07 Mei 2008

Stigma Bidang Pertambangan dan Regulasi Perundangan di Tengah Isu Global

Oleh Benhard C Korah*

BERAWAL dari sebuah persepsi yang dilandasi berbagai paradigma sudah pasti akan membuahkan sebuah stigma.
Dua topik menarik masalah lingkungan mewarnai pemberitaan media cetak nasional bulan Desember di penghujung 2007. Kementerian Negara Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hasil keseluruhan Konferensi PBB tentang perubahan iklim atau United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), memuaskan. Skema pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang yang sejak awal digagas menjadi salah satu keputusan yang disepakati. “Hasilnya konkret sebagaimana niat awal PBB dan hasil seperti itulah yang diharapkan,’’ kata Menneg LH Rachmat Witoelar di Jakarta, Selasa (18/12-2007). Pada lembaran yang sama Harian Kompas memberitakan. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketuai I Ketut Manika menolak seluruh gugatan WALHI terhadap PT. Newmont Minahasa Raya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Putusan Majelis Hakim yang beranggotakan Efran Basuning dan Edi Risdiyanto diperoleh dengan suara bulat, tanpa “dissenting opinion”. Putusan itu dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 18/12-2007, Majelis Hakim menilai WALHI sebagai organisasi Lingkungan Hidup hanya dapat mengajukan gugatan untuk pelestarian Lingkungan Hidup, mendasarkan pada kerusakan lingkungan dan mendapatkan tuntutan ganti rugi demi kelestarian lingkungan. (Kompas, 19/12-2007).
Suatu respon spontan terekspresi dari masyarakat Buyat dan Ratatotok ketika menyambut Putusan Majelis Hakim Kantor Pengadilan Negeri Jaksel Selasa 18/12-2007.
“Buyat bersih!, kita semua yang hidup disini tahu itu semua dan berharap kini orang lain pun tahu dan percaya itu juga, cukup sudah! ujar Robert Sasuwuhe Kepala Desa Buyat.(Siaran Pers-Media Center PT. NMR, Desember 2007.”
Selanjutnya pernyataan itu menyatakan, agar dengan putusan ini diharapkan para warga dapat melanjutkan kehidupan mereka dengan tenang, damai dan dapat kembali bekerja mencari ikan di Teluk Buyat. Kantor Dinas Pariwisata Pemda terus mempromosikan Teluk Buyat sebagai salah satu lokasi penyelaman terbaik di Indonesia karena airnya jernih dan berlimpah kehidupan laut di sana.
Pada 10 tahun silam (1998) saat penulis bergabung dalam tim eksplorasi PT NMR lokasi lubang dalam (Pit) Mesel di tambang sekitar + 50 - 100 meter dari muka laut (target ± minus 250 m dari muka laut). Pit Mesel menjadi sumber data referensi geologist mendalami tipe mineralisasi guna pengembangan pencaharian ore deposit baru di sekitar Mesel. Awalnya Pit Mesel berbentuk sebuah bukit yang pada peta topografi disebut gunung Mesel dengan ketinggian + 420 m muka laut. Secara geografis berlokasi ± 5 km utara Desa Ratatotok-Mitra/Sulut. Tipe deposit Mesel pada blok eksplorasi Contract of Work Area PT. NMR, HEINS FIND, dengan litologi batuan vulkanik andesit-mengintrusi (menerobos) batuan sedimen batu gamping pada : Au-Cu porphiri dengan adanya VEIN-AU pada batuan vulkanik Andesit porphiri, adanya phenokrist, Quarts eyes dan pyrite dissminated (TURNER et al, 1994). Secara umum litologi batuan di sekitar Mesel pit adalah batuan sedimen batu gamping. Setelah PT. NMR komit dengan konservasi lingkungan sesuai pasal 30 UUPP No. 11/1967 tentang reklamasi lahan bekas tambang pasca mining, kini bentuk fisik morfologi topografi-bentang alam telah kembali semula. Berikut kutipan Data Kronologis Aktivitas dan Rencana Proyek Pasca Penutupan Tambang PT. NMR 2004-2009: Pemantauan Pasca Tambang dan Pemeliharaan Reklamasi, Januari 2010; Penyerahan kembali bekas lahan tambang yang sudah direklamasi kepada pemerintah daerah.
• STIGMA TELUK BUYAT DAN PERSEPSI PERTAMBANGAN
Bila dicermati selama ini seiring jalannya waktu sebelum polemik Teluk Buyat (TB) diputuskan Pengadilan Negeri Manado dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, berbagai kesan sekitar persoalan dugaan pencemaran telah terintegrasi dalam suatu persepsi yang pada akhirnya menciptakan sebuah stigma secara umum pada bidang pertambangan. Apalagi dikaitkan dengan paradigma yang merupakan contoh kegagalan bidang pertambangan sejak kejatuhan pemerintah Orba. Sebut saja, kasus Karaha Bodas Corporation (panas bumi) dimana perusahaan itu menuntut Pertamina dan Pemerintah RI di Pengadilan Arbiterase Internasional sebesar US $ 319 juta dan dimenangkan KBC. Lalu skandal manipulasi data kandungan emas oleh PT. BRE-X di Busang/Kaltim, PT. Freeport Indonesia dan terakhir PT. Lapindo Brantas (gas alam) di Sidoarjo/Jatim.
Ditambah lagi isu-isu global dunia mulai dari dampak perubahan iklim pemanasan global di Konferensi PBB (UNFCCC) Nusadua Bali Desember 2007. Sebuah informasi faktual ataupun tidak hal itu merupakan faktor penentu langkah awal dalam memahami, melakukan suatu pengamatan (persepsi) terhadap suatu permasalahan. Berdasarkan contoh atau pedoman (paradigma) bila didasari pada hal-hal yang berlebihan sudah pasti akan melahirkan sebuah stigma (Webster’s Dictionary- noda, cacat) dan akan menciptakan sumber krisis. Persepsi itu merupakan bagian dari informasi ilmu komunikasi.
Stigma TB dan persepsi bidang pertambangan lainnya semakin berpolemik di media cetak daerah pra putusan pengadilan di Kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 18/12-2007 lalu. Selain itu iven internasional konferensi PBB tentang pemanasan global terkait lingkungan di Nusadua Bali boleh jadi dapat menambah beban psikologis sektor pertambangan daerah.
• PEMANASAN GLOBAL
Semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia disertai meningkatnya kegiatan manusia dalam bidang transportasi maka para pakar atmosfer dunia memprediksi akan terjadi kenaikan suhu di seluruh permukaan bumi atau disebut pemanasan global. Pemanasan global terjadi sangat cepat, karena disebabkan efek rumah kaca/ERK dan gas rumah kaca/GRK, ERK: dimana energi matahari yang masuk ke bumi mengalami 25 persen dipantulkan oleh awan atau partikel lain di atmosfer, 25 persen diserap awan, 45 persen diadsorpsi permukaan bumi, 5 persen dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diadsorpsi dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah (IM) oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar IM yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan dan gas CO2 dan gas rumah kaca lainnya untuk dikembalikan kepermukaan bumi. Dalam keadaan normal ERK dibutuhkan. Dengan adanya ERK perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak jauh berbeda; artinya pada waktu malam suhu rata-rata di permukaan bumi yang tidak terkena energi matahari akan sangat rendah bila tidak ada ERK. Selain gas CO2 yang dapat menimbulkan ERK adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dfan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan kholrofluoro karbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam peningkatan ERK dan disebut gas rumah kaca/GRK.
Akibat dari kenaikan suhu yang cepat menyebabkan perubahan iklim yang cepat dan akan mengakibatkan terganggunya hutan dan ekosistem lain, sehingga mengurangi kemampuannya untuk menyerap CO2 di atmosfer. Dapat menyebabkan lepasnya karbon dalam tanah, dalam bentuk bahan-bahan “organik” yang kemudian teruraikan menjadi CO2 dan CH4 oleh kegiatan mikroba tanah. Iklim yang bertambah panas akan meningkatkan aktivitas mikroba, yang pada akhirnya akan meningkatkan pemanasan global. Gunung–gunung es di daerah kutub mencair dan dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut, erosi wilayah pesisir, kerusakan hutan bakau, terganggunya terumbu karang, naiknya salinitas Estuari dan wilayah pesisir lainnya, perubahan lokasi sedimentasi, berkurangnya intensitas cahaya dasar laut serta tinggi gelombang. Keseimbangan biologis di laut akan mengalami perubahan yang dapat meningkatkan jumlah ganggang di lautan. Beberapa jenis ganggang dapat mengeluarkan racun dan membahayakan kehidupan laut serta berbahaya bagi manusia pekonsumsi ikan dan hasil laut lainnya. Jadi, pemanasan global selain berdampak bagi ekosistem tetapi juga mempengaruhi sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat. (Dr. Rukaesih Achmad, MSi dalam Kimia Lingkungan, h. 2-4, 2004).
• REGULASI PERUNDANGAN PERTAMBANGAN UMUM
Pengusahaan sumber daya alam tak terbarukan (unrenewable) bahan galian vital emas, tembaga, perak dan lain-lain sebagai mineral senyawa anorganik diatur atau diregulasi oleh pemerintah melalui undang-undang negara pertambangan umum. Sedangkan minyak bumi, gas alam dan batu bara merupakan senyawa organik diatur melalui UU Migas dan Panas Bumi. Pengusahaan pertambangan umum dengan sistem kontrak karya (KK) diregulasi melalui UU RI No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing. Pengelolaan lingkungan hidupnya diatur melalui UU No. 23 tahun 1967. Di saat pemerintah Orba pengusahaan pertambangan berorientasi pada pembangunan seluas-luasnya dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat serta pengelolaan lingkungan hidup sekitarnya. Setelah berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah pada pasal 10 menyebutkan daerah diberikan kewenangan mengelola SDA nasional yang ada di wilayahnya. Kewenangan dimaksud sesuai peraturan pemerintah/PP No. 25 tahun 2000 sebagai implementasi pasal 12 UUPD tahun 1999, yang mengatur secara jelas tentang bidang-bidang pembangunan yang menjadi kewenangan antar pemerintah pusat dan daerah provinsi. Antara UUPP 1967 dan UUPD 1999 terdapat perbedaan prinsipil (Abrar S, 2004). Jadi di era Otda sekarang ini UUPP 1967 harus menyesuaikan dengan UUPD 1999, makanya pemerintah sedang meratifikasi Rancangan Undang-Undang Pertambangan Minerba (RUUP Minerba) untuk menggantikan UUPP No. 11/1967.
Lingkungan Hidup dan Kesejahteraan Rakyat. Dalam Pengusahaan pertambangan umum sesuai Pasal 30 UUPP No. 11 tahun 1967 menyebutkan: ‘’Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitar’’.
Dalam rancangan UU Pertambangan Minerba (RUUP Minerba) pada pasal 16 item 2 Bab IV menyebutkan: ‘’Dalam hal hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) pada kegiatan studi kelayakan diperkirakan terdapat dampak lingkungan yang bersifat regional, maka IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan IUP Eksplorasi diberikan oleh Gubernur dengan rekomendasi dan Bupati/Walikota yang bersangkutan’’. Hal ini menurut penulis sesuai Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kewenangan pada gubernur. Selanjutnya pada pasal-pasal 32, 33, 34, 35 dan 36 khusus mengatur tentang; keselamatan kerja pertambangan, pengelolaan dan pemantauan LH, reklamasi, upaya konservasi, pembuangan sisa tambang dan lain-lain. Jelas dalam sistem RUUP Minerba yang baru pengelolaan LH di area lokasi tambang sangat/wajib diperhatikan guna mendapatkan keseimbangan ekosistem dan menjamin pembangunan berkelanjutan melalui pembangunan pertambangan. Seperti kenyataannya saat ini, adanya aktivitas pasca penutupan tambang PT NMR di lokasi Mesel Ratatotok-Kabupaten Mitra Sulut itu hingga penyerahan kembali area lahan bekas tambang kepada pemerintah 2010 mendatang.
Guna kesejahteraan rakyat pada pasal 37 menyebutkan: mengutamakan pemanfaatan tenaga kerja setempat, barang dan jasa dalam negeri secara transparan. Pasal 38; tentang membantu pemerintah dalam melaksanakan pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat (community development) setempat diatur dengan peraturan pemerintah. Sedangkan pasal 39; mengembangkan kemitraan dengan masyarakat, pengusaha kecil/menengah setempat berdasarkan prinsip saling menguntungkan. (RUUP Minerba, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 26/No. 2/2007). Perusahaan pemegang kuasa pertambangan (KP) dalam sistem KK yang sementara berjalan/beroperasi saat ini diatur dalam pasal-pasal aturan Ketentuan Peralihan RUUP Minerba.
Menurut pengamatan penulis, adanya ‘’Political Will’’ pemerintah mereformasi regulasi UU pertambangan umum di era otonomi daerah dari UUPP 1967 ke UUP Minerba, dimana sistem KK diganti dengan Izin Usaha Pertambangan, sudahlah tepat. UUPP 1967 harus menyesuaikan dengan UUPD 1999 (Abrar S, 2004). Memang UUPP 1967 pada pelaksanaannya lebih berorientasi kepada pembangunan seluas-luasnya (developmentalist), sedangkan di era Otda adanya UUP Minerba (sementara ratifikasi eksekutif dan legislatif) pada pelaksanaannya diharapkan berorientasi kepada konservasi lingkungan ‘’environmentalist’’ (Wibowo, 2005) dan kesejahteraan rakyat (pro rakyat) sesuai pasal 33, ayat (3) UUD 1945. Bagaimana iklim investasi pertambangan daerah Sulut di tengah-tengah isu global?
* IKLIM SEKTOR PERTAMBANGAN DAERAH SULUT
Dewasa ini, setelah kita melihat kenyataan faktual secara hukum keadaan Teluk Buyat, eksistensi aktivitas ideal sektor pertambangan (terlepas dari kegagalan masa lalu) dalam regulasi perundangannya (sistem UUP Minerba), apakah stigma negatif sektor pertambangan (khususnya daerah) masih dipertahankan bahkan dipelihara selamanya? Penulis yakin hingga kini stigma TB itu masih melekat di lembaran sejarah pembangunan daerah, meski secara faktual sesuai yurisprudensi Pengadilan Negeri (PN Manado dan PN Jaksel) telah bulat dan final; tidak ada pencemaran di Teluk Buyat.
Di era globaliasi dimana sistem komunikasi informasi sangat menunjang, berbagai kemajuan dan dampak Iptek telah mengungkapkan (salah satu) penyebab berbagai macam penyakit adalah pemanasan global; deforestasi dan degradasi hutan dapat mengakibatkan bencana alam, pengangguran dan peningkatan jumlah rakyat miskin. Kontribusi terbesar emisi GRK berasal dari penggunaan sumberdaya energi tak terbarukan-bahan bakar fosil bidang transportasi. Negara-negara industri maju penyumbang terbesar emisi karbon CO2 pada pemanasan global, sedangkan RI adalah negara berkembang memerlukan peningkatan pembangunan termasuk bidang pertambangan. Kontribusi bagi devisa negara dari sektor energi migas menyumbangkan 27 persen (Kompas, 5/1-2008). Negara maju harus mengurangi emisi karbon 25-40 persen (dari tingkat emisi 1990), hal ini merupakan kesepakatan konferensi PBB UNFCCC sebagai Bali Road Map menyongsong berakhirnya Protokol Kyoto 2012 mendatang (MP, 17/12-2007). Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto pada 3/12-2004 melalui UU No. 17/2007. Dalam menyikapi lonjakan harga minyak mentah dunia di level 100 US $ perbarel, pemerintah menempuh kebijakan mengurangi tingkat konsumsi BBM, tetapi harus meningkatkan jumlah hasil produksi/daya angkat (lifting) BBM daerah penghasil dalam negeri. Insentif atraktif diberikan pemerintah di bidang pertambangan migas agar lifting dapat digenjot naik. Lifting crude-oil RI dewasa ini hanya mencapai ± 950 ribu barel per hari (data DESDM, Kompas 5-01/2008) sedangkan kebutuhan konsumsi BBM mencapai 1,3 juta barel per hari. Predikat ‘’World Award-NET OIL IMPORTIR’’ telah disandang negara RI karena tingkat kebutuhan (demand) melampaui kemampuan produksi atau ‘’lifting’’ (supply) dalam negeri. Bagaimana kondisi sektor andalan daerah (pariwisata dan perikanan) ketika harga BBM industri harus disesuaikan pemerintah dengan harga keekonomiannya? Iklim sektor pertambangan daerah di tengah berbagai isu global menjelang WOC 2009 mendatang. Kalau saja Pemda akan melakukan suatu inovasi mengapa tak memperhitungkan (atau hanya menutup mata?) atas suatu putusan yustisi positif tentang keadaan faktual TB? Sekarang saatnya kita melakukan introspeksi dan menyadari keadaan TB, sesuai yurisprudensi final Pengadilan (PN Manado dan PN Jaksel) dugaan pencemaran itu tak terbukti, Teluk Buyat bersih!. Seharusnya dengan sebuah resolusi stigma TB itu kita buang saja. Dalam memahami aktivitas pertambangan tak perlu menggunakan paradigma-paradigma tak bertanggung jawab dari perusahaan pertambangan yang bermasalah. Berbagai ‘’dam tailing failure’’ perusahaan mining negara-negara dunia dijadikan paradigma berlebihan. Contoh: Marcopper Mine ditambang Marinduque-Filipina 1996 dan rusaknya Tailing Dam di Mochikoshi-1/Jepang 1978. Memang hal itu tak dapat dipungkiri, tetapi bila digunakan berlebihan, so pasti hasilnya stigma negatif. Padahal banyak saja contoh konkret, bahkan telah menjadi bahan studing anggota dewan yaitu tentang penggunaan ‘’tailing storage facility/TSF’’ di PT ANTAM Pongkor-Jabar. Dam Tailing PT. Nusa Halmahera Minerals/PT. NHM di Halmahera, PT Avoced di Bolmong dan PT. ANTAM di Pongkor-Jabar, ketiganya beroperasi di daerah rawan gempa tektonik tetapi kenyataannya no problem! Secara geologis daerah operasi pemegang kuasa pertambangan di tanah air dari Pulau Sumatera, Jawa, Sumbawa, Papua, Sulawesi dan Halmahera, bahkan hingga negara-negara Filipina, Jepang dan Taiwan berada di zona pinggiran lempeng tektonik bagian selatan-barat Lingkar Pasifik atau ''South West Pasific Rim-Plate Margin’’ pada jalur busur magmatik (pertemuan Eurasian Plate-Australia India Plate-Pacific Plate). Dimana berbagai sistem mineralisasi ore deposit tembaga-emas potensial di tanah air diketemukan (Corbett & Leach, 1996). Magma yang keluar dari perut bumi di ‘’Pacific Ring of Fire atau Cincin Berapi Pasifik’’ itu banyak mengandung berbagai logam berharga (tembaga-emas) terutama di kawasan Indonesia Timur. Dari luas 68 persen wilayah NKRI dengan luas 1,3 juta km2 diperkirakan menyimpan 81,2 persen cadangan bahan tambang Indonesia. (Koesnaryo dalam PERHAPI, 2002: 1, dikutip Kiroyan, 2007).
Berkaitan aktivitas PT Meares Soputan Mining. Kendala operasionalnya, bila hanya dilandasi adanya stigma TB/NMR (2004-2007 sedang proses hukum) sebaiknya persepsi yang ada dikaji ulang. Dewasa ini diperlukan adanya suatu komunikasi proaktif, persuasif tidak defensif dan dengan pendekatan organisasi (Nina Widodo, Kompas, 7/7 2007). Senada Nina, pernyataan Dirjen Minerba DESDM Bapak Dr Ir Simon Sembiring agar Pemda-DPRD dan semua stakeholder dapat duduk satu meja mengkomunikasikan PT MSM (MP, 7/8-2007). TSF PT MSM telah didesain dengan memperhitungkan tingkat gempa maksimum 9 SR. Pengelolaan lingkungan mengikuti standar ekuator prinsipal (standard dunia) dan persetujuannya ditetapkan oleh Bank Dunia. Bila ditinjau dari penerimaan masyarakat untuk sebuah ‘’License to Operate’’ (Kiroyan, 2007). Adanya pernyataan 80 persen masyarakat lingkar tambang hasil survey Lemlit Unsrat April 2007 dan SK hasil sidang pleno 25 anggota DPRD Minut 15 Nopember 2007, dimana ke-13 anggota menerima operasional MSM, hal ini merupakan sinyal positif penerimaan warga masyarakat terhadap PT MSM.
Jangan lupa, sekarang ini sistem KK-UUPP No. 11/1967 telah direformasi, diganti UUP Minerba dengan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP). Pemegang kuasa pertambangan dengan pola KK yang sementara berjalan diatur melalui pasal-pasal ketentuan peralihan. PT Freeport Indonesia, sesuai perkembangan saat ini atas inisiatif legislatif-eksekutif telah memutuskan merevisi 15 poin kewajiban dalam KK, salah satunya besaran royalti, juga PT INCO setuju mengubah royaltinya ke pemerintah. (Kontan 24/7 dan 19/8-2007).
Ada 3 (tiga) hal harus diperhatikan: I) Paradigma usaha pertambangan itu profit baik buat pemerintah dan perusahaan, II) lingkungan dan III) adalah ‘’community development’’. Jelasnya lingkungan dan COMDEV menjadi perhatian khusus. Untuk mencapai pengembangan COMDEV yang bagus dan konservasi lingkungan perusahaan butuh profit. Sedangkan untuk mencapai produksi maksimal harus ada dukungan teknis. (Irwandy Arif/Ketua Perhapi, Kontan 24/8-2007).
Akhir kata, di awal 2008 menyongsong WOC 2009 berdasarkan fakta positif keadaan Teluk Buyat, eksistensi sektor pertambangan daerah dengan adanya reformasi regulasi undang-undang meskipun di tengah-tengah berbagai isu global dunia, sekali lagi stigma TB itu kita tinggalkan saja. Fakta yustisi TB kita jadikan motivasi dengan optimis menyongsong iven mancanegara di Kota Tinutuan Manado. Kita tunjang program pemerintah provinsi di bawah Dinas Pariwisata, mempromosikan di berbagai iven global lainnya bahwa lokasi TB sekarang ini sebagai tempat penyelaman terbaik di Indonesia karenanya air jernih dan berlimpah kehidupan biota laut. Sejauh ini Pemprov sesuai UU Otda benar, dan MSM juga benar, tidak ada yang salah. Yang salah sebenarnya hanyalah persepsi yang diberikan terhadap eksistensi pertambangan umum. Belajar dari pengalaman masa lalu akibat paradigma berlebihan menghasilkan persepsi keliru dan pasti berbuah stigma sebagai sumber polemik dan krisis berkepanjangan. Buang-buang energi saja!#

*Pemerhati Geo Pertambangan