05 Mei 2008

Persoalan Pendidikan Nasional Kita

Oleh Henny ED Mandey S PAK*

HARI ini, 2 Mei 2008, bangsa kita kembali memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal dan bulan peringatan Hardiknas ini rasanya sangat relevan dengan momentum kalander pendidikan nasional yang mengalokasikan ujian-ujian nasional yang biasanya dekat-dekat pada tanggal bersejarah bagi bangsa kita ini. Pendidikan merupakan faktor yang sangat fundamental bagi upaya mewujudkan negara Indonesia yang maju, makmur dan sejahtera.
PERSOALAN MUTU PENDIDIKAN NASIONAL
Baik negara maupun masyarakat tentu mendambakan akan terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang memiliki SDM yang handal, demi kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Dan terwujudnya manusia-manusia Indonesia yang memiliki SDM yang handal, tentu sangatlah ditentukan oleh mutu pendidikan nasional bangsa kita. Itulah sebabnya sejak zaman orde baru hingga di zaman reformasi ini pembangunan di bidang pendidikan dipacu. Program massalisasi pendidikan dalam bentuk wajib belajar sembilan tahun digelar dengan target seluruh masyarakat Indonesia bebas dari buta huruf dan boleh mendapatkan pendidikan yang layak.
Akan tetapi tampaknya massalisasi pendidikan melalui paket wajib belajar sembilan tahun tersebut (SD dan SMP) terlalu terfokus pada aspek kuantitatif peserta didik dan mengabaikan aspek kualitas mutu pendidikan. Dalam sistem pendidikan seperti ini, hampir tidak ada peserta didik yang tidak naik kelas atau lulus dari SD sampai SMA sekalipun dia tidak tahu apa-apa. Fenomena nilai yang dikatrol dan diperjualbelikan, pengawas yang memberitahu jawaban soal ujian nasional kepada peserta ujian nasional demi keamanan dan kesejahteraan guru masih begitu marak. Maka, tingkat tamatan pendidikan dasar banyak, tetapi tingkat SDM tetap rendah karena pendidikan yang tidak bermutu. Buktinya, pernyataan dan keluhan tentang rendahnya kualitas manusia Indonesia muncul berulang-ulang di mana-mana. Bahkan para TKI yang bekerja di luar negeri terus dikeluhkan akan kualitas SDM-nya. Prof DR Petrus Octavianus dalam bukunya “Menuju Indonesia Jaya dan Indonesia Adi Daya” (2005:315) mengatakan bahwa hasil penelitian United Nations Development Program (UNDP) menunjukkan peringkat SDM (HDI) manusia Indonesia, ada di peringkat 112 dari 175 negara, bahkan posisi ini berada di bawah negara Vietnam. Selanjutnya Octavianus mengatakan bahwa, memang kita patut berbangga akan prestasi-prestasi dari sejumlah anak bangsa dalam forum-forum ilmiah berskala internasional seperti: dalam olimpiade Fisika Internasional di Pohang Korea Selatan waktu lalu, prestasi anak bangsa Indonesia berada di atas Amerika Serikat, dan katakanlah juga diraihnya juara pertama dalam lomba Karya Ilmiah Remaja Internasional oleh seorang remaja yang berasal dari satu sekolah di Jaya Pura. Akan tetapi, tanpa mengabaikan peran bimbingan para guru terhadap anak-anak tersebut, namun prestasi mereka lebih disebabkan oleh faktor bakat dan kemampuan pribadi dari pada hasil sistem pendidikan nasional bangsa kita.
Namun demikian, kita patut bersyukur karena pemerintah dan sejumlah kelompok masyarakat menaruh kepedulian yang lebih besar terhadap persoalan mutu pendidikan bangsa kita sehingga mengadakan sekolah-sekolah SMP dan SMA plus, atau sekolah-sekolah percontohan baik dan sejumlah perguruan tinggi bermutu baik negeri maupun swasta. Tetapi di pihak lain, menjamurnya sekolah-sekolah dan perguruan tinggi pinggiran yang didirikan oleh kelompok masyarakat yang lebih berminat pada profit dari pada mutu, tetap mendapat tempat yang subur dalam sistem pendidikan nasional kita.
Salah satu penyebab utama rendahnya mutu pendidikan nasional kita ialah kebijakan yang bersifat curiculum centris. Para pembuat kebijakan telah merasa berhasil, dan para guru merasa aman jika seluruh prosedur kurikulum telah terlaksana, meskipun lulusannya tidak memiliki pengetahuan dan kemahiran yang dituntut oleh kurikulum itu sendiri. Mereka lupa bahwa kurikulum bukanlah tujuan, melainkan alat untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas. Kalau ada masalah, biasanya jawabannya ialah “belum masuk kurikulum” atau “waktu yang dialokasikan terlalu sedikit”. Maka kemudian kurikulum diubah, setiap ganti menteri ganti kurikulum, dan setiap ganti kurikulum, muncul pula istilah-istilah baru. Dulu CBSA, kemudian link and math, dan kini ada kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), berikutnya entah berbasis apa lagi. Dan semua ini diikuti dengan proyek-proyek baru, penataran guru, ganti buku, ganti cara membuat persiapan mengajar dan lain-lain yang berimbas pada biaya yang sangat besar.
Jika pendidikan kita beralih dari Curiculum centris dan berfokus pada kualitas lulusan, pasti akan terjadi perubahan pada kualitas SDM sebagai produk dari sistem pendidikan. Yang dibutuhkan sebenarnya adalah standardisasi mutu yang diberlakukan secara nasional, bukan modifikasi-modifikasi kurikulum. Bagi Octavianus, Kurikulum nasional seharusnya hanya berfungsi sebagai rambu-rambu umum tentang luas cakupan dan tingkat minimum pada suatu materi pelajaran, tidak perlu mengatur sampai pada urutan topik perbulan dan sebagainya, apalagi sampai pada memaksakan suatu metode atau teori mengajar tertentu
BIAYA PENDIDIKAN YANG MAHAL
Kondisi objektif menunjukkan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang adalah hak setiap warga negara sangatlah mahal. Sekalipun pemerintah mengucurkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan di beberapa daerah seperti Manado ada kebijakan pemerintah SPP gratis. Tetapi bagaimana dengan pungutan-pungutan intern sekolah dan perguruan tinggi yang begitu marak? Tidak sedikit siswa dan mahasiswa yang tidak dapat meneruskan sekolah dan kuliah karena pungutan-pungutan itu, sehingga banyak orang tua dan mahasiswa yang protes dengan pungutan-pungutan yang illegal itu. Belum lagi bila rencana pemerintah di mana di 2008 ini akan mengurangi jumlah kucuran dana BOS direalisasikan. Demikian juga dengan makin surutnya subsidi biaya operasional perguruan tinggi negeri, yang mengakibatkan pungutan biaya masuk perguruan tinggi makin menggila dan kaum miskin hanya bisa gigit jari karena tidak dapat meneruskan studi ke perguruan tinggi. Bisa jadi, mereka yang memiliki kemampuan intelektual pas-pasan bisa mengenyam pendidikan di fakultas dan universitas favorit mereka, sedangkan yang berkemampuan intelektual lebih tidak bisa menyandang gelar mahasiswa karena ekonomi lemah. Banyak lulusan SMA di Kota Manado ini yang kemudian memilih untuk bekerja di pusat-pusat belanja yang sedang marak bermunculan atau menikah di usia dini karena tidak punya uang untuk kuliah.
Tampaknya ketetapan untuk menaikkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen hanya tinggal sebagai pasal dalam konstitusi dan undang-undang sistem pendidikan nasional. Kalaupun ada kenaikan, hanyalah sangat kecil setiap tahunnya, yang terbatas dialokasikan untuk beasiswa, yang tingkat kebocorannyapun terbilang rawan.
GAJI GURU
Telah lama didengung-dengungkan bahwa salah satu solusi untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas ialah meningkatkan kesejahteraan guru dengan menaikkan gaji guru. Bila kondisi ekonomi guru sejahtera, maka guru tidak akan sibuk mencari pendapatan lain dan akan punya cukup waktu untuk banyak membaca dan melakukan kegiatan ilmiah demi kualitas guru itu sendiri dan mutu pengajarannya. Tentang hal ini ada dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama, seperti yang diwaliki oleh Drs Asmuni MTh MA (Jawa Pos, “Profesionalisme dan Kesejahteraan Guru”, 24 September 2004) yang menyatakan bahwa, sejak Presiden Gus Dur sampai Megawati, guru telah mengalami kenaikan gaji beberapa kali, namun SDM manusia Indonesia sebagai produk pendidikan nasional sebagaimana laporan dari UNDP, belum mengalami perubahan.
Pendapat kedua mau membuktikan bahwa ada korelasi positif antara peningkatan kesejahteraan guru dan peningkatan profesionalitas dan kualitas guru. Karena gaji guru rendah, maka orang-orang yang berintelektual tinggi memilih bidang hukum, ekonomi, kedokteran dan lain-lain yang lebih menjanjikan dari pada memilih menjadi guru. Kalau gaji guru disejajarkan dengan profesi lain seperti dokter dan hakim, maka akan ada banyak orang yang kemampuan intelekualnya tinggi yang akan memilih menjadi guru. Guru memang profesi yang tidak mudah karena membutuhkan keahlian khusus dan memiliki posisi yang strategis dalam meningkatkan SDM manusia Indonesia. Karena itu wajar kalau dibedakan dengan PNS biasa, dan mendapat penghasilan yang lebih tinggi. (Band. Jawa Pos, 24 September 2004).
Semua yang dipaparkan di atas ini hanyalah sekelumit dari berbagai sebab musabab masalah mutu pendidikan nasional bangsa kita. Mengharapkan perubahan mutu pendidikan yang cepat merupakan hal yang mustahil, apalagi di tengah kondisi ekonomi bangsa yang sedang terpuruk kini. Pemerintah, masyarakat dan orang tua murid, harus bergandengan tangan untuk menggumuli dan mengupayakan peningkatan mutu pendidikan nasional di negeri kita ini, supaya pendidikan dapat menjadi investasi bagi masa depan, demi kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.(#)

*Guru SMK Negeri 2 Manado