Oleh Yong Ohoitimur MSC
MUNGKIN kebetulan saja, Kebangkitan Nasional 100 tahun lalu dan Reformasi 10 tahun lalu terjadi dalam bulan Mei. Namun hakikat dua peristiwa itu berbeda bagi bangsa Indonesia. Kebangkitan nasional menyatakan tekad Budi Utomo dan generasinya untuk merdeka dari penindasan penjajahan, menjadi bangsa yang bermartabat, dengan tujuan pula untuk menikmati keadilan dan kesejahteraan. Gerakan reformasi menghendaki pemerintahan yang baru, lepas dari kekuasaan Soeharto yang selama 32 tahun memimpin rakyat Indonesia secara sentralistik tanpa semangat demokrasi. Pertanyaannya, apakah hasil kebangkitan nasional dan gerakan reformasi telah dinikmati rakyat Indonesia sekarang ini?
Jawabannya negatif. Berbagai masalah yang besar dan rumit yang mendera kehidupan rakyat negeri ini dengan gamblang memperlihatkan bahwa tidak ada hasil yang sangat signifikan. Dari hari ke hari kita hanya mendapati berbagai masalah yang semakin transparan, terutama masalah ketidakadilan yang mewujud dalam kemiskinan yang diderita rakyat pada umumnya. Pada waktu cita-cita kebangkitan nasional tercapai di saat kemerdekaan diproklamasikan, rakyat tentu berharap bahwa keadilan dan kesejahteraan akan dinikmati. Hidup yang bermartabat dan berperikemanusiaan, keadilan sosial dan kesejahteraan, dicanangkan oleh founding fathers sebagai arah dan sasaran hidup bernegara. Tujuan mulia itu dibakukan dalam konstitusi negara, yaitu UUD 1945. Tetapi apakah sekarang ini konstitusi negara masih dipegang teguh sebagai dasar bagi penyelenggaraan negara? Dengan sedih harus dijawab, tidak jelas. Masalah korupsi dan kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang berbeda kepercayaan, menjadi contoh bukti nyata bagaimana konstitusi tidak dipedulikan sama sekali. Pancasila dan konstitusi tidak lagi dirujuk sebagai landasan bagi keputusan-keputusan politis, dan tidak pula dipegang sebagai nilai standar perilaku moral publik.
Sementara itu, gerakan reformasi terasa tak lebih daripada sentimen melawan Soeharto. Pada waktu gerakan itu bergulir, tujuan tunggal yang menonjol hanyalah agar Soeharto berhenti sebagai presiden. Dan itu tercapai. Kurang ruang bagi percakapan serius tentang bagaimana membebaskan negeri ini dari ketidakadilan sosial, kemiskinan dan pengangguran. Hasilnya, sesudah Soeharto berhenti, praktek politik yang dituduhkan pada Soeharto menyebar ke semua penjuru negeri ini. Kita mendapatkan iklim politik yang menjadikan kepentingan material dan kekuasaan sebagai dasar dan ukuran segala pertimbangan publik. Undang-undang dan produk-produk hukum dibuat karena kepentingan sempit, bukan demi kepentingan bangsa sebagai keseluruhan. Pembangunan segala bidang, termasuk pendidikan, dirumuskan dalam bentuk proyek-proyek yang membuka ruang selebar-lebarnya bagi korupsi dan kolusi. Partai-partai politik sangat berkuasa, dan melalui badan legislatif mengendalikan pemerintah. Saat-saat penyelenggaraan pilkada di daerah-daerah menjadi bagaikan pasar di mana transaksi politik berlangsung nyaris tanpa etika politik (karena uang menjadi dasar pertimbangan yang sangat menentukan!). Para calon gubernur/bupati/walikota pun hanya bisa berbicara tentang janji-janji yang tak terukur. Dalam batasan itu, kita memilih seseorang lebih berdasarkan harapan (hope), belum atas dasar trust rakyat.
Selama 10 tahun reformasi, sangat dirasakan betapa lemahnya civil society kita, karena tidak ada kesadaran yang menyatukan kita sebagai satu bangsa. Kita terpecah dan terkotak-kotak menurut berbagai kategori seperti agama, suku-ras, golongan, dan juga partai politik. Dalam ruang kategori-kategori itu masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Celakanya, di negeri ini agama-agama dianggap sangat penting, tetapi kesadaran agama justru ditransformasi menjadi kesadaran politik melalui organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.
Maka, pada ulang tahun ke-100 kebangkitan nasional dan ulang tahun ke-10 reformasi semestinya kita membaharui kesadaran kebangsaan kita. Untuk mengatasi masalah-masalah yang begitu banyak, kita mengharapkan pemimpin nasional tampil di hadapan kita untuk memastikan bahwa kita harus kembali kepada dan berpegang teguh pada konstitusi negara. Saatnya juga sekarang, pemimpin nasional memberikan rasa optimisme yang mempersatukan kita untuk bangkit bersama-sama menghadapi masalah-masalah yang ada. Kita memerlukan kesadaran yang menyatukan bangsa, karena hanya dengan kesadaran serupa itu, maka kebijakan atau keputusan publik akan berpihak pada rakyat dan memberikan rasa keadilan bagi semua orang. Singkatnya, kita membutuhkan sekarang ini suatu “Sumpah Kebangsaan” untuk setia pada konstitusi negara dan solider sebagai satu bangsa. #