05 Januari 2008

Demokrasi Indonesia Setelah 10 Tahun

Oleh Audy WMR Wuisang

Pengamat Masalah Sosial Politik

Pengantar

Menjelang akhir 2007, Prof. Alfred Stefan mengeluarkan pujian atas capaian demokrasi di Indonesia. Khususnya mengenai Security Sector Reform atau Reformasi Sektor Keamanan dan menegaskan bahwa, kemungkinan TNI melakukan kudeta di Indonesia sangatlah kecil. Bahkan kemajuan demokratisasi di Indonesia termasuk yang terbaik yang dianalisisnya selama ini (http://klikkliping.blogspot.com/2007/10/reformasi-militer.html). Prof. Stefan adalah salah satu pentolan dalam study demokratisasi dan telah melakukan telaah mendalam, bukan hanya di Indonesia, tetapi bahkan di Amerika Latin, Eropa Timur dan bahkan Asia. Bersama Juan Linz, Guilermo O’Donnel, Schmitter dan banyak sarjana politik lainnya, mereka melakukan research panjang dan bermutu. Mereka melahirkan banyak teori dan buku yang sekarang menumpuk di banyak perpustakaan dunia. Maka, pujian dan kajian Prof. Stefan, seharusnya dan sesungguhnya bukan ucapan “basa-basi” dan pastinya memiliki latar pemikiran yang cukup sahih secara akademis. John Bradford, seorang sarjana politik lainnya, memberi apresiasi yang sama atas capaian Indonesia dalam proses demokratisasi (John Bradford, 2005)

Tetapi, seorang William Liddle (Liddle, 2003), justru menyebutkan bahwa: capaian demokratisasi, termasuk di bidang security sama dengan “jalan di tempat”. Dan seragam dengan Liddle, belakangan yang lebih baru muncul dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia) dalam release 11 Juli 2007 menyebutkan reformasi militer dalam dmeokratisasi “gagal”. Demikian juga release IMPARSIAL 3 Oktober 2007 serta Human Right Watch, rata rata memberi angka dan raport “buruk”. Meski pada dasarnya memberi aksentuasi atau penekanan atas reformasi militer, tetapi gugatan atas kemajuan signifikan dmeokratisasi menjadi landasan kritik mereka. Terutama, karena kebijakan dan perundangan yang menegaskan perubahan dan reformasi sector keamanan berada dalam pergulatan antara Parlemen dan Pemerintah dan belum menemuka titik terang.

Demokratisasi di Indonesia dengan demikian berada pada titik manakah gerangan? Apakah benar bahwa Demokratisasi di Indonesia “jalan di tempat” sekarang ini? Apakah benar, perubahan substansial dan signifikan telah dicapai? Dan setelah 10 tahun demokratisasi di Indonesia, apakah yang telah dicapai? Cukupkah capaian itu dan bagaimana prospek Indonesia kedepan? Pertanyaan pertanyaan di atas membutuhkan kajian mendalam guna memperoleh jawabannya. Tetapi, betapapun perlu dipertegas dan dinalisis, bagaimana sampai perbedaan perspektif menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Artikel ini ingin melihat perbedaan tersebut dalam kilasan dinamika politik di Indonesia sepanjang tahun 2007 dan menghasilkan gambaran lain, yang mencoba realistis dengan konteks dan capaian.

Berawal dari 1998

Keliru bila menyebutkan demokrasi di Indonesia baru dimulai tahun 1998. Karena betapapun, Indonesia pernah menerapkan demokrasi parlementer pada awal kemerdekaan, meskipun hasilnya amburadul. Tetapi, Pemilihan Umum 1955, adalah Pemilu Demokratis dalam sejarah Indonesia yang baru diulangi lagi 44 tahun kemudian dalam Pemilu 1999. Tetapi, demokratisasi yang diawali pada tahun 1998, tepatnya Mei 1998, sangatlah monumental, karena diawali dari tekanan massa (Denny JA, 2000), khususnya massa mahasiswa. Dan lebih bermakna, karena tekanan massa tersebut berhasil menumbangkan regime “untouchable” (Tak tersentuh) Orde Baru dengan figure utamanya Jend (Purn) Soeharto.

Keberhasilan Gerakan Mei 1998 sangat monumental, bahkan boleh disejajarkan dengan runtuhnya Tembok Berlin dalam sejarah Indonesia Kontemporer. Meskipun Gerakan itu tidak menuntaskannya dengan mengenyahkan regime lama secara total, tetapi proses “kocok-ulang” kepemimpinan nasional menyebabkan tuntutan perubahan diapresiasi. Bahkan euphoria kebebasan dan demokrasi sempat menjadi spirit perubahan pada tahap awal, sehingga melahirkan tatanan dan mekanisme politik baru yang sangat demokratis. Presiden Habiebie memerintahkan penghapusan breidel dan memperkenalkan lagi kebebasan Pers. Timor Timur diberi hak referendum dan belakangan memisahkan diri, Paket UU Politik disahkan dan berujung pada Pemilu Demokratis pertama dalam 50 tahun sejarah Indonesia. Bahkan, Presiden Gus Dur mengupayakan demokrasi secara radikal di tubuh militer meski berujung pada kejatuhannya sebagai Presiden. Politik Indonesia sejak 1998 sungguh penuh warna dan penuh kejadian monumental. Adalah keliru untuk menyatakan bahwa demokratisasi di Indonesa “jalan di tempat”. Setidaknya, kebebasan pers sudah dinikmati, meski terkesan mengalami reduksi akhir-akhir ini, tetapi sangat juah dibandingkan pada masa regime authoritarian Orde Baru. Partai Politik juga sudah sangat independent, baik dalam rekruitmen maupun promosi kader. Pemilihan Umum berlangsung sangat demokratis, bahkan dilabeli terdemokratis di Asia dan mendudukkan Indonesia sebagai alah satu Negara Demokratis terbesar: Lihat misalnya table di bawah ini:

Pada tahun 1998, Skor Kebebasan Indonesia adalah 5 dan 6. Agka 5 dan 6 dari skor 7, menunjukkan Indonesia adalah Negara yang “TIDAK DEMOKRATIS”. Skor PR = Political Right atau Hak Politik Indonesia tahun 1997-2000 adalah 5 dari 7, dan masuk kategori Tidak Demokratis. Skor CL = Civil Liberty atau Kebebasan Sipil adalah 6 dari 7, artinya Tidak Demokratis. Dalam table di atas, angka PR dan CL Indonesia sudah menjadi 2 dan 3, dan masuk kategori Demokratis. Bahkan angka tahun 2007 menunjukan perbaikan, yakni skor 2 pada skala 1-7. Dengan demikian, dalam hitungan dan analisis Freedom House yang memberi analisis dan penilaian demokrasi di seluruh dunia, Indonesia sudah masuk kategori Negara Demokratis.

Apa yang menjadi indikatornya? Jika dibaca indicator yang diperkenalkan Freedom House dan literature Ilmu Politik, maka pelaksanaan Pemilihan Umum, Balance of Power atau keseimbangan kekuasaan Eksekutif dan Legislative, Pers yang bebas, akses informasi perlindungan HAM, Rule of Law, Hak Politik warga yang dijamin UU, merupakan indicator utama. Dan, sejak 1998 hingga 2007, relative semua indicator tersebut di atas sudah terpenuhi. Bahkan, jika ditilik lebih jauh dalam konsep Larry Diamond dan Juan Liz, tingkat dukungan masyarakat dan kepercayaan rakyat atas demokrasi harus di atas 70%, dan gerakan anti demokrasi di bawah 10%, juga telah dicapai. Survey yang dilakukan LSI, Baik Lembaga Survey Indonesia maupun Lingkaran Survey Indonesia menunjukkan hal tersebut (data-data LSI soal demokratisasi dilakukan pada 2006 dan 2007). Tingkat dukungan terhadap demokratisasi bergerak pada kisaran 70-75, sementara gerakan anti demokrasi pada kisaran 10-12. Dengan demikian, tidak berlebihan memang, jika disimpulkan bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara Demokratis terbesar (hitungan penduduk) dewasa ini.

Gugatan Itu …..

Tetapi, meskipun begitu, toch gugatan atas demokratisasi dan capaiannya di Indonesia bukanlah sepi. Maklum, bersamaan dengan perbaikan itu, korupsi justru semakin kasar. Sementara penegakan hukum masih tetap layu. Dan, dominasi partai politik dan yang namanya “good governance”, masih tetap barang “aneh”, dan maklum, bila kemudian perubahan pada aras kelembagaan tidak nampak signifikansinya dalam prilaku politik.

Sukses yang dicapai sejak tahun monumental demokrasi Indonesia 1998, selalu disebut sebagai sukses dalam kategori “demokrasi procedural”. Artinya, proses-proses dan kelembagaan demokrasi, memang sudah exist (ada dan hadir) dalam dinamika dan proses politik Indonesia. Tetapi, kualitas demokrasi dan perwakilan, masih belum terwujud dan terbukti dengan “Good Governance” yang masih miskin, penegakan hukum dan penanganan korupsi yang tebang pilih. Dan bahkan, imbasnya di bidang lain, semisal pemulihan ekonomi yang merangkak, dan bahkan prestasi olahraga di kawasan Asia Tenggara yang tetap terus tiarap sejak krisis tahun 1997.

Kajian mengenai kualitas demokrasi, lawan dan berseberangan dengan demokrasi procedural, memang melihat lebih kedalam. Melihat bukan cuma sekedar hadirnya kelembagaan politik (Pemilihan Umum, Partai Politik, DPR atau parlemen yang kuat, dst), tetapi melihat Demokrasi Perwakilan. Melihat bagaimana gender representative, bagaimana memandang apresiasi atas Hak Politik Rakyat, melihat akses masyarakat terhadap kebijakan publik, dan bagaimana kekuasaan dijalankan secara effisien dan effektif. Karena pendekatannya yang lebih pada pendalaman (deepen) demokrasi, maka pendekatan ini sering menuding pendekatan pertama sebagai “tidak memadai”. Pendekatan model ini, memang sering menjadi agenda dan dasar argumentasi kelompok civil society dan akademisi lainnya dalam menggugat pendekatan yang terlampau prosedural. Mesti ada pendalaman, bukan sekedar pada kelembagaan, tetapi bagaimana “filosofi demokrasi” itu sendiri, benar menyentuh lapisan masyarakat. Bukan dengan “tidak langsung” tetapi juga langsung berimplikasi pada interaksi keseharian dan kebutuhan ekspressi politik dan ekonomi masyarakat.

Dalam perspektif demikian, maka sangat mudah dimengerti mengapa pemerintah sangat “bangga” dengan capaian dalam pendekatan “demokrasi procedural”. Karena memang, hal ini memperlihatkan betapa pembangunan politik Indonesia menapaki hasil dan capaian yang menggembirakan. Dan betapa kalangan civil society menghendaki agar peningkatan kualitas demokrasi, menjadi agenda selanjutnya dari pemerintah. Dengan mempertimbangkan dan mengusulkan agar good governance, keterwakilan yang lebih meluas, penanganan dan penegakkan hukum, dan kebijakan public pro masyarakat.

Demokrasi Kita Kini …..

Bagaimana dengan demikian capaian demokratisasi Indonesia setelah 10 tahun? Harus dengan jernih mengatakan, bahwa memang capaian Indonesia setelah 10 tahun termasuk signifikan dan sangat menggembirakan. Mengapa demikian?

Pertama, tidak semua negara yang mengalami demokratisasi sejak tahun 1970-an, yang berhasil mengkonsolidasikan demokrasi. Banyak negara lain yang terjebak dalam kekisruhan politik berkepanjangan, seperti pengalaman banyak negara di Amerika Latin. Beberapa negara, bahkan mundur kembali ke system authoritarian. Indonesia, meski belum mengkonslidasikan demokrasinya, tetapi capaiannya secara procedural sungguh termasuk mencengangkan. Dalam catatan penulis, Indonesia banyak mengikuti alur demokratisasi Spanyol yang menjadi paradigma demokratisasi, darimana study demokratisasi dibangun. Tidak berlebihan, jika Indonesia masuk dalam negara yang mengalami demokratisasi dengan progres dan kemajuan serta capaian yang positif.

Kedua, kemampuan Indonesia melaksanakan 2 kali Pemilihan Umum demokratis membuat Indonesia sanggup melakukan peralihan kekuasaan secara damai di tahun 2004. Dan, sejak 2004, Indonesia telah mampu menyelesaikan tugas transisi demokrasi: Membangun kelembagaan demokrasi (Pemilu dan Parpol) serta kemudian memiliki mekanisme politik yang demokratis melalui Paket UU Politik (UU tahun 1999 dan 2002 dan 2003: Mengenai Parpol, Pemilu dan SUSDUK). Prestasi inilah yang kemudian dicatat dan diapresiasi oleh Freedom House dan kemudian menempatkan Indonesia dalam jajaran Negara Demokratis sejak tahun 2006.

Ketiga, reformasi di sector keamanan (Security Sector Reform), meski menuai banyak kritik, tetapi juga menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Meskipun kemudian mengalami stagnasi (kebuntuan, dalam bahasa Jeffrie Massie – Komisi I DPR RI) sejak Pemerintahan Megawati, namun capaian reformasi sector keamanan termasuk baik. Revisi Dwi Fungsi ABRI, reduksi fungsi Sosial-Politik, ditariknya TNI-POLRI dari DPR/MPR, dan Departemen Pertahanan yang ditangani Menteri Sipil, adalah capaian-capaian yang sangat konstruktif dalam konteks demokratisasi. Bahkan militer Spanyol yang termasuk “soft” terhadap demokrasi, masih sempat melakukan kudeta ketika Spanyol memasuki masa demokratisasi tahun 1975. Sementara militer Indonesia tidak mengalaminya. Adalah benar bahwa reformasi sector ini masih harus dilanjutkan, terutama dalam sector bisnis militer dan peradilan militer serta Komisi Kepolisian Nasional yang masih bermasalah.

Keempat, meskipun partai politik dan DPR RI menerima dan mendapat skor yang jelek dalam soal kepercayaan rakyat:

Bahkan, pasca release MTI yang mengungkap Partai Politik sebagai lembaga terkorup, kepercayaan terhadap PARPOL menukik turun. Tetapi, betapapun, representasi dan penglompokan masyarakat yang rasional dalam konteks kompetisi politik adalah Partai Politik. Dan demokrasi, sulit dibangun tanpa Partai Politik. Hal yang sama dengan DPR RI, meski mengalami tingkat kepercayaan rendah, tetapi fungsinya sebagai penyeimbang memang sangat diperlukan. Dalam konteks politik Indonesia, sejak 1999, Indonesia telah memiliki dan terus membangun Partai Politik dan Parlemen yang lebih baik.

Dengan kelebihan dan kekurangan demokrasi Indonesia setelah 1 tahun, maka harus dicatat, bahwa tiada satupun system yang sempurna dalam dirinya. Interaksi dan keterkaitan langsung dengan bagaimana system itu berjalan dan sedapat mungkin bersignifikansi bagi kehidupan rakyat yang lebih baik, adalah tepenting Masa awal dmeokratisasi, situasi ekonomo dan politik tidaklah membaik. Tetapi, demokrasi memang tidak mengajukan solusi instant, seputar bagaimana ekonomi dan politik disembuhkan dalam waktu 1 malam, atau bahkan 1-2-3 tahun. Demokrasi membutuhkan waktu, kesabaran, keuletan dan kebutuhan untuk selalu disesuaikan agar demokrasi tidak bertumbuh anakhronisme (kekacauan karena tidak sesuai tuntutan jaman)

Dinamika Politik 2007

10 tahun demokrasi Indonesia, dan kebutuhan akan kesabaran dan kontekstualisasi, membawa Evaluasi kita untuk melihat apa yang menonjol untuk dicatat dari tahun 207?

Pertama, kekisruhan antar lembaga Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yustisia dan terkahir antara BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dengan MA. Keksiruhan ini mewarnai tahun 2007, baik soal kewenangan dan batas kewenangan, maupun seputar ide dan usul untuk menata kembali semua lembaga tersebut. Bahkan, pertentangan antara KY dan MA dan pertengahan hingga akhir tahun MA dengan BPK, merefleksikan betapa masih butuh waktu bagi Indonesia untuk menemukan format dan formula penegakan hukum yang penad dan terlebih efektif dan efisien. Masyarakat Indonesia masih menunggu dengan harap cemas, bagaimana konflik dan pertentangan antar lembaga tersebut diselesaikan di Gedung Parlemen. Tetapi, konflik tersebut merefleksikan kisruh yang dalam, bukan hanya soal professionalism, tetapi juga attitude terhadap kekuasaan.

Kedua, Revisi paket UU Politik (UU Partai Politik, UU Pemilihan Umum, UU SUSDUK dan UU Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden). Seharusnya, Parlemen Indonesia memberi ruang dan waktu yang lebih bagi pembahasan Paket UU Politik ini, terutama karena butuh waktu panjang menyiapkan dan melaksanakan Pemilihan Umum. Toch, menjelang akhir tahun, hanya UU Partai Politik yang sanggup diselesaikan, sementara UU lain masih menunggu masa sidang awal tahun 2008. Pertikaian antara Partai Besar dan Kecil menyeruak kepermukaan. Baik persoalan Electoral Treshold, Syarat memasuki Pemilihan Umum, Daerah Pemilihan, Sistem Pemilihan Umum, dan soal tehnis lainnya menandai perdebatan soal ini. Ruang public politik hangar bingar dengan adu argumentasi di ruang parlemen yang terdengar nyaring bahkan hingga keluar degung parlemen. Bahkan Partai Politik sempat terpolarisasi dalam Koalisi GOLKAR-PDIP melawan Koalisi 8 Partai. Tetapi, seperti biasanya, koalisi berumur singkat ini hanya berkorelasi dengan kepentingan sesaat. Polarisasi sejenis dengan ide dan isu lain pasi akan mengemuka dalam waktu dekat. Terlebih, karena masih ada beberapa UU Politik yang masih di meja pembahasan.

Ketiga, pelaksanaan PILKADA – selama 5 tahun ini, Indonesia sudah, akan dan sedang mengalami kompetisi atau Pemilihan Umum untuk level eksekutif. Pelaksanan PILKADA Indonesia, bahkan masih lebih demokratis dibandingkan dengan kompetisi politik di USA sekalipun. Tetapi, jangan dulu bertanya soal kualitas, karena USA sekalipun butuh 200 tahun untuk menemukan formula hebatnya dewasa ini. Semua hiruk pikuk, kelemahan, kecurangan, tehnik, atau apapun hasilnya, lengkap dengan konflik antar pendukung, adalah hal yang mewarnai pelaksnaan PILKADA di Indonesia selama tahun 2007. PILKADA yang berlangsung di semua daerah, menampilkan wajah yang hampir sama, tingkat kesiapan yang kurang, pemilih yang hanya berkisar 70-80%, atau tingkat GOLPUT yang tinggi, money politik, konflik antar pendukung, dan pertikaian di Pengadilan. Semua proses tersebut sangat wajar dan mudah diprediksi bagi pelaksanaa PILKADA yang masih “bayi” di Indonesia. Tetapi, keberanian memasuki proses itu, sungguh sebuah prestasi politik luar biasa bagi Indonesia. Persoalan tehnis dan kekurangsiapan adalah bagian dari proses yan akan berubah seiring dengan semakin dewasanya Indonesia melaksanakan PILKADA. Karena itu, PILKADA akan merupakan salah satu investasi politik jangka panjang bagi Indonesia, yang sepanjang tahun 2007, terus berlangsung dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Keempat, menuju Kompetisi 2009 – tidak diduga, pada 2007 setidaknya 3 tokoh menunjukan gelagat dan niat mau dalam Pemilihan Presiden tahun 2009. Bekas Presiden Megawati, bekas Gubernur DKI Jakarta Letjend (Purn) Sutiyoso bagi sebuah “demokrasi”, dan semua serba terbuka untuk dibaca dan dianalisis.dan Pendiri Partai Hanura Jend (Purn) Wiranto. Meskipun terkesan terlalu awal, tetapi potret yang dihasilkan dari episode ini adalah, betapa demokrasi semakin memberi pilihan warna baru bagi dinamika politik Indonesia semakin belajar dari waktu ke waktu, bahwa ada banyak alternative dan kemungkinan. Waktu efektif atau malah kontra produktif. Tetapi, di luar itu, public politik Indonesia yang akan membuktikan, apakah “jualan” yang awal seperti ini akan

Tahun 2007, memang belum atau tidak menunjukkan episode monumental sebagaimana 1998. Tetapi, setiap tahun, setiap episode adalah penguatan dan pendalaman demokrasi. Sambil berharap, baik Eksekutif, Parlemen, Partai Politik. Civil Society dan asosiasi masyarakat lainnya tidak kehilangan energy pembaharuan agar demokrasi Indonesia mengalami pendalaman dari waktu kewaktu.

Demokrasi Kekurangan Kita ….. Defisit

Perkumpulan DEMOS merumuskan bahwa, ada deficit demokrasi yang dialami Indonesia. Defisit demokrasi itu, mereka pandang dan lihat dari fakta, betapa Indonesia lebih suka mengidentifikasi dirinya sebagai “Islam”, “Kristen” atau “Jawa”, “Betawi”, “Batak”, “Minahasa” duluan ketimbang Indonesia. Bahkan, terkesan, keberanian untuk mengedepankan identitas “Indonesia” menjadi semakin surut. Hal ini berbeda dengan pengalaman Spanyol ketika mengalami demokratisasi, dimana identitas “Basque” dan “Catalan” meski dominant, tetapi diimbangi dengan bangga menjadi “Spaniard” dan “Europen Community”. Penelitian Demos sangat benar, terlebih karena memang daerah seperti Ambon, Poso, Papua, Aceh, sempat mengalami konflik horizontal yang dalam.

Tetapi, ada defisit dmeokrasi yang lain. Defisit itu, bagi penulis adalah “budaya politik”. Betapapun, demokrasi lahir dan bersemai di peradaban Barat yang kini disemaikan di Indonesia yang berperadaban Timur. Bahkan, praktek politik yang komunal, masih sangat sering terjadi dan menjadi watak birokrasi Indonesia. Dan karena persoalan kompabilitas budaya inilah, yang membuat banyak persoalan yang belum sanggup dipersatukan atau diperdamaikan. Termasuk masalah pendalaman demokrasi, mengalami defisit dari sisi budaya politik. Kritik terhadap pimpinan, rasa patuh berlebihan kepada pemimpin, masih erat dan lekat dengan public politik Indonesia. Padahal, demokrasi menandaikan adanya “individualisme” dan apresiasi atas hak individu dengan kesamaan derajat antar sesame manusia.

Karena itu, jika Indonesia butuh waktu lebih panjang, maka proses selanjutnya adalah proses budaya. Proses mempertemukan beberapa incompability (ketidaksesuaian) untuk menjadi sesuai berdasarkan pengalaman dan penemuan beberapa mekanisme dan proses yang dibutuhkan. Demokrasi butuh waktu, dan waktu mengajarkan bagaimana memperbaiki kesalahan. Maka, 10 tahun capaian demokrasi di Indonesia, cukup mengajarkan banyak hal untuk pembaharuan dan perubahan. Celaka, jika kita enggan dan malas untuk berubah!(*)