Oleh dr Taufiq Pasiak
ALHAMDULILLAH, hari ini saya mendapat kehormatan untuk menjadi keynote speech dalam satu sesi seminar memperingati dies Natalis Universitas Negeri Jogjakarta (UNJ). Ini bukan sekadar kesempatan untuk sharing, tukar menukar pengalaman, uji gagasan atau promosi hasil penelitian, ide dan karya-karya. Lebih dari itu, bagi saya, ini sebuah kehormatan yang patut disyukuri. Sebagai orang yang berlatar belakang ilmu eksakta, dan karena itu akrab dengan hal-hal empirik, kesempatan berbicara di hadapan ilmuwan-ilmuwan sosial merupakan kesempatan berharga dalam 2 hal; pertama, menguji gagasan saya tentang spiritualitas yang saya teliti sejak 4 tahun lalu dalam rangka penulisan disertasi, kedua, saya dapat melihat sejauh mana sains sosial melihat spiritualitas dalam dinamika keilmuan mereka. Tema seminar ini sangat menantang; “spiritualitas dalam ilmu pengetahuan sosial”. Pembicaranya merupakan orang yang ahli dalam bidang ini. Pesertanya berasal dari beberapa negara tetangga, di samping dari tanah air sendiri.
Seberapa pentingkah spiritualitas itu dalam sains? Kebanyakan ilmuwan menjawab bahwa spiritualitas memiliki wilayahnya sendiri, dan sains juga memiliki wilayah sendiri. 2 wilayah ini tak mungkin digabung. Ontologi (objek ilmu) dan epistemologi (metode ilmu) nya berbeda. Sains sosial dapat dijangkau pelbagai fenomena yang ada, sementara spiritualitas berada di luar fenomena alias tak dapat dijangkau. Seorang ilmuwan menyatakan; “bagaimana ruh itu bisa dijangkau”. “Jika saya tak percaya adanya ruh bagaimana mungkin saya mempercayai adanya spiritualitas. Seorang psikolog terkenal bahkan dengan garang berkata: “sedangkan jiwa saja tak dapat dijangkau oleh psikologi. Apalagi ruh”. Adalah mustahil membawa spiritualitas ke dalam wilayah sains sebagai mustahilnya membawa sains dalam wilayah spiritualitas. Bahkan dalam banyak hal terdapat pertentangan terbuka antara keduanya. Anda mungkin ingat hukum Kekekalan Energi dari (Lavoiser) yang menyatakan bahwa energi (atau materi) tidak dapat dimusnahkan, kecuali berubah bentuk. Anda bandingkan dengan pernyataan semua kitab suci bahwa benda-benda (tentu mengandung massa dan energi) sekali waktu akan hancur manakala kiamat terjadi. Bumi adalah materi (energi) yang pasti akan hancur. Jelas sekali —kata kebanyakan orang— bahwa sains kimia (Hukum Kekekalan Energi) itu tidak bisa menyatu dengan ajaran kitab suci. Demikian halnya dengan teori Evolusi Darwin yang melihat bahwa manusia berkembang secara evolutif menjadi manusia seperti hari ini. Semula manusia adalah makhluk bersel tunggal yang pelan demi pelan berkembang dan bertumbuh sehingga menghasilkan sejumlah hewan antara yang akhirnya menjadi manusia. Fase-fase antara itu berupa hewan-hewan rendah yang fosilnya dapat ditemukan. Menurut Darwin, homo sapiens (saya dan Anda, dan kita semua manusia) merupakan hasil dari perkembangan homo habilis (makhluk primata non manusia, yang setengah binatang). Bandingkan pendapat sains ini dengan ajaran kitab suci tentang keistimewaan manusia. Alkitab melukiskan manusia sebagai imago dei (citra Tuhan). Alquran menyebut manusia sebagai khalifatun fil ‘ardh (makhluk mulia, pemimpin di dunia). Kebanyakan ahli menyetujui bahwa mustahil menggabungkan kedua wilayah itu. Mustahil, mustahil dan impossible!
Anda perhatikan juga ilmu kedokteran. Ilmu yang paling dekat dengan manusia karena mempelajari manusia secara langsung. Boleh dikata, ilmu ini adalah ilmu yang berada di garda depan menolak spiritualitas meskipun ilmu ini secara gamang mengakui adanya jiwa manusia, melalui cabangnya psikiatri (psikiatri adalah cabang ilmu kedokteran yang menggabungkan filsafat manusia dan ilmu kedokteran biologis). Ironis, kebanyakan psikiater merupakan dokter yang kurang memahami spiritualitas manusia secara utuh. Mungkin karena pendidikan mereka yang lebih banyak melihat manusia sebagai si sakit jiwa. Paradigma psikiatri hingga saat ini masih berkutat bolak-balik soal mental disorder (gangguan mental). Mereka masih canggung dan ragu masuk dan membahas tentang mental well being. Ironi yang lain, meskipun kebanyakan dokter sudah berkoar tentang pendekatan biopsikososiospiritual terhadap manusia, tetapi ada lebih banyak dokter yang melihat manusia sebagai makhluk biologis semata. Kalau Anda sakit kepala dan datang berobat ke dokter, maka kebanyakan dokter akan memberikan Anda obat penghilang sakit. Solusi ini berlangsung otomatis dalam benak setiap dokter. Kalau ada dokter yang mau tahu lebih jauh, maka itu terjadi karena wawasan atau pengalaman yang lain di luar ilmu kedokteran. Anda tidak usah heran, tidak ada satu titik pun —saya ulangi, satu titik pun— dalam paradigma ilmu kedokteran yang memberi ruang pada spiritualitas ini. Para dokter tidak pernah diajar tentang adanya spiritualitas dalam diri manusia. Yang ada di benak para dokter, sebagaimana itu dididik bertahun-tahun dalam proses pendidikan mereka, manusia hanyalah kumpulan rangka, otot, saraf dan tulang belulang. Kalau ada dokter yang memahami adanya spiritualitas ini, maka itu lebih karena pengalaman dan wawasan mereka. Bukan karena mereka dididik untuk itu. Ada banyak dokter yang meminta pasien mereka untuk berdoa, melakukan ritual tertentu, atau memberikan social support untuk membantu proses pengobatan meskipun mereka tidak bisa menjelaskan dengan meyakinkan alasan-alasan ilmiah untuk itu. Fenomena spiritualitas ini menjadi menarik karena lahirnya KIPDI (Kurikulum Inti Pendidikan Dokter) III yang lebih luas memberikan ruang bagi spiritualitas ini. FK Universitas Pelita Harapan (UPH) bahkan menambah 1 kompetensi lagi (sehingga menjadi 8 kompetensi KIPDI III) dengan judul ‘kompetensi spiritual’ yang harus dimiliki oleh setiap dokter lulusan UPH. FK UMS di Solo bahkan mulai merancang konsep-konsep hipotetik tentang ini.
Spiritualitas sesungguhnya memiliki bukti empirik yang memungkinkannya masuk ke dalam sains tertentu. Riset-riset neurosains menunjukkan banyak sekali bukti adanya sirkuit spiritual dalam otak. Persis seperti sirkuit untuk bahasa, sirkuit spiritual memiliki pemancar-pemancar tertentu yang dapat aktif baik karena rangsangan dari luar maupun dari dalam. Spiritualitas membentang dari sekadar perasaan takjub (terpesona melihat sesuatu), cinta (larut dalam sebuah pikiran atau tindakan) hingga perasaan menyatu (Union Mystica menurut Kristiani, aninhilasi menurut Islam dan nirvana menurut Hindu). Bentangan spiritualitas ini memiliki sirkuit masing-masing yang berbeda dalam otak. Temuan ini menunjukkan bahwa sebagaimana kegiatan berbahasa, spiritualitas juga diproses secara spesifik dalam otak. Hasil-hasil pemindaian otak menggunakan alat-alat canggih berhasil membuktikan adanya spiritualitas itu. Anda pun bisa mencermati bagaimana perbedaan lahiriah antara penderita skizofrenia (dengan waham agama) dan mistikus yang mengalami perasaan tertentu (Ygy, 090508).#