31 Maret 2008

Antara Uyo’ dan Bogani: Siapa Lebih Kuat?

Oleh M Bekti Lantong SAg MSi*

PERTANYAAN inilah yang sekarang sedang menggelayut dan membuncah di benak setiap warga Kota Kotamobagu. Ya, siapa sebenarnya yang lebih kuat; Uyo’ atau Bogani? Tidak mudah memang menjawab pertanyaan yang satu ini, khususnya dalam momen perhelatan pemilihan wali kota dan wakil wali kota (Pilwako) Kotamobagu pada Mei nanti. Apalagi kedua figur simbolik ini sudah ada lagunya pula. Hampir setiap bentor yang sehari-harinya lalu-lalang di seputaran Kotamobagu tidak henti-hentinya memutar lagu Uyo’ dan Bogani.
Tulisan sederhana ini tidak bertujuan untuk menjawab pertanyaan di atas. Tidak pula bermaksud memberikan dukungan atau legitimasi politik kepada salah seorang di antara keduanya. Karena saya sangat yakin bahwa siapa pun yang “dipilih” di antara keduanya akan sangat bias secara politik (political bias) dan juga sarat dengan kepentingan partisan. Menurut hemat saya, warga Kotamobagu seharusnya tidak boleh terjebak dalam kelompok-kelompok (atau kubu-kubu) yang saling berhadap-hadapan untuk “mendukung” salah seorang di antara keduanya. Mengapa demikian? Ada beberapa analisis sederhana yang ingin saya ajukan untuk mencermati fenomena Uyo’ dan Bogani di kalangan warga Kotamobagu belakangan ini. Pertama, apa yang sekarang ini sedang dimainkan oleh para kandidat wali kota dan wakil wali kota Kotamobagu adalah sebuah permainan politik (pilitical game) atau bahkan sebuah perjudian politik (political gambling) yang tujuan utamanya semata-mata menjadi pemenang Pilwako Kotamobagu. Kedua, Uyo’ dan Bogani hanyalah figur simbolik yang sengaja “dimanfaatkan” oleh kandidat tertentu untuk mencari (atau malah mencuri) keuntungan politik. Dan ketiga, -yang terutama harus kita cermati bersama sebagai orang Mongondow– baik Uyo’ maupun Bogani adalah figur atau tokoh budaya yang sama-sama merepresentasikan budaya dan integritas orang Mongondow. Sehingga sangat tidak etis bagi kita untuk “mengadudomba” keduanya hanya sekadar untuk kepentingan politik sesaat. Menurut hemat saya, semua upaya politis untuk “membenturkan” kedua figur simbolik ini adalah sebuah character assassination, tidak bermoral dan merupakan “pelecehan” terhadap budaya dan integritas orang Mongondow.
Memang tidak ada larangan sama sekali, baik dari perspektif budaya maupun secara hukum, baik tokoh politik manapun untuk “memanfaatkan” dan mengambil “keuntungan politis” dari kedua figur dan tokoh budaya Mongondow ini. Yang menjadi persoalan adalah ketika kedua figur ini hanya dijadikan sebagai “barang obralan” politik untuk mendongkrak popularitas dan meraup suara pemilih. Padahal, sebagian besar orang Mongondow sangat bangga dan kagum dengan kisah-kisah patriotisme dan sifat-sifat luhur yang (pernah) diperankan oleh keduanya. Memiliki kekuatan dan kemampuan fisik yang sempurna, pemberani, selalu membela kebenaran, jujur, bijaksana, serta rela mengorbankan dirinya (menjadi martir) demi kepentingan masyarakat dan tanah Totabuan. Inikah nukilan dari sebagian sifat dan karakter patriotisme yang melekat pada diri keduanya, yang sekaligus juga merepresentasikan sifat dan karakter asli orang Mongondow (the origin of Mongondow).
Sesungguhnya yang sekarang ini sangat dirindukan dan dinanti-nantikan oleh masyarakat Totabuan adalah figur pemimpin yang benar-benar “mewarisi” sifat dan karakter luhur “Mogoguyang” yang (pernah) diperankan oleh tokoh Bogani dan Uyo’. Meskipun sebagian sejarahwan ada yang “meragukan” bahwa kedua figur ini bukanlah tokoh historis yang benar-benar hidup di pelataran sejarah dan budaya Mongondow, namun kenyataannya sebagian besar orang Mongondow sudah “terlanjur” mengidolakan kedua figur simbolik ini.
To make the long story short, yang menjadi signifikansi persoalan sekarang bukanlah sekadar masalah siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Siapa yang nanti akan menang dan siapa yang akan kalah. Bukan itu! Karena dalam sebuah (game) permainan – termasuk juga dalam (political game) permainan politik – selalu ada pihak yang menang dan pihak yang kalah. Itulah dinamika politik. Dan begitulah sesungguhnya realitas di dalam kehidupan ini. Mantan presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, pernah berkata: there is only two possibilities in politic; to win or to loose. Kata orang Jawa, hidup ini ibarat “cakra manggilingan” atau seperti roda pedati. Sekali putaran kita berada di atas (alias menang dan sukses), namun pada putaran berikutnya kita akan berada di bawah (atau kalah dan menderita). Jadi, kita semua harus selalu siap untuk memang (to win) dan juga siap untuk kalah (to loose). Maka relevansinya dengan Pilwako Kotamobagu nanti adalah bahwa semua kandidat harus berani menerima kedua realitas politik ini. Kandidat yang hanya siap untuk menang tetapi tidak siap untuk kalah, tidak pantas menjadi pemimpin di tanah Totabuan. Kalau pun nanti dia terpilih, maka selamanya akan mendapat “kutukan” dari arwah Mogoguyang.
Oleh karena itu, semua warga Kotamobagu khususnya dan masyarakat Totabuan pada umumnya mulai sekarang harus bersikap kritis, cermat, cerdas, dan rasional dalam memilih calon pemimpin yang akan menahkodai Kota Kotamobagu selama lima tahun ke depan. Karena apa pun “permainan politik” yang dimainkan oleh para kandidat tersebut, namun sesungguhnya keputusan tertinggi tetap ada di tangan rakyat. Jangan mudah terbuai, tergiur, dan terpesona dengan foto dan motto para kandidat yang sekarang ini terpampang hampir di setiap sudut jalan dan pojok lapangan. Foto dan motto tersebut kalau diibaratkan hanyalah sebuah “iklan sesaat” dari para “penjual kecap”. Dan Anda pasti sudah tahu betul bagaimana “obralan” para penjual kecap. Pasti kecap yang asli dan nomor 1 adalah kecapnya, sedangkan kecap yang lain semuanya palsu.
Inga-inga! Pilihan terakhir semuanya ada di tangan Anda wahai warga Kotamobagu. Maka Anda harus kritis dan cerdas dalam menentukan pilihan. Masa depan Kota Kotamobagu selama lima tahun ke depan ada di tangan Anda. Ingat! Tuhan tidak pernah datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara). Andalah yang datang ke TPS dan memilih. Dan melalui “perantaraan” tangan Anda, Tuhan pun menetapkan kuasa-Nya. Vox Populi Vox Dei ­– Suara Rakyat adalah Suara Tuhan – begitu kata orang Yunani. Wa-Allah a’lam bi al’shawab.#

* Pemerhati masalah sosial-keagamaan