09 Mei 2008

Desaku “Terabaikan” = Menyimpan “Bom Waktu”

Oleh Welly Waworundeng

DUA topik menarik diberitakan koran Manado Post (28/29) April 2008. Pertama, masyarakat kebanyakan “tidur”, akibatnya banyak lahan tidur (29.381 ribu hektar data dari Dinas Pertanian) di Kabupaten Minahasa. Kedua, warga gengsi bakobong (gengsi jadi petani), karena lebih tergiur jadi tukang ojek (profesi baru yang diminati orang kota dan desa, karena tergiur tidak berkeringat dan cepat dapat uang). Hal tersebut menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat Kabupaten Minahasa, terlebih pemerintah dan masyarakat desa (data awal 2008, Minahasa terdiri dari 155 desa, 37 kelurahan dan 12 desa persiapan, penduduk 301.855 jiwa = mayoritas penduduk ada di desa) yang merasakan dampaknya. Dengan banyaknya lahan tidur berarti tanda awas bagi masyarakat di tanah Toar Lumimuut, satu saat akan terjadi kekurangan pangan. Ingat, sekarang dunia dilanda krisis pangan, semua negara sedang mengadapi masalah yang sama dan berusaha untuk mencari solusi. Bagaimana dengan daerah kita?
Sebelum membahas apa solusi terhadap masalah di atas, terlebih dahulu penulis (putra desa di Minahasa) akan mengangkat masalah lain yang menurut penulis tidak kalah pentingnya. Apa yang diberitakan koran Manado Post itu hanya sebagian, tetapi ada banyak masalah lain yang sementara terjadi dan itu kurang diberitakan karena mungkin tidak menarik dan tidak laku di masyarakat serta tidak menjadi topik pembicaraan di kalangan elit pemerintahan dan elit politik. Masalah yang penulis maksudkan, di antaranya: 1) Banyak tanah milik warga desa beralih ke pemegang modal, birokrat dan politisi. Dulunya masyarakat adalah petani pemilik tetapi sekarang petani penggarap, lebih cepat jual tanahnya untuk pegang uang banyak daripada mengolahnya (itulah pikiran “instan” dan malas yang merambah masyarakat desa). Modal yang ada juga tak jarang untuk beli motor dan beralih profesi tukang ojek (sebelumnya pekerjaan sampingan sekarang jadi tetap), pertanyaannya apa cukup untuk biaya hidup keluarga? Dan berapa lama usaha itu bertahan? Mungkin juga lahan tidur di Minahasa bukan milik warga desa biasa lagi, justru pemiliknya orang berduit (hobi koleksi tanah); 2) Kegiatan “mapalus” yang dulunya menjadi andalan utama masyarakat desa untuk mengolah lahan pertanian/perkebunan, membangun rumah dan lain-lain, sekarang hampir tidak ada lagi di desa. 3) Banyak masyarakat yang putus sekolah (pendidikan terabaikan) akibatnya bertambah jumlah pengangguran; 4) Terjadi peningkatan urbanisasi (penduduk desa pindah ke kota), coba adu nasib di kota. Setelah meninggalkan masalah di desa, ciptakan masalah baru di kota; 5) Begitu juga dengan kegiatan kerja bakti (gotong-royong), yang dulunya tradisi ini menjadi program utama desa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di desa (buat dan bersih saluran irigasi, buat dan bersihkan jalan desa, bangun jembatan, bangun balai desa, buat selokan dan lain-lain). Sepertinya, mulai jarang ditemui di desa, karena orang desa dimanjakan dengan proyek pemerintah (ada uang, ada tenaga); 6) Pemerintah dan masyarakat desa di era otonomi daerah ini secara beruntun diperhadapkan dengan kegiatan “pesta demokrasi” (Pemilu, Pilkada dan pemilihan hukum tua). Selain masyarakat dimanjakan dengan pesta (senang sesaat, lelah, tertidur), ternyata pasca pesta demokrasi banyak meninggalkan konflik horisontal di masyarakat. Akibatnya pemerintah dan masyarakat desa terkotak-kotak, karena beda partai, beda calon dan beda kepentingan. Dulunya kalah menang dalam proses pemilihan apapun di desa, hasilnya selalu diterima dengan baik (lapang dada) oleh semua pihak, tetapi sekarang mulai ada penolakan dan ada kecenderungan konflik. Pemerintah dan masyarakat desalah yang merasakan langsung semua permasalahan tersebut.
Belum cukup masalah di atas, ditambah lagi kenyataan sekarang penyelenggaraan pemerintahan di desa seperti “mati suri”, dan banyak hak-hak desa “dipasung”, hampir tidak ada regulasi (Perda, keputusan bupati dan Perdes) yang ditetapkan dan dijalankan, ini berarti penyelenggaraan pemerintahan di desa tidak berjalan, hal itu tanpa disadari oleh orang desa. Kegiatan pemerintah hanya sebatas pelayanan administrasi yang dari tahun ke tahun sudah rutin dilakukan, seperti: pengurusan KTP, surat-surat keterangan, surat jalan, dan administrasi lainnya. Selain itu yang dilakukan pemerintah desa bersama Badan Permusyawaratan Desa lebih pada kegiatan seremonial menghadiri undangan-undangan hajatan (acara suka) dan peristiwa kedukaan. Atau juga disibukkan dengan mengurus persoalan-persoalan rumah tangga, persoalan kenakalan anak muda, persoalan sengketa tanah, perkelahian antar kampung dan Kamtibmas lainnya di masyarakat. Sedangkan, kegiatan utama masyarakat di desa seperti: bertani, berkebun, beternak, pertukangan dan kegiatan sosial kemasyarakatan mulai ditinggalkan. Selama ini yang kelihatan desa itu ada kegiatan bukan karena kegiatan pemerintahan tetapi kegiatan keagamaan (gereja dalam hal ini). Masyarakat disibukan sebatas kegiatan dan hari-hari raya besar lainnya. Serta kegiatan rukun keluarga di luar itu tidak ada. Ini bagaikan “bom waktu kemiskinan“ yang satu saat akan meledak, berakibat terjadinya pemiskinan kolektif di desa.
Sumber masalah desa selain dari desa itu sendiri, ternyata juga sumbernya dari luar desa (pemerintah supra desa). Selama ini desa kurang dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif (DPRD) kabupaten. Sudah hampir 4 (empat) tahun diberlakukannya Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakannya ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2005 tentang Desa, keduanya belum sepenuhnya dilaksanakan sampai di desa. Karena masalahnya produk regulasi di daerah, baik Perda atau Surat Keputusan Bupati yang seharusnya dikeluarkan sebagai ketentuan, pedoman dan acuan teknis pelaksanaan di desa, sebagian besar belum ditetapkan dan mungkin belum pernah dibahas dalam program legislasi daerah. Hal tersebut menjadi kendala terhadap penyelenggaraan pemerintahan di desa, di mana pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat merencanakan, membahas, menetapkan dan melaksanakan Perdes atau aturan lainnya di desa, ada pemerintahannya, ada rakyatnya, ada kegiatannya, tetapi tidak berjalan sebagaimana amat peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005).
Mengapa pengaturan tentang desa itu penting? Karena, dalam PP No. 72, mengatur antara lain tentang urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kedudukan, tugas, wewenang, kewajiban, fungsi, hak dan kedudukan keuangan dari pemerintah desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu, mengatur tentang Peraturan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Keuangan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kerja sama antar desa dan pihak ketiga, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan serta Pembinaan dan Pengawasan. Regulasi ini bertujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa agar berjalan baik dan apa yang menjadi masalah di desa dapat diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat desa itu sendiri. Sudah seharusnya masalah di atas bukan hanya tanggung jawab pemerintah Minahasa tetapi masyarakat desa pun bertanggung jawab.
Menghadapi masalah dan bagaimana mencari solusi, harapan pertama dimulai dari apa yang desa dapat lakukan. Pendapat penulis antara lain: Pertama, harus disadari oleh pemerintah dan masyarakat desa, bahwa selama ini desa dalam masalah besar, yang sementara menggerogoti kelangsungan kehidupan di desa. Kedua, adanya keinginan yang kuat dari pemerintah dan masyarakat desa untuk maju dalam rangka memperbaiki kesejahteraan hidup yang lebih baik (tidak jatuh miskin). Ketiga, pemerintah dan masyarakat desa harus bersatu. Kalau selama ini ada terkotak-kotak, maka ke depan mulai dari pemerintah desa, BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, generasi muda, PKK, dan semua organisasi sosial politik serta masyarakat yang ada di desa harus bersatu. Dengan kekuatan itu diharapkan dapat menjawab masalah yang ada, di mana pemerintah dan masyarakat desa harus sadari masalah desa adalah masalah kita, yang harus diupayakan diselesaikan sendiri. Keempat, harus ada hubungan kerja sama antardesa yang satu dengan desa yang lain, apakah dalam bentuk asosiasi atau perkumpulan lain yang pada intinya dapat memperjuangkan kepentingan desa serta terciptanya kehidupan antardesa yang kondusif. Kelima. desa jangan berharap banyak kepada pemerintah supra desa, karena selama komitmen dan kebijakan politiknya tidak memihak ke desa, selama itu juga desa terabaikan. Ingat, kekuatan kebersamaan itu dapat mempengaruhi kebijakan politik/pembangunan Pemda Minahasa. Selama desa diam, selama itu juga desa hanya menjadi objek dan subjek apabila ada pesta demokrasi atau program/proyek daerah dan nasional.
Harapan kedua, tentunya ditujukan kepada pemerintah Kabupaten Minahasa, agar mempunyai komitmen yang kuat serta didukung dengan adanya kebijakan politik (regulasi) yang memihak kepada desa. Selain itu, ada kebijakan anggaran yang cukup melalui Alokasi Dana Desa (ADD), dan proyek lainnya serta alokasi dana yang sesuai (beban kerja yang besar) kepada bagian pemerintahan desa di Pemkab Minahasa. Sedangkan tugas pengawasan dan pembinaan juga dapat ditingkatkan, seiring semakin banyak masalah di desa. Dengan berpihaknya kebijakan politik pemerintah dan legislatif Kabupaten Minahasa ke desa, akan menjawab masalah yang ada di desa, yang nantinya tercipta penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif, transparan, responsif, dan akuntabel serta terciptanya masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Memang menyelesaikan masalah di desa tidak semudah “memutar telapak tangan”, tetapi setidaknya harus ada niat dan tindakan nyata. Desa adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (masyarakat desa sejahtera, daerah sejahtera, negara pun sejahtera). Jadikan, syair lagu “desa ku yang ku cinta, pujaan hati ku, tempat ayah dan bunda dan handai tolan ku tak mudah ku lupakan tak mudah bercerai, selalu ku rindukan, desa ku yang permai” akan tetap ada, dan dikenang sepanjang masa.#