30 April 2008

‘’Sejarah Tidak Pernah Bohong’’

(Catatan ringan menjelang Pilwako Kotamobagu)

Oleh Suardi “Didi” Musa

GERAK waktu senantiasa melukiskan sejarah dengan goresan berbeda dari tiap pelukisnya. Tiap lekuk goresan itu menunjukkan betapa sejarah dicipta oleh keyakinan, pengorbanan dengan melibatkan sedemikian banyak tragedi berdarah dan memilukan. Dalam perjalanannya bisa kita menyimak penderitaan para nabi dan rasul menghadapi para penguasa dzalim, para martir yang harus ikhlas kehilangan nyawa karena mempertahankan keyakinannya, para pemikir yang harus menghadapi tuduhan dan dicap “gila”, karena pemikirannya melampaui zamannya. Para seniman dengan segudang karya penuh kontroversi menggugat kebekuan masyarakat. Kesemuanya memberi pijakan bagi perubahan, mengapa harus dengan kata perubahan? Tapi entah dengan referensi apa berdasarkan miskinnya perbendaharaan bahasa, kata perubahan senantiasa merangsang dan menantang dalam mengambil tindakan untuk mencipta.
Jejak-jejak peradaban meninggalkan pesan tentang perjuangan panjang yang menyertakan ide-ide fundamental dan radikal, dan seringkali tidak populis, di masa peletakan pondasi peradaban Yunani, sosok Socrates memberikan inspirasi bagi jutaan generasi berikutnya bahwa, kesetiaan pada ide adalah penentu bagi bangkitnya sebuah bangsa di pentas dunia, ini tentunya bukan tanpa alasan tapi fakta dalam setiap lembar sejarah.
Pada bagian ini penulis secara lugas memaparkan, betapa Jazirah Arab yang ganas dan liar, justru menjadi sentra kelahiran peradaban Islam, kegelapan abad pertengahan tersibak oleh Cogito Ergo Sum Descartes, tumbangnya kaum Borjuis di Perancis, hingga revolusi industri di Inggris, sebagai cikal bakal bangkitnya masa pencerahan di Eropa, ini semua tentunya menunjukkan adanya fase perubahan sebagai konsekuensi dan kegelisahan manusia akan masa depannya.
Mengapa penting bagi kita untuk menyibak fakta sejarah? Alasannya sangat simpel. Kita dituntut untuk menelaah secara kritis tiap kilasan sejarah, karena kepastian waktu senantiasa memberikan peluang bagi kita untuk menempatkan kembali nilai universal sebagai acuan untuk kontekstualisasi di masa kini dan masa depan Kota Kotamobagu. Di sisi inilah penulis melihat secara kritis untuk menggagas paradigma yang fundamental walau terkadang kurang atau tidak populis.
Kota Kotamobagu membutuhkan pemimpin (baca: walikota dan wakil walikota) yang memiliki ide-ide brilian, yang mampu membawa perubahan dari berbagai sisi, sebagai konsekuensi dari daerah otonom baru. Untuk itu penulis, menorehkan beberapa hal yang nantinya “harus dilakukan” oleh para pengambil keputusan (pemimpin) Kota Kotamobagu ke depan yakni:
1. Definisi wilayah perkotaan yang harus dirumuskan dengan tepat agar tidak menciptakan jurang ketimpangan sosial.
2. Master plan, penataan Kota Kotamobagu dari sisi estetika, jasa, dan bisnis.
3. Pemberdayaan kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM) dan industri kecil lainnya yang merupakan basis ekonomi kerakyatan, yang harus dikelola secara profesional.
4. Sektor kebijakan publik berupa regulasi yang berpihak kepada masyarakat.
5. Peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan dan sarana penunjang kegiatan belajar mengajar.
6. Mendorong terciptanya kesadaran politik yang bermuara pada partisipasi masyarakat secara kritis, objektif dan bernilai secara substansial bagi demokrasi.
Penulis akan mencoba mengulas mengenai dua hal yang sangat butuh perhatian semua pihak dan sangat berkaitan erat dengan pesta demokrasi, pemilihan walikota dan wakil walikota Kotamobagu yang pertama kali digelar pada 2008 ini. Dua hal yang menurut penulis masuk pada kategori emergency:
PERTAMA: SISTEM DEMOKRASI
Memetik pengalaman pemilihan kepala daerah: gubernur, bupati, walikota di negeri ini yang terkadang berujung pada bentroknya pendukung kandidat dengan kelompok massa lainnya, bahkan dengan satuan pengamanan (polisi, TNI dan pengamanan lainnya) dan seringkali berakhir tragis di mana korban luka sampai korban tewas di kedua belah pihak dan bahkan melebar lagi pada kerugian materi, tidak bisa dihindari ketika emosi massa yang “buta” sudah mencapai klimaks dan tidak terkendali.
Penulis berupaya mancari sebab musabab hal tersebut dari berbagai referensi dan menarik satu kesimpulan, bahwa masyarakat terkadang keliru mengejawantahkan arti berdemokrasi dan seringkali para elit politik menjadikan pendukungnya sebagai objek.
Untuk masyarakat Kotamobagu, penulis bermaksud mengurai apa sebenarnya demokrasi Pancasila, dengan tujuan utama adalah terlaksananya pemilihan walikota dan wakil walikota Kotamobagu dengan aman, tertib dan lancar sampai selesai.
Demokrasi (Yunani: demokratia: demos = rakyat, kratein = memerintah, kratia = pemerintahan) atau lebih simpel demokrasi adalah pemerintahan dengan pengawasan rakyat, dalam arti kata agar lebih sebagai keseluruhan daripada sebagai kelas, golongan atau perseorangan, dengan tambahan dalam istilahnya, seperti demokrasi sosial dan demokrasi ekonomi, demokrasi berarti pengawasan lembaga-lembaga kemasyarakatan oleh dan untuk kepentingan rakyat. Dalam negara kota (city states) Yunani, demokrasi bagi warga negara saja (sebagai lawan orang asing dan budak belian). Demokrasi modern digerakkan oleh revolusi kaum puritan di Inggris, serta revolusi-revolusi Amerika dan Perancis, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Thomas Jefferson, adalah ahli-ahli teori demokrasi yang berpengaruh. Demokrasi timbul dengan adanya tuntutan persamaan, pertama-tama dalam bidang politik dan hukum, kemudian juga dalam bidang sosial dan ekonomi. Negara demokrasi modern, dengan khas telah menumpahkan kepercayaannya pada suatu sistem partai-partai politik yang bersaingan, sejak didekritkannya kembali UUD 1945. Di Indonesia berlaku Demokrasi Terpimpin, yang pelaksanaannya diatur dalam ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965. Demokrasi Terpimpin dimaksudkan untuk menentang sifat-sifat liberal dari pada Demokrasi Barat, yang bertentangan dengan azas-azas permusyawaratan untuk mencapai mufakat sesuai dengan Pancasila. Dalam pelaksanaannya Demokrasi Terpimpin terlalu menonjolkan unsur pimpinan, yang diberi hak untuk mengambil keputusan apabila tidak dicapai mufakat dalam suatu permusyawaratan dan oleh karena itu meluncur ke arah kediktatoran, sehingga membuahkan pemberontakan G 30 S/PKI (1 Oktober 1965). Dalam rangka pemurnian Pancasila dan UUD 1945 di alam orde baru, maka ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965, kemudian dicabut dan diganti dengan ketetapan Nomor XXXVII/MPRS/1968, yang memuat pedoman pelaksanaan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ketetapan tersebut juga dinamakan “Ketetapan tentang Pedoman pelaksanaan Demokrasi Pancasila” (Ensiklopedi umum 1977).
Dari uraian di atas jelas bahwa dalam demokrasi Pancasila tidak diberikan peranan atau kedudukan yang berlebih-lebihan kepada pemimpin sebagaimana halnya dalam Demokrasi Terpimpin, sehingga dicegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang mengakibatkan kediktatoran. Hal ini adalah tanggung jawab kita semua. Khususnya elit politik, untuk memberikan pendidikan politik yang baik.
KEDUA: PENDIDIKAN
(Menuju Kota Kotamobagu sebagai Kota Pelajar)
Mari kita lihat secara kasat mata betapa sungguh miris sekaligus memilukan, pendidikan sebagai tiang utama penyangga peradaban, harus secara santun minggir di tepi jurang ketidakpedulian, apalagi ditunjang oleh semakin meningkatnya biaya pendidikan dan kurangnya pemahaman masyarakat akan pendidikan yang sekadar ditafsir sebagai sekolah. Padahal pendidikan adalah sebuah proses yang berlangsung secara terus menerus, sepanjang nafas masih tetap mengalir di rongga hidung kita, memang tidak disangkal masyarakat kita menilai bahwa sekolah merupakan ukuran kemajuan suatu daerah, bahkan jenjang sekolah menentukan status sosial seseorang di tengah masyarakat.
Naif memang jika sekolah beramai-ramai dijadikan ajang perebutan status sosial, padahal saat manusia dilahirkan keduanya ini, telah diberikan hak dan keistimewaan sederajat sebagai manusia tetapi sistem pendidikan yang bernama sekolah ini. Telah turut mencipta konstruksi sosial yang menggusur substansi pendidikan. Sesungguhnya pendidikan menjadi kehilangan rohnya, jika harus berorientasi di ruang pengakuan sebuah status.
Seakan mengulangi kejayaan masa feodalisme, pendidikan di Indonesia sedemikian gagap dan latah menanggapi terjangan globalisasi, sehingga terkadang dengan ‘’sengaja’’ harus mengangkangi cita-cita pendiri republik ini, sebuah cita ideal bagi terwujudnya bangsa yang kuat dan negara yang berwibawa di pentas dunia, sebagaimana konsepsi Bung Karno presiden RI, tentang Trisakti mandiri secara ekonomi, berdaulat secara politik, bermartabat dalam kebudayaan, apalagi globalisasi adalah keturunan sah dari Neo Liberalisme, di mana pada saat ini pasar adalah “Dewa Agung” yang mendapat sanjungan dan puja puji bagi hasrat penumpukan materi, sementara pendidikan kita turut punya andil beramai-ramai mencetak foto buram nan muram dengan menempatkan pendidikan berdasarkan kebutuhan pasar. Mari kita lihat pangsa pasar pendidikan, tidak hanya mode pakaian yang selalu memunculkan trend, ternyata pendidikan pun memiliki trend tersendiri, dengan rentang waktu tiap dasawarsa simaklah tahun 60-an, sedemikian gencar gelar dokter, 70-an hingga akhir 80-an, gelar insinyur merajai atmosfer gelar, bahkan film-film nasional menampilkan adegan betapa hebatnya gelar insinyur, memasuki era 90-an, hingga memasuki fase milenium, berlomba-lomba para lulusan SLTA, mencari perguruan tinggi yang menyediakan Jurusan Ilmu Komputer dan seterusnya, karena sering disebut milenium era reformasi, seakan kegagapan kita akan globalisasi tidak memberikan ruang untuk berkreasi.
Berdasarkan situasi dan kondisi nasional bahkan tingkat lokal, pendidikan bukan hanya sekadar trend, saat sekarang ini pendidikan sudah menjadi ajang bisnis, dengan biaya meroket.
Lalu seperti apakah lokalitas Kota Kotamobagu (pemerintah) merespon, menganalisa dan mengambil tindakan kreatif mewujudkan ide-ide dasariahnya? Terakhir, penulis sangat sepakat dan mendukung sepenuhnya Kota Kotamobagu sebagai “kota pelajar”, dengan sepotong catatan untuk pemerintah Kota Kotamobagu: Tingkatkan pembiayaan APBD untuk sektor pendidikan, membuka peluang investasi bagi pengusaha yang bergerak di bidang pendidikan, untuk mendirikan sekolah dengan kualitas bertaraf nasional dan biaya murah, meniadakan segala jenis pungutan liar yang berdalih kewajiban dan dibungkus keharusan membeli seragam bagi siswa baru dan siswa yang akan melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan yang paling utama tindak tegas oknum pegawai, yang terlibat sogok menyogok untuk mendapatkan jabatan kepala sekolah dasar.#