16 Mei 2008

Duri dalam Daging Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010

Oleh Abraham S Wilar

KEMBALI ke tanah leluhur merupakan suatu hal yang penuh keriangan sebab ada kesempatan lagi untuk melihat tanah leluhur setelah sekian lama tidak dikunjungi. Selain keriangan, ada juga kondisi ‘bertanya-tanya’ atas kondisi tanah leluhur yang telah lama tidak dikunjungi. Walau saat ini informasi tentang tanah leluhur dapat diikuti melalui Manado Post Online dan berbagai informasi oral dari sanak saudara, tetap saja ada nuansa yang berbeda ketika melihat kondisi tanah leluhur dengan mata kepala sendiri ketimbang melihat tanah leluhur dari informasi oral ataupun media cetak. Pengertian semacam inilah yang menciptakan kondisi bertanya-tanya ketika hendak kembali ke tanah leluhur.
Akhirnya waktunya tiba. Penulis bersama keluarga besar kembali ke tanah leluhur dikarenakan adanya hajatan keluarga yang diadakan di Manado Grand Palace pada 25 April 2008 yang lalu. Banyak hal yang penulis lihat tentang Manado selama perjalanan kembali ke tanah leluhur. Tulisan ini ingin menyampaikan sebagian kecil pengalaman tersebut yang mana pengalaman itu diletakkan di dalam bingkai ‘‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010”.
DURI DALAM DAGING
Ketika kaki penulis memijak bumi Nyiur Melambai, bandara Sam Ratulangi yang mungil terlihat berada dalam proses ‘pencantikan’ sehingga di sana-sini banyak terlihat usaha penataan. Saat itu, penulis sangat merasakan detak kehidupan slogan ‘Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010’ dimulai ketika para tamu menginjakkan kaki mereka di bandara. Namun demikian, penulis sendiri berpandangan bahwa sesungguhnya aura slogan tersebut harus dapat dirasakan di luar kota Manado. Alasannya sederhana, yaitu: bukankah semakin banyak pihak luar tahu mengenai slogan tersebut akan semakin bertanya-tanya dan akhirnya tergerak untuk plesiran ke Manado. Di sini, penulis berbicara tentang penggunaan media informasi sebagai wadah kampanye program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Pihak luar yang penulis maksudkan di sini bukan hanya turis internasional, tetapi juga turis domestik. Kedua jenis turis ini harus menjadi fokus perhatian tanpa harus cenderung mengagungkan turis internasional dan meminggirkan turis domestik. Alasan penulis untuk menekankan pentingnya tidak memilih anak emas dari para turis sebab bila hal tersebut terjadi, itu berarti ada diskriminasi di dalam alam pikiran pelaksana slogan Manado Menuju Kota Pariwisata Dunia 2010. Diskriminasi di dalam pikiran akan mempengaruhi sikap dan tindakan. Diskriminasi seperti ini tidak boleh ada di bidang pariwisata. Sebab diskriminasi seperti ini sama jahatnya dengan diskriminasi di bidang Hak Asasi Manusia (yaitu: equal treatment)
Pada titik ini, dinas pariwisata merupakan salah satu share-holders tim sukses pelaksanaan slogan tersebut. Pada titik ini, penting kita bertanya: “apakah dinas pariwisata di Manado siap menyukseskan slogan tersebut?”. Kesiapan yang penulis maksud di sini bukan kesiapan bibir mengucapkan kata “ya, kami siap!”, tetapi kesiapan mentalitas aparatur dinas pariwisata di dalam program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, kesiapan program kerja, dan kesiapan pemantauan pelaksanaan program kerja tersebut. Apabila semua itu sudah pernah dibahas secara intensif dan ekstensif (ingat, garis bawahi secara intensif dan ekstensif !), maka baru dapat dikatakan bahwa dinas pariwisata siap menjadi tim sukses Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Setelah mendarat di bandara, perjalanan saya di Manado dimulai. Perjalanan meliputi kota Manado, Manado Grand Palace, Ritzy Hotel, Quality Hotel, Tomohon, Bitung, dan lain sebagainya. Sesampainya saya di Manado, saya dan keluarga check-in di Ritzy Hotel.
Selayaknya hotel, tentu berbagai bentuk promosi dilakukan. Salah satu promosi yang dilakukan Ritzy Hotel ialah adanya welcoming drink, fruits in the room, dan lain sebagainya. Ketika menjejakkan kaki di Ritzy Hotel, saya bertanya-tanya apakah kata promosi sama dengan kata ‘iming-iming’. Sejauh pengetahuan saya, kata promosi lebih berkonotasi positif di dalam kehidupan sehari-hari, sementara itu kata ‘iming-iming’ lebih berkonotasi negatif. Alasannya, kata promosi dipahami sebagai tindakan untuk mempublikasikan hal-hal yang sudah terencana dengan suatu harapan rencana tersebut dapat terlaksana. Sedang kata iming-iming dipakai dalam konteks mempengaruhi orang untuk mengikuti kemauan seseorang namun tidak ada kepastian akan adanya ‘reward’ bila mengikuti kemauan orang tersebut.
Bertolak dari pengertian itu, saya melihat bahwa promosi di Ritzy Hotel merupakan iming-iming. Hal itu dikuatkan ketika ayah saya menelpon front desk guna menyampaikan ketidak-puasan atas apa yang disebut oleh Ritzy Hotel sebagai promosi, tetapi nyatanya saya melihat itu sebagai ‘iming-iming’. Yang menarik (atau lucu??), setelah komplain itu, esok harinya di kamar kami muncul buah-buahan. Ketika melihat hal itu saya bertanya di dalam hati “o bagitu dang, [apakah] di Manado konsumen harus marah-marah dulu agar apa yang menjadi hak-hak konsumen terpenuhi.”
Pada titik ini saya mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel sebagai salah satu stake holder penyuksesan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Mempertanyakan kesiapan Ritzy Hotel di dalam menyukseskan program tersebut sangat penting sebab dari sini dapat dilihat apakah pihak pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 pernah terpikir untuk ‘sidak’ (inspeksi mendadak) ke para share-holders penyuksesan program tersebut. Atau, jangan-jangan yang terjadi ialah pencetus ide hanya mencetuskan dan selebihnya percaya bahwa para share-holders sudah siap menyukseskan program itu? Dan, dari sini kita bisa juga mempertanyakan kesiapan hotel-hotel ataupun penginapan-penginapan yang ada (yang dalam persepsi penulis mereka semua adalah bagian dari share-holders kesuksesan program tersebut).
Masih di Manado. Perhatian penulis kini tertuju kepada toko-toko usaha. Menurut hemat penulis, toko-toko ini juga merupakan share-holders penyuksesan program. Pertanyaan penulis sama dengan pertanyaan untuk Ritzy Hotel, yaitu: apakah toko-toko usaha ini siap menyukseskan program tersebut? Pertanyaan ini penulis sampaikan sebab adanya pengalaman ‘dipandang enteng’ oleh Cella Bakery.
Saat itu, penulis bersama dengan istri dan mama sedang ingin beli klaapetaart di Cella Bakery. Di dalam toko, penulis tertarik membeli dua buah roti coklat, tetapi sampai dua kali penulis sampaikan keinginan membeli roti coklat itu ke pihak penjual, dua kali pula penulis diacuhkan-dianggap tidak ada padahal penulis berhadapan muka dengan pihak penjual (dan pada saat itu, penulis yakin mereka mendengar permintaan penulis).
Alih-alih melayani permintaan penulis (dua roti coklat), dua pelayan yang ada sama-sama lari meninggalkan penulis dan memilih melayani konsumen yang membeli roti dan kue lebih dari dua. Melihat kenyataan itu, penulis merasa sangat terlecehkan, dan kemudian menyampaikan langsung ketidakpuasan pelayanan ke pihak toko seraya membatalkan pesanan dan kemudian pergi dari toko itu.
Dua pengalaman di atas memberi inspirasi ke penulis tentang perlunya code of conduct yang dipegang ke setiap hotel, toko usaha dan para share holders lainnya di dalam usaha menyukseskan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Code of Conduct ini penting agar para share holders memahami nefesy program tersebut, dan bersama-sama menyukseskannya. Ketika berpikir tentang code of conduct ini, penulis bertanya-tanya apakah hal ini telah dipikirkan oleh pencetus ide program ini?
Selama di Manado, penulis beruntung dapat mengunjungi Bunaken dan Bukit Kasih. Kedua tempat ini dapat dikatakan sebagai tempat-tempat yang dibanggakan oleh orang Manado. Ketika masih di Jakarta, informasi tentang Bunaken dan Bukit Kasih sungguh sangat memikat penulis. Namun demikian, keterpukauan penulis agak terpukul ketika di dalam kapal kayu yang membawa penulis beserta rombongan keluarga ke Bunaken, penulis melihat toilet yang ada di kapal kayu itu tidak mempunyai tempat penampungan tinja sehingga semua kotoran manusia dan air kencing dibuang ke laut. Terhenyak penulis melihat kenyataan itu, terlebih ketika penulis menghadapkan pengalaman itu dengan kebanggaan pemerintah Sulut atas dipilihnya Manado sebagai tuan rumah WOC 2009.
Semakin dekat ke Bunaken, penulis semakin terpukul ketika melihat di satu tempat di laut telah menjadi ‘tempat pembuangan sampah’ sehingga perahu kayu yang melintasi daerah itu harus ber-zig-zag untuk menghindari kepungan sampah. Sudah lama penulis dengar bahwa kapal-kapal membuang sampah mereka di laut. Ketika melihat laut sebagai tempat pembuangan akhir sampah, penulis bertanya-tanya apakah pengagas WOC 2009 menyadari banyaknya sampah di Bunaken, dan apakah mereka pernah terpikir bahwa sampah-sampah di laut itu dapat menjadi perusak image kesungguhan panitia WOC 2009.
Ketika mendarat di Bunaken, penulis semakin terhenyak di saat melihat betapa kumuhnya Bunaken (tepatnya di Tanjung Parigi). Sampah di mana-mana. Pihak pedagang baju/suvenir/makanan di tempat itu berkata bahwa sampah-sampah menumpuk di situ karena kesalahan (dan kemalasan) dinas kebersihan. Sebagai turis, penulis heran mengapa orang-orang di tempat itu tidak berniat membersihkan sampah yang ada dengan menempatkan sampah-sampah itu di karung-karung. Lagi-lagi, pihak pedagang di tempat itu menunjuk hidung dinas kebersihan ketika teman penulis menanyakan mengapa mereka tidak membersihkan sendiri tempat itu. Kata mereka, saat itu, tanggung-jawab dinas kebersihan membersihkan tempat itu bukan tanggung-jawab mereka.
Ketika melihat kondisi kumuh dan penuh sampah di Bunaken, penulis bertanya-tanya apakah pencetus ide Manado Kota Pariwisata Dunia 2010 mengetahui kondisi Bunaken di saat mereka mempromosikan Bunaken dan menempatkan Bunaken sebagai kebanggaan kota Manado. Selain itu, penulis bertanya-tanya: apakah tanggung-jawab pencetus ide tersebut di dalam mengatasi kondisi kumuh Bunaken?
Setelah plesiran ke Bunaken, penulis beruntung dapat berkunjung ke Bukit Kasih. Lagi-lagi, sebelum ke Bukit Kasih, referensi-referensi positif tentang Bukit Kasih bermunculan di benak sehingga menambah rasa ingin tahu. Sesampainya di Bukit Kasih, penulis pertama kali terpukau oleh tangga-tangga yang menapaki bukit itu. Saat itu, terlintas cetusan: gile, boleh juga. Rasa sedih muncul ketika penulis melayangkan pandangan kepada sejumlah kerusakan yang dialami sejumlah anak tangga dan bangunan-bangunan yang ada. Ketika sedih berkelana di dalam hati, menyeruak pemikiran yaitu: Bukit Kasih dibangun untuk dirusak. Pemikiran penulis ini bisa salah apabila pihak pengelola (menurut informasi, pemerintah adalah pengelolanya) melakukan pemeliharaan rutin (untuk mencegah kerusakan), dan memperbaiki apa yang sudah rusak. Tapi, apa mau dikata, penulis meyakini pemikiran penulis benar sebab setelah Bukit Kasih dibangun kerusakan demi kerusakan yang justru dipelihara.
Semua pengalaman itu, menurut hemat penulis, merupakan duri dalam daging program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Melihat semua pengalaman itu, penulis bertanya-tanya Dunia mana yang dimaksudkan oleh program itu: apakah Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya ini? Atau, jangan-jangan, kata Dunia itu menunjuk kepada Dunia orang-orang Manado dan sekitarnya?
Bila kata Dunia itu menunjuk kepada Jagad Raya maka kerusakan Bukit Kasih, pelayanan diskriminatif di Cella Bakery, pelayanan tidak profesional di Ritzy Hotel, laut menjadi pembuangan sampah plastik bahkan sampah tinja manusia, dan minimnya persiapan dan kordinasi para share-holders di Manado, sesungguhnya tidak boleh ada. Tetapi, kalau kata Dunia itu menunjuk kepada dunia Sulut dan sekitarnya, maka wajarlah semua bentuk itu ada. Mengapa? Sebab, torang samua basudara. Artinya, semua orang di Manado adalah tuan rumah yang menganggap para tamu sebagai saudara dekat/jauh yang karena persaudaraan itu pelayanan ala kadarnya merupakan hal lumrah. Kan’ torang samua basudara, sama jo samua.
Sayang, sungguh sayang, pencanangan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010 tidak diikuti oleh pembangunan mental dan etos kerja para share-holders sehingga mereka semua berwawasan ke-Dunia-an. Yang jelas, penulis berpandangan bahwa sungguh absurd (bila tidak mau dikatakan tolol) bila ada seseorang ingin mengundang tamu-tamu dari berbagai belahan dunia ke rumahnya, tetapi ternyata rumahnya penuh sampah (mulai dari plastik sampai kotoran manusia), kerusakan rumah, penghuni rumah dan tetangga punya kecenderungan diskriminatif terhadap tamu. Pada titik ini, mungkin ada yang beralasan, ya memang ini keadaan kami atau beralasan kesederhanaan dan seterusnya. Menanggapi hal ini penulis berkata bahwa kebiasaan menutupi kekurangan dengan membela diri tidak akan pernah membawa perubahan berpikir, mentalitas dan etos kerja. Oleh karena itu, sejak awal seharusnya ada pertobatan (artinya: mengakui kesalahan yang sudah dilakukan, melakukan evaluasi dan kordinasi, dan kemudian melakukan pembangunan yang terencana, terarah, terukur dan terayomi).
PERTOBATAN DAN PEMBENAHAN
Pertobatan yang penulis maksudkan di sini ialah suatu upaya pembenahan (setelah sebelumnya dilakukan pengakuan kesalahan, evaluasi dan kordinasi internal). Di dalam rangka pembenahan ini, penulis melihat hal tersebut sebagai titik-kritis menguji komitmen dan keseriusan pencanangan program Manado Kota Pariwisata Dunia 2010.
Penulis tentu menyadari bahwa tidak semua share-holders di Manado merupakan perusak dari program tersebut. Ada banyak para share-holders yang dapat dikategorikan sebagai pilar penyokong program. Namun demikian, bila para perusak dan kerusakan yang dibuatnya tidak diperhatikan maka hal-hal tersebut dapat menjadi ‘duri dalam daging’. Dan, sebagaimana diketahui khalayak ramai, bila kita memiliki duri di dalam daging kita maka hal itu mengurangi optimalisme performans. Seperti kata pepatah, tumpah nila setitik, rusak susu sebelanga. Artinya, bila memang sudah sungguh-sungguh mencanangkan Manado Kota Pariwisata Dunia 2010, maka tidak boleh ada ruang ketidaksempurnaan untuk hal itu. Namun demikian, bila pencanangan itu sekadar ‘lips service’ atau semacam gincu pemanis wajah Sulut maka sebaiknya pihak-pihak terkait harus berhati-hati sebab bila memang itu yang terjadi maka telah ‘pembualan publik’. Pembualan publik itu dapat disejajarkan dengan pembohongan publik.
Dampak terparah dari ‘lips service’ ialah terbentuknya mentalitas masyarakat Manado yang senang dengan berkata-kata dan integritas masyarakat Manado akan memudar bahkan bisa hilang. Bila ini terjadi, pembenahan semakin sulit dilakukan sebab apa yang mau dibenahi dari orang-orang yang tidak punya integritas dan hobinya senang berkata-kata (sejajar dengan orang yang malas bekerja). Apapun kegiatan yang dicanangkan, bila yang terlibat adalah orang yang hobi berkata-kata (malas bekerja), dan tidak punya integritas, semua kegiatan itu tidak berkembang dan hancur.
Menurut hemat penulis, pembenahan dapat dimulai dari review rencana makro program tersebut. Kalau menggunakan bahasa para arsitektur, planologi dan maket (dari program) harus dilihat secara cermat. Peninjauan ulang rencana makro penting untuk melihat apakah ada ketidakcocokan fokus pembangunan dengan program. Contoh, di dalam upaya menjadikan Manado sebagai Kota Pariwisata Dunia 2010, maka fokus pembangunan ialah (berpusatkan pada) reklamasi pantai dan pembangunan mal-mal di sepanjang Boulevard, dan (kemudian) membiarkan kerusakan Bukit Kasih, sampah di Bunaken, dan lain sebagainya. Bila ini yang terjadi, hal ini menjadi contoh bagus tentang ketidakcocokkan fokus pembangunan dengan program.
Bila review rencana makro telah dilakukan, fokus diarahkan kepada hal-hal mikro (sub rincian) dan mikrokopis (detail dari sub rincian). Pada titik ini, penting untuk menggagas code of conduct bagi para share-holders program dan aktivitas pemantauan lapangan atas pelaksanaan program tersebut.
PENUTUP
Masih tersisa kurang lebih 1,5 tahun menuju Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Apakah waktu yang tersisa itu dapat digunakan seoptimal mungkin untuk melakukan pembenahan? Jawaban dari pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh aparat pemerintah di Manado dan masyarakat Manado. Penulis tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi yang jelas bila pembenahan terjadi maka Manado akan jauh lebih cantik (karena penuh sambutan kepada para tamu), tertata (karena pembangunan mal dan renovasi daerah rusak lainnya seimbang), sehat (karena udara tetap terjaga segar dan sejuk), indah (karena laut bersih dan karena pemandangan bukit dan gunung hijau), dan bermartabat (karena masyarakat menghargai tamu/turis). Akhir kata, kerja keras telah menanti di depan mata para aparat pemerintah dan masyarakat Manado bila benar-benar ingin melaksanakan program tersebut. Bila tidak, sudah jo.. jang buang energi dan dana voor program ndak jelas. God Bless Manado.#