Oleh Idrus Mamonto
NAGANO adalah sebuah kota prefecture di pedalaman Jepang Tengah yang berbatasan dengan Gifu, Toyama, dan Niigata di utaranya dan Aichi prefecture di selatannya. Sebagai sebuah prefecture tadinya Nagano tergolong miskin karena tidak punya SDM dan SDA yang memadai untuk membangun dirinya dan berkembang seperti prefecture Aichi yang kaya raya. Peta masalahnya menunjukkan bahwa Nagano terpuruk disebabkan oleh tidak adanya program yang tepat dan komprehensif untuk membangun dirinya. Ada tiga permasalahan besar yang dihadapi oleh provinsi ini, yakni tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyatnya terutama para pemuda pencari kerja, income perkapita yang sangat rendah dan rendahnya pertumbuhan ekonomi. Generasi muda yang berpendidikan beremigrasi ke lain prefecture untuk mencari pekerjaan. Sehingga yang tersisa adalah generasi tua yang sudah tidak produktif lagi. Kalau ini berlarut maka Nagano akan underdeveloped seumur hidupnya. Diperparah oleh kekurangan infrastruktur adalah masalah yang lain lagi yang dihadapi pemerintah Nagano, bagaimana arus barang keluar masuk jika prasarana perhubungannya seperti itu. Belum lagi iklim musim dinginnya yang sangat ekstrim. Jika musim dingin ketebalan saljunya dapat mencapai tiga meter, sehingga Danau Suwa yang berada di Nagano dapat digunakan untuk berselancar es. Turis memang mau dengan es setebal itu tapi investor berpikir pun mereka tidak.
Penduduk Nagano amat prihatin dengan keadaan seperti itu yang amat berbeda dengan Aichi prefecture dan Kanzai Area (Kyoto, Osaka, Kobe) yang kaya raya. Patut diingat bahwa Jepang sebelum perang dunia kedua yang dicetuskannya bersama Jerman sudah merupakan negara industri maju yang bahkan sudah membuat kapal induk, pesawat tempur dan lain-lain sebagai buah manis dari restorasi Meiji yang dimulai pada abad ke 19. Mereka kembali berkembang pesat satu dekade setelah perang Pasifik yang meluluhlantakkan Jepang dengan pelbagai infrastrukturnya, kecuali otak. Orang Jepang mengatakan bahwa satu-satunya bangsa di dunia yang hancur oleh nuklir hanya Jepang. Mereka berkata begitu tapi kini mereka memiliki reaktor nuklir pembangkit listrik lebih dari empatpuluhan.
Nah kembali ke soal Nagano, pemerintah dan rakyat Nagano berpikir ke depan dan tidak ingin meratapi nasib yang katanya no use dan bukan solusi. Mereka bertekad untuk keluar dari keterpurukan ini dengan semangat bushido. Mereka percaya bahwa setiap masalah ada solusinya, dan kalau prefecture lain bisa kita juga bisa. Dari hasil pengamatan yang dilakukan berkembangnya daerah tetangga seperti Aichi dan Kanzai bak sputnik oleh karena mereka memproduksi barang berorientasi ekspor yang berkualitas dan memiliki daya saing. Mengenai daya saing ini pada umumnya para industriawan di Jepang berprinsip “always watching competitor, perfect product, zero defect, always looks future, keep high quality and best brand image”.
Dengan industri berorientasi ekspor dan berdaya saing tinggi maka industri di Jepang berhasil meraup devisa ratusan miliar dolar pertahunnya bahkan mereka memiliki surplus perdagangan lebih dari seratus miliar US dolar pertahunnya dengan Paman Sam. Mereka bertekad untuk mengalahkan negeri yang pernah mengalahkan mereka pada perang dunia kedua itu. Lucunya setiap anak muda di Jepang kejangkitan American dream, mereka merasa belum lengkap atau belum berkualitas kalau belum melanjutkan studi ke US (mereka menyebut Amerika US saja).
Kembali ke laptop, para brain team Nagano pun bekerja keras melakukan pelbagai riset, studi, survey untuk menemukan penyakit apa yang diidap Nagano dan obat atau solusi apa yang tepat. Dari berbagai upaya itu mereka menemukan bahwa Nagano dengan iklim ekstrim ternyata cocok untuk high presicion industry atau industri presisi tinggi terutama elektronik seperti kamera, handycam, komputer, jam tangan digital dan berbagai produk digital lainnya. Dari hasil studi ditemukan bahwa iklim Nagano menurunkan tingkat keausan mesin-mesin industri dan menjaga tenaga kerja tidak cepat lelah dan tingkat produktifitas lebih tinggi. Cukupkah menarik investor dengan hasil studi? No, itu saja belum cukup, harus dipahami bahwa investor adalah pemilik modal yang ingin diperlakukan sebagai VVIP dan mereka berhak untuk segala keistimewaan yang mereka sanggup bayar dan tak peduli berapapun harganya. Jadi tidak cukup kita membawa-bawa hasil studi, proposal atau apapun namanya sambil mencari investor. Anda akan dicueki, lihat saja berapa banyak tim dari daerah ini ke Jakarta atau bahkan keluar negeri untuk menggaet investor, tapi tak kunjung kegaet, itu lebih disebabkan ketidaktahuan, ketidakmampuan dan atau ketiadaan strategi bagaimana harusnya berbuat untuk tidak sekadar menghamburkan biaya.
Langkah berikutnya pemerintah Nagano menyiapkan infrastruktur mulai dari highway, railway bahkan bandara internasional yang dapat menghubungkan Nagano ke mancanegara. Cukupkah itu? Hmmmm ternyata belum men, masih ada yang perlu dipersiapkan yaitu lokasi. Maka lahan sekitar Danau Suwa pun disulap jadi kawasan industri siap bangun lengkap dengan berbagai fasilitas. Mulai dari jalan akses ke semua jurusan, listrik berapapun power yang dibutuhkan, jaringan air minum (air siap minum tanpa dimasak), pipa gas dan telekomunikasi. Ketika berada di Nagano mereka memperlihatkan kemampuan akses komunikasinya ke mancanegara bahkan untuk mengetahui cuaca di Sulut ketika diakses saat itu juga terlihat di layar komputer sedang hujan.
Jadi demikian pesatnya perkembangan Nagano dalam mempersiapkan kotanya bagi para tuan besar investor. Mereka berlaku seolah pelayan yang sopan dan mampu memenuhi hajat hidup para tuan besar investor. Begitulah kira-kira tamsilnya bahwa kita adalah pelayan sementara investor adalah raja. Kalau kita yang raja dan investor adalah hamba maka sampai kiamatpun, kita tak akan dilirik oleh mereka. Itu sudah hukum alam, yang berduit yang di atas.
Dengan segala persiapan seperti itu apakah investor datang berbondong-bondong? Belum mister, masih ada lagi upaya yang harus dilakukan, yakni langkah-langkah untuk meyakinkan para bos sogho sosha agar tertarik untuk berinvestasi. Untuk mengundang mereka saja agar mau datang adalah pekerjaan berat. Yang jelas, hasil studi ok, infrastruktur ok, lokasi ok, kemudian prosedur investasi dan sebagainya ok! Pemerintah Nagano bertindak praktis dengan membebaskan semua tetek bengek administrasi yang menghambat. Faktor pendorong dipush sedang faktor penghambat dieliminir.
Selanjutnya diadakanlah road show jemput bola ke para sogo sosha dan ini menuai sukses karena sikap orang Jepang pada dasarnya berprinsip “hidup bersama atau mati bersama”. Para pemilik modal bersedia untuk invest di Nagano yang penting segala keperluan sarana dan prasarana investasi sudah siap. Sebagaimana komitmen semula karena kemudian berdatangan ke Nagano untuk berinvestasi terutama di lokasi sekitar Danau Suwa yang memang amat menarik dengan panorama alamnya. Alhasil sekitar Danau Suwa pun dipenuhi industri terutama elektronik yang sekaligus menyulap Danau Suwa menjadi resort wisata. Dan beberapa tahun kemudian Nagano menjadi pendatang baru sebagai prefecture yang kaya di Jepang.
Jadi pemerintah Nagano secara piawai mengembangkan industri sekaligus mengubah lansekap Danau Suwa yang semula dingin beku menjadi hangat sepanjang tahun, karena banyaknya turis. Dan industri tidak perlu disembunyikan karena persaingan dewasa ini bukan lagi pada sekadar tiru-meniru produk tapi bagaimana kecanggihan produk dengan berbagai fitur tambahan setiap saat.
Jepang juga piawai dalam inovasi salah satunya adalah menjadikan industri sebagai objek wisata. Seperti pabrik mobil Toyota misalnya telah menjadikan dirinya objek kunjungan turis. Rata-rata perhari 9-10 ribu turis berkunjung ke Toyota city. Mereka menyediakan guide cewek muda-muda berseragam merah-merah kebanggaan Toyota penuh senyum wellcome dan siap menjawab pertanyaan secara profesional dan akan memandu Anda berkeliling melalui jalur khusus di loteng yang dapat memandang ke seluruh ruangan bawah apa saja proses yang sedang berlangsung di dalam pabrik tersebut.
Akhirnya bagi yang ingin mengetahui lebih banyak tentang Jepang silakan tour ke Jepang asal kantong Anda tebal, sebab meskipun dolar jatuh, nilai yen naik terus terhadap dolar. Data statistik menunjukkan nilai yen terhadap US dolar dari tahun ke tahun menanjak terus. Kalau pada 1980-an 270 yen satu USD, maka pada 2008 81 yen per 1 USD. Tiket shinkanzen (kereta peluru) dari Tokyo ke Nagoya misalnya 90.000 yen atau sekitar 7,2 juta rupiah.
Semoga tulisan singkat ini dapat berguna bagi para pencari investor untuk mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu sebelum mengundang mereka ke sini. Mereka harus diundang karena kita yang butuh mereka sebab kalau tidak diundang mereka tidak akan datang, dan mereka tidak butuh kita. Oke? Domo arigato gozaimasu.#
* Alumnus SSIP Course Nagoya International Training Center Jepang 1987; Mantan: Kadis Perindag Sangihe 2000-2004, Kabid ILMK Kanwil Perindag Sulut 1996-2000, Kakandep Perindustrian Kodya Gorontalo 1985-1992, alumnus SPAMA Jakarta 1996, alumnus SPAMEN Makassar 2002.