28 Maret 2008

Pengelolaan Sampah dan Turunannya di TPA

Oleh Alfonds Andrew Maramis SSi MSi*

PEMBUANGAN sampah merupakan salah satu masalah yang sedang dihadapi oleh setiap kota di semua negara di dunia. Timbunan sampah yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi penduduk adalah suatu hal yang harus ditangani secara serius. Sampah menjadi masalah karena mengotori dan mengganggu keindahan serta kenyamanan manusia, dan karena ditimbulkan oleh kegiatan manusia akibatnya sampah akan selalu muncul dalam keseharian hidup manusia. Sampah memang wajar ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketidakwajaran terjadi ketika volume sampah berada di atas batas toleransi, terlebih pada tempat-tempat umum.
Sampah dan Turunannya
Secara umum, sampah didefinisikan sebagai segala macam buangan yang dihasilkan dari aktivitas manusia atau hewan yang sudah tidak dapat digunakan lagi. Sampah terbagi atas tiga kategori umum yaitu sampah perkotaan, sampah industri dan sampah berbahaya. Pengelolaan teknis sampah perkotaan dari berbagai sumber penghasilnya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pengelolaan sampah di TPA pada umumnya ada dua jenis yaitu Sanitary Landfill (sampah yang dibuang dikelilingi dan ditutup dengan material yang kedap air) dan Open Dumping (sampah yang dibuang dibiarkan begitu saja terpapar di atas tanah). Di Indonesia, kebanyakan TPA dibangun berdasarkan perpaduan antara kedua jenis tersebut. Pada awalnya sampah dikelola secara open dumping untuk suatu periode waktu tertentu, baru kemudian dilanjutkan dengan landfilling. Ada juga yang terjadi sebaliknya, TPA yang pada awalnya direncanakan akan dioperasikan secara sanitary landfill, namun karena adanya keterbatasan dari pengelola maka sampah tersebut hanya ditimbun begitu saja tanpa perlakuan sedikitpun.
Selain kedua cara umum yang sudah dipaparkan di atas, ada cara lain lagi namun terbatas penggunaannya, yaitu cara pengomposan dan insinerator. Pengomposan merupakan suatu teknik penguraian sampah oleh mikroorganisme tanah secara biokimia. Sedangkan dengan insinerator, sampah dibakar di dalam tungku pembakaran pada suhu di atas 10000C. Namun cara ini merupakan alternatif terakhir karena memerlukan biaya yang sangat tinggi. Terlepas dari bagaimana sampah tersebut dikelola, keberadaan TPA yang tidak sesuai standar akan memberikan masukan yang berarti terhadap degradasi lingkungan sekitarnya.
Materi pencemar yang biasanya terbentuk atau hadir (turunan sampah) di lingkungan sekitar TPA yaitu air lindi (leachate), gas landfill, sampah yang terbawa angin, dan organisme hidup seperti tikus, cacing, dan serangga (yang merupakan vektor pembawa penyakit). Pada tulisan ini, seluk beluk turunan sampah yang akan dibahas hanya tentang air lindi dan sedikit mengenai gas landfill.
Air lindi didefinisikan sebagai suatu cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan pada timbunan sampah. Dalam kehidupan sehari-hari, air lindi ini dapat dianalogikan seperti seduhan air teh. Air lindi membawa materi tersuspensi dan terlarut yang merupakan produk dari degradasi sampah. Komposisi air lindi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis sampah terdeposit, jumlah curah hujan di daerah TPA dan kondisi spesifik tempat pembuangan tersebut. Air lindi pada umumnya mengandung senyawa-senyawa organik (hidrokarbon, asam humat, fulfat, tanat dan galat) dan anorganik (natrium, kalium, kalsium, magnesium, klor, sulfat, fosfat, fenol, nitrogen dan senyawa logam berat) yang tinggi. Konsentrasi dari komponen-komponen tersebut dalam air lindi bisa mencapai 1000 sampai 5000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi dalam air tanah.
Selayaknya benda cair, air lindi ini akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Air lindi dapat merembes ke dalam tanah dan bercampur dengan air tanah, ataupun mengalir di permukaan tanah dan bermuara pada aliran air sungai. Bisa dibayangkan, air lindi yang mengandung senyawa-senyawa organik dan anorganik dengan konsentrasi sekitar 5000 kali lebih tinggi daripada dalam air tanah, masuk dan mencemari air tanah atau air sungai. Secara langsung, air tanah atau air sungai tersebut akan tercemar, sehingga peruntukan kedua jenis air tersebut mengalami pergeseran. Air yang awalnya bisa digunakan untuk keperluan rumah tangga, akhirnya hanya bisa digunakan untuk pertanian bahkan hanya sebagai penggerak pembangkit tenaga listrik.
Studi Kasus Pengelolaan Sampah di TPA Jatibarang, Semarang
Di Indonesia, sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk mengkaji dampak dari pencemaran air lindi di sekitar TPA. Salah satunya yaitu penelitian yang dilakukan oleh penulis, sebagai bentuk tugas akhir (tesis) di program pascasarjana magister biologi terapan pada salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Tengah. Penelitian tersebut difokuskan pada telaah dinamika dan distribusi logam berat dalam air sungai yang mendapat masukan air lindi TPA serta pengaruhnya terhadap biota sungai. Sungai yang dipilih sebagai objek yaitu Sungai Kreo, salah satu sungai besar yang terletak di Kota Semarang, Jawa Tengah. Sungai Kreo ini mendapat masukan air lindi dari TPA Jatibarang, yang merupakan tempat pembuangan sampah terakhir dari Kota Semarang dan sekitarnya. Ironisnya, sekitar 40 km sebelah hilir Sungai Kreo dari titik outlet air lindi TPA Jatibarang terletak Perusahaan Air Minum (PAM) Kota Semarang.
Pengelolaan sampah di TPA Jatibarang awalnya menggunakan sistem sanitary landfill, yang dibangun pada 1993 dengan luas ± 460.183 m2. Namun karena keterbatasan dari pihak pengelola, pengelolaannya berubah menjadi open dumping. TPA ini dibangun dengan bantuan dari Bank Dunia. Pada saat dibangun, diperkirakan TPA ini bisa digunakan sampai 10 tahun ke depannya. Namun pada 2001, Bank Dunia menyatakan bahwa TPA ini sudah penuh dan harus dicari lokasi yang baru. Kenyataan ini disebabkan karena tidak proporsionalnya volume sampah yang dibuang dengan daya tampung TPA. Luas areal TPA Jatibarang ± 460.183 m2, dengan luas areal buangan ± 276.469,8 m2 atau sekitar 60 persen dari luas totalnya. TPA ini mempunyai daya tampung sampah ± 4.147.047 m3, dengan kedalaman rata-rata 40 m. Dalam kondisi normal, sampah yang dibuang di TPA Jatibarang setiap hari mencapai sekitar 2.500 m3 atau sekitar 600 ton.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tiga (Cu, Fe, dan Zn) dari empat (tiga yang sudah disebutkan diawal + Cd) jenis logam berat yang diukur pada beberapa stasiun di Sungai Kreo melampaui baku mutu air sungai yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ada empat stasiun yang ditentukan sebagai tempat pengambilan sampel. Stasiun pertama berada sebelum titik outlet air lindi TPA (sebelah hulu), sedangkan ketiga stasiun berikutnya berada setelah titik outlet air lindi (sebelah hilir). Analisis statistik dari data kandungan logam berat tersebut menunjukkan bahwa pencemaran air lindi pada air sungai berada pada tingkat signifikan.
Bukan itu saja, parameter keragaman biota sungai pun terjadi pergeseran akibat pencemaran air lindi. Ada beberapa jenis makroinvertebrata bentik (jenis biota sungai) yang terdapat melimpah pada daerah sebelah hulu masukan air lindi, namun berkurang pada daerah sebelah hilir masukan air lindi TPA tersebut, begitu juga sebaliknya. Tren kepadatan masing-masing spesies makroinvertebrata bentik ini pada daerah sebelah hulu dan hilir dari masukan air lindi di Sungai Kreo diperkuat dengan analisis statistik yang menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut relatif signifikan.
Pengurangan jumlah akibat adanya masukan air lindi dialami oleh spesies Hydropsyche sp. (Insecta: Trichoptera), Liebebiella deigma, dan Baetis sp. (Insecta: Ephemeroptera). Spesies-spesies ini umumnya tidak toleran terhadap adanya pencemaran senyawa organik maupun anorganik. Hal tersebut berbeda dengan spesies Paragyractis sp. (Insecta: Lepidoptera) dan Chironomidae (Insecta: Diptera), yang cenderung toleran terhadap adanya beban pencemar. Materi pencemar berdampak seperti racun bagi spesies yang tidak toleran. Sebaliknya, spesies yang toleran menggunakan materi pencemar sebagai nutrisi bagi kelangsungan metabolisme di dalam tubuhnya. Berkurang maupun melimpahnya spesies-spesies ini di habitatnya tergantung pada seberapa besar tingkat toleransi terhadap pencemaran, karena setiap jenis makroinvertebrata bentik mempunyai tingkat toleransi yang berbeda dengan yang lainnya.
Perencanaan/Penentuan Lokasi TPA
Berkaca dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis ingin berbagi masukan dengan stakeholder khususnya pemerintah daerah-daerah yang ada di provinsi tercinta ini. Keseluruhan proses pengelolaan sampah janganlah dilakukan secara asal-asalan. Pengelolaan sampah secara baik dan teratur saja belum tentu tidak memberikan masukan pencemar ke lingkungan, apalagi pengelolaan yang dilakukan dengan serampangan.
Penimbunan sampah yang efisien dan efektif berhubungan erat dengan pembuangan sampah padat yang terkontrol pada atau di dalam lapisan bawah dari kulit bumi. Aspek penting yang termasuk dalam pelaksanaan penimbunan sampah yaitu: pemilihan lokasi, metoda dan pengoperasian penimbunan sampah, terjadinya gas dan air lindi, dan pergerakan dan pengontrolan gas dan air lindi di tempat penimbunan sampah.
Pemilihan Lokasi
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengevaluasi penentuan tempat pembuangan sampah padat yaitu: ketersediaan lahan, jarak pengangkutan sampah, kondisi tanah dan topografi, hidrologi air permukaan, kondisi geologis dan hidrogeologis, kondisi klimatologi (iklim), kondisi lingkungan lokal, dan praktek pasca-penggunaan tempat. Salah satu syarat dari faktor ketersediaan lahan yaitu lahan tersebut harus mempunyai masa pakai minimal 1 tahun. Jarak pengangkutan sampah juga penting karena mempunyai dampak signifikan pada biaya pengoperasian. Berdasarkan topografi dan kondisi tanah, materi tanah penutup harus tersedia di dekat lahan tersebut. Dampak pengaliran air juga merupakan aspek penting dalam hidrologi air permukaan. Seperti kasus yang dibicarakan di atas, jangan sampai aliran air dari tempat penimbunan sampah ini bermuara pada infrastruktur daerah yang penting, seperti perusahaan air minum daerah (PAM) misalnya.
Faktor yang penting juga dalam pembukaan lahan penimbunan sampah yaitu kondisi geologi dan hidrogeologi lahan tersebut, terutama menyangkut persiapan penggunaan lahan. Hal yang tidak kalah penting yaitu kondisi klimatologi (iklim). Lahan penimbunan sampah ini harus dibekali dengan perlengkapan tertentu agar supaya operasi penimbunan sampah dapat dilakukan dalam musim hujan sekalipun. Kebanyakan pengoperasian TPA tidak memperhatikan faktor ini. Akibatnya lahan penimbunan sampah tidak dapat dioperasikan secara maksimal, bahkan timbunan sampah dapat menyebabkan bencana. Sebut saja bencana longsor yang terjadi di TPA Leuwigajah, Bandung, pada awal 2005, yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bencana ini santer dipublikasikan oleh media elektronik maupun media cetak pada waktu itu, karena longsoran sampah menimbun beberapa tempat peristirahatan dari pemulung-pemulung yang mencari nafkah di areal TPA tersebut.
Faktor yang terkadang menimbulkan dilema dalam penentuan tempat penimbunan sampah yaitu kondisi lingkungan lokal. Faktor ini bersinggungan secara langsung dengan segi sosial masyarakat, karena di dalamnya terkandung aspek estetika dari tempat penimbunan sampah. Tidak jarang adanya penolakan dari masyarakat di dalam penentuan tempat penimbunan sampah. Sebut saja contohnya, penolakan masyarakat sekitar terhadap penentuan lokasi TPA yang direncanakan oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara, yang pernah dimuat di koran ini beberapa waktu yang lalu. Stigma dari sampah yang pada umumnya mengeluarkan bau yang tidak sedap, debu, bahkan vektor penyakit, belum lagi kebisingan yang ditimbulkan seperti tidak pernah hilang dari ingatan masyarakat.
Faktor terakhir yang juga perlu untuk diperhatikan, yaitu faktor pasca-penggunaan tempat penimbunan sampah. Sama seperti kegiatan pertambangan emas di Ratatotok yang saat ini menjalani proses penutupan, dalam penentuan tempat penimbunan sampah juga sudah harus memikirkan langkah ke depan (action plan) apabila lahan ini sudah tidak bisa dipergunakan lagi untuk menimbun sampah. Berkaitan dengan keterbatasan lahan, ditambah dengan peningkatan jumlah sampah yang seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk, proses pengelolaan sampah di TPA mempunyai batasan umur pakai. Semakin lama TPA bisa dipakai untuk menimbun sampah, tidak bisa dipakai sebagai patokan bahwa proses penimbunan sampah berjalan dengan baik.
Metoda dan Pengoperasian Penimbunan Sampah
Untuk menggunakan secara efektif areal yang tersedia pada lahan penimbunan sampah, sebuah rencana pengoperasian untuk penempatan sampah padat perlu dipersiapkan. Operasi penimbunan biasanya dimulai dengan membangun bendungan atau tanggul yang terbuat dari tanah yang berlawanan dengan di mana sampah akan ditempatkan. Sampah kemudian disusun dan dipadatkan, kemudian diberi lapisan penutup berupa tanah. Tingginya susunan sampah bisa disesuaikan dengan luasan lahan buangan sampah dan volume sampah perharinya, namun jangkauan ketinggian sampah (setelah dipadatkan) berdasarkan referensi berkisar antara 2–3 m. Setelah mencapai ketinggian tersebut, timbunan sampah kemudian ditutup dengan material tanah setebal 15 – 30 cm. Di atas timbunan yang sudah ditutup tanah tersebut, masih dapat ditimbun lagi dengan sampah yang baru, begitu seterusnya sampai mencapai tinggi akhir berdasarkan desain tempat penimbunan sampah tersebut.
Lokasi di mana terdapat bagian yang curam secara alami atau artifisial (buatan) sekalipun dimungkinkan untuk digunakan sebagai tempat penimbunan secara efektif. Jurang, ngarai, tebing, terowongan, bahkan bekas galian tambang pun dapat digunakan untuk tujuan ini. Teknik untuk menempatkan dan memadatkan sampah padat bervariasi terhadap geometri dari lahan, karakteristik dari material penutup, hidrologi dan geologi dari lahan, dan akses menuju lahan tersebut.
Penimbunan sampah pada lahan basah jarang digunakan karena potensi risiko kontaminasi air tanah sekitar cukup tinggi, belum lagi dengan terbentuknya bau yang tidak sedap, dan kestabilan struktur lahan. Jika terpaksa menggunakan lahan basah seperti rawa, paya, daerah pasang surut, kolam, dan lubang untuk lahan penimbunan, berbagai ketentuan khusus harus dibuat untuk menahan atau menyisihkan aliran dari air lindi atau gas. Biasanya ketentuan awal yang harus dilakukan yaitu mengeringkan lahan tersebut kemudian melapisi dasar lahan dengan tanah lempung atau materi penutup lainnya yang tepat.
Terjadinya Gas dan Air Lindi
Gas-gas yang terbentuk dari penimbunan sampah termasuk di dalamnya yaitu: udara, ammonia, karbon dioksida, karbon monoksida, hidrogen, hidrogen sulfida, metan, nitrogen, dan oksigen. Karbon dioksida dan metan merupakan gas-gas utama yang dihasilkan dari dekomposisi (pembusukan) anaerobik (tanpa udara) dari komponen sampah padat organik. Nilai dari dekomposisi dalam penimbunan sampah yang tidak terkelola dengan baik, seperti yang pernah diukur lewat produksi gas (berdasarkan beberapa referensi), mencapai puncak di antara dua tahun pertama dan kemudian secara perlahan menurun, dan berlanjut (pada beberapa kasus), untuk periode 25 tahun bahkan lebih. Volume keseluruhan dari gas yang dihasilkan selama dekomposisi anaerobik dapat diperkirakan melalui reaksi kesetaraan kimia.
Seperti yang sudah didefinisikan di atas, air lindi merupakan cairan yang tertapis dari sampah padat, yang mana material tersuspensi atau terlarut dalam sampah padat ikut terekstrak ke dalam tapisan cairan tersebut. Pada kebanyakan tempat penimbunan sampah, porsi cairan dari air lindi tersusun dari produksi cairan hasil dekomposisi dari sampah dan cairan yang masuk ke tempat penimbunan dari sumber luar, seperti aliran air permukaan, air hujan, air tanah, dan air dari mata air bawah tanah.
Pergerakan dan Pengontrolan Gas dan Air Lindi
Di bawah kondisi ideal, gas-gas yang dihasilkan dari proses penimbunan sampah boleh dilepaskan ke atmosfer atau, pada tempat penimbunan sampah yang sangat besar dapat dikumpulkan sebagai bentuk produksi energi. Pada kebanyakan kasus, lebih dari 90 persen volume gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah padat terdiri dari metan dan karbon dioksida. Meskipun sebagian besar metan terlepas ke atmosfer, konsentrasi metan yang tertinggal dapat mencapai angka lebih dari 40 persen dan menyebar menjauhi pusat terbentuknya sampai lebih dari 120 m dari bagian tepi tempat penimbunan. Bila pelepasan ke atmosfer tidak terkontrol, metan dapat terakumulasi di bawah bangunan atau lahan tertutup lainnya pada atau dekat tempat penimbunan.
Tidak jarang kita mendapat informasi dari media masa bahwa ada masyarakat yang kaget ketika dari dalam rumah mereka atau di sekitar pekarangan mereka, keluar dari tanah, gas berbau tajam yang dapat terbakar. Fenomena ini sering terjadi disekitar tempat penimbunan sampah yang masih aktif ataupun bekas tempat penimbunan. Pernah terjadi di TPA Jatibarang, Kota Semarang, kebakaran yang terjadi dengan sendirinya akibat akumulasi gas metan yang tinggi. Saking tingginya, kebakaran ini berlangsung selama seminggu lebih.
Berbeda dengan metan, karbon dioksida yang mempunyai berat jenis sekitar 1,5 kali udara segar dan 2,8 kali metan, cenderung bergerak ke arah dasar tempat penimbunan. Pada akhirnya, karena berat jenisnya, karbon dioksida akan bergerak ke bawah melalui lapisan dasar tanah sampai menembus air tanah. Karena karbon dioksida bisa larut dalam air, ini biasanya mengurangi pH tanah, sehingga dapat meningkatkan hardness (kesadahan) dan kandungan mineral dari air tanah melalui pelarutan kalsium dan magnesium karbonat.
Pergerakan gas ke samping yang diproduksi di tempat penimbunan dapat dikontrol dengan memasang ventilasi yang terbuat dari materi yang lebih permeabel (mudah tembus) daripada tanah sekelilingya. Pada tempat penimbunan yang telah penuh dan tidak dilengkapi dengan material ventilator, dapat dibuat beberapa sumur atau pipa gas di antara timbunan sampah, sehingga gas tidak tertahan di dalamnya.
Di bawah kondisi normal, air lindi sering dijumpai di bagian dasar tempat penimbunan. Angka rembesan air lindi dari dasar tempat penimbunan dapat diestimasi melalui asumsi bahwa material di bawah tempat penimbunan sampai di atas batas air telah penuh dan hadirnya lapisan tipis air lindi pada dasar timbunan. Di bawah kondisi ini, angka pelepasan air lindi per unit area adalah setara dengan nilai dari koefisien permeabilitas yang diekspresikan dalam satuan meter per hari.
Sebagaimana air lindi dapat masuk melalui lapisan dasar tanah, sebagian besar unsur kimia dan biologi yang mula-mula terkandung dalam air lindi terlepas melalui penyaringan dan teradsorpsi oleh materi penyusun lapisan tanah. Pada umumnya, tingkat penyaringan dan adsorpsi ini tergantung pada karakteristik tanah, khususnya kandungan tanah liat atau lempung. Mengingat air lindi dapat masuk sampai menembus air tanah, tingkat penyaringan dan adsorpsi dapat diatur sedemikian rupa menggunakan materi lempung sehingga resiko tercemarnya air tanah oleh air lindi dapat ditekan.
Dewasa ini, masalah penentuan tempat penimbunan sampah semakin kompleks. Keterbatasan lahan dan volume sampah semakin meningkat, mau tidak mau penggunaan lahan penimbunan sampah secara efektif dan efisien perlu diperhatikan. Apalagi dengan adanya otonomi daerah, dimana setiap wilayah daerah dengan sendirinya harus memiliki setidaknya sebuah TPA yang memadai. Barangkali, jarang ditemukan suatu daerah yang dengan besar hati mengijinkan daerah lain untuk membuang sampah di wilayahnya. Sebaliknya, setiap daerah biasanya mencari cara untuk dapat menempatkan sampahnya di luar wilayahnya, dengan berprinsip pada slogan ‘’NIMBY – not in my back yard”. Apapun itu, permasalahan mengenai persampahan yang sangat kompleks ini perlu dicari solusinya, bukan ditangguhkan atau dikesampingkan. Demikian, sedikit ulasan mengenai pengelolaan sampah, perencanaan, dan penentuan lokasi TPA, serta suatu studi kasus mengenai pengelolaan sampah di suatu TPA, kiranya bisa memberikan manfaat bagi kita semua.#

*Pemerhati dan Praktisi Lingkungan Hidup, Alumni Program Pascasarjana Magister Biologi Terapan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga