14 Mei 2008

Akselerasi Transformasi Unsrat

(Tulang Punggung WOC)

Oleh Johny Weol*

“IS IT POSSIBLE FOR INDONESIA TO BE APPOINTED A HARVARD UNIVERSITY EXPERT”?
Tantangan Unsrat ke depan antara lain “akselerasi transformasi” menuju universitas riset dan entrepreneurial. “Unsrat sebagai” center of exellent - the Harvard-nya Sulut harus segera berbenah diri, pasca Pilrek 2008.
Terlihat jelas akademisi Unsrat mendominasi peran terselenggaranya WOC 2009. Unsrat menjadi tulang punggung hajatan akbar dan global tersebut. Akselerasi transformasi ini dibutuhkan dalam rangka “tata kelola” Biaya Operasional Pendidikan (BOP) atau biaya yang dibayarkan para orang tua mahasiswa, juga kontribusi dana Non-BOP agar kualitas pendidikan lebih baik. Akses internet seperti lewat gelombang Wi-Fi ke seluruh wilayah kampus perlu ditata. Untuk bersaing perlu kampus ber-AC hingga buku memadai.
Life cycle teknologi yang pendek di mana setiap 2-3 tahun komputer harus diganti, jadi tantangan tersendiri. Termasuk di dalamnya “electronic books” dengan ribuan judul jurnal internasional perlu tersedia. Memang kekeliruan entrepreneurial sering disalahartikan sebagai “bisnis”, “komersialisasi” dan itu salah, karena revenue yang besar akan dikembalikan dalam bentuk kualitas pendidikan.
Tantangan lain, “admission fee”, apa mau melihat seperti Universitas Trisakti Rp40 juta, Binus Rp32 juta, atau sesuai kemampuan yang ada. Dana besar Unsrat atau umumnya PT-PT di Indonesia (apalagi swasta) memang berasal dari BOP.
Yang mampu jelas membayar “full cost”. Jalan keluar yang ada, mahasiswa mendapat pinjaman pendidikan, lalu kembalikan dana itu setelah lima tahun bekerja. Ada juga pemberian “allowance” bagi mahasiswa tak mampu tapi berprestasi. Pungutan liar harus ditiadakan di setiap fakultas apabila ada. Transparansi SPP mesti jelas dan diatur sebijaksana mungkin seraya menghindari gejolak mahasiswa. Terlihat optimalisasi peran alumni perlu sekali digiatkan, disertai penyelenggaraan “academic venture” atau unit usaha academic. Perlu diluncurkan “knowledge venture”, karena Unsrat punya segudang ahli. Semua menuju “commercial venture” dan “asset management” dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemajuan Unsrat. Jelas, budaya wirausaha bukan berarti semua aktivitas harus mendatangkan uang secara langsung. Entrepreneurial juga berarti kerja keras, ulet, innovatif, kreatif, berani ambil risiko (disebut entrepreneurial culture).
Sebaliknya, kadang-kadang kita menghasilkan lulusan yang sangat menguasai keilmuan tertentu, tetapi kebutuhan masyarakat tidak setinggi keilmuan tersebut. Cepat atau lambat, Rektor Unsrat beserta jajarannya, akan mengawal kampus sebagai universitas riset kelas Indonesia dan global yang berkarakter kewirausahaan.
Jelas perlu transformasi di segala bidang. Perlu budaya meneliti para dosen menjadi investasi dan modal penting mewujudkan cita-cita tersebut di atas. Meminjam kata Gumilar Somantri “Lifting to Global Best” yang disambut Sheldon Nord: Time For World-Class Education. Dalam bidang kedokteran “time to call in more doctors” (di Indonesia ada 70.000 dokter untuk melayani 220 juta penduduk, Fakedok 52 se-Indonesia hanya menghasilkan 4.000 dokter setahun). The power of education, memenuhi semua tuntutan derasnya science dan teknologi dan itu berarti perang mutu yang tak ada akhirnya di Kampus Unsrat tercinta. Mari majukan Unsrat menyambut WOC 2009, menjadi peran akademisi plus Rektor Unsrat yang baru mendatang. God Bless Unsrat, Amen!#