca berita mengenai “APBN Dinkesos Dipotong 11 Miliar”. Berita yang sangat memiriskan tersebut mendapat perhatian dari berbagai kalangan sehingga DPRD Sulut melalui komisi D anggota dewan James Karinda SH MH akan menelusuri pemotongan anggaran tersebut, sebuah langkah yang patut dihargai dan pantas mendapat acungan jempol karena sebagai wakil rakyat sangat peka dan jeli terhadap kebijaksanaan pemotongan anggaran yang merugikan masyarakat kecil dan miskin, secara khusus pegawai yang bekerja sebagai Pekerja Sosial pada Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) dengan pemotongan anggaran 11 miliar merasa prihatin karena sangat mempengaruhi rencana kerja dan target pencapaian kinerja Dinkesos dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Provinsi Sulawesi Utara.
Bila dicermati lebih mendalam bahwa Program Kesejahteraan Sosial (Prokesos) yang dilaksanakan oleh Dinkesos, terdapat 5 Prokesos yang menjadi unggulan yaitu: 1) kemiskinan, 2) keterlantaran, 3) kecacatan, 4) ketunaansosial dan 5) penanggulangan korban bencana. Adapun pelaksanaan 5 program tersebut, tidak seperti yang dibayangkan orang pada umumnya yang mempunyai pandangan bahwa memberikan bantuan kepada masyarakat sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) karena atas dasar kasih (charity) tanpa menggunakan prinsip, metode, dan pendekatan profesi pekerjaan sosial. Dari pengamatan penulis sebagai pegawai yang berprofesi pekerja sosial dalam kurun waktu selama kurang lebih 7 tahun terakhir ini, setelah dibentuknya Dinkesos Provinsi Sulut seperti diketahui Dinkesos dibentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor: 18 Tahun 2001 dan Keputusan Gubernur Nomor 227 Tahun 2001 Tentang Uraian Tugas, barulah pada 2008 ini, Departemen Sosial RI Pusat (Depsos) mengambil kebijaksanaan pemotongan anggaran sebesar 11 miliar dari jumlah dana dekonsentrasi yang dialokasikan pada Dinkesos sebesar kurang lebih Rp25 miliar. Hal ini berarti bahwa Dinkesos pada 2008 ini dalam melaksanakan kegiatannya hanya mendapat dana Rp 14 miliar. Kebijaksanaan Depsos melaksanakan pemotongan anggaran tersebut bukannya tidak beralasan. Secara umum alasan Depsos ialah dalam rangka mensaving dana untuk penanggulangan bencana yang terjadi 2008. Akan tetapi secara khusus dapatlah dikatakan bahwa pemotongan tersebut disebabkan oleh 3 faktor: 1) Daya serap anggaran yang dialokasikan oleh Depsos ke Dinkesos pada 2007 relatif kurang yang tidak mencapai 100 persen. Hal ini berarti terdapatnya sisa anggaran yang tidak digunakan, dibuktikan dengan dana bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR) korban bencana alam di Kabupaten Sangihe terdapat kurang lebih Rp2,4 miliar yang tidak digunakan sehingga diusulkan kembali 2008, dampaknya pencapaian target dan tujuan fungsional kegiatan perbaikan rumah yang dilaksanakan secara gotong royong oleh masyarakat korban bencana alam yang seharusnya mereka telah melaksanakan perbaikan rumah dan menempatinya pada 2007 lalu tidak tercapai, 2) Kurangnya membina hubungan yang baik dan harmonis pejabat Dinkesos dengan Depsos. Hal ini dipengaruhi oleh penempatan pejabat yang tidak sesuai, yang seharusnya penempatan pejabat menganut prinsip the right man on the righ job. Terkait dengan hal tersebut terdapat 2 hal yang mungkin lupa diperhatikan oleh pejabat Dinkesos Provinsi Sulut ialah membina hubungan secara organik fungsional dan hubungan mekanik emosional dengan Depsos pusat. Karena secara fungsional Dinkesos adalah sebagai perpanjangan tangan Depsos pusat dalam melaksanakan Prokesos di Sulut. Selain itu sebagian besar pejabat pada Dinkesos secara emosional mempunyai latarbelakang profesi yang sama yaitu lahir dalam arti diterima sebagai PNS, dibesarkan, dilatih/didik melalui berbagai pelatihan tehnis fungsional dan berkarier pada Depsos sebelum pelaksanaan otonomi daerah. Kedua kekuatan ini bila dipadukan maka akan terbangun sinergitas yang kuat antara Dinkesos Sulut dan Depsos pusat, sedangkan faktor yang terakhir ke, 3) pelaksanaan Prokesos tidak sesuai dengan prinsip, metode dan pendekatan profesi pekerjaan sosial. Faktor inilah yang paling dominan pengaruhnya terkait dengan pemotongan anggaran yang dilaksanakan oleh Depsos. Karena prinsip, metode dan pendekatan profesi pekerjaan sosial merupakan harga mati yang selalu diharapkan dan diingatkan oleh pejabat Depsos bila melaksanakan pembinaan/moneva bahkan pengawasan fungsional yang tidak boleh terabaikan. Penerapan prinsip dalam praktek pekerjaan sosial difokuskan pada 4 bidang nilai yang mendasarinya: 1) kepercayaan terhadap keunikan dan keterikatan martabat individu (human dignity), 2) kepercayaan pada hak menentukan nasib sendiri dari klien (self termination), 3) kepercayaan pada azas kesempatan yang sama dari klien (equal opportunity), 4) kepercayaan pada asas tanggung jawab sosial (social responsibility). Metode pekerjaan sosial berkaitan dengan cara penanganan PMKS melalui langkah-langkah tepat sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku diawali dengan pendataan, seleksi dan motivasi, assessment, bimbingan sosial keterampilan, yang dilanjutkan dengan pemberian bantuan sosial dan langkah terakhir monitoring dan evaluasi (Moneva). Sedangkan pendekatan profesi pekerjaan sosial terkait dengan kemampuan manajerial dan teknis pimpinan untuk menentukan apakah Prokesos dilaksanakan secara individu (case work), kelompok (group work) dan masyarakat (community organization) yang dilandasi dengan keahlian (exspertise), tanggung jawab (responsibility), dan kesejawatan (corporateness) di mana ketiga ciri tersebut merupakan bingkai besar dari sebuah profesi pekerjaan sosial yang harus dilaksanakan. Memang menjadi sebuah dilematis sebagai pekerja sosial profesional bahwa anggapan sebagian orang dalam memberikan bantuan sosial kepada PMKS bersifat charity semata yaitu perbuatan yang dilaksanakan atas dasar kemurahan hati untuk menolong sesama manusia. Pandangan charity ini dipelopori oleh kaum agamawan yang mempunyai pendapat bahwa pada hakekatnya keinginan untuk menolong, membantu meringankan penderitaan sesama manusia telah mendarah daging dalam diri manusia, sifat ini yang dikenal sebagai altruist, berbagai agama mengajarkan kepada pemeluknya untuk berbuat kebajikan sebagai suatu pencerminan keyakinan umatnya, akan tetapi dalam pendekatan profesi pekerjaan sosial tidaklah demikian sasarannya difokuskan untuk mengadakan perubahan perilaku yang dilaksanakan secara berencana, sistematis dan berkesinambungan. Oleh karena itu pendekatan profesi pekerjaan sosial dalam membantu PMKS telah menjadi pendekatan institusional. Pendekatan institusional ialah empowerment. Penggunaan kata empowerment diterjemahkan menjadi pemberdayaan. Menurut Marriam Webster dan oxford English Distionary kata “to empower” mengandung dua arti: 1) To give power or authority to, yang artinya memberi kekuasaan atau kewenangan (atau mendelegasikan otoritas) kepada (pihak lain, 2) To give ability or enable to, yang artinya memampukan (memberi kesanggupan) atau memungkinkan untuk semakin berdaya. Pemberdayaan PMKS adalah upaya meningkatkan harkat dan martabat masyarakat yang lemah yang dalam kondisi tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, keterbelakangan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, dengan kata lain memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian. Kemandirian akan dapat dicapai apabila PMKS melibatkan diri dalam proses yang dilaksanakan melalui power yang dimilikinya. Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi (breakdown) hubungan antara subjek dan objek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subjek atas kemampuan atau power yang dimilki objek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya transfer kekuasaan (flow of power) dari subjek ke objek. Pemberian kuasa, kebebasan dan pengakuan dari subjek ke objek dengan memberinya kesempatan untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumberdaya tersebut. Pada akhirnya kemampuan PMKS untuk dapat mewujudkan harapannya, dengan pemberian pengakuan oleh subjek merupakan bukti bahwa individu tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan demikian profesi pekerjaan sosial bukanlah pekerjaan biasa, tetapi pekerjaan khusus (vocation) yang hanya dimiliki oleh mereka yang mempunyai keahlian (exspertise), tanggung jawab sosial (social responsibility), dan keterampilan (skill) untuk membantu para penyandang masalah kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pemotongan anggaran sebesar Rp11 miliar dana dekonsentrasi tidaklah menjadi alasan menurunnya eksistensi pekerja sosial untuk melaksanakan pelayanan kepada PMKS. Tetapi hal ini setidaknya menjadi pemikiran bagi para otoritas dalam mengambil kebijaksanaan dan keputusan untuk menempatkan dan mengangkat pejabat pada Dinkesos memperhatikan latar belakang profesi pekerja sosial. Pengalaman telah membuktikan bahwa top leader Dinkesos apabila dinahkodai oleh seorang yang berlatarbelakang profesi pekerja sosial berpengaruh besar terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan dan pencapaian target fungsional pelaksanaan prokesos. Dari hasil pengamatan penulis zaman keemasan Dinkesos Sulut dalam kurun waktu 7 (tujuh) tahun terakhir ialah di bawah kepemimpinan Drs Johny Runtu yang berprofesi sebagai pekerja sosial, penilaian ini tidaklah bersifat subjektif semata tetapi berdasarkan data dan fakta bahwa di bawah kempemimpinan beliaulah angka tertinggi anggaran Dana Dekonsentrasi yang dikelola Dinkesos Sulut mencapai kurang lebih Rp70 miliar pada 2003. Di sinilah kepiawaian seorang pekerja sosial membangun dan melaksanakan hubungan yang baik dan harmonis dengan Depsos pusat. Dan Depsos pusat juga menghargai hubungan dengan memberikan dana yang sangat besar jumlahnya. Karena dalam pelaksanaannya Depsos sebagai pemberi dana mengetahui yang tentunya pelaksanaan prokesos akan menggunakan prinsip, metode, dan pendekatan profesi pekerjaan sosial, berbeda dengan pimpinan yang tidak memiliki latar belakang sebagai pekerja sosial pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan, bantuan kepada PMKS mengabaikan pendekatan profesi pekerjaan sosial, memang latarbelakang pendidikan, keahlian, keterampilan dan pengalaman seseorang apapun alasannya sangat mempengaruhi perilaku kepemimpinannya dalam menakhodai sebuah institusi. Oleh karena itu di masa yang akan datang pengakuan eksistensi profesi pekerja sosial akan semakin nyata dengan memberikan kepercayaan kepada birokrat yang berprofesi pekerja sosial atau minimal birokrat yang berlatarbelakangnya dari ilmu sosial yang telah memenuhi syarat yang ditentukan untuk menakhodai lembaga yang namanya Dinas Kesejahteraan Sosial. Semoga demikian.#

* Pemerhati Masalah Kesejahteraan Sosial dan Pekerja Sosial

26 April 2008

Kerja Keras, Belajar Keras

Oleh dr Taufiq Pasiak

ANDA yang rajin menyimak segala lomba nyanyi di televisi akan menemukan fenomena berbeda dari tahun ke tahun. Lomba menyanyi sekelas Akademi Fantasi Indonesia (AFI), Indonesian Idol, Kontes Dangdut Indonesia, Mama Mia, Idola Cilik dan lain-lain, menunjukan kemajuan yang bermakna dari tahun ke tahun. 3 minggu terakhir saya menyaksikan Kontes Dangdut Indonesia (KDI) yang ditayangkan stasiun televisi TPI. Saya menyaksikan KDI ini dengan serius hanya untuk mengamati bagaimana 3 orang juri (Tri Utami, Caroline Zahri dan Chyntia), terutama penyanyi dan pencipta lagu Tri Utami ‘menguliti’ (ini lebih halus dari kata ‘membantai’) setiap kontestan dari segala sudut. Dibandingkan juri Indonesian Idol, juri KDI jauh lebih galak dan seperti tak memiliki perasaan halus ketika mengkritik. Tri Utami, seperti halnya Anang di Indonesian Idol tak segan-segan melontarkan kritik pedas yang memerahkan telinga kontestan, dan sering menimbulkan rasa dongkol tak tertahankan. Seorang peserta Indonesian idol yang dikritik Anang –sehingga tidak lolos ke babak Eliminasi– menantang Anang untuk bertarung nyanyi dengannya. Menurutnya, Anang cuma ‘banya mulu’. “Suara Anang saja pas-pasan,” kata kontestan itu. Begitu Anang, begitu juga Tri Utami. Teman saya marah betul pada Tri Utami. “Terlalu mengada-ada,” katanya. “Menyanyi itu yang penting enak didengar. Tidak usah teori yang muluk-muluk,” lanjut kawan saya itu.
Dalam 3 minggu menyaksikan secara intensif acara itu saya pada akhirnya berpendapat bahwa untuk menjadi besar, dewasa, dan survive, seorang penyanyi tidak cukup bermodalkan suara bagus, tubuh aduhai, dan bibir sensual. Kematangan mental, pengetahuan yang cukup dan kekuatan diri menjadi bagian penting untuk bertahan lama sebagai penyanyi. Kalau memang sekadar untuk mendapatkan duit dan popularitas, maka goyangan seks, suara sensual, dan lirik-lirik lagu yang aneh-aneh, cukup menjadi nilai jual yang laku. Ketika menonton seorang penyanyi dangdut yang bergoyang seperti gaya orang bersetubuh saya bingung dengan diri saya sendiri; apakah saya sedang menonton visualisasi dan simulasi orang bersetubuh, ataukah saya sedang menikmati lagu. Jujur, hati kecil saya menyatakan bahwa tarikan ke arah seksual lebih jauh kuat. Saya tidak dapat menikmati lagu dengan nikmat dan ketentraman. Boleh jadi orang akan mengatakan bahwa saya sendiri yang salah; mengapa melihat goyangannya, bukan mendengar lagunya? Namun, rasanya sulit menyatakan ini sebagai soal persepsi. Karena Anda dan saya pasti akan memiliki penilaian yang sama bahwa yang sedang ditunjukkan itu adalah simulasi persetubuhan. Kalau ada yang melihatnya sebagai gerakan olahraga, maka itu dapat berarti bahwa mungkin olahraga kesenangan yang bersangkutan adalah bersetubuh. Dari segi anatomis tubuh, gerakan-gerakan yang dipertontonkan itu tipikal gerakan perempuan. Goyangan pinggul, disertai gerakan maju mundur, dada membusung, mata menatap dan bibir sensual, adalah tipikal gerakan tubuh perempuan ketika sedang menikmati persetubuhan, atau sedang berupaya memikat orang. Kalau ada lelaki yang melakukan gerakan ini, maka hanya ada 2 kemungkinan; ada gangguan sistem muskuloskletetal (gangguan tulang dan otot) dan lelaki itu banci. Karena ini jelas-jelas bukan gerakan olahraga.
Mengandalkan gerakan tubuh saja dalam soal menyanyi membuat penyanyi berusia pendek, dalam dunia menyanyi. Tidak usah heran kalau kemudian kita temukan orang-orang yang bertahan lama adalah mereka yang telah kebal dengan kritikan, belajar terus menerus dan selalu memperbaiki penampilan mereka secara lebih berkualitas. Untuk menjadi orang besar, entah penyanyi besar, politikus besar, bankir besar, guru besar, pedagang besar, polisi besar, seseorang mesti siap dikritik. Kritik selalu pedas dan pasti tidak enak di telinga. Anda perhatikan; kritik pedas yang disampaikan oleh Tri Utami adalah kritik konstruktif memiliki dasar kuat. Ia memberikan ilmu menyanyi yang diperolehnya bertahun-tahun dalam sebuah kritik yang disampaikan tidak lebih dari 15 menit. Untuk menjadi hebat seseorang harus belajar keras dan giat. Guru saya, seorang peneliti, dosen, penulis terkenal mesti banting tulang puluhan tahun untuk mendapatkan sesuatu yang dirasakannya hari ini. Ia mesti masuk hutan, bertemu binatang buas, jatuh bangun di jurang, rela tidak makan 2 hari, masuk rumah sakit karena gigitan ular, tidak memiliki rumah pribadi sampai usia 50 tahun, naik angkutan umum ke kampus, untuk dapat menguasai berbagai macam ilmu. Kawan baik saya mesti belajar bertahun-tahun, menghilangkan kenikmatan-kenikmatan tertentu, mengeluarkan sejumlah uang, untuk mendapat kemampuan berbahasa Jerman dengan baik. Kawan saya yang lain –kini seorang pedagang grosiran yang berhasil– mesti bertarung dengan kelelahan dan kekurangan makan untuk mendapatkan apa yang dia dapat hari ini. Sebagai pedagang keliling ia mesti masuk keluar kantor dan rumah untuk mendapatkan pembeli, tidak jarang ia mendapatkan sumpah serapah dari tuan rumah. Kalau hari ini ia memiliki toko di berbagai daerah, rumah mentereng, mobil mewah dan penghormatan, maka itu buah dari perjuangan keras yang tak kenal lelah. Ia sudah menerima berbagai kritikan yang sangat pedas untuk memantapkan apa yang dia tekuni. Kawan saya yang lain –kini menjadi birokrat dan pejabat– mesti berjuang, bekerja dan belajar keras untuk mendapatkan apa yang dia dapatkan hari ini. Ia mesti sering pulang malam, dimarahi di depan umum, membuat tugas bertumpuk, tidak mendapatkan promosi jabatan, disuruh sana-sini. Ia pernah merasakan sakit hati yang amat sangat ketika melihat kawannya yang lain, yang diketahuinya tidak memiliki prestasi apa-apa, kurang pengalaman, pendidikan tidak lebih tinggi dari dia, tiba-tiba mendapatkan promosi jabatan yang baik, hanya karena dekat dengan top leader. Untuk mendapatkan apa yang hari ini dia nikmati –sekali waktu– ia mesti melakukan sesuatu yang menurutnya tidak pernah dilakukan, meskipun itu bukan pelanggaran hukum. Ia mesti sedikit membangkang dengan atasannya sendiri.
Anda perhatikan, orang-orang yang berhasil adalah mereka yang bermandi keringat (kadang darah), mengorbankan banyak hal dan belajar dengan sangat giat. Karena itu, untuk maju dan berhasil jangan takut dikritik dan lengah dengan pujian. Kritik adalah bagian dari upaya mendewasakan diri, membuat mentalitas kita lebih kuat dan terasa. Terima kritik dengan lapang dada, latih telinga untuk akrab dengan kritik dan kuatkan pikiran untuk menerima. Terhadap pujian, jangan lengah dan lupa daratan. Untuk menjadi pendekar yang hebat Anda mesti bertarung, ‘turun gunung’ dan adu kekuatan dengan pendekar lain. Anda tidak mungkin jadi pendekar hebat hanya dengan berlatih tanpa pertarungan. Pukulan guru Anda adalah mutiara yang mahal. (#)

25 April 2008

Kepulauan Nanusa: Fenomena Pulau Terluar dan Dilema Merujuk Pasien

Oleh Frans Wiel Lua*

SATU sore di Nanggroe Aceh Darussalam, akhir November 1997.
“Hallo…”, suara dering telepon di rumah dinas kepala kantor Imigrasi Kelas II Lhok Seumawe, Nanggroe Aceh Darussalam. “Hallo… ini dari siapa…?”, jawab Ny. Urendeng-Banera, istri sang kepala kantor. “Mami…., ini dari Mikronesia, dari Liti…”, jawab suara dari seberang. Apa…, Benar ini Liti..?, tanya sang nyonya. “Iyo mami, ini dari Mikronesia, dari pa Liti..” Aksen Manado yang kental dalam logat Miangas dan warna suara yang khas, yang sangat dikenalnya membuat sang nyonya yakin bahwa itu benar anaknya. Sang nyonya langsung pingsan. Haru bercampur bahagia. Belakangan ia tahu bahwa anaknya bidan Litisya Urendeng masih hidup.
Litisya Urendeng adalah seorang bidan PTT yang ditempatkan di Pulau Miangas, Kecamatan Nanusa, di wilayah Kabupaten Kepulauan Talaud, yang bersama dengan rekan sekerjanya Mantri Albert Nusa dan beberapa penduduk Miangas lainnya mengalami naas terdampar di Pulau Chuk, Republik Mikronesia, saat merujuk ibu melahirkan dari Pulau Miangas ke Puskesmas Karatung, ibu kota kecamatan Nanusa.
Bermula dari seorang ibu yang tidak dapat melahirkan karena panggul sempit, pada awal September 1997 dan memerlukan harus dirujuk. Setelah keluarga sepakat untuk dirujuk, mereka berangkat dengan perahu kayu bermotor tempel dan lalu tersesat di Samudera Pasifik, terombang-ambing di tengah gelombang samudera yang ganas selama 72 hari, sebelum sebuah kapal Jepang menyelamatkan mereka. Dalam peristiwa tersebut 10 orang dari 14 orang yang ada dalam perahu tewas, termasuk sang orok.
Cuplikan peristiwa di atas merupakan rekam ulang jejak fenomena Kepulauan Nanusa sebagai gugus pulau-pulau terluar dalam hubungannya dengan dilema merujuk pasien, yang merupakan repsentasi dari banyak peristiwa yang mirip dan dalam urusan yang sama pula. Merujuk pasien !
Betapa tidak, hanya karena urusan merujuk pasien harus bersabung nyawa bahkan harus mati berkubur samudera. Tak tahu rimbanya. Aneh memang! Di saat beberapa tempat merujuk pasien bukan lagi merupakan masalah. Tapi di Kepulauan Nanusa, justru berbanding terbalik, terjadi di tengah-tengah arus informasi, komunikasi dan transportasi global yang semakin canggih.
Kepulauan Nanusa adalah gugus pulau-pulau yang merupakan wilayah pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud yang secara geografis terletak di bagian paling utara NKRI berbatasan langsung dengan negara tetangga Filipina. Tiga dari lima gugusan pulau-pulau terluar yang ada di Provinsi Sulawesi Utara berada di kawasan ini, yaitu Pulau Miangas, Marampit dan Kakorotan. (Perpres No.78/2005). Sebagian besar penduduknya tergolong miskin, sulit diakses akibat berbagai keterbatasan dan sering terjadi bencana, terutama kekurangan pangan (kalau tidak ingin dikatakan sebagai bencana kelaparan) akibat cuaca yang kurang bersahabat sehingga akses transportasi untuk distribusi sembako terhenti.
Kini, satu dasawarsa telah berlalu, suatu rentang waktu yang lumayan panjang untuk mereformasi sebuah masalah sekecil (atau sebesar?) merujuk pasien. Bijaklah kita menoleh ke Kepulauan Nanusa 1997 dalam urusan merujuk pasien dan membandingkannya dengan keadaan terkini. Kalau mau jujur, keadaan Kepulauan Nanusa sekarang berbanding lurus dengan keadaan satu dasawarsa lalu. Masih sama! Persis “pinang dibelah dua”!
Merujuk pasien masih menjadi masalah serius, yang akar masalahnya multi kompleks sehingga membutuhkan pemecahan yang multi komples pula. Di Kepulauan Nanusa merujuk pasien bukan hanya sekadar masalah kesehatan. Banyak fakta yang tak dapat disangkal, membuktikan hal tersebut.
Keadaan geografis Kabupaten Kepulauan Talaud (BPS Talaud, 2005) yang terdiri dari pulau-pulau yang saling berjauhan dan sulit dijangkau, terlebih Kepulauan Nanusa, menjadi faktor yang menyulitkan bagi penderita untuk mencari pengobatan ataupun dalam upaya untuk merujuk pasien. Apalagi jarak dengan RS Mala di ibu kota kabupaten sebagai pusat rujukan dianggap sangat jauh.
Untuk merujuk pasien dari Pulau Miangas yang berjarak 129 mil laut dari Melongguane, ibu kota kabupaten (BPS, Talaud, 2005), ke RS Mala memerlukan waktu tempuh setidaknya tiga hari dengan menggunakan kapal perintis, karena harus singgah berlabuh di setiap pelabuhan perintis. Green, dikutip Sarmudianta, 2002, menyatakan bahwa jarak dan waktu tempuh merupakan faktor pemungkin untuk menghambat upaya mencari pengobatan (health seeking), ketaatan berobat (compiliance) dan sistem rujukan (referal system).
Ketiadaan biaya merupakan masalah utama keluarga dalam upaya merujuk pasien. Suatu kenyataan empiris adalah saat pihak Puskesmas mengambil keputusan untuk merujuk pasien, selalu terbentur dengan masalah biaya dari pihak keluarga. Apalagi dalam keadaan emergensi pasien harus dirujuk saat itu, maka “biaya” bagi keluarga ibarat bom waktu yang siap meledak saat itu.
Hal ini dapat dipahami mengingat kondisi ekonomi tersebut di atas, membuat keluarga tidak siap dari segi finansial. Kartu miskin yang diharapkan bisa menjadi dewa penolong, tidak dapat berbuat banyak, karena kartu miskin ditujukan untuk membiayai pengobatan dan perawatan, bukan untuk transportasi. Akumulasi jarak dan waktu tempuh akan membuat biaya transportasi menjadi lebih tinggi. (Sarmudianta, 2002)
Pembiayaan kesehatan yang dialokasikan Pemkab Talaud dalam APBD Talaud 2006, sebesar 3,78 persen dari total 321 miliar (Profil Kesehatan Talaud, 2006) dengan pembiayaan perkapita Rp146.587 sebenarnya sudah sesuai target Millenium Development Goals, Rp. 120.000 per kapita (MDGs, 2005) tapi belum dapat dirasakan meyentuh pelayanan publik sampai ke tingkat merujuk pasien karena masih lebih banyak digunakan untuk membenahi infrastruktur kesehatan.
Kondisi ketiadaan biaya ini lebih menjadi parah bila saat merujuk pasien tidak bertepatan dengan jadwal kapal perintis sehingga harus menggunakan Pusling laut atau perahu motor penduduk, karena keluarga akan diperhadapkan dengan lonjakan biaya yang lebih besar, yaitu biaya untuk BBM. Harga BBM yang sangat tinggi sangat membatasi daya beli keluarga sehingga BBM yang dibeli terbatas pada “yang penting sampai di tempat tujuan” tanpa ada cadangan BBM. Suatu keadaan yang sangat berisiko.
Tragisnya lagi adalah bila saat merujuk pasien, tidak tersedia BBM di toko atau di warung-watung. Penulis dan staf Puskesmas Karatung lainnya bersama keluarga pasien punya pengalaman mendorong-dorong gerobak dari rumah ke rumah penduduk, hanya untuk mengumpulkan satu dua botol minyak tanah untuk keperluan merujuk pasien.
Kebijakan PT Pelni yang melarang penumpang memuat minyak tanah, terlebih bensin, di kapal-kapal perintis, menambah kusutnya benang merah akses BBM, karena nyaris membuat akses penduduk Kepulauan Nanusa terhadap BBM menjadi tidak ada sama sekali, dalam kondisi ini, mencari BBM di Kepulauan Nanusa ibarat “mencari jarum di antara tumpukan jerami“. Kalaupun ada harganya selangit!
Kesulitan terhadap akses transportsi menjadi masalah tersendiri dalam hal merujuk pasien. Pada kenyataannya akses transportasi ke Kepulauan Nanusa hanya dapat diakses melalui laut yang dilayani oleh kapal-kapal perintis dan sebuah kapal Pelni dan berlangsung hanya sekali dalam 2 minggu (BPS Talaud, 2005)
Dalam konteks akses transportasi, merujuk pasien dari Pulau Miangas bak “menunggu takdir” karena harus menunggu jadwal kapal perintis tanpa adanya pilihan lain. Lebih tragis bila kapal perintis tersebut tidak dapat berlabuh atau merapat di dermaga Miangas karena cuaca yang tidak bersahabat, maka merujuk pasien bagaikan “pungguk merindukan bulan”. Tidak bisa sama sekali! Jauh panggang dari api!
Keadaan cuaca yang lebih banyak kurang bersahabat, merupakan penyulit yang nyaris tidak dapat diintervensi karena harus berhadapan dengan kekuatan alam, merupakan kendala lain dalam upaya merujuk pasien. Seorang penjabat provinsi yang pernah berkunjung ke Kepulauan Nanusa, entah benar atau tidak, pernah mengatakan bahwa 10 bulan dari 12 bulan dalam setahun, di Kepulauan Nanusa adalah musim kencang.
Uniknya, dalam keadaan seperti ini, bila merujuk pasien merupakan suatu pilihan absolut dan harus menggunakan pusling laut, keputusan merujuk pasien sangat tergantung pada sang “engineer” yang seakan jiwa dan raganya sudah menyatu dengan laut dan cuaca. Walaupun pasien sudah siap dirujuk, bila sang engineer mengatakan “torang blum boleh brangkat skarang dari jam bagini angin ini mo batiop kancang” maka petugas kesehatan dan keluarga tidak berdaya dan langsung percaya. Suatu keadaan yang kurang bisa diterima akal sehat, tapi lebih banyak benarnya daripada salahnya.
Kurang memadainya sumber daya kesehatan yang ada di Kepulauan Nanusa, seyogyanya merupakan masalah prioritas dalam upaya pembangunan di sektor kesehatan di Kabupaten Kepulauan Talaud, khususnya di Kepulauan Nanusa, karena selain kurangnya kuantitas dan kualitas juga karena faktor kemudahan intervensi, dengan asumsi bahwa sektor kesehatan adalah domain otonomi daerah (UU No.22/1999) yang dapat dengan mudah diintervensi langsung oleh daerah melalui dinas kesehatan dan badan kepegawaian daerah.
Dari sisi kuantitas, rasio sumber daya kesehatan berbanding jumlah penduduk (SK Menkes No.1202, 2003), di Kepulauan Nanusa sudah dapat dikatakan memadai, terutama rasio dokter umum dan perawat. Kepulauan Nanusa yang berpenduduk 4.206 jiwa (BPS Talaud 2005) idealnya dilayani 1-2 orang dokter umum dan 5 orang perawat, dan sudah sesuai dengan keadaan di lapangan saat ini. Rasio bidan yang idealnya dilayani oleh 4 orang bidan baru terealisasi 2 orang yang semuanya terkonsentrasi di Puskesmas induk.
Di sisi lain dengan kondisi geografis kepulauan, rasio tersebut dirasa masih kurang dan penyebarannya pun belum merata, karena kebanyakan sumber daya kesehatan tersebut terkonsentrasi di Puskesmas Induk sebagai pemegang program. Keadaan ini terlihat dari adanya Puskesmas pembantu yang belum ditempati sumber daya kesehatan. Bahkan poliklinik bersalin desa yang seharusnya ditempati oleh seorang bidan desa, semuanya masih kosong. Dari sisi program, rasio sumber daya kesehatan juga masih terkesan kurang, ini terbukti dengan adanya petugas Puskesmas yang masih memegang program secara rangkap.
Ke depan, keadaan rasio sumber daya kesehatan ini akan terasa lebih stagnan mengingat banyak sumber daya kesehatan yang tidak mau ditugaskan di kawasan ini, karena menganggap kawasan ini sebagai tempat pembuangan dan hanya pantas ditempati oleh pegawai-pegawai yang bermasalah, sebagai hukuman, sehingga dengan berbagai macam cara berusaha untuk menghindari penempatan tugas di wilayah ini (sama dengan Nusa Kambangan?).
Kurangnya pelatihan-pelatihan tentang manajemen kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup pasien (survival), membuat kualitas sumber daya kesehatan di Kepulauan Nanusa masih terkesan kurang memadai. Bila kendala-kendala seperti yang disebutkan di atas, diimbangi dengan kecakapan sumber daya kesehatan, terutama perawat dan bidan, dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup (survival) pasien, maka setidaknya rujukan pasien dapat ditunda sampai kapal perintis datang atau menunggu kesiapan keluarga pasien.
Apapun alasan dan latar belakangnya, entah disadari atau tidak, kenyataan empiris sudah terjadi. Merujuk pasien dari Kepulauan Nanusa ibarat “makan buah simalakama”. Sangat dilematis! Tidak dirujuk, pasien mati! Dirujuk, keluarga dan petugas kesehatan babak belur! Untuk itu perlu kajian mendasar, agar dapat diperoleh desain kebijakan yang cocok dengan tipikal kawasan ini, sehingga kendala-kendala dalam merujuk pasien dapat dieliminasi atau setidaknya direduksi.
Mengingat kondisi geografis dan alam tipikal kawasan Nanusa yag kurang bersahabat, yang tidak dapat diintervensi karena harus berhadapan dengan kekuatan alam, ditambah dengan kendala-kendala lain, maka peningkatan kualitas sumber daya kesehatan merupakan pilihan pertama. Pelatihan-pelatihan tentang penatalaksanaan kegawatdaruratan dan cara mempertahankan hidup pasien merupakan sebuah “conditio sine quo none”. Sebuah keharusan!
Memotong jarak rujukan, merupakan alternatif yang lain agar mempercepat pasien rujukan sampai di pusat rujukan. Jarak 129 mil laut dengan waktu tempuh 3 hari dari Pulau Miangas ke RS Mala, adalah terlalu jauh untuk pasien rujukan. Maka rencana Pemkab Talaud untuk membangun sebuah rumah sakit di wilayah Karakelang Utara, menjadi alternatif jitu untuk memotong jarak rujukan dari Kepulauan Nanusa.
Alternatif lain adalah pengadaan depot BBM di Kepulauan Nanusa. Hal ini bukan semata untuk kebutuhan merujuk pasien, tapi juga bersentuhan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (daily living needs) seperti kebutuhan BBM untuk nelayan dan urusan memasak di dapur. Dengan depot BBM, maka akses terhadap BBM yang nyaris tidak ada dapat diatasi.
Meningkatkan akses transportasi, merupakan pilihan lain yang terasa lebih sulit direalisasikan karena tidak hanya melibatkan Pemkab Talaud, namun bukan berarti tidak bisa sama sekali. Pengalaman bahwa sudah pernah ada pengusaha pelayaran lokal yang membuka akses pelayaran ke kawasan Nanusa (KM Alkasa dan KM Raflesia), bisa menjadi pertimbangan Pemkab Talaud untuk melobi pengusaha lainnya, membuka akses pelayaran ke Kepulauan Nanusa, sehingga masyarakat punya alternatif lain selain kapal perintis, termasuk alternatif dalam merujuk pasien.
Diharapkan dengan peningkatan kualitas sumber daya kesehatan, memotong jarak rujukan, pengadaan depot BBM dan perluasan akses transportasi dapat mengeliminasi atau setidaknya dapat mereduksi Kendala-kendala yang ditemukan dalam urusan merujuk pasien di kawasan ini, sehingga ke depan nanti tidak ada lagi bidan Litisya dan Mantri Albert yang lain, yang harus bersabung nyawa di belantara samudra, hanya untuk urusan merujuk pasien. Dan yang paling penting adalah merujuk pasien dari Kepulauan Nanusa tidak lagi menjadi masalah. Semoga!#

*Perawat Puskesmas Karatung Kabupaten Kepulauan Talaud. Sementara mengikuti pendidikan S1 Epidemiologi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Program Beasiswa Desentralisasi Kesehatan Asian Development Bank (DHS-ADB)

Memperkosa Alam, Jangan!

(Sebuah Refleksi untuk Membangun Kesejatian Hidup dengan Memberdayakan Lingkungan)

Oleh Verly Tielung MSC*

TUGAS kita bukanlah belajar bagaimana untuk menakhodai pesawat antariksa bumi. Tugas kita bukanlah belajar bagaimana –sebagaimana Teilhard de Chardin akan melakukannya— untuk “menangkap pasak kemudi dunia”. Tugas kita adalah meninggalkan fantasi-fantasi kemahakuasaan kita. Dengan kata lain, kita harus berhenti mencoba mengemudikan…… Kita harus belajar lagi bahwa kitalah yang menjadi bagian dan bukan bumi milik kita (G. Tyler Miller, Jr., Replenish the Earth: A Primer in Human Ecology, 1972).
Ungkapan ini menggaris-bawahi posisi kita, manusia dalam keseluruhan alam semesta. Manusia bukanlah penguasa atas alam semesta. Ia hanyalah salah satu anggota komunitas alam. Bahkan, secara radikal, ia tidak berbeda dengan segumpal tanah di tepian danau atau sebutir pasir di pinggiran laut atau seekor monyet yang bergelantungan di sebongkah pohon. Ia sejajar dengan segala unsur yang ada di alam semesta. Ia, seperti diungkapkan Henryk Skolimowski, hanyalah partikel di antara sejumlah partikel. Ia adalah bagian/mitra kerja alam semesta.
EKOLOGI-DANGKAL
Gagasan-gagasan ini tentu kontras dengan segala indoktrinasi yang sudah ada di kepala kita. Yang ada di kepala kita, manusia adalah ciptaan yang paling mulia. Manusia adalah pusat dari segala sesuatu. Manusia berhak menguasai dan menaklukkan alam. Manusia adalah yang paling terhormat dan paling bernilai. Tidak mungkin manusia sejajar dengan sebongkah kayu atau seekor monyet. Sebongkah kayu, seekor monyet dan semua unsur yang ada di alam ada untuk memuaskan kepentingan manusia. Sejauh tidak memuaskan manusia, alam lingkungan tidaklah memiliki arti apa-apa. Pandangan inilah yang menjadi asal-muasal mengapa manusia dengan seenaknya merusak, memperkosa dan mengeksploitasi alam. Pandangan inilah yang menjadi sebab segala krisis ekologis dewasa ini. Pandangan ini disebut ekologi dangkal (antroposentrisme).
Ekologi-dangkal berakar dari tiga penafsiran keliru tentang posisi manusia dan alam lingkungan. Pertama, menurut teologi Kristen manusia diciptakan secitra dengan Allah dan diberi mandat untuk menguasai dan menaklukkan alam. Kedua, menurut tradisi Aristotelian manusia menempati urutan teratas rantai ciptaan, sehingga dianggap lebih superior dari ciptaan lain dan berhak untuk menggunakan semua makhluk lain untuk kepentingannya. Ketiga, manusia lebih tinggi dan terhormat karena menjadi satu-satunya makhluk yang bebas dan rasional (bdk. Pemikiran Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant).
EKOLOGI DALAM
Berbeda dengan ekologi-dangkal yang menganggap hanya manusia sajalah yang memiliki nilai, ekologi-dalam memandang semua unsur yang ada dalam alam semesta memiliki nilai dan harus dihargai. Para penganut ekologi-dalam menemukan bahwa ternyata spesies-spesies yang dianggap tidak rasional (oleh karena itu dianggap kurang bernilai) seperti bakteri, cacing dan planton justru memiliki nilai ekologis yang paling besar. Tanpa mereka seluruh ekosistem akan runtuh. Sebaliknya, spesies-spesies yang dianggap bernilai seperti ikan paus, dolpin (dan mungkin juga manusia), justru memiliki nilai ekologis yang paling kecil. Kehadiran mereka justru menjadi ancaman bagi keseluruhan alam semesta. Dari penemuan ini sebuah simpul kecil bisa ditarik: setiap unsur dalam alam semesta, baik yang rasional maupun yang tidak rasional, memiliki hak untuk diperlakukan secara terhormat. Membabat hutan secara serakah, misalnya, bukan saja tidak menghormati pohon pada dirinya, tetapi juga memperkosa hak jutaan spesies yang berlindung di sekitar pohon itu.
HIDUP SEJATI: TIDAK SERAKAH
Menarik untuk disinggung di sini cara hidup radikal para pertapa Jainisme. Karena rasa sayang mereka terhadap alam, mereka rela hidup telanjang (tanpa baju dan sandal), vegetarian radikal (hanya makan buah yang sudah terluka atau telah digigit binatang), buang air kecil/besar di alam bebas, berbahasa sopan termasuk pada tetumbuhan dan pada binatang dan berusaha sedapat mungkin untuk tidak menyakiti alam. Kita tentu tidak harus seradikal itu. Bersikap tidak serakah bisa menjadi satu ungkapan nyata sikap hormat dan sayang kita pada alam. Tidak serakah berarti kehendak untuk tidak selalu memiliki lebih dari yang dimiliki. Tidak serakah berarti mampu berpuasa, mengendalikan diri dan berani mengatakan cukup. Tidak serakah berarti mereduksi keegoisan kita sambil menghargai hak lingkungan untuk tumbuh dan berkembang. Tidak serakah berarti memberdayakan, merawat, melindungi dan bersahabat dengan lingkungan, bukan memperkosanya. Tidak serakah berarti hidup yang sejati.#

*Mahasiswa Filsafat Seminari Pineleng, anggota Kelompok Studi Mitra Skolastikat

24 April 2008

Polemik Perempuan Dalam Media

Oleh Musdalifah Dachrud*

PERTARUNGAN wacana terbesar dalam membahas fenomena perempuan di media massa adalah antara ‘ideologi’ dengan ‘objektivitas’. Wacana didominasi patriarkhisme sehingga objektivitas yang muncul justru menjadi subjektivitas karena ideologi patriarki bercokol disana. Informasi dan pengetahuan tentang perempuan yang dikonstruk oleh kalangan laki-laki justru menjadikan perempuan kurang berpeluang untuk mengkonstruksikan dirinya sendiri. Tak pelak lagi, media massa yang mengakselerasi penyebaran ideologi tersebut mendominasi ruang publik perempuan. Perempuan sebagai pengelola media, sebagai isi pesan media dan sebagai konsumen media, dengan kata lain sebagai objek sekaligus subjek media atas hegemoni laki-laki. Menjadi masalah, apakah prosentase perempuan yang besar di media massa menjamin kuatnya perlawanan terhadap ketimpangan isi pesan media? Maka jawabannya, belum menjamin. Perempuan sebagai konsumen media tentunya melihat sosok sejenisnya dalam media. Perempuan pasti mempunyai gambaran tersendiri mengenai dirinya. Gambaran diri setiap orang tentu akan berbeda, tergantung background dan sudut pandang. Seorang pemuka agama, pakar politik, pakar ekonomi, aktivis LSM, ibu rumah tangga atau masyarakat biasa lainnya akan berbeda satu sama lain dalam melihat citra perempuan dalam media. Namun bagaimana secara spesifik perempuan memandang pencitraan dirinya dalam media? Apakah ia mampu melihat ketimpangan? Atau bahkan menganggap ketimpangan itu tidak ada? Realita menjadi jawabannya. Banyak media tentang perempuan, dikelola perempuan, dikonsumsi perempuan, justru melegitimasi nilai-nilai keterpurukan perempuan pada domain domestik dan marjinal semata-mata. Perempuan diidentikkan dengan “konsumsi” sedangkan laki-laki sebagai “produksi”. Laki-laki memiliki jam kerja delapan jam sehari, sedangkan aktivitas perempuan yang sehari penuh sepanjang siang dan malam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mulai dari memasak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak, tidak disebut sebagai bekerja, melainkan sebagai ibu rumah tangga. Stereotype laki-laki mencari uang perempuan menghabiskannya. Maka muncul pertanyaan, siapa yang memberi label semacam itu? Apakah kemarjinalan itu muncul dari luar atau dari perempuan sendiri seperti halnya identifikasi keidentikan konsumsi dan produksi? Pertanyaan terabaikan, ketimpangan ini secara terus menerus direproduksi oleh media massa sehingga semakin mengkonstruk suatu nilai budaya yang patriarkhi.
Implikasi dari sifat media massa yang dapat mengembangbiakkan pesan dan kesan secara terus menerus melaju tinggi menjadi suatu gejala hanyutnya masyarakat dalam mekanisme teknologi media komunikasi, sehingga tuntutan untuk selalu mengejar (semisal kejar tayang), tuntutan komersil dan nilai jual mengakibatkan kedangkalan makna pesan dan pengaburan makna kesan yang disampaikan. Simak bagaimana sang Ratu Ngebor atau Ratu Gergaji diekploitasi pada area erotisnya – pinggul, pantat dan dada – bukan karena kapasitas suara yang semestinya sebagai seorang penyanyi. Perjalanan karier mulus dengan pernik-pernik rekayasa konflik untuk lebih dan tetap mengeksiskannya sekaligus menjadi ladang devisa bagi media dan penghasilan bagi orang-orang di sekelilingnya yang mengkonstruk sang ratu yang katanya “lugu”. Sementara itu, tuntutan media massa untuk menjaring sebanyak-banyaknya pemirsa atau pembaca, mengakibatkan dipilihnya jalan pintas yang mengabaikan nilai moral, etis, politik, sosial, kultural, dan spiritual. Dasar tuntutan ini menggiring media massa ke arah kecenderungan merayakan segala sesuatu yang bersifat remeh-temeh, ringan (banal), kesia-siaan, sesuatu yang tidak penting dan tidak perlu diketahui oleh khalayak umum semisal infotainment. Perempuan diposisikan sebagai konsumsi dan konsumer media yang memberi banyak aset. Tak terhitung jumlah acara TV bak kereta api dari chanel satu ke chanel lainnya,lembar demi lembar koran, tabloid atau majalah yang bermuatan mengungkit sisi hidup yang tidak perlu diketahui orang lain dan tidak sedikit mengungkap aib. Penonton yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga dan para gadis atau remaja putri diperdaya dan dininabobokkan dengan berita seputar gonjang-ganjing rumah tangga orang hanya karena ia bergelar “selebritis”. Padahal di balik itu tidak ada makna apapun –simak info pacaran, kawin, skandal, cerai dan sebagainya kecuali karena berita itu menyangkut orang terkenal. Inilah pendangkalan, pengaburan, perendahan, peringanan (banality) makna komunikasi dan informasi.
Dalam posisi ini, kembali perempuan menjadi idola. Tidak lengkap dan menarik suatu acara atau berita tanpa menampilkan daya tarik perempuan. Simak iklan media cetak atau media visual. Apa hubungan antara mie pedas dengan pinggul seorang perempuan, apa pula hubungan antara handphone mungil dengan lekuk tubuh perempuan, dan apa hubungan minuman dengan getaran dada Ratu Gergaji dan goyangan pantat Ratu ngebor, kalau tidak untuk mengeksposenya sebagai komoditas iklan murahan. Perkembangan perekonomian menjadikan perempuan sebagai ujung tombak promosi, pemanis cover majalah, penarik pembeli pastagigi, deodorant, minuman, makanan, kompor, alat elektronik, mobil, rokok, rumah bahkan traktor pun menggunakan perempuan sebagai daya tarik jual.
Ada perempuan mengkomersilkan traktor berpose dengan pusar dan payudara setengah kelihatan, paha pun demikian. Ketika mengendarai mobil ia tidak tahu menjalankannya dan mogok. Dengan bermodal kaki, paha yang setengah terbuka sambil membusungkan dada yang menantang, maka serombongan laki-laki beramai-ramai membantunya. Bagaimana tanggapan laki-laki dengan iklan ini? Konon terjadi tembak menembak memperebutkan perempuan tersebut. Ini salah satu iklan celana jeans.
Lebih miris lagi, perempuan menjadi objek sensualitas semata. Tidak hanya dilibatkan pada aspek fisik dari pendengaran dan penglihatan tetapi juga non fisik dalam rasa dan imajinasi. Lihat bagaimana perempuan ‘mengiklankan’ atau ‘diiklankan’ dirinya sebagai “dokter cinta”, “dewi fortuna”, “dewi asmara” hanya dengan mengontak nomor tertentu; atau bagaimana perempuan di media cetak dengan sangat vulgar ‘menjajakan’ atau ‘dijajakan’ dengan iklan-iklan menggiurkan, “ingin merem-melek hubungi…”, tak hanya bisikannya sentuhannya pun dahsyat,… coba saja”, dan banyak lagi iklan lainnya yang memposisikan perempuan secara ovened welcome sebagai ‘barang dagangan’.
Perempuan ditampilkan secara fisik semata sehingga keindahan yang dikonstruk media tersebut menjadi pilihan media tersebut. Fungsi tubuh pun bergeser dari fungsi organis, biologis, reproduktif, menjadi fungsi ekonomi politik sebagai “simbol”.
Jika kaum laki-laki diasosiasikan dengan profesi, kecerdasan, keberanian dan kegagahan dalam media massa, maka bagian perempuan yang ditonjolkan adalah rambut, bibir, mata, hidung, pipi, leher, buah dada, pusar, perut, pinggul, betis, kaki, sebagai kekuatan pesona – rangsangan, hasrat, citra- tertentu. Unsur-unsur inilah yang kerap dianggap sebagai komoditas yang laku. Sosok non biologis, seperti daya intelektual, ketrampilan, keahlian dan profesionalitas jarang sekali dan amat minim ditampilkan.
Dulu Kartini memperjuangkan harkat perempuan karena keterpurukan, terpasung, dimarjinalkan, dibiarkan bodoh, maka sekarang tidak hanya laki-laki, perempuan sendiri sebagai penikmat usaha Kartini kebablasan dengan euphoria kebebasan tanpa nilai dan moral. Dengan alasan membela harkat dan hak perempuan untuk berkarya, eksploitasi tubuh pun dibiarkan bahkan mendapat sokongan. Tak ayal, para “pembela perempuan” pun bicara dengan alasan hak azasi, karya seni, cari nafkah, tambahan biaya hidup, atau alasan mengangkat wong cilik yang tidak lebih tameng wong licik yang menjadikan perempuan lebih terpuruk. Apakah karena eksploitasi tersebut mendatangkan keuntungan finansial yang tidak hanya pada perempuan sendiri tetapi juga orang-orang atau media di sekelilingnya yang ketiban durian jatuh untuk devisa yang menggiurkan sehingga konspirasi semakin kukuh? Image pun berkembang dari sebuah konspirasi bahwa perempuan dimarjinalkan sekaligus memarjinalkan diri, perempuan menjadi subjek sekaligus objek keterpurukan, untung-rugi samar dibedakan dalam konteks mengorbankan diri atau dikorbankan oleh media massa. Inilah zona lingkaran pergulatan eksistensi perempuan. Kasihan perjuangan Kartini. Mungkin karena karya Kartini hanya menjadi pajangan tanpa dibaca sehingga makna mengangkat harkat dan martabat perempuan belum dipahami secara mendalam. Slogan “habislah gelap terbitlah terang “ seolah realita kehidupan perempuan menjawab lain dalam “kegelapan yang tak pernah habis dalam terang”.#

*Magister Psikologi UGM Yogyakarta, Dosen STAIN Manado

23 April 2008

‘’Revolusi MICE’’

(WOC-MKPD. OK)

Oleh Johny Weol

VISIT INDONESIA 2008, CELEBRATING 100 YEARS OF NATIONAL AWAKENING
‘’The Sound Of Invitation is Rising, waiting for you to come…..It’s time for you to visit Indonesia’’ (Luna Maya: Ikon VIY 2008).
Pariwisata kini luas maknanya, wisatawan bukan hanya mereka yang ingin bersantai melepas lelah fisik dan mental, lihat hutan, berenang di laut tapi mereka yang datang dengan tas kerja dan USB, berseminar atau menghadiri rapat. Inilah tantangan buat industri MICE dalam Visit Indonesia Year 2008. Salah satu yang inklusif dari MICE (Meeting Incentives Conventions dan Exhibition adalah kegiatan ‘’mempertemukan orang’’ baik rumah tangga, pertemuan marga, suku, rapat RT, kelurahan, kota, konvensi nasional atau internasional dan sebagainya termasuk WOC dan MKPD Manado. MICE menawarkan beragam skala seperti pameran nasional dan global, juga bisa disisipkan kegiatan seminar. Jangan lupa, pameran bisa membuka pintu bisnis dan menghubungkan produsen domestik dan buyers dari luar negeri, lalu devisa bertambah, menurut ASPERAPI (Asosiasi Perusahaan Pameran Indonesia) transaksi pada 2006 mencapai Rp712.206.000.082 (USD 74.969.053) dari sekitar 323 kegiatan pameran itu menyumbang 0,09 dari total ekspor Indonesia.
Ada keterkaitan antara industri pameran dan MICE terhadap industri lainnya. Industri pameran terkait ke belakang (backward linkage) jadi bila dia goyah akan terganggu juga industri bisnis kontraktor pameran, industri penyewaan bangunan (venue hall), jasa pengiriman barang pameran, akomodasi hotel, travel, entertainment, dan media promosi.
Bisnis pameran jelas punya multiplier effect pada perekonomian. Tercatat devisa 2 persen terhadap total cadangan devisa negara (USD 51,9 miliar). Total wisatawan asing masuk Indonesia 268.862 orang dimana 252.280 orang pengunjung pameran dan 16.592 peserta pameran. Ini berarti sama dengan 7,49 persen dari total jumlah wisatawan asing yang 3,59 juta (2006). Tenaga kerja terserap 145.000 orang dan ini mengurangi pengangguran 1,32 persen.
Diprediksi 2008 industri MICE bakal meningkat 10 persen dan yang paling ‘’heboh’’ adalah dua unsur MICE, yakni M (Meeting) dan C (Conventions) pada 2009. Terlihat WOC dan Pilpres memproduksi rapat-rapat dari sekian Parpol plus ribuan peserta WOC plus MKPD. Diperkirakan ada ± 80 meetings, belum lagi asosiasi-asosiasi dalam negeri, pesta demokrasi, plus M + C tadi meledak pada 2009 dan jadilah ‘’Revolusi Besar MICE’’. Jangan heran bila koalisi WOC + MKPD plus VIY 2008 bisa menciptakan ‘’The Second Bali’’.
Revolusi MICE ini luar biasa, menurut sebuah survey setiap peserta punya kemampuan USD 250 per hari. Di Jerman pada 1999-2000 diselenggarakan 1.150.000 kegiatan MICE + 63 juta peserta dimana setiap hari peserta membelanjakan 20.160 juta Euro atau Rp272,16 triliun, jadi setahun Rp136,08 triliun. Andai kata ‘’Revolusi MICE’’ Indonesia 10 persen saja dari jumlah di Jerman berarti masuk Rp13,608 triliun. Pajak kita pada APBN 2007 pada angka Rp14,870 triliun. WOC plus MKPD jelas-jelas bisa mendongkrak APBD Manado/Sulut. Ketua INCCA mengatakan MICE adalah tombak perekonomian negara maju (Indonesia Congress and Convention Association) maka dilatihlah lebih 1.000 orang praktisi di bidang MICE. Dan perlu ada terobosan-terobosan tentu termasuk WOC-MKPD yang terpenting juga mengurangi niche show, no creativity is lack of everything ini this work.
Di Indonesia terdapat sekolah/pendidikan MICE program D-III pariwisata FISIP-UI, konsentrasi pilihan: hotel, travel dan MICE.
VIY 2008 dipromosikan dengan target 7 juta turis asing walau promosinya cuma sebesar Rp150 miliar. Memang benar tak perlu Indonesia secara keseluruhan dipromosikan, cukup Danau Toba atau Taman Laut Bunaken Manado.
Kita memang harus sadar akan pentingnya Brand Image untuk meningkatkan devisa melalui pariwisata di Indonesia apalagi melalui laut atau dari dasar samudra. Indonesia memiliki 590 jenis terumbu karang tersebar di area seluas 60 ribu kilometer persegi, jadilah Indonesia negara terumbu karang terluas di dunia. Dan lebih untung lagi itu terletak di segitiga terumbu karang dunia yang bermula dari Filipina, Malaysia, Indonesia. Hidup ribuan jenis ikan yang kemudian menjadi tumpuan ekonomi dari 120 juta penduduk sekitar terumbu tersebut. Perputaran uangnya mencapai 2,3 miliar dolar AS per tahun. Tentu juga dengan produk pendukung wisata bahari, semisal: diving, snorkeling, fishing, jet ski dan lain-lain.
Revolusi WOC dimulai, WOC 2009 sukses, MKPD 2010 sukses. Maka tercapailah impian kita semua, mari sukseskan MICE di Sulut.#

*Ketua Grup VIY 1990-1991/Instruktur MECS/Ketua Forum Buku Sulut; Pengamat WOC-MKPD

Politik Hari Bumi

Oleh Martina A Langi

SEJAK gagasan Earth Day dicetuskan 46 tahun yang lalu, momentum hari Bumi lantas “diperingati” setiap tahun. Salah satu hal yang patut dicatat melalui proses penetapan itu adalah peran politikus yang tidak kecil. Kita mengenal nama-nama seperti Senator Gaylord Nelson (founder of Earth Day), Emil Salim, hingga Al Gore, yang terakhir ini berhasil “menyentak” perhatian dunia lewat film dokumenter An Inconvenient Truth yang beberapa kali mendapat penghargaan internasional bergengsi. Bagi kita di Indonesia, hari Bumi sebaiknya dimaknai sebagai suatu peringatan (mental reminder) yang melandasi kebersamaan yang tulus serta sungguh-sungguh dari berbagai pihak (pemerintah, warga masyarakat, pengusaha, dan pelaku pendidikan formal/informal) untuk membuat perubahan positif dalam cara memandang alam ini, bumi (: rumah) kita satu-satunya.
Waktu sendiri adalah suatu sumberdaya, karenanya penundaaan merupakan suatu pemborosan. Sadar atau tidak, kualitas hidup manusia tak dapat dilepaskan dari kualitas lingkungan. Dunia kini semakin memahaminya, baik lewat peningkatan wawasan dan pemahaman maupun lewat musibah yang terkait dengan salah penanganan terhadap alam (mismanagement). Peningkatan pemahaman tersebut tengah terjadi secara global yang pada gilirannya membuahkan kebijakan, konvensi, peraturan, hingga hukum yang sejatinya mengatur pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih arif dan efektif. Efektif berarti sesuai kebutuhan (bukan keinginan) serta merata; dan arif berarti sustainable atau punya efek keberlanjutan yang aman sepanjang mungkin.
Kita yang berada di daerah ini, tidak dapat berbuat lain. Political will sangatlah vital dan seharusnya justru menjadi kekuatan untuk buying time guna membuat perubahan yang berarti, bukankah ini adalah “kepentingan umum di atas kepentingan golongan atau pribadi” ? Berkaca pada negara lain, pemimpin politik yang menarik hati rakyat (yang kritis) adalah mereka yang bereputasi handal terhadap lingkungan, paling tidak mereka yang tulus dalam kepeduliannya. Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas menyiratkan harapan tersebut.
Political will sesungguhnya sanggup membuat perubahan. Perubahan paradigma lingkungan dari yang bersifat seremonial dan retorika (: romantisme lingkungan) menjadi adopsi gaya hidup baru yang lebih peka dan arif terhadap lingkungan sesungguhnya merupakan pilihan yang cerdas. Tidak saja kita masih bisa memilih tetapi juga kita masih mampu untuk berbuat sesuatu yang bermakna terhadap “rumah” kita bersama ini. Rumah yang porak-poranda memang dapat diperbaiki, namun ingat bahwa masa depan dibeli dengan masa sekarang. Semakin besar kerusakan yang kita buat, maka semakin mahal pula kita harus membayarnya. Pertanyaannya adalah: akan mampukah kita?
Hari Bumi adalah hari Bumi, namun panggilan kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang menggambarkan citra-Nya adalah dasar yang kuat untuk membuktikan kepedulian serta tanggung jawab kita sebagai individu dan masyarakat luas terhadap sesama ciptaan yang lain. Perubahan nyata hanya dapat terjadi apabila pembaharuan budi tidak hanya menjadi sekadar slogan belaka. Banyak selamat apabila kita masih bisa menikmati bumi yang nyaman, mari berpolitik untuk menyelamatkan bumi kita tercinta ini. Siapa bilang politik itu kotor?#

*Ketua P.S. Kehutanan Faperta Unsrat dan Ketua Badan Konsultan AMDAL Unsrat

21 April 2008

Tantangan dan Peluang HKI di Perguruan Tinggi

Oleh Jolly LR Turangan*

PELAKU usaha cenderung lebih maju beberapa langkah dalam hal kesadaran akan HKI sementara bagi investor / peneliti baik yang ada di lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) maupun yang ada di Perguruan Tinggi kurang memiliki kesadaran yang cukup akan perlunya pemanfaatan system HKI untuk melindungi karya-karya intelektualnya yang memiliki nilai ekonomis. Seringkali karya intelektual peneliti dibajak orang tanpa hak, padahal yang bersangkutan belum mempatenkan atau mendaftarkannya ke Dirjen HKI, akibatnya yang bersangkutan kehilangan keuntungan ekonomis dari kerja kerasnya selama ini.
Perguruan Tinggi (PT) dan Litbang merupakan gudang inovasi dan invensi yang perlu disadarkan, diberdayakan dan dikembangkan. Hal ini relevan dengan isu BHP bagi perguruan tinggi di Indonesia termasuk bagi UNSRAT dan UNIMA bahkan Politeknik Negeri Manado. Apabila pemanfaatan system HKI berjalan baik maka perguruan tinggi akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar bagi kesejahteraan pegawainya dari pemberian lisensi, kerjasama dan usaha mandiri yang terjadi dan terbentuk dari adanya HKI. Krisis keuangan yang jamak terjadi di perguruan tinggi tidak akan memusingkan Rektor atau Direkturnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan pegawai tanpa memberi beban biaya tambahan bagi mahasiswa sebagaimana selama ini dirasakan.
Kebijakan KI berdasarkan hal ini maka mendesak diadakannya Kebijakan Kekayaan Intelektual (KI) oleh Perguruan Tinggi dan lembaga Litbang secara baik agar kekayaan intelektual yang timbul dari penelitian dan karya akademis lainnya yang dihasilkan peneliti/pegawai/ mahasiswa dapat termanfaatkan secara maksimal oleh yang bersangkutan bahkan memfasilitasi terjadinya kerjasama dengan industri untuk pemanfaatannya bagi masyarakat luas. Tujuan kebijakan KI untuk mengubah paradigma lama PT yang hanya dijadikan sarana pendidikan dan pengajaran semata. Apa yang diketahui dosen beberapa tahun bahkan belasan tahun yang lalu tetap diajarkan kepada mahasiswa saat ini, sehingga tidak ada nilai tambah apalagi keuntungan ekonomis yang bisa diperoleh dari proses ini. Sekarang ini PT idealnya mendedikasikan dirinya untuk pengajaran, penelitian dan penyebaran/pemanfaatan pengetahuan baru yang dihasilkan (sebaiknya setelah memperoleh perlindungan hukum).
Seharusnya kebijakan kekayaan intelektual ditujukan pertama, untuk mengidentifikasi dan mengupayakan perlindungan KI yang dihasilkan oleh lembaga tersebut; kedua, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan yang ketiga menjamin bahwa berbagai invensi dan karya cipta yang dihasilkan oleh staf dan mahasiswa dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan umum.
Saat ini umumnya kebijakan KI ditujukan untuk:
· menciptakan lingkungan yang mendorong dan mempercepat penyebaran invensi, karya cipta dan pengetahuan baru yang dihasilkan oleh peneliti untuk memaksimalkan keuntungan masyarakat umum;
· melindungi hak-hak tradisional para mahasiswa/karya ilmiah mereka;
· menjamin bahwa hasil pengkomersilan KI terkait, didistribusikan secara adil dan wajar sesuai dengan kontribusi inventor dan lembaga serta pihak terkait lainnya;
· menjamin bahwa KI dan produk/hasil penelitian terkait hanya dapat diperoleh masyarakat melalui suatu proses oleh teknologi yang efisien dan tidak rumit;
· mempromosikan, memelihara, mendorong dan membantu kelangsungan berbgai kegiatan penelitian ilmiah;
· mempersiapkan / menyusun ketentuan tentang hak dan kewajiban perguruan tinggi atau Lembaga Litbang, para kreator KI, dan sponsor yang terkait dengan invensi dan berbagai karya intelektual yang dihasilkan di lembaga tersebut;
· mendorong dan membantu terlaksananya pengalihan KI kepada masyarakat melalui komersialisasi dan lisensi yang menguntungkan bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang dan anggota-anggotanya;
· menjamin tersedianya hukum dan peraturan yang memadai bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang dalam kaitannya dengan pelaksanaan berbagai penelitian;
· memastikan bahwa dalam rangka pelesensian HKI terkait, setiap lembaga menyadari adanya perbedaan system KI sesuai dengan negara tempat kontrak lisensi dilakukan.
Kerahasiaan, Publikasi dan Tesis
Penting untuk diperhatikan Perguruan Tiggi dalam hubungannya dengan pihak ketiga (sponsor) agar inovasi yang dihasilkan tidak menjadi mubazir karena hilangnya sifat kebaruannya disebabkan publikasi yang tidak terencana baik, sangat disarankan agar:
· PT dapat menyetujui harapan pihak sponsor untuk dapat melihat publikasi sebelum diterbitkan dan untuk menunda pelaksanaan publikasi tersebut untuk jangka waktu tertentu tidak lebih dari 6 – 12 bulan.
· Pihak sponsor dapat diijinkan, dalam keadaan / situasi tertentu untuk merundingkan penundaan lebih lama dengan PT dengan syarat adanya penjelasan terinci dan dengan persetujuan staf peneliti terkait.
· PT tidak diperkenankan mengizinkan pihak sponsor menunda publikasi untuk waktu tidak terbatas.
· PT perlu mempertimbangkan klausul tentang pengalihan semua hak cipta mahasiswa kepada PT, dan memastikan adanya informasi yang cukup dari mahasiswa pada PT; selanjutnya dapat mengeksploitasi hasil penelitian mahasiswa Pasca Sarjana dan peneliti tamu atau peneliti pendamping yang terkait.
· Kecuali dalam hal-hal tertentu, sepengetahuan dan persetujuan para pihak terkait, tidak ada penundaan penyampaian tesis. PT dapat menyetujui dengan persetujuan penuh mahasiswa dan dapat ditinjau kembali setiap tahun. Adanya pembatasan akses public atas hasil penelitian untuk waktu tidak lebih dari 6 – 12 bulan, agar memungkinkan mahasiswa dan PT memperoleh keuntungan atas pengkomersialisasian hasil penelitian yang disponsori tersebut.
· Peralatan yang dibeli sehubungan dengan kontrak penelitian didanai oleh perusahaan biasanya menjadi milik PT.
Memperhatikan semuanya itu, perlu adanya perjanjian kerjasama yang jelas, terinci dan lugas antara pihak mahasiswa, PT dan sponsor agar tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari. Menyadari potensi perguruan tinggi di bidang HKI atau inovasi di bidang teknologi dan lain sebagainya, maka perlu kiranya perhatian kita semua untuk lebih memperhatikan masalah HKI di perguruan tinggi.
Peluang Perguruan Tinggi
Peluang perguruan tinggi pada era Intellectual Property Based Economy antara lain:
· mengakuisisi sumber daya financial (SDF) dari industri / pasar tanpa harus memiliki / menjalankan bisnis berupa kerjasama riset (kompetensi) dan transfer HKI (hasil riset).
· Mengakuisisi SDF dengan memiliki bisnis tanpa memiliki modal asset fisik atau financial hanya dengan asset HKI.
· Mengakuisisi knowledge/ technology dari pemanfaatan informasi paten/HKI untuk peningkatan kompetensi riset, pengembangan Intellectual Property/Teknologi Intellectual Property yang sudah ada, dan melahirkan riset berorientasi HKI dan pasar.
· Mengakumulasi reputasi (recognition) atas HKI yang dimiliki.
Peluang-peluang tersebut hanya dapat dimanfaatkan PT apabila:
· memiliki kompetensi dan melakukan kegiatan riset yang berorientasi HKI dan pasar;
· Memiliki HKI yang marketable; dan ada pengelolaan terhadap HKI sehingga memberi manfaat yang sustainable kepada institusi.#

*Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Manado

The Dragon Lady and The Iceberg Man

Oleh Reita Farah

DALAM iven hari Kartini 21 April 2008 ini janganlah terjadi kehampaan makna, karena rutinitas perayaannya cenderung begitu-begitu saja dari tahun ke tahun.
Boleh-boleh saja setiap tahun dicari sosok-sosok wanita pekerja keras, yang tidak cengeng berjuang menghadapi kerasnya kehidupan. Atau juga wanita-wanita ‘besi dan baja’ yang eksis di dunia politik dan pemerintahan. Serta wanita yang secara fisiologis ukuran otaknya lebih kecil dari pria, tapi kejeniusan dan ke-brilliant-annya melebihi kaum adam.
Setiap individu tidak boleh terjebak dan terlena dengan masalah emansipasi wanita. Tulisan ini mengajak pria dan wanita terlibat dalam perenungan tentang fitrah manusia. Bagaimanapun ada perbedaan atau tugas masing-masing, yang harus dipikul manusia pria dan manusia wanita di muka bumi ini.
KEJAHATAN DAN KETAKADILAN
Sebelum wanita menjadi besar kepala karena ‘trophy emansipasi’ sudah memahkotai kepala wanita, hendaknya wanita selalu mawas diri bagaimana perlakuan sejarah masa lalu terhadap wanita.
Di zaman purbakala, bangsa-bangsa Yunani purba, Romawi, Jerman, India, Cina dan Arab menganggap istrinya seperti memiliki hamba yang boleh diperjualbelikan. Seorang lelaki membeli istri dari si bapak dan berpindahlah kepada lelaki itu hak-hak si bapak terhadap anak wanitanya. Si suami berhak pula menjualnya kepada orang lain.
Peradaban Romawi menghukumkan kaum wanita adalah hamba sahaya yang mesti tunduk pada kemauan lelaki. Perundang-undangan India purba berisi “Wabah, mati, neraka, racun, ular dan api lebih baik daripada wanita”.
Pada zaman Yunani kuno di Athena, kaum wanita dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan dan dianggap suatu kotoran dari hasil perbuatan setan.
Taurat pun berpendapat: Aku dan hatiku berputar untuk mengetahui dan mencari serta mengharapkan hikmah dan pikiran sehingga dapat kutahu bahwa jahat itu adalah bodoh dan bodoh sombong adalah gila, dan aku dapatkan bahwa yang lebih pahit dari mati adalah wanita, yang dianggap sebagai perangkap, hatinya sebagai jaring dan kedua tangannya sebagai belenggu (The Old Testamen, Pengkhotbah 7:25-26).
Penulis Denmark, Weith Knudsen merangkum pendapat orang-orang Katolik, tulisnya: Dalam abad-abad pertengahan, perhatian terhadap kaum wanita Eropa amatlah terbatas, disebabkan aliran mazhab Katolik yang menganggap kaum wanita sebagai makhluk kelas dua (Bukunya berjudul ‘Feminism, terjemahan Arthur Chater, hal 200).
Di Semenanjung Arabia, kaum wanita menjadi cemoohan masyarakat Arab, sehingga kelahiran seorang anak wanita adalah memalukan. Yang terjadi kemudian membunuh anak-anak wanita mereka hidup-hidup.
Pada 586 M, suatu pertemuan untuk membahas masalah-masalah kaum wanita telah diadakan di Perancis. Dengan bahasan; pantaskah wanita dianggap seorang manusia atau tidak? Dan keputusannya: wanita adalah manusia yang diciptakan untuk kepentingan lelaki.
Di Inggris, Henry VIII melarang wanita Inggris membaca Kitab Suci dan sampai 1850 M wanita tidak dianggap sebagai warga negara. Hingga 1882 wanita tidak mempunyai hak-hak perseorangan dan tidak berhak memiliki sesuatu (property misalnya).
Pada abad pertengahan, di Universitas Cambridge, para mahasiswa wanita tidak diberi hak bergaul dalam kelompok mahasiswa (seperti: dewan mahasiswa/senat, kelompok debat, kelompok ilmiah Phi - Beta dan lain sebagainya). Selain itu tidak termasuk anggota alumni bila telah lulus.
Universitas Oxford pun baru mengeluarkan pemberian hak persamaan di antara siswa lelaki dan wanita pada 26 Juni 1964.
Betapa suatu perjalanan panjang dalam peradaban manusia! Sungguh proses evolusi emansipasi wanita itu berjalan sangat lambat!
DAMPAK EMANSIPASI
Saat ini masalah emansipasi dan kesetaraan gender sudah sukses diperjuangkan. Masalahnya sekarang ini banyak kerancuan pandangan tentang kedudukan wanita.
Cara pandang Barat selalu menjadi patokan, yang banyak dipakai sebagai pemikiran modern. Di mana gaya hidup masyarakat modern yang condong ke arah sekuler, individualis dan materialis serta hedonis. Ditambah pula pernyataan eksistensi diri dari pemberdayaan wanita lebih cenderung ke arah employability.
Maka wanita bersikeras harus bekerja, walau beberapa terjebak pada sekulerisme dan individualisme. Lalu karena kecenderungan materialisme-lah sehingga terseret pada gaya hidup hedonisme.
Jangan lupa, di Barat, yang dikatakan sebagai pembebasan wanita hanya menghasilkan beban ganda di pundak wanita.
Wanita dituntut dan bangga menjadi ‘superwoman’. Karena bisa memberi dua jalur kontribusi (kontribusi berarti membantu melahirkan suatu situasi, peristiwa atau kondisi, Dictionary of Contemporary English, Longman, hal 244), yaitu pendapatan materi dan pengaturan rumah tangga.
Lalu bagaimana dengan kaum pria yang selalu egois, merasa sudah menjadi pahlawan bila nafkah keluarga telah terpenuhi. Masih maukah para suami itu berepot ria mengurusi tetek bengek rumah tangga?
Masalah emansipasi dan kesetaraan gender ini menjadi durian runtuh buat pria. Dan akhirnya malah menjadi bumerang bagi wanita.
Yaitu para pria masa kini banyak yang menuntut, salah satu kepatutan seorang wanita dijadikan istri karena ia seorang yang mandiri. Tapi yang dituntut dan ditekankan, mandiri secara finansial baik hasil keringat dari bekerja atau warisan keluarga.
Bahkan ada pria tertentu yang mensyaratkan, bila wanita tersebut tidak bekerja/berkarir, tidak patut dijadikan istri.
Iceberg Man, how high you standing there! Sungguh bodoh atau ketidaktahuan para pria itu, tentang dua potensi yang dianugerahkan Tuhan YME terhadap kaum adam. Yaitu potensi berupa anugerah natural dan potensi yang diusahakan.
Bersifat anugerah natural, adalah karakter laki-laki yang rasional, memiliki pertimbangan dan pandangan yang jauh ke depan. Memiliki kekuatan jiwa yang relatif stabil, yang membedakan dengan kaum perempuan yang umumnya lebih dominan perasaan dan emosinya, dan cenderung kurang matang pertimbangan.
Sedangkan potensi yang bisa diolah atau diusahakan dari individu pribadi lelaki yakni laki-laki yang menjadi tulang punggung dalam hal penghidupan. Dialah yang bertanggung jawab mencari nafkah, bertanggung jawab melindungi dan mengayomi keluarga dan menjaga sepenuhnya dari berbagai mara bahaya yang akan menghancurkannya.
Bukankah ada anggapan ‘seorang lelaki diciptakan dalam keadaan sabar teguh menanggung sakit, sedangkan perempuan diciptakan hanya untuk meratap dan menangis’.
Dengan keadaan wanita yang lemah itu kenapa pula masih dituntut menjadi ‘superwoman’ oleh kebanyakan kaum pria. Bila seorang pria tergolong manusia yang baik, sudah pasti ia memperlakukan wanita dengan baik. Ini sesuai dengan tolok ukur dari Nabi Muhammad SAW, yaitu “Yang terbaik di antara manusia adalah orang yang baik terhadap wanita”.
Sebenarnya arti luas mandiri ialah bukan melulu keberhasilan ekonomi atau bertumpuk materi. Seorang wanita mandiri mengetahui kapasitas dan potensi dirinya. Ia sadar tempat di mana dan sadar cara bagaimana berpartisipasi. Diwujudkan dengan membimbing objek/prasarana, menyalurkan ambisi/cita-cita, dan keterampilan yang dipraktikkan.
Dan berkata soal kontributor, seringkali yang terpikir: wanita kontributor adalah wanita yang bekerja di kantor dengan sebuah jabatan dan berpenghasilan layak.
Tidak terpikirkan kah seorang guru informal yang nyaris tanpa honor, yang memberi bimbingan di Tempat Pengkajian Al Qur’an atau di Sekolah Minggu? Perhatikan juga pekerja LSM yang tidak digaji/volunteer, petani yang bekerja di terik matahari, dan wanita pembina rumah tangga (PRT dan ibu RT).
Sangat dipahami sekali bila wanita bekerja karena faktor ekonomi. Yang penting wanita bekerja karena mampu secara praktis dan intelektual.
Bukankah semua pekerjaan dapat dianggap ibadah, jika dilakukan dengan niat suci dan mencari ridho Tuhan YME. Ibu rumah tangga yang selalu mengganti popok anaknya, PRT yang mengepel lantai dapur atau manajer papan atas di perusahaan bonafide, semua pekerjaan itu sesuatu yang bernilai. Nilai tinggi itu berpotensi sebagai ibadah yang akan diberi pahala di hari akhir nanti.
Perlu menjadi perhatian kaum pria sesudah ini tentang pemahaman emansipasi, kesetaraan gender dan kemandirian wanita adalah jangan yang berujung pada eksploitasi materi demi keuntungan dan keringanan para pria sendiri.
Hendaknya menjadi pelajaran bagi para pria dari contoh yang sudah ada, soal perceraian banyak selebriti wanita di negeri ini. Di mana income mereka sangat tinggi, yang membuat gaya hidup yang dimiliki lebih baik dari kebanyakan orang.
Namun toh kecukupan dan kelebihan materi itu tidak menjamin kebahagiaan dan kelanggengan rumah tangga. Di mana kelemahan dan keletihan emosi seorang wanita akhirnya menjadi pemicu kata cerai dari seorang istri. Yaitu istri yang pendapatan ekonominya jauh lebih tinggi dari si suami.
Satu hal lagi, pendapatan atau harta seorang wanita hanyalah sedekah secara hukum agama, bila diberikan pada rumah tangganya. Sedekah itu berkriteria atas dasar kerelaan dan kemampuan si pemberi.
Seorang pria tidak tahu diri bila menuntut atau menargetkan sekian jumlah dari isterinya. Dan sangat jahat bila menghendaki sebagai nafkah rumah tangga. Karena nafkah sifatnya kewajiban/keharusan.
Isu kesetaraan gender dan emansipasi tentu sudah basi untuk wanita tipe Hillary Rodham Clinton. Dulu yang menjadi obsesi ialah kaum wanita bisa sejajar dengan pria. Tapi kini ambisi telah mengantarkan ego untuk: melawan-mengungguli-mengalahkan pria.
Para wanita modern yang diberi nasib dan kedudukan yang memungkinkan untuk meraih apa saja yang diinginkan, harus hati-hati menyalurkan powernya dan mengelola egonya.
Dragon lady, be careful with your fire!
Bila untuk sekadar menang-menangan antara kemampuan pria dan wanita, lupakan saja!
Suatu target/kedudukan bersikeras diraih oleh wanita kan sebenarnya hanya untuk sarana saja. Banyak cita-cita mulia dan proyek kemanusiaan yang antri menunggu untuk dijalankan.
Wanita seharusnya waspada, gengsi dan kehormatan suatu jabatan adalah nomor sekian dari prioritas hidup. Yang penting yakni tersalurnya cita-cita untuk diberi kesempatan berkontribusi pada lingkungan. Serta diberinya kepercayaan oleh anggota komunitas, untuk mengolah program peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Hari Kartini ini merupakan moment yang tepat, untuk menelaah dampak emansipasi wanita terhadap ego pria dan ego wanita.
Sejatinya bila kembali ke fitrahnya, akan timbul sadar diri tentang porsi masing-masing.
Hakikatnya, status manusia tidak terlalu diperuncing/dipermasalahkan, apakah harus pria/wanita yang memegang ujung tombak. Yang penting keselarasan satu sama lain, keikhlasan mengakui kelemahan dan kelebihan masing-masing. Baik pria maupun wanita, saling mengakui keberadaan diri tapi tidak terlalu men‘dewa’kan atau men’dewi’kan salah satu pihak.
Berikut ini untaian kalimat hasil karya penulis sendiri.
The dragon lady always be carefully with her fire
And the iceberg man not always so high standing there
Then they can sitting together
Love to each other
Living in harmony-happily ever after……
(what a romantic and wonderful life).#

19 April 2008

Ujian Negara

Oleh Yong Ohoitimur MSC

BEBERAPA hari lagi, 22-24 April 2008, akan diselenggarakan Ujian Negara (UN) bagi para siswa-siswi SMA, MA, dan SMK secara nasional. Sebenarnya UN sudah menjadi seremoni yang biasa saja, karena telah menjadi tradisi pendidikan di negeri ini. Sudah berbagai pendapat kritis dikemukakan untuk mengubah tradisi tersebut, tetapi seperti dikatakan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, menanggapi perdebatan tentang UN tahun 2007 yang lalu, “UN masih tetap baik. Bila ada, hanya masalah kecil saja.”
Pemerintah tentu saja harus mempertahankan dan menilai positif eksistensi dan penyelenggaraan UN. Namun, terutama sesudah penyelenggaraan UN tahun 2006 dan 2007, berbagai praktek buruk dimunculkan ke permukaan hampir di seluruh negeri ini. Pertama, bocornya soal ujian dan jawaban ujian nasional ini terjadi di beberapa kota di Indonesia. Entah bagaimana cara para siswa mendapatkan bocoran itu. Ada yang mendapatkannya dari SMS, diberitahu teman, atau mungkin membeli soal ujian. Kedua, praktrek nyontek yang cukup menyeluruh, dan sudah dianggap biasa saja di sekolah-sekolah. Ada siswa yang benar-benar belajar keras dan tidak mau nyontek. Tetapi sebagian lagi mengandalkan praktek tidak jujur itu agar lulus dan memperoleh ijazah. Ketiga, lembaran pekerjaan tidak diisi oleh para siswa, karena mereka memang tidak mampu menjawab soal-soal ujian. Maka gurulah yang membantu mengisi lembaran jawaban yang dibiarkan kosong. Keempat, praktek kecurangan atau manipulasi hasil UN dilakukan di dinas pendidikan. Tahun lalu (2007), tak lama setelah penyelenggaraan UN, Direktur Pusat Penilaian Pendidikan, Burhannudin Tolla, PhD, mengingatkan perlunya sikap waspada terhadap terjadinya praktik kecurangan atau manipulasi hasil UN yang dilakukan secara sistematis serta terorganisir oleh dinas pendidikan, kecamatan, kabupaten atau kota. Pasalnya, berdasarkan hasil riset dengan menggunakan sejumlah alat ukur ilmiah oleh Pusat Penilaian Pendidikan (Puspendik) Departemen Nasional, ditengarai upaya memanipulasi hasil UN. Ia mengatakan, "Kami sudah melakukan riset. Kami menduga sejumlah daerah di kabupaten dan kota sengaja secara sistematis pada pelaksanaan UN tahun lalu melakukannya. Karena itu, dalam pelaksanaan UN tahun ini yang harus diwaspadai penuh adalah upaya kecurangan yang justru dilakukan oleh pihak tertentu yang berada di dinas pendidikan di daerah," ujarnya.
Sebenarnya secara gamblang masalah-masalah seputar penyelenggaraan UN menyampaikan pesan tentang buramnya kultur pendidikan. Pertama, semangat kerja keras dengan ketekunan dan disiplin belajar, belumlah menjadi karaktek belajar di lembaga-lembaga pendidikan kita. Hanya segelintir siswa yang punya karakter belajar itu, dan pula hanya sedikit sekolah yang berupaya menciptakan moral pendidikan yang semestinya. Kedua, praktek kecurangan dan manipulasi sekitar penyelenggaraan dan hasil UN hanyalah serpihan dari roh ketidakjujuran atau kecurangan yang telah menjadi habitus (kebiasaan berperilaku) yang mengakar di negeri ini. Sama seperti praktek korupsi dan kolusi sulit diberantas, demikian pula praktek yang sama dalam lembaga-lembaga pendidikan sulit dihentikan. Banyak dari kita mungkin sama sekali tidak menyadari bahwa praktek kecurangan atau manipulasi yang dilakukan di sekolah merupakan bagian dari proses pembentukan mentalitas dan pandangan hidup yang menganggap biasa segala macam praktek yang tidak jujur dan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Apabila corruption exercise itu terus berlangsung di sekolah-sekolah, maka niscaya korupsi dan segala ketidakjujuran akan terus menjadi karakter kultural negeri ini. Ketiga, kita masih kuat menganut pandangan bahwa lulus ujian dan mendapatkan ijazah adalah segala-galanya. Entah kelulusan itu diperoleh dengan cara yang tidak benar dan tidak baik, sering dianggap bukanlah masalah. Jadi, yang dikejar adalah nilai kelulusan yang setinggi-tingginya. Untuk itu segala cara dihalalkan. Lebih parah lagi, kelulusan dikaitkan dengan gengsi lembaga atau daerah. Ada guru dan pimpinan sekolah yang berpandangan bahwa persentasi kelulusan siswanya mencerminkan keberhasilan sekolahnya. Dan ada pula pejabat di dinas pendidikan yang punya pendirian bahwa persentasi kelulusan menjadi ukuran absolut kualitas pendidikan di daerahnya. Akibatnya, segala daya upaya dilakukan, juga bila perlu melalui kecurangan dan manipulasi, agar siswa sekolah atau daerahnya dapat lulus seratus persen.
Menjelang pelaksanaan UN tahun 2008 ini, baiklah kita mengintrospeksi diri: Apakah tahun ini kita mampu menumbuhkan kultur pendidikan yang bersih dari segala macam kecurangan dan manipulasi? Mampukah kita tidak berkompromi dengan siapa pun yang terbukti tidak jujur dalam penyelenggaraan ujian? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, dan yang lain juga, menentukan kualitas moral pendidikan kita. Persentasi yang tinggi kelulusan UN kiranya tidak menghasilkan kebanggaan yang semu.(#)

18 April 2008

Tantangan dan Peluang HKI di Perguruan Tinggi

Oleh Jolly LR Turangan*

KECENDERUNGAN global akibat kemajuan informasi dan telekomunikasi telah menstimulasi arus globalisasi di bidang industri dan perdagangan dan memicu terciptanya pasar tunggal bersama untuk seluruh dunia. Perkembangan ekonomi modern akibat globalisasi mengarah pada perdagangan berbasis ilmu pengetahuan dan komoditi karya-karya intelektual (knowledge based economy).
Indonesia sebagai bagian dan berada di era perdagangan bebas dunia ini harus menyesuaikan kebijakan hukumnya dan prioritas pembangunannya sesuai perubahan kecenderungan global dengan melakukan langkah-langkah antisipatif yang cerdas. Percepatan pembangunan dan kebijakan yang berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi telah menimbulkan kesadaran tentang pentingnya memiliki aturan hukum yang melindungi dan merangsang peningkatan tercipanya karya-karya intelektual yang bermutu. Lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi merupakan laboratorium penghasil inovasi dan teknologi baru yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dan pemerintah. Produk karya intelektual ini dilindungi dan diatur dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
HKI di negara maju seperti Amerika Serikat, telah memberi kontribusi + 40 persen bagi APBN-nya dan cenderung meningkat pada tahun-tahun mendatang. Ini merupakan cerminan masyarakat dan pemerintah yang cerdas yang menggantungkan pendapatan negaranya pada HKI yang bersifat renewable dan sustainable. Jika dibandingkan dengan Indonesia, pendapatan utama negara masih bergantung pada sektor tambang terutama minyak dan gas yang tidak dapat/sulit diperbaharui, sebagai pilar utama ekonominya. Akibat tingginya harga minyak mentah dunia sampai 100 dolar per barel saat ini turut memicu kenaikan harga barang-barang komoditi masyarakat dan mendorong inflasi. Berdasarkan hal itu sudah seharusnya ketergantungan kita pada migas beralih pada modal intelektual/HKI. Prioritas kebijakan pemerintah saat ini mendesak untuk berpihak pada HKI secara proporsional bersinergi dengan dunia usaha.
Lingkup HKI
HKI atau di dunia dikenal dengan Intelectual Property Rights (IPR) merupakan hak pribadi (private) yang melekat pada seseorang sebagai hasil olah pikir (ide, gagasan, kreatifitas, inovasi dan lain-lain) yang diwujudkan dan memiliki nilai ekonomis.
HKI meliputi 2 (dua) bidang utama yang diatur dalam undang-undang tersendiri, yaitu:
1. Copyright (hak cipta) terkait seni, sastra dan ilmu pengetahuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (revisi).
2. Industrial Property (kekayaan industrial) yang terdiri dari:
a. Paten (penemuan teknologi) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten (revisi)
b. Merek (symbol/nama dagang barang/jasa) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek (revisi)
c. Desain Industri (desain penampilan produk) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri,
d. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Integrated Circuit) UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu,
e. Rahasia Dagang (Informasi Rahasia yang memiliki nilai ekonomi) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang,
f. Perlindungan Varietas Tanaman (PVT)
g. Sumber Daya Genetik/Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Folklor (SDGPTEF).
Khusus Perlindungan Varietas Tanaman dikelola Departemen Pertanian, sedangkan yang lainnya dikelolah Dirjen HKI di bawah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mengenai sumber daya genetik atau pengetahuan tradisional belum diatur secara khusus karena pemerintah sedang membahas RUU tentang SDGPTEF. Ada sebagian kecil diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tantang Hak Cipta, di dalam Pasal 10 memberikan perlindungan terhadap warisan budaya bangsa.
Struktur Hukum HKI di Indonesia dimulai dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1994 mengenai ratifikasi WTO Keppres No. 15 Tahun 1997 tentang ratifikasi Paris Convention, Keppres No. 16 Tahun 1997 tentang ratifikasi Patent Cooperation Treaty (PCT), Keppres No. 17 Tahun 1997 tentang Bern Convention dan Keppres No. 19 Tahun 1997 tentang WIPO Copyright Treaty (WCT) dan secara berurutan lahirlah UU HKI di atas.
Kelengkapan hukum tersebut, sudah cukup memberi rangsangan bagi investor/peneliti dan pelaku usaha untuk mewujudkan ide cemerlangnya dalam bentuk inovasi-inovasi. Pelaku usaha cenderung lebih maju beberapa langkah dalam hal kesadaran akan HKI sementara bagi investor / peneliti baik yang ada di lembaga Penelitian dan Pengembangan (Litbang) maupun yang ada di Perguruan Tinggi kurang memiliki kesadaran yang cukup akan perlunya pemanfaatan system HKI untuk melindungi karya-karya intelektualnya yang memiliki nilai ekonomis. Seringkali karya intelektual peneliti dibajak orang tanpa hak, padahal yang bersangkutan belum mempatenkan atau mendaftarkannya ke Dirjen HKI, akibatnya yang bersangkutan kehilangan keuntungan ekonomis dari kerja kerasnya selama ini.
Perguruan Tinggi (PT) dan Litbang merupakan gudang inovasi dan invensi yang perlu disadarkan, diberdayakan dan dikembangkan. Hal ini relevan dengan isu BHP bagi perguruan tinggi di Indonesia termasuk bagi UNSRAT dan UNIMA bahkan Politeknik Negeri Manado. Apabila pemanfaatan system HKI berjalan baik maka perguruan tinggi akan mendapatkan pemasukan yang sangat besar bagi kesejahteraan pegawainya dari pemberian lisensi, kerjasama dan usaha mandiri yang terjadi dan terbentuk dari adanya HKI. Krisis keuangan yang jamak terjadi di perguruan tinggi tidak akan memusingkan Rektor atau Direkturnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan kesejahteraan pegawai tanpa memberi beban biaya tambahan bagi mahasiswa sebagaimana selama ini dirasakan.
Kebijakan KI berdasarkan hal ini maka mendesak diadakannya Kebijakan Kekayaan Intelektual (KI) oleh Perguruan Tinggi dan lembaga Litbang secara baik agar kekayaan intelektual yang timbul dari penelitian dan karya akademis lainnya yang dihasilkan peneliti/pegawai/ mahasiswa dapat termanfaatkan secara maksimal oleh yang bersangkutan bahkan memfasilitasi terjadinya kerjasama dengan industri untuk pemanfaatannya bagi masyarakat luas. Tujuan kebijakan KI untuk mengubah paradigma lama PT yang hanya dijadikan sarana pendidikan dan pengajaran semata. Apa yang diketahui dosen beberapa tahun bahkan belasan tahun yang lalu tetap diajarkan kepada mahasiswa saat ini, sehingga tidak ada nilai tambah apalagi keuntungan ekonomis yang bisa diperoleh dari proses ini. Sekarang ini PT idealnya mendedikasikan dirinya untuk pengajaran, penelitian dan penyebaran/pemanfaatan pengetahuan baru yang dihasilkan (sebaiknya setelah memperoleh perlindungan hukum).
Seharusnya kebijakan kekayaan intelektual ditujukan pertama, untuk mengidentifikasi dan mengupayakan perlindungan KI yang dihasilkan oleh lembaga tersebut; kedua, meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan yang ketiga menjamin bahwa berbagai invensi dan karya cipta yang dihasilkan oleh staf dan mahasiswa dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan umum.
Saat ini umumnya kebijakan KI ditujukan untuk:
· menciptakan lingkungan yang mendorong dan mempercepat penyebaran invensi, karya cipta dan pengetahuan baru yang dihasilkan oleh peneliti untuk memaksimalkan keuntungan masyarakat umum;
· melindungi hak-hak tradisional para mahasiswa/karya ilmiah mereka;
· menjamin bahwa hasil pengkomersilan KI terkait, didistribusikan secara adil dan wajar sesuai dengan kontribusi inventor dan lembaga serta pihak terkait lainnya;
· menjamin bahwa KI dan produk/hasil penelitian terkait hanya dapat diperoleh masyarakat melalui suatu proses oleh teknologi yang efisien dan tidak rumit;
· mempromosikan, memelihara, mendorong dan membantu kelangsungan berbgai kegiatan penelitian ilmiah;
· mempersiapkan / menyusun ketentuan tentang hak dan kewajiban perguruan tinggi atau Lembaga Litbang, para kreator KI, dan sponsor yang terkait dengan invensi dan berbagai karya intelektual yang dihasilkan di lembaga tersebut;
· mendorong dan membantu terlaksananya pengalihan KI kepada masyarakat melalui komersialisasi dan lisensi yang menguntungkan bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang dan anggota-anggotanya;
· menjamin tersedianya hokum dan peaturan yang memadai bagi perguruan tinggi atau lembaga litbang dalam kaitannya dengan pelaksanaan berbagai penelitian;
· memastikan bahwa dalam rangka pelesensian HKI terkait, setiap lembaga menyadari adanya perbedaan system KI sesuai dengan negara tempat kontrak lisensi dilakukan.
Kerahasiaan, Publikasi dan Tesis
Penting untuk diperhatikan Perguruan Tiggi dalam hubungannya dengan pihak ketiga (sponsor) agar inovasi yang dihasilkan tidak menjadi mubazir karena hilangnya sifat kebaruannya disebabkan publikasi yang tidak terencana baik, sangat disarankan agar:
· PT dapat menyetujui harapan pihak sponsor untuk dapat melihat publikasi sebelum diterbitkan dan untuk menunda pelaksanaan publikasi tersebut untuk jangka waktu tertentu tidak lebih dari 6 – 12 bulan.
· Pihak sponsor dapat diijinkan, dalam keadaan / situasi tertentu untuk merundingkan penundaan lebih lama dengan PT dengan syarat adanya penjelasan terinci dan dengan persetujuan staf peneliti terkait.
· PT tidak diperkenankan mengizinkan pihak sponsor menunda publikasi untuk waktu tidak terbatas.
· PT perlu mempertimbangkan klausul tentang pengalihan semua hak cipta mahasiswa kepada PT, dan memastikan adanya informasi yang cukup dari mahasiswa pada PT; selanjutnya dapat mengeksploitasi hasil penelitian mahasiswa Pasca Sarjana dan peneliti tamu atau peneliti pendamping yang terkait.
· Kecuali dalam hal-hal tertentu, sepengetahuan dan persetujuan para pihak terkait, tidak ada penundaan penyampaian tesis. PT dapat menyetujui dengan persetujuan penuh mahasiswa dan dapat ditinjau kembali setiap tahun. Adanya pembatasan akses public atas hasil penelitian untuk waktu tidak lebih dari 6 – 12 bulan, agar memungkinkan mahasiswa dan PT memperoleh keuntungan atas pengkomersialisasian hasil penelitian yang disponsori tersebut.
· Peralatan yang dibeli sehubungan dengan kontrak penelitian didanai oleh perusahaan biasanya menjadi milik PT.
Memperhatikan semuanya itu, perlu adanya perjanjian kerjasama yang jelas, terinci dan lugas antara pihak mahasiswa, PT dan sponsor agar tidak menjadi masalah hukum di kemudian hari. Menyadari potensi perguruan tinggi di bidang HKI atau inovasi di bidang teknologi dan lain sebagainya, maka perlu kiranya perhatian kita semua untuk lebih memperhatikan masalah HKI di perguruan tinggi.
Peluang Perguruan Tinggi
Peluang perguruan tinggi pada era Intellectual Property Based Economy antara lain:
· mengakuisisi sumber daya financial (SDF) dari industri / pasar tanpa harus memiliki / menjalankan bisnis berupa kerjasama riset (kompetensi) dan transfer HKI (hasil riset).
· Mengakuisisi SDF dengan memiliki bisnis tanpa memiliki modal asset fisik atau financial hanya dengan asset HKI.
· Mengakuisisi knowledge/ technology dari pemanfaatan informasi paten/HKI untuk peningkatan kompetensi riset, pengembangan Intellectual Property/Teknologi Intellectual Property yang sudah ada, dan melahirkan riset berorientasi HKI dan pasar.
· Mengakumulasi reputasi (recognition) atas HKI yang dimiliki.
Peluang-peluang tersebut hanya dapat dimanfaatkan PT apabila:
· memiliki kompetensi dan melakukan kegiatan riset yang berorientasi HKI dan pasar;
· Memiliki HKI yang marketable; dan ada pengelolaan terhadap HKI sehingga memberi manfaat yang sustainable kepada institusi.#

*Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Manado