12 Maret 2008

Peluang Hak Kekayaan Intelektual di Sulut

Oleh Jolly L R Turangan(Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Manado)

GLOBALISASI mendorong perubahan dan perkembangan perilaku masyarakat akibat dukungan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Sejalan dengan itu perkembangan ekonomi akibat globalisasi mengarah pada perdagangan berbasis ilmu pengetahuan dan komoditi karya-karya intelektual. Dengan kata lain, terbentuknya ekonomi modern yang berbasis pengetahuan (knowledge based economy).Semakin maju suatu negara, semakin bergantung pada modal intelektualnya, karena modal intelektual bersifat ‘’renewable and sustainable.’’ Indonesia harus menghilangkan ketergantungannya pada minyak dan gas yang tidak/sulit diperbaharui, kalau mau memiliki sumber ekonomi yang mapan dan memiliki nilai ekonomi yang dapat ditingkatkan nilainya dalam bentuk produk dan teknologi.Modal intelektual ini dinamakan HKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan didukung 2 (dua) pilar utama yaitu Copyright dan Industrial Property. Copyright meliputi bidang seni, sastra, ilmu pengetahuan dan hak-hak terkait (pelaku, rekaman dan lain-lain.). Industrial Property meliputi: Paten (penemuan teknologi); Merek (symbol/nama dagang barang/jasa); Desain Industri (Desain Penampilan Produk; Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Desain peletakan rangkaian sirkuit terpadu)/Integrated Circuit (IC); Rahasia Dagang (Informasi Rahasia yang memiliki nilai ekonomi); Indikasi Geografis; Sumber Daya Genetik/Pengetahuan Tradisional yang dikelola Dirjen HKI Dep. Hukum & HAM; dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) yang dikelola Departemen Pertanian.HKI sangat relevan untuk Sulawesi Utara (Sulut) dalam merangsang pertumbuhan ekonomi yang potensial khususnya menghadapi iven World Ocean Conference (WOC) 2009 dan obsesi Manado Kota Pariwisata Dunia 2010. Selain itu yang sedang di depan mata Tournament of Flower (TOF) Juli 2008 di Kota Tomohon. Sulut menjadi daerah yang sangat menarik bagi kalangan pelaku usaha, baik nasional maupun internasional, apalagi faktor keamanan dan keterbukaan masyarakatnya menjadi nilai plusnya. Turis lokal maupun mancanegara pasti akan terseret untuk melihat keunikan budaya dan keramahtamahan masyarakatnya serta objek-objek wisatanya.Peluang ini harus disikapi secara cerdas agar iven-iven ini dan peluang datangnya pengunjung pariwisata dimanfaatkan untuk mengeruk devisa/keuntungan sebanyak-banyaknya. Salah satunya dengan mengoptimalkan peluang HKI. Masyarakat dan pemerintah perlu bahu membahu menginventarisir HKI yang dimiliki Sulut. Ada lagu-lagu daerah komposisi musik daerah; tarian daerah; seni Batik Bentenan, Kerawang Sangir Talaud, alat musik tradisional dan sebagainya, dalam bidang copyright.Pada Hak Merek ada ikon-ikon Sulut seperti kata: Bunaken, Tangkoko, Manado Tua, Kawanua, Nyiur Melambai. Di bidang kuliner penggunaan nama sebagai merek produk perdagangan seperti misalnya Klapertaart/Klapataart, Bubur Manado/Tinutuan, Cakalang Fufu, Gohu dan masakan rica-rica. Merek dalam hal ini merupakan tanda pengenal pembeda dengan produk lainnya dan sekaligus sebagai alat promosi produk yang meliputi gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi semuanya.Sehubungan dengan merek, perlu dipertanyakan apakah pemerintah daerah Sulut telah mendaftarkan simbol-simbol daerah seperti lambang provinsi, lambang kabupaten dan kota-kota yang ada. Tidak kalah penting gambar lambang atau kata iven-iven seperti World Ocean Conference (WOC) 2009 dan Tournament of Flower (TOF) 2008 (yang dapat dijadikan turnamen tahunan). Dalam dunia pendidikan, lembaga pendidikan seperti Unsrat, Unima, Politeknik Negeri Manado, Universitas De La Sale perlu mawas diri jangan-jangan belum mendaftarkan lambang lembaganya ke Direktorat Jenderal HKI Departemen Hukum & HAM.Sering dilupakan pemerintah dan lembaga pendidikan tinggi soal peneliti asing yang melibatkan pemerintah maupun perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian, ataupun peneliti asing yang secara diam-diam melakukan penelitian di bidang flora dan fauna, baik di darat maupun di laut dalam hal pemanfaatan penggunaan hasil penelitian (HKI). Kita punya segalanya (subjek penelitian) tapi yang menjadi ahli dan yang memanfaatkannya justru pihak asing. Ini diakibatkan karena kurang jelas dan tidak terincinya perjanjian penelitian yang dibuat. Sebagai contoh di tingkat nasional, pemanfaatan sample virus flu burung (H2N5) Indonesia oleh Amerika Serikat (WHO) yang dipersoalkan Menteri Kesehatan RI, Siti Fadila Supari karena pemanfaatannya yang kurang jelas bagi Indonesia. Contoh lain penemuan ikan purba di perairan Sulut dengan keterlibatan peneliti asing di dalamnya.Peluang HKI di atas harus secepatnya diantisipasi dan direspons positif oleh Pemda agar ‘’asset daerah’’ yang potensial untuk meningkatkan devisa dan kesejahteraan masyarakat tidak terbuang percuma. Perlindungan hukum terhadap modal intelektual perlu dilakukan secepatnya agar mencegah perampasan/pemakaian tanpa hak oleh pihak/negara lain untuk keuntungan ekonominya. Sebagai bahan pertimbangan asas yang berlaku di bidang HKI adalah ‘’siapa pendaftar pertama adalah pemilik.’’Apabila perlindungan HKI tersebut telah diperoleh, maka pemanfaatan oleh Pemda dan masyarakat asli Sulut menjadi optimal. Masyarakat dapat memanfaatkan penggunaan ikon-ikon Sulut dalam industri garment dan cendera mata mulai saat ini yang dapat dijual kepada tim lokal dan turis asing. Penggunaan ikon-ikon daerah selain untuk keuntungan ekonomis warga juga menjadi ajang promosi gratis pariwisata Sulut lewat pemakaiannya di daerah/negara turis saat mereka kembali.#