Oleh Edwin R CH Moniaga*
……. dalih agar ketentuan 20 persen anggaran pendidikan akan mudah terpenuhi (Tahun 2007 sudah berkisar 18 persen) sungguh merupakan suatu “penyiasatan” konstitusional yang menyesatkan. (Disenting Opinion - Abdul Mukhtie Fadjar)
Menurunnya human development indeks, rendahnya kemampuan membaca, rendahnya produktivitas SDM, tingginya produksi perguruan tinggi yang menganggur, mismatch pendidikan, guru dan dosen yang mangkir dari tugas utamanya sampai pada bangunan sekolah yang rusak merupakan cermin yang kisruh dalam dunia pendidikan Indonesia atau kalau disangkal hal ini merupakan hipotesa menurunnya mutu pendidikan di Indonesia.
Salah satu indikasi dari faktor-faktor tersebut adalah rendahnya pembiayaan pendidikan, data menunjukan perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan seperti yang dikeluarkan UNESCO dan bank dunia/The world Bank (2004): education in Indonesia: managing the transition to decentralization (Indonesia education sector review) volume 2 Indonesia adalah negara terendah dalam pembiayaan pendidikan sekalipun dibandingkan dengan India bahkan Srilangka.
Perubahan UUD 1945 pasal 31 ayat (4) mengatakan: negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dinamika proses pendidikan dalam kebijakan pemerintah menunjukan adanya “noise” yang kuat yaitu:
- Ketika 1997 terjadi krisis moneter dan keuangan maka subsidi pemerintah pada pendidikan terasa sangat rendah sementara keadaan menuntut produksi SDM yang unggul dan kompetitif dalam merespon era globalisasi, salah satu langkah pemerintah dalam menyiasati kekurangan dana yang ada kala itu adalah kebijakan penetapan BHMN pada empat Perguruan Tinggi Negeri (UI, UGM, ITB dan IPB), BHMN ini kemudian berlanjut menjadi BHP yang saat ini sedang digodok dan akan ditetapkan dalam institusi pendidikan baik sekolah swasta maupun negeri.
- Pemerintah hanya mengalokasi anggaran pendidikan APBN 2005 sebesar 8,1 persen dan pada 2006 sebesar 9,1 persen suatu angka yang jauh dari yang diamanatkan oleh konstitusi RI sebesar duapuluh persen. Selain tidak memenuhi persentasi anggaran hal ini juga bertentangan dengan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah 4 Juli 2005 yang menetapkan kenaikan anggaran bertahap 2,7 persen pertahun hingga 2009 dengan rincian kenaikan 6,6 persen (2004), 9,29 persen (2005), 12,1 persen (2006) 14,68 persen (2007), 17,40 persen (2008) dan 20,10 persen (2009) .
Pengaruh-pengaruh ini tentunya memunculkan kegelisahan masyarakat bukan hanya pada tataran perwujudan konstitusi Negara Republik Indonesia yang dalam mukadimahnya menyatakan tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa tapi juga penciptaan dan atau pemenuhan keadilan yang merupakan hak setiap warga negara. Cela terhadap tafsir dan uji konstitusipun terbuka dan hal ini dapat dilihat:
- PGRI dan ISPI melakukan proses Judicial Review Undang-Undang APBN 2005 dan 2006 terhadap UUD 1945. Pendapat MK mengabulkan permohonan pemohon lewat keputusan No. 012/PUU-III/2005 tertanggal 5 Oktober 2005 dan No. 026/PUU-III/2005 tertanggal 22 Maret 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa pasal 31 mempunyai sifat imperatif (dwingend recht) atau harus secara konsisten dilaksanakan. Begitu pula keputusan MK No. 011/PUU-III/2005 yang menyatakan pelaksanaan konstitusi tidak boleh ditunda-tunda dan menyatakan penjelasan pasal 49 ayat (1) UU SISDIKNAS tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
- Selesai dengan masalah anggaran 20 persen yang harus diwujudkan pemerintah, muncul permohonan pengujian UU No. 18 Tahun 2006 tentang anggaran APBN 2007 dan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS terhadap UUD 1945 oleh Rahmatiah Abbas guru SD di Sulawesi Selatan dan Prof. Dr. Badryah Rifai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar. Persoalannya terletak pada alokasi anggaran duapuluh persen seperti yang dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (4) harus diartikan bahwa duapuluh persen termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan. MK mengabulkan permohonan pemohon dengan alasan anggaran pendidikan saat ini menjadi delapanbelas persen sehingga pemerintah dan DPR hampir dapat mewujudkan amanat kontitusi.
Suatu permasalahan yang muncul adalah apakah Putusan MK soal alokasi duapuluh persen anggaran pendidikan hanya semata-mata untuk mewujudkan aturan atau konstitusi dalam artian positivisme undang-undang (legisme) ataukah apakah putusan MK adalah langkah penciptaan/pemenuhan keadilan bagi pendidik dan peserta didik?
Konstitusi antara Legisme dan Keadilan
Perubahan UUD 1945 pasal 31 ayat (4) ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa dalam praktik penyelenggaraan negara menunjukan kurang dipahaminya pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang pada hakikatnya mengandung prinsip demokrasi pendidikan.
Mahkamah Konstitusi dalam mengabulkan permohonan pengujian oleh beberapa pemohon berpijak pada alasan bahwa konstitusi harus dilaksanakan oleh pemerintah tidak menjadi persoalan apakah duapuluh persen anggaran termasuk gaji guru dan anggaran pendidikan kedinasan atau tidak, substansial anggaran duapuluh persen sebagaimana yang diamatkan konstitusi harus diwujudkan.
Pola pengambilan keputusan MK terkesan legalistik, dalam teori argumentasi yuridis (legal reasoning) suatu keputusan apalagi menyangkut kepentingan umum haruslah melibatkan interpretasi lainnya dan hal ini diabaikan MK. Guru dan dosen sebagai pendidik harus disinergikan juga kebutuhannya dengan peserta didik.
Apakah adil sekiranya 20 persen tidak termasuk gaji guru dan dosen, bagaimana dengan kesejahteraan guru, apakah kesejahteraan bisa mempengaruhi kinerja dan kualitas guru serta dosen, apakah cukup 20 persen untuk membiayai sarana dan prasarana demi terpenuhinya fasilitas pendidikan dalam rangka menunjang kualitas peserta didik. Negara hukum menurut J Van der Hoeven memprasyaratkan terpenuhinya kebutuhan meteriil minimum bagi kehidupan manusia yang menjamin keberadaan manusia yang bermartabat manusiawi.
Ketika 20 persen tidak dikaji dengan mempertimbangkan metode interpretasi secara gramatikal, historikal, sistimatikal dan sosiologikal maka suatu keputusan akan sangat positivistik dalam kalimat lain, “yang penting UUD 1945 harus dan atau telah dilaksanakan”. Pemerintah dan pihak yudikatif harus berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan apalagi terkait dengan kepentingan masyarakat yang hakiki seperti pendidikan.
Dalam kasus Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai hakim konstitusi terkesan mendasari keputusannya pada penegakan aturan (legisme) yaitu UUD 1945 hal ini terlihat dalam keputusan MK beserta Disenting Opinion di mana Hakim Ketua MK Jimly Asshiddiqie, Hakim MK Maruarar Siahaan dan Hakim MK H Harjono ingin mendekatkan anggaran yang ada sekarang yaitu telah mencapai delapanbelas persen dengan duapuluh persen anggaran seperti yang diamanatkan konstitusi atau ketiga hakim ini ingin memperbesar anggaran sedangkan Hakim MK Muktie Fadjar terkesan mempertahankan UUD 1945 dengan memahami duapuluh persen itu tidak termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan. Bahkan menurut hakim ini kedua guru tersebut tidak dirugikan.
Dalam keputusan MK ini tidak terasa suatu pemenuhan kebutuhan kolektif untuk memberikan rasa keadilan sebagai hak asasi manusia. Suatu negara menurut Schindler dan Engels (dikutip oleh B Arief Sidharta) adalah suatu penataan yuridisial, di mana kekuasaan yang terlegitimasi dijalankan untuk mewujudkan cita-cita politik dan memenuhi atau memuaskan kebutuhan-kebutuhan kolektif. Mark Elliot dalam The Contitusional Fondations of judicial review memaknai pengujian undang-undang sebagai tindakan yang hakiki yang tidak boleh dianggap biasa oleh siapapun.
Ketika keputusan tidak mempertimbangkan faktor–faktor keadilan dalam masyarakat maka kuat dugaan terjadi dekadensi moral dalam suatu institusi yang diharapkan perannya dalam penegakan aturan maupun keadilan. W Friedman mengatakan bahwa dalam masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang sangat mendasar maka semua nilai-nilai dan asas-asas hukum yang sangat fundamental untuk mewujudkan keadilan justru dapat menjauhkan hukum dari keadilan atau kebutuhan hukum riil dari masyarakat yang sesungguhnya.
Mahkamah Konstitusi selaku pengawal konstitusi selain harus konsisten dengan penegakan aturan (legisme/positivisme) juga harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan kolektif bukan hanya bagi peserta didik tapi juga pada pendidik. Sebelum memutuskan maka MK harus memulai dengan suatu permasalahan yaitu mengapa duapuluh persen alokasi anggaran untuk pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 harus dilaksanakan oleh pemerintah. Begitu pula dengan keputusan MK harus memuat dalil-dalil yang kuat dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang adil dalam dunia pendidikan. John Rawls menekankan pentingnya melihat keadilan sebagai kebajikan utama yang harus dipegang teguh sekaligus menjadi semangat dasar dari pelbagai lembaga sosial dalam suatu masyarakat. Aristoteles dan Plato tidak hanya menyebut keadilan sebagai kebajikan utama tapi keadilan begitu utamanya sehingga di dalam keadilan termuat semua kebajikan. Dengan demikian peserta didik mendapatkan pendidikan bermutu dan guru tidak menjadi tiran.
Ketika suatu keputusan menjiwai keadilan maka kegelisahan dan harapan masyarakat Indonesia termasuk Rahmatiah Abbas guru SD dan Prof. Dr. Badryah Rifai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar sesungguhnya akan dapat dipenuhi serta tidak terjadi penyiasatan yang menyesatkan pada konstitusi Indonesia. Constitutions is not the act of government but the people contituing a government. Ut Omnes Unum Sint
* (Dosen dan Deputi Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum Unsrat; Alumnus Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia)