26 Maret 2008

Desa Ku “Terabaikan”

Oleh Welly Waworundeng SSos MSi*

SELAMA ini desa kurang dihargai dan diperhatikan oleh pemerintah dan lembaga legislatif (DPRD) kabupaten/kota di Sulawesi Utara. Kalau kita lihat sudah hampir 4 (empat) tahun diberlakukannya Undang-Undang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan untuk melaksanakannya, ditetapkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2005 tentang Desa. Keduanya belum sepenuhnya dilaksanakan sampai di desa. Masalahnya, produk regulasi di daerah, baik perda atau surat keputusan bupati/wali kota yang seharusnya dikeluarkan sebagai ketentuan, pedoman, dan acuan teknis pelaksanaan di desa, sebagian besar belum ditetapkan dan mungkin belum pernah dibahas dalam program legislasi daerah.
Hal tersebut menjadi kendala terhadap penyelenggaraan pemerintahan di desa, di mana pemerintah desa (kepala desa dan perangkat desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak dapat merencanakan, membahas, menetapkan dan melaksanakan perdes atau aturan lainnya di desa. Ada pemerintahannya, ada rakyatnya, ada kegiatannya, tetapi tidak berjalan sebagaimana amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU 32/2004 dan PP 72/2005).
Padahal kalau dilihat penduduk di kabupaten/kota, mayoritas ada di desa. Besar kecilnya pembagian uang dari pusat ke daerah, salah satu pertimbangan adalah jumlah penduduk yang kebanyakan ada di desa. Banyak tidaknya proyek pemerintah (provinsi/pusat) ke daerah, mempertimbangkan jumlah penduduk di desa. Apalagi jumlah kursi DPRD, dan banyak lagi kepentingan-kepantingan daerah yang mengatasnamakan publik di desa.
Jadi sudah seharusnya baik program pembangunan dan uangnya daerah, berpihak ke desa. Sekarang penyelenggaraan pemerintahan di desa seperti ‘mati suri’, dan banyak hak-hak desa ‘dipasung’, hampir tidak ada regulasi yang ditetapkan dan dijalankan. Itu berarti penyelenggaraan pemerintahan di desa, tanpa disadari oleh orang desa, tidak berjalan. Kegiatan pemerintahan sebatas: pertama, pelayanan administrasi yang dari tahun ke tahun sudah rutin dilakukan, seperti: pengurusan KTP, surat-surat keterangan, surat jalan, dan administrasi lainnya. Kedua, yang dilakukan pemerintah desa bersama BPD lebih banyak kegiatan seremonial menghadiri undangan-undangan hajatan (acara suka) dan peristiwa kedukaan.
Ketiga, disibukan dengan mengurus persoalan-persoalan rumah tangga, persoalan kenakalan anak muda, persoalan sengketa tanah dan Kamtibmas lainnya di masyarakat. Keempat, desa ada kegiatan kalau ada proyek/kegiatan pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kelima, lebih parah lagi pemerintah dan BPD dari tahun ke tahun dan sampai sekarang, dihadapkan dengan masyarakat yang terkotak-kotak, akibat mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pasca pesta demokrasi (pemilu, pilkada, dan pemilihan kepala desa) terjadi masalah.
Mulai dari bedah partai, bedah calon DPR, DPD, presiden/Wapres, DPRD, bedah calon kepala daerah provinsi dan kabupaten, sampai bedah calon kepala desa (hukum tua, sangadi, opo laho dan lain-lain), masih menjadi masalah yang krusial dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di desa. Keenam, belum lagi masalah kemiskinan, pengangguran, urbanisasi, kebodohan (putus sekolah), krisis pangan (banyak lahan tidur), tanah penduduk beralih ke pemilik modal, pejabat dan lain-lain.
Kalau demikian, kapan desa melaksanakan otonomi (mengurus rumah tangganya sendiri) yang utuh, bulat, dan terencana, keluar dari masalah, serta membangun untuk kesejahteraan rakyat?
Selang hampir sepuluh tahun pasca reformasi dan diberlakukannya UU 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengganti UU 5/1974 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 5/1979 tentang Desa, kemudian direvisi dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sepertinya selama itu pemerintah daerah dan DPRD kabupaten/kota mengabaikan pengaturan tentang desa.
Seharusnya sesuai UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP 72/2005 tentang Desa, pemerintah daerah dan DPRD harus mengeluarkan perda dan keputusan bupati/wali kota tentang penyelenggaraan pemerintahan di desa. Terabaikannya pengaturan tentang desa karena, pertama, pemerintah dan DPRD kabupaten/kota terkonsentrasi pada pesta demokrasi yang secara beruntun dari tahun ke tahun dilaksanakan.
Mulai dari Pemilu (pemilihan DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, DPRD), pemilihan gubernur, pemilihan bupati, sampai pada pemilihan kepala desa. Kedua, bukan sedikit waktu dan uang tersita karena terjadi evoria pemekaran, di mana daerah Nyiur Melambai telah memiliki 4 daerah kota dan 9 daerah kabupaten, dan belum cukup sampai di situ karena masih ada usulan pemekaran daerah baru. Sampai kapan pemekaran ini berakhir?
Ketiga, tidak kalah sibuknya (siang kalau siang) apabila mereka membahas APBD, apakah yang dibahas untuk kepentingan rakyat? Keempat, padat dengan studi banding, acara seremonial, perjalanan dinas ke Jakarta (padahal hampir semua urusan so kase di daerah, kong beking apa dang di Jakarta?) dan lain-lain.
Dalam Peraturan Pemerintah 72/2005 tentang Desa, mengatur antara lain tentang urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa, kedudukan, tugas, wewenang, kewajiban, fungsi, hak, dan kedudukan keuangan dari Pemerintah Desa, dan Badan Permusyawaratan Desa. Selain itu, mengatur tentang Peraturan Desa, Perencanaan Pembangunan Desa, Keuangan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, Badan Usaha Milik Desa, Kerja sama antar desa dan pihak ketiga, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan serta Pembinaan dan Pengawasan. Regulasi ini bertujuan agar desa dengan otonominya dapat mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa, sehingga dapat merencanakan, menetapkan dan melaksanakan aturan desa.
Dasar aturan itu, desa membangun untuk kesejahteraan rakyat. Yang menjadi masalah sekarang, tujuan dari regulasi tersebut belum dicapai, kerena belum semua aturan dalam regulasi ditindak-lanjuti dalam perda dan keputusan bupati/wali kota. Sehingga desa tidak dapat berbuat banyak dan penyelenggaraan pemerintahan desa tidak berjalan sebagaimana amanat UU.
Menghadapi masalah ini, desa sepertinya tidak dapat berbuat apa-apa, karena memang mereka belum menyadari, bahwa selama ini desa benar-benar diabaikan alias dipasung hak-haknya. Apabila desa punya keinginan maju, dan menjadikan rakyatnya sejahtera berarti desa-desa harus bersatu. Mulai dari Pemerintah Desa, BPD, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Generasi Muda, PKK, dan semua organisasi sosial politik serta masyarakat yang ada di desa, dapat bersatu untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya, sehingga diperhatikan.
Selain itu, harus ada hubungan kerja sama antar desa yang satu dengan desa yang lain, apakah dalam bentuk asosiasi atau perkumpulan lain yang pada intinya dapat memperjuangkan kepentingan desa. Dengan kekuatan kebersamaan itu diharapkan desa dapat mempengaruhi kebijakan politik/pembangunan di atasnya. Selama desa diam dan tidak bersatu, selama itu juga desa hanya menjadi objek dan subjek apabila ada pesta demokrasi atau iven-iven daerah dan nasional.
Masalah desa tidak akan selesai sebelum pemerintah di atasnya punya komitmen yang kuat serta didukung dengan adanya kebijakan (regulasi) yang memihak kepada desa. Pemerintah kabupaten/kota yang memiliki daerah desa sudah seharusnya melihat apa yang menjadi kebutuhan desa, masyarakat desa juga adalah publik yang harus dilayani. Bukankah pemerintahan daerah ada karena ada rakyatnya, bukankah pemekaran daerah ada kerena alasan pelayanan publik serta mendekatkan pelayanan kepada publik.
Tentunya sebelum masalah di desa lebih banyak dan lebih berat diselesaikan, maka secepatnya pemerintah daerah menyikapinya.
Ke depan diharapkan dengan dikeluarkannya regulasi tentang desa oleh pemerintahan daerah kabupaten/kota, seyogianya dapat menjawab persoalan yang ada di desa. Di mana regulasi ini akan mengatur penyelenggaraan pemerintahan desa yang demokratis, partisipatif, transparan, dan dapat menjawab kebutuhan masyarakat (masyarakat desa sejahtera, daerah sejahtera, negarapun sejahtera).
Saran saya, dengan kita mengetahui masalah desa adalah masalah bangsa, maka marilah semua komponen bangsa jangan kita abaikan keberadaan desa. Sehingga syair lagu ‘desa ku yang kucinta, pujaan hati ku, tempat ayah dan bunda dan handai tolan ku tak mudah ku lupakan tak mudah bercerai, selalu ku rindukan, desa ku yang permai’ akan tetap ada, dan dikenang sepanjang masa.(#)

*Dosen FISIP Unsrat