Oleh Abdul Azis Hunta *
MISEROPOLIS merupakan terminologi yang dipakai untuk menggambarkan kondisi suatu kota yang pengap, kotor, acak-acakan, melarat, tercemar dan menyedihkan, atau secara leksikal mengandung arti Kota yang Sakit (Ghetto). Seperti halnya penyakit yang mengenai fisiologi anatomi makhluk hidup khususnya manusia, miseropolis merupakan suatu kumpulan gejala yang memiliki tingkat keganasan yang sangat tinggi dan sistematik karena mengena organ-organ “tubuh kota” yang sangat vital. Sesungguhnya banyak sekali kelainan-kelainan yang dapat ditimbulkannya, namun tulisan ini hanya mengetengahkan kasus yang “prevalensi rate”nya cukup tinggi:
Gangguan sistem pernafasan yang dapat di diagnosa melalui cukupkah paru-paru kota menyuplai ketersediaan oksigen untuk menjadikan kota bernafas dengan lega. Jika terjadi ketimpangan antara supply dan demand kota akan oksigen maka dia akan terlihat sesak nafas, anemia, pucat, loyo dan kurang bergairah. Penyebab utama penyakit ini adalah seringnya suatu kota terpapar oleh kandungan senyawa kimia seperti emisi Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Plumbum (Pb), Hidrocarbon (HC), yang dilepas ke udara ambient oleh industri dan kendaraan bermotor dari produksi tahun tujuh puluhan sampai tahun sekarang yang sering macet karena jumlahnya yang tidak seimbang lagi dengan kemampuan urat nadi kota yang prasarana jalan. Atau di setiap sudut kota terdapat timbunan sampah yang mengandung Gas Hidrogen Sulfida (H2S), Amoniak (NH3), Methil Merkaptan (CH3SH), Methil Sulfida ((CH3)2)S, Stirene (C6H5CHCH3) menghembuskan hawa yang tidak sedap dan pemandangan yang tidak estetis, karena sampah yang tidak terkelola dengan baik. Kondisi ini menyebabkan suatu kota menjadi suatu ruang yang tidak nyaman lagi bagi penghuninya. Orang-orang mapan secara ekonomis menempuh jalan aman dengan cara menutup rapat-rapat kaca jendela mobilnya yang dilengkapi AC mengasingkan diri di dalam ruang sempit itu sekaligus mengasah sikap individualisme dan eksklusifismenya, setelah keluar dari rumahnya dan sebelum memasuki ruang kerjanya yang juga ber AC. Sementara orang-orang biasa, suka atau tidak suka harus menghirup udara tercemar itu sambil menutup hidung, mengucak mata yang pedis dan menutup telinga yang pekak oleh kebisingan yang telah melewati ambang dengar, apa boleh buat dibuat apa yang boleh dibuat.
Sebenarnya senyawa kimia yang disebutkan di atas tidak berbahaya jika kuantitasnya tidak melampaui daya dukung lingkungan (carryng capacity) suatu kawasan. Sama halnya kalau kita terhirup gas kimia berbahaya jika jumlahnya kecil dan waktu pemaparannya singkat, maka tubuh kita mampu menetralisir bahan kimia tersebut secara alamiah sehingga tidak fatal bagi sistem anatomi fisiologi tubuh kita. Kapasitas paru-paru kota dalam hal ini vegetasi yang ada dalam suatu kawasan kota harus memiliki kemampuan untuk menetralisir bahan kimia yang terlepas ke udara ambient kota, oleh sebab itu kota yang dikatakan memiliki sistem pernafasan yang baik adalah kota yang memiliki luasan vegetasi kota dalam hal ini hutan kota yang rasional. Secara kuantitatif luas hutan kota dapat ditentukan melalui beberapa pendekatan, (1) Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota. (2) Perhitungan perkapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya. (3) Berdasarkan isu utama yang muncul. Misalnya untuk menghitung luasan hutan kota pada suatu kota dapat dihitung berdasarkan tujuan pemenuhan kebutuhan akan oksigen. Di Malaysia luas hutan kota ditetapkan sebesar 1,9 m2/jiwa, di Jepang sebesar 5,0 m2/jiwa, di Kota Lancashire Inggris 11,5 m2/jiwa, sementara Amerika Serikat 60 m2/jiwa. Di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah No.63/2002 tentang hutan kota, pasal 8 ayat 3 dikatakan presentase luas hutan kota paling sedikit 10 persen dari wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat. Kota Manado dengan luas 159,82 km2 (Data Dinkes Provinsi Sulut) maka minimal luas hutan kota yang harus ada adalah 16 km2. Atau jika dihitung berdasarkan jumlah penduduk maka dengan jumlah penduduk 422.355 jiwa (Data Dinkes Provinsi Sulut) luas hutan kota yang harus tersedia di Kota Manado adalah kurang lebih 25 km2 jika kita meniru pendekatan yang digunakan Amerika Serikat.
Hutan Kota sebagai paru-paru kota dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting untuk menciptakan suasana nyaman bagi kualitas udara ambient. Tahukah Anda bahwa sebatang pohon dewasa menghasilkan kesejukan yang setara dengan 5 unit AC yang running selama 12 jam perhari dan dapat menghemat 10-50 persen energi yang digunakan untuk mengoprasikan AC, pepohonan yang ditanam secara kolektif dapat menurunkan temperatur 3-10 derajat, tiap hektar pepohonan mampu menyuplai oksigen bagi 38 orang setiap harinya dan mampu menyerap CO2 (Gas penyumbang terbesar dalam pemanasan global) setara dengan jumlah gas CO2 yang dihasilkan oleh mobil yang dikendarai sejauh 52.000 mil. Sebatang pohon yang sehat mampu mengeliminir 48 ponds CO2 di udara setiap tahunnya, mengkonservasi persediaan air tanah dan mencegah limpasan air permukaan, meningkatkan nilai ekonomi suatu kawasan, sebagai habitat bagi satwa, dan masih banyak lagi manfaat lain seperti memberikan suasana kota yang nyaman, menyemburkan suasana rileks, membuat kota tampak cantik, erotis, indah dan menggairahkan.
Gangguan jantung dan sistem peredaran darah, Pusat-pusat perbelanjaan, pusat perekonomian dalam tulisaan ini dapat dianalogikan sebagai jantung suatu kota yang memompakan sumber-sumber ekonomi baik barang maupun jasa ke seluruh tubuh kota. Sementara akses jalan, sarana dan prasarana transportasi dari dan ke tempat itu merupakan pembuluh darah dan urat nadinya perekonomian. Gangguan jantung dan sistem peredaran darah kota dapat terjadi karena berbagai sebab, seperti tidak lancarnya sirkulasi darah dari dan ke jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah, prasarana jalan yang bolong-bolong kemacetan lalu lintas, pengaturan jalur lalulintas dan perparkiran yang tidak tepat dan gangguan fungsi jantung lain. Dari sekian banyak gangguan fungsi jantung, yang menggejala dewasa ini adalah gangguan irama jantung yang terjadi manakala serambi dan bilik-bilik jantung kota kita tidak berdenyut seirama dengan kondisi riil perekonomian suatu kota, terjadi pemusatan ekonomi hanya kepada kelompok-kelompok tertentu, konglomerasi, the have, sementara pelaku usaha sektor informal yang juga sebagai kontributor terhadap perputaran roda perekonomian suatu kota tidak mendapatkan perhatian yang proporsional, dipinggirkan dari segi ruang, jauh dari akses fasilitas-fasilitas ekonomi yang memberinya dan kesempatan untuk maju secara bersama-sama. Alasan klasiknya mengganggu keindahan kota, mencederai citra dan harga diri kota. Syndroma terakhir ini sama seperti gangguan jantung pada manusia bersumber dari gaya hidup (life style) sebagai factor risikonya. Kota dipaksakan harus menjadi metropolis sebelum waktunya, dipoles dengan gaya modern, dijauhkan dari kesan yang kumuh-kumuh dan dekil-dekil, seakan-akan yang boleh lewat di pusat-pusat kota hanya orang yang bermobil mewah, mentereng, menggunakan pakaian bermerk, dan berbau harum, tidak ada lagi ruang bagi pedagang kecil, pedagang makanan khas setempat digusur dan diganti dengan resto, yang menyajikan masakan cepat saji produk import bercholesterol tinggi, Trigilesida tinggi, HDL/LDL tinggi, makan di sana harus memegang sertifikat table maner, setelah medical checkup didiagnosa menderita kena jantung koroner, Hypertensi, Asam Urat, Diabetes Mellitus. Masalah yang tidak kalah peliknya yang menyusul kemudian adalah munculnya kantong-kantong kumuh, berpindahnya persoalan ke pinggiran kota, karena yang diubahnya hanya sebatas posisi geografisnya bukan kapasitas dan kemampuan manusianya ( capacity building) untuk menjadi lebih baik secara ekonomi dan sosial budaya. Dari sanalah muncul berbagai penyakit sosial: kriminalitas, prostitusi atau penyakit dalam pengertian yang sebenarnya: HIV/AIDS, TBC, ISPA, Dermatitis, Deman Berdarah, dan penyakit-penyakit infektif lainnya.
Prof Dr Eko Budiharjo dalam bukunya Kota Berwawasan Lingkungan mengatakan bahwa citra kota yang sesungguhnya adalah tidak sekadar terbentuk dari monumen pencakar langit yang arogan di tengah kota, tetapi juga nuansa herak, tingkah dan aktivitas manusia baik yang modern dan kapitalistik di sektor formal maupun terlebih-lebih yang tradisional dan merakyat di sektor informal. Dikatakannya daya tarik kota justru kadang-kadang terpencar dari latar kegiatan ala bazaar yang serba tidak terduga dan sulit ditebak tetapi penuh makna. Konfilk perkotaan wajib dihadapi bersama-sama, tidak diselesaikan diam-diam secara sepihak, juga tidak untuk dihindari karena ada rasa miris atau was-was. Penyelesaian konflik yang baik dan terbuka, merupakan tanda kedewasaan dan kematangan suatu kota. Perencanaan yang serba didikte dari luar dan dari atas tanpa mempedulikan suara yang lirih dari masyarakat akar rumput, besar kemungkinan akan menimbulkan penyakit baru di belakang hari. Menjamurnya kantong-kantong kumuh dengan segudang permasalahannya itu adalah suatu manifestasi klinis dari tidak bekerjanya suatu elemen fungsional dari sistem organ tubuh kota.
Gangguan fungsi ginjal dan sistem ekskresi. Penyakit ini menyerang fungsi ginjal dan sistem ekskresi kota yaitu sistem pembuangan air limbah kota (Municipality Sewerage System). Gejala fisik yang timbul karena gangguan ini ditandai dengan air buangan kota yang berwarna kehitaman, keruh, berbau. Kondisi ini dikarenakan masuknya buangan air limbah ke saluran-saluran yang terdiri dari buangan domestik yang berasal dari pemukiman, pusat-pusat perbelanjaan, hotel, restoran, yang dominan mengandung bahan-bahan organik (Nitrat, Nitrit, NH3, H2S, Surfactant, Phospat) dengan ciri khas nilai-nilai oksigen terlarut rendah dan BOD (Biological Oxigen Demand) sedang sampai tinggi.
Jumlah air limbah domestik kota dapat dihitung secara empirik ± 85 persen dari konsumsi air bersih perkapita perhari (190 liter/perkapita/hari) dikalikan dengan jumlah penduduk suatu kota. Kota Manado misalnya dengan jumlah penduduk 422.355, kapasitas buangan limbah domestik perhari adalah: 85 persen (422.355 jiwa x 190 liter) = 68.210.33 m3/hari (jumlah ini belum termasuk limbah industri). Air buangan ini akan mengalir ke selokan, saluran umum, kanal, sungai membawa serta sampah pemukiman yang dibuang sembarangan dan pada akhirnya masuk ke laut. Bayangkan setiap harinya sungai-sungai yang melintas di Kota Manado menerima limbah sebanyak itu, apalagi jika limbah tersebut dibuang dengan tanpa ditreatmen terlebih dahulu, maka ketika sungai-sungai tersebut tidak mampu lagi menetralkan dirinya sendiri (selt purification) karena banyaknya buangan yang masuk secara kontinyu, yang muncul kemudian adalah sungai tampak tidak cantik lagi, kusut karena dialiri oleh air yang tidak jernih lagi, tidak beriak lagi, berbau lagi. Dan laut mau tidak mau harus menelan semua suguhan itu tiap harinya, mengusir jauh ikan-ikan ke laut lepas sehingga menurunkan hasil tangkapan ikan nelayan, mengusik ketentraman ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun (sea grass). Kemunculan ikan purba Coelacanth diperairan Manado boleh jadi bukan suatu kebetulan dan tidak patut menjadi suatu kebanggaan karena kemungkinan besar dia mulai sesak nafas di dasar laut sana dan naik ke permukaan laut karena menyangka di sini masih nyaman untuk hidup, ternyata apes, dia tertangkap dan dielu-elukan.
Jika kondisi ini dibiarkan terus berlangsung tanpa solusi, tidak ada upaya antisipasi sejak awal, sementara jumlah air buangan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk maka masalah ini akan berakumulasi dan suatu saat kelak muncul sebagai suatu masalah dan untuk menanganinya membutuhkan biaya yang sangat besar. Sama seperti jika manusia telah mengalami “gagal ginjal”, maka yang bisa dilakukan hanya melakukan hemodialisis (cuci darah) sambil berdoa menunggu kematian yang sudah pasti. Gagal ginjal pada suatu kota ditandai oleh suatu kumpulan gejala yaitu tidak ada atau tidak berjalannya sistem baik administrasi, hukum, teknologi, dan kebijakan mengenai pengelolaan limbah kota yang konsisten dijalankan secara profesional. Untuk mengatasi masalah air buangan kota ini, mungkin dapat dijadikan contoh apa yang dilakukan oleh salah satu kota kecil di Sulawesi Selatan yaitu Soroako, pengelolaan limbah domestiknya ditangani secara komunal di mana seluruh limbah domestik dari pemukiman, pusat perdagangan, hotel, restoran, dan lain-lain dialirkan ke saluran (riol) kota yang kesemuanya bermuara pada satu Instalasi Pengolah Limbah (IPAL), di sana semua air limbah tersebut diolah, fisik, kimia maupun mikrobiologis, hasil olahannya dianalisa di laboratorium, dan setelah dipastikan sudah benar-benar aman selanjutnya dibuang ke Danau Matano yang sangat indah. Sistem ini memang sangat mahal, namun merupakan sistem yang ideal di masa depan, karena ditangani secara profesional, mudah dalam pengoprasian dan pengawasannya.
Gangguan kulit dan estetika. Kulit adalah lapisan terluar dari sistem fisiologi anatomi makhluk hidup. Terutama pada manusia, dari kulit biasanya dapat diketahui seberapa pedulinya sesorang terhadap perawatan kulit. Meskipun dapat memperdaya kebanyakan lelaki tertarik pada wanita yang memiliki kulit bersih, mulus, seksi demikian juga sebaliknya. Tidak bedanya seperti manusia, kota yang cantik akan tampak secara fisik dari kulitnya.
Sejak perkenalan pertama akan ketahuan kualitas kulit kota ketika pertama kali menjabat tangan-tangan tetamu yang datang bertandang kepadanya. Ya… bandara, terminal bus, stasiun kereta api, pelabuhan laut. Bagian kota ini adalah tempat-tempat yang akan memberikan kesan pertama wajah suatu kota secara keseluruhan. Bersihkah kulit itu, muluskah dia, atau sebaliknya kasar, berminyak, dekil? Bagaimana dengan penanganan kebersihan di sana? Untuk pelabuhan udara mungkin tidak banyak menimbulkan masalah karena sudah ada standard operasional prosedur yang dijalankan secara profesional oleh maskapai penerbangan, pengelola bandara dan pengguna jasa angkutan udara pada umumnya dari kalangan yang mapan secara ekonomi, pendidikan, relatif berperilaku lebih baik dari segi kebersihan dan kesehatan. Tapi bagaimana dengan terminal angkutan darat antar kota, pelabuhan laut. Semakin ke arah pusat kota, bagaimana dengan pasar-pasar tradisional, pusat jajanan, pasar malam? Di sana terdiri dari beragam lapisan masyarakat dengan latar belakang yang berbeda kultur, sosial budaya, ekonomi yang menyiratkan kerumitan. Pemandangan yang lazim ditemui misalnya rumah makan/kopi yang tempat masak dan tempat makan tamu tidak dapat dipisahkan sehingga asap pembakaran sate memenuhi ruang makan juga, di bawah meja makan berserakan sampah bekas tissue, tusuk gigi, kertas pembungkus makanan, tulang ikan dan tumpahan air; Di jalan dekat dan arah menuju tempat parkir banyak kertas bekas retribusi parkir, bekas pembungkus rokok, puntung rokok, bekas pembungkus jajanan yang dibuang begitu saja, meskipun di sekitar tempat itu tersedia tempat sampah apa adanya; penjual bakso yang mencuci mangkok hanya sekali saja tanpa desinfektan itupun hanya dengan mencelupkan dan menggosoknya dengan jari-jari tangan seperlunya; dan masih banyak lagi.
Tidak ada yang salah dari kegiatan yang mereka lakukan itu, mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu kota dan mereka harus tetap hidup. Yang diperlukan adalah pengawasan, pembinaan terus-menerus dengan metode pendekatan yang tepat sasaran, misalnya diberi pengetahuan bagaimana menangani sampah rumah tangga (onsite handling), yang benar, diberi muatan penerapan 3R: Reuse, Reduksi, Recycle, sehingga lambat laun terjadi adopsi inovasi dalam diri setiap individu warga kota yang tampak dari adanya peran aktif yang berkesinambungan.
Pengelolaan sampah secara nasional sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah setempat dan pada umumnya setiap kota maupun kabupaten telah memiliki Standard Operasional Prosedur (SOP) yang disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing. Secara umum sistem persampahan yang lazim dilakukan di Indonesia ialah sistem yang didasarkan atas premis kesehatan, yaitu bahwa sampah merupakan bahaya kesehatan (health hazard), dan oleh karenanya harus dikumpulkan, diangkut, dibuang secepatnya agar sesedikit mungkin berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Yang menjadi masalah adalah bahwa kota-kota sedang dan besar pada umumnya hanya mampu mengangkut 70-80 persen dari seluruh timbulan sampahnya. Sampah yang tidak terangkut umumnya dibakar, dipendam, atau dibuang ke selokan dan sungai yang menyebabkan kemampetan-kemampetan dan banjir. Ini belum bicara bagaimana suatu kota seharusnya memilih sistem pembuangan sampah yang ideal yaitu Sanitary Land Fill yang biayanya sangat mahal dalam pembuangan sampahnya.
Sebenarnya terdapat suatu sistem pemanfaatan sampah oleh para pemulung yang secara potensial dapat membantu mengurangi beban dalam pengelolaan sampah kota. Mereka memilah-milah dan menjualnya untuk didaur ulang, seperti karton, kertas, plastik kaca, metal dan bahan anorganik lain. Penelitian yang dilakukan oleh PPLH-ITB bekerjasama dengan Institute of Social Study (ISS), Den Hag memperkirakan kontribusi pemulung bisa mencapai 5-10 persen. Terlepas dari kecilnya prosentase yang disumbangkan oleh pemulung untuk mengurangi timbulan sampah melalui daur ulang, yang terpenting ialah diketemukannya suatu mekanisme di dalam masyarakat yang dapat membantu untuk mengurangi beban lingkungan yang sekaligus dapat membuka peluang-peluang lain. Pendaurulangan sampah mengandung arti bahwa sampah dapat mempunyai nilai ekonomi, penciptaan lapangan pekerjaan di sektor informal, menekan kebutuhan akan bahan baku seperti kertas, kayu, dan lain-lain, juga dapat mengurangi biaya transportasi.
Namun demikian pendaurulangan akan lebih efektif jika kelompok pemulung diberi pengakuan dan perlindungan, dan pemberdayaan, peran mereka sebaiknya diorganisir secara profesional misalnya melalui “Koperasi Daur Ulang”. Malalui wadah ini secara bertahap keterampilan mereka dapat dikembangkan dengan Teknologi Tepat Guna (TTG) misalnya teknologi pembuatan kompos, biogas dan lain-lain.
Pengelolaan sampah kota memang membutuhkan biaya yang sangat besar, seperti seorang wanita yang memelihara kulitnya dengan berbagai perangkat dan bahan yang mahal harganya, namun demikian keterbatasan biaya bukan alasan yang tepat untuk tidak tampil cantik dan berkulit mulus, sesungguhnya terdapat banyak tumbuhan, herbal yang tumbuh di sekitar kita yang dapat digunakan untuk memelihara kulit secara tradisional. Pemberdayaan masyarakat pemulung, daur ulang sampah, pemanfaatan kembali sampah, komposting misalnya merupakan metode perawatan kecantikan kulit kota yang murah dan menguntungkan.#
*Pemerhati Masalah Lingkungan, Karyawan BTKL-PPM Manado