24 Maret 2008

Usaha-Usaha Untuk Mewujudkan Kesetaraan Gender

Oleh Dra Altje R Sangian MSi*

KESETARAAN gender adalah sebuah frase (istilah) yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan gender dalam tataran praktis, hampir selalu diartikan sebagai kondisi “ketidaksetaraan” yang dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan tidak adil dan semacamnya. Istilah-istilah tersebut memang dapat membangkitkan emosi, kekesalan, dan memicu rasa simpati yang besar kepada kaum perempuan. Oleh karena, banyak bermunculan program atau kegiatan, terutama dilakukan oleh beberapa LSM, untuk memperbaiki kondisi perempuan, yang biasanya berupa pelatihan tentang isu-isu gender, pembangkitan kesadaran perempuan dan pemberdayaan perempuan dalam segi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Persoalan perempuan memang dapat mengundang simpati yang cukup besar dari masyarakat luas karena permasalahan keadilan sosial dalam arti yang lebih luas yaitu isu-isu yang berkisar dari masalah kesenjangan orang kaya dan orang miskin, sampai dengan ketimpangan ekonomi antara negara yang kaya dan miskin. Namun di sisi lain, kesetaraan gender juga dapat mengundang rasa ambivalensi, bahkan rasa antipati baik dalam kelompok aktivis perempuan sendiri, juga dari masyarakat umum. Bagi mereka yang mempunyai rasa ambivalensi terhadap konsep kesetaraan gender, biasanya disebabkan oleh terbatasnya pengertian mereka atau konsep kesetaraan itu sendiri.
Apakah pria dan wanita memang betul-betul harus sama sehingga segalanya harus setara? Bagaimana dengan perbedaan biologis antara pria dan wanita yang sering membawa kondisi ketidaksetaraan?
Konsep kesetaraan gender memang merupakan suatu konsep yang sangat rumit dan kontroversial. Sampai saat ini belum ada konsensus mengenai apa yang disebut kesetaraan antara pria dan wanita. Ada yang mengatakan bahwa kesetaraan adalah persamaan dalam hak dan kewajiban, yang tentunya juga masih belum jelas artinya. Juga diartikan bahwa wanita mempunyai hak yang sama dengan pria dalam aktualisasi diri, namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing. Apa perbedaan kodrat tidak mengimplikasikan perilaku dan peran antara pria dan wanita?
Perempuan adalah sumberdaya manusia yang jumlahnya besar, bahkan di seluruh dunia jumlahnya melebihi pria. Akan tetapi, jumlah wanita yang berpartisipasi di sektor publik selalu berada jauh di bawah pria, terutama dalam bidang politik. Lebih rendahnya peran perempuan di sektor publik ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi di seluruh dunia, termasuk di negara-negara maju. Oleh karena itu agen feminis mainstream, semenjak awal abad hingga sekarang adalah bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di luar maupun di dalam rumah.
Untuk mewujudkan kesetaraan seperti ini, para feminis sampai sekarang masih percaya bahwa perbedaan peran berdasarkan gender adalah karena produk budaya, bukan karena adanya perbedaan biologis atau perbedaan nature, atau genetis. Pada feminis begitu yakin dapat mewujudkan melalui perubahan budaya, legislatif, ataupun praktik-praktik pengasuhan anak. Maka berkembanglah teori-teori feminisme termasuk praksisnya, bagaimana mengubah semua image wanita yang berkaitan dengan sifat-sifat feminim yaitu pengasuh, keibuan, lembut dan sebagainya. Walaupun sekarang sudah banyak para wanita yang berkiprah di sektor-sektor yang didominasi oleh kaum pria yang di situ figur dominan wanita di mana saja masih tetap sama dengan zaman paleolitik yaitu sebagai ibu dan pengasuh dan anak-anaknya, tetapi sayang perjuangan feminis tampaknya belum membuahkan hasil. Figur dominan wanita inilah yang dianggap sebagai kendala besar bagi terwujudnya kesetaraan gender.
Ada suatu paradigma sosial konflik yang dikembangkan oleh Marx adalah satu-satunya teori yang membahas secara terperinci, termasuk praksis-praksisnya, bagaimana menghilangkan segala ketimpangan sosial yang ada, termasuk ketimpangan gender, paradigma Marxis selalu melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama yang harus dihilangkan atau diperkecilkan peranannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan istri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme mainstream adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan lainnya yang kekiri-kirian yaitu bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui penyadaran bagi tertindas, pemberdayaan kaum tertindas, perubahan struktural atau revolusi, penyebaran isu-isu anti kemapanan atau antikaum borjuis.
Istilah-istilah baku tersebut dalam era reformasi ini semakin populer saja, terutama di kalangan generasi muda memposisikan diri sebagai pembela kaum lemah, termasuk kaum perempuan yang menurut feminis adalah kaum tertindas, adalah bagus sekali. Secara etika moral dan agama kita memang dianjurkan untuk selalu membantu kaum lemah. Namun yang jadi masalah adalah paradigma yang melatarbelakangi kepedulian ini sering tidak dipahami dengan jelas, sehingga kadangkala generasi muda yang tidak paham, dengan mudah dijadikan alat propaganda untuk mencapai tujuan politis golongan tertentu.
Dalam bertindak kita selalu memikirkan segala sesuatu secara kritis dan mendalam sebelum melakukan sehingga tidak mudah terprovokasi atau diperalat. Kemampuan berpikir secara mendalam ini tentunya memerlukan bekal teori dan pengetahuan yang multiperspektif, sehingga mampu melihat suatu fenomena dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian kita dapat meletakan segalanya secara proporsional.
Institusi keluarga yang sehat adalah salah satu wadah yang paling efektif untuk menciptakan individu-individu yang bermoral di mana para anggotanya belajar untuk saling menghormati, melindungi, dan penuh kasih sayang, walaupun peran dan status para anggotanya berbeda-beda. Dengan kualitas individu yang seperti ini kepedulian kepada yang lemah pasti terwujud yaitu kepedulian yang berasal dari cinta kasih.
Penulis bertujuan mengajak para pembaca untuk sama-sama berpikir dan menganalisis berbagai sudut pandang mengenai relasi gender, serta mencari alternatif konsep kesetaraan gender yang dapat mewujudkan relasi gender yang harmonis, bukan relasi yang justru menimbulkan antagonisme dan perpecahan.#

* Dosen Fatek Unima