Oleh Evelyne Awuy S PAK
TANPA mengurangi rasa hormat terhadap Departemen Pendidikan Nasional dengan program ujian nasional yang sementara berjalan saat ini, tulisan ini hanyalah menjadi perenungan bagi kita bersama untuk lebih menggumuli berbagai persoalan bangsa kita yang salah satu sumbernya berasal dari aspek yang paling hakiki, yakni pendidikan.
Berbagai fakta-fakta yang muncul di seputar ujian nasional yang sementara berjalan saat ini sungguh memiriskan hati. Dan oleh sebab itu menjadi sebuah ironi, di tengah-tengah usaha negara untuk memajukan kehidupan peradabannya melalui lembaga yang paling dipercaya oleh keluarga-keluarga Indonesia untuk menjadikan anak-anak mereka mempunyai masa depan yakni sekolah. Ironi karena ternyata untuk sebuah ujian nasional (Jakarta) di negara kita harus dijaga oleh pasukan elit detasemen khusus Anti Teror 88. Entah siapa teroris yang harus dijaga? Bom kertas, guru teroris atau murid teroris, atau teroris pembocor soal ujian yang menyusup dalam ujian nasional. Ironi karena beberapa guru dan kepala sekolah harus berurusan dengan polisi karena melakukan kejahatan pembocoran soal padahal tujuannya hanyalah untuk “membantu” rupanya mereka tidak percaya dengan usaha mereka mengajar anak selama ini sehingga anak perlu bocoran soal. Ironi karena banyak anak-anak yang menangis ketakutan dan stres karena akan ujian sepertinya mereka akan dibawa ke killing field (ladang pembantaian) momoknya adalah jangan-jangan mereka tidak lulus. Sebab pengalaman tahun yang lalu, banyak siswa berprestasi yang bahkan sudah diterima di universitas luar negeri terjegal dan tidak lulus dengan hasil tidak mencapai batas nilai minimal kelulusan 5. Padahal angka 5 dalam bahasa raport pendidikan berarti tidak cukup. Ironi karena sebagian besar masyarakat Indonesia sementara menghadapi ancaman krisis ekonomi dan krisis-krisis lainnya padahal pendidikan dianggap sebagai jalan keluar untuk entas dari problematika bangsa. Parahnya lagi ternyata ada banyak sarjana dan para muda produktif yang sudah menyelesaikan berbagai pendidikan kursus tapi belum mendapatkan pekerjaan. Ironis betul negara kita Indonesia karena ada begitu banyak siswa negara yang dahulunya datang belajar di Indonesia, sekarang menjadi tempat di mana banyak anak-anak kita pergi untuk studi. Ironis karena negara mereka sudah lebih dahulu sukses dan maju sementara negara kita tempat di mana mereka pernah belajar dahulu, semakin hari semakin terpuruk.
Indonesia yang begitu luas dari Sumatera sampai Papua, dari sekolah dengan standard internasional yang ada di kota-kota, gedung dengan berbagai laboratorium, kelas yang ber-AC, guru yang berpredikat Magister Pendidikan ditambah lagi les privat serta kelas-kelas bimbingan ujian nasional yang bertarif jutaan, yang ironisnya berbanding sebaliknya dengan anak-anak di daerah-daerah misalnya di pelosok Papua yang gurunya sangat minim (bahkan ada sekolah yang gurunya oleh seorang waker-penjaga sekolah). Dalam pelaksanaan ujian, sentralisasi pemeriksaan lewat scaning komputer, pengawasan ketat bahkan melibatkan aparat kepolisian walaupun ada pengkategorian soal ujian, akan tetapi bagaimana mungkin secara nasional hendak disetarakan hasilnya. Belum lagi masalah distribusi ke daerah bahkan juga pengembalian soal-soal dari pulau dan daerah terpencil. Belum lagi masalah eror teknologi komputer dan eror-eror lainnya.
Dua fakta mendasar yang jarang diperhatikan yakni pertama dalam Child Development Goal ada beberapa aspek yang menjadi sasaran: 1. Pengembangan Sosial, 2. Pengembangan Emosional, 3. Pengembangan Fisik, 4. Pengembangan Ekonomi, 5. Pengembangan Kerohanian. 5 pengembangan ini juga disebut pengembangan holistrik/menyeluruh. Pengembangan intelektual hanyalah salah satu aspek dalam fisik anak. Sedangkan menurut Tony Buzan (Head First 2003) ada 10 macam kecerdasan dari multiple intelegences dengan 3 kategori kecerdasan: Pertama, kecerdasan kreatif dan emosi, Kedua, kecerdasan ragawi dan Ketiga, yang disebut kecerdasan tradisional yakni IQ. Perhatikan IQ yang sementara dikejar dalam ujian nasional ini masuk dalam kategori kecerdasan tradisional yang berarti kalau visi ini yang menjadi tujuan utama dalam ujian nasional ini berarti negara kita masih dalam paradigma pendidikan yang bervisi tradisional. Menurut Howard Gardner seorang pakar dalam Multiple Intelegences IQ bukanlah yang paling utama, bahkan ia menambahkan bahwa yang tidak kalah pentingnya adalah kecerdasan intrapersonal (kemampuan untuk mengetahui dan memahami diri sendiri) dan kecerdasan interpersonal (kemampuan efektif dalam sosialisasi diri). Kecerdasan intelektual bukanlah faktor penentu seorang bisa sukses akan tetapi juga ada faktor-faktor dasariah lainnya yang menjadi penentu seorang anak bisa berhasil dalam hidupnya. Dari dua fakta yang disebutkan di atas, ternyata big question dari program ujian nasional, adalah bahwa apa yang hendak diuji hanyalah menyangkut aspek intelegensi dan hanya menekankan aspek pengetahuan. Sementara sang anak didik ini telah belajar sekian tahun berjuang siang dan malam, melahap semua jenis pengetahuan, belajar etika, sopan santun, belajar bersosialisasi, diberi wejangan nasihat oleh guru setiap hari, dan finalnya hanya ditentukan oleh sebuah ujian yang berlangsung hanya 120 menit. Ironis. Mau jadi apa bangsa kita ini apabila kualitas manusianya hanya ditentukan oleh sebuah hasil ujian. Padahal fakta membuktikan banyak anak-anak yang nilai pelajarannya biasa-biasa saja, akan tetapi kemudian bisa sukses. Sebagai contoh maestro genius dunia, seperti Albert Einstein, dan Thomas A Edison dianggap bodoh oleh gurunya karena nilai pelajarannya rendah, tapi ternyata mereka bisa membuat karya-karya besar. Belum lagi ada begitu banyak orang yang sukses dan berhasil di berbagai bidang termasuk atlet dan artis terkenal yang dahulunya biasa-biasa saja dan boleh dikatakan “bodoh” oleh gurunya semasa mereka bersekolah.
Pendidikan harus dikembalikan pada hakekat dan tujuan luhurnya yang bukan terkontaminasi oleh tujuan politis. Pendidikan harus melihat bahwa seorang anak sebagai sebuah individu yang komplit yang Tuhan sudah ciptakan dengan miliaran sel otak dan potensi tak terbatas dan salah satu tapi bukan satu-satunya aspek intelektual anak yang harus dirangsang dikembangkan. Filosofi guru digugu dan ditiru akan tetapi guru bukanlah menjadikan anak sebagai fotokopi seperti yang diinginkan oleh guru. Tugas guru dalam sebagaimana definisi Pedagogik tugasnya adalah mengantar seorang anak didik untuk menemukan jalan arah supaya dia sendiri akan mengembangkan dirinya menurut arah dan jalan yang telah ditunjukkan oleh seorang mentor atau guru, tugas guru merangsang anak untuk memiliki mimpi (visi) tentang masa depannya, gairah dan kemauan keras untuk memaksimalkan imago Dei (citra Tuhan) yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sehingga seorang anak akan berjuang memaksimalkan semua potensi diri yang sudah ditanamkan lewat miliaran sel otak yang siap berkembang dan bertumbuh secara luar biasa. Tugas guru dan negara-negara adalah menyediakan fasilitas dan melapangkan jalan bagi anak supaya dapat bertumbuh berkembang menjadi generasi bangsa yang luar biasa untuk masa depannya pribadi tetapi juga untuk orang lain. Bangkitlah Pendidikan Indonesia!!!#
*Guru