01 April 2008

MSM dan Jebakan Sentralisme

Oleh Michael F Umbas*

BABAK baru PT Meares Soputan Mining (MSM) kembali bergulir. Selalu tak putus dirundung kontroversi. Publik diliputi pertanyaan: kapan kisruh yang membelit perusahaan pertambangan asing itu berhenti berputar. Kini, konflik pun kian tajam. Terbitnya keputusan Menteri Negara ESDM Nomor 42.K/30.00/DJB/2008 yang memperpanjang ijin konstruksi MSM, memantik percikan konflik yang pasti akan meruncing dan melelahkan.
Gubernur Sinyo Harry Sarundajang, pasti sedang dirundung rasa kecewa. Di tengah aktivitas padat menjelang WOC 2009, Ia harus berhadap-hadapan dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dengan lantang menyerukan kedigdayaannya sebagai regulator pertambangan, paling berhak menentukan layak tidak layaknya sebuah perusahaan pertambangan menjalankan operasinya.
Apa dinyana, sebuah SK yang ditulis dengan tembusan ke dua puluh pihak dan instansi itu, seolah sebuah ‘deklarasi’ ESDM bahwa keberadaan perusahaan tambang emas PT MSM tak boleh dihalangi jalannya. Mereka berhak melanjutkan apa yang sudah dimulai melalui Kontrak Karya, surat persetujuan Presiden RI No.B-43/Pres/11/1986.
Sikap penolakan Gubernur Sarundajang dengan sederet alasan tentu hanyalah cerita lain yang tak perlu digubris. Perspektif ESDM jelas, Kontrak Karya harus dijalankan, melampaui dalil-dalil sosial, lingkungan dan aneka bentuk alasan penolakan.
Pijakan sakti yang menjadi acuan langkah ‘maju tak gentar’ ala ESDM yakni pasal 19 dan 20 PP Nomor 27 Tahun 1999, yakni Jika permohonan AMDAL (Analisa mengenai Dampak Lingkungan) tidak mendapat respon dalam jangka waktu paling lambat 70 hari sejak disampaikan, maka secara otomatis perusahaan sudah layak beroperasi.
Jika dicermati dari kronologis teknis penolakan AMDAL baik antara Gubernur dan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, maka jelas bahwa ada missing link yang menjadi jebakan sehingga posisi Gubernur Sulut atas nama Pemerintah daerah seolah-olah lemah secara yuridis. Coba perhatikan urutannya, pada tanggal 9 Oktober 2006, Gubernur menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk menetapkan layak atau tidaknya AMDAL PT MSM. Langkah proaktif Gubernur ini baru mendapat respon Deputi Menneg Lingkungan Hidup bidang Tata Lingkungan pada tanggal 8 Desember 2006, dan (ironisnya) mengembalikan hasil dokumen analisis AMDAL PT MSM untuk kemudian dimintakan persetujuan atas hasil kajian itu.
Lemparan bola KLH ini, kemudian direspon Gubernur Sulut melalui surat pada tanggal 2 Februari 2007 kepada Menneg KLH yang mana menyatakan sikap penolakan terhadap dokumen Amdal dengan tiga poin utama yakni masih adanya penolakan masyarakat terhadap rencana kegiatan pertambangan, masalah tidak terjaminnya teknologi pengolahan limbah yang berpotensi mencemarkan lingkungan, kemudian tata ruang daerah menetapkan bahwa di sekitar lokasi kegiatan pertambangan terhadap kawasan pengembangan pariwisata, budidaya perikanan laut, dan warisan kekayaan laut.
Sikap tegas Gubernur yang menolak ini, (mestinya) menjadi pijakan KLH untuk segera menyatakan sikap bahwa instansi mereka bisa langsung menyatakan ketidaklayakan Amdal MSM sehingga belum layak operasi.
Tapi, ironisnya, seiring waktu terus berputar, batas penilaian AMDAL memiliki limitasi waktu. Jika tidak ada keputusan dalam kurun waktu 70 hari sebagaimana amanat Pasal 20 PP No. 27 Tahun 1999, maka otomatis AMDAL disetujui. Apalagi Amdal pertama MSM sudah pernah disetujui pada tanggal 4 Juni 1998, namun karena ada persoalan lain, ijin Amdal tersebut tidak bisa dilaksanakan oleh Perusahaan.
Yang terjadi, pada akhirnya penolakan AMDAL oleh Gubernur tidak dapat menjadi acuan hukum formal untuk menghadang MSM karena tidak dilegitimasi oleh KLH sebagai sebuah paket penolakan institusinya terhadap rencana operasi MSM. Alkisah, terjadi politik ulur waktu dari KLH yang berbuah fatal, dilewatkannya masa waktu pengambilan keputusan sebagaimana amanat pasal 20 PP No 27 Tahun 1999.
Celah ini, lantas menjadi target empuk pihak ESDM untuk mengambil posisi membuka kembali pintu bagi MSM melalui persetujuan ijin konstruksinya. Hal ini terlihat jelas dari isi Kepmen yang ditandangani Dirjen Minerba, Simon Sembiring pada tanggal 6 Maret 2008. Pada bagian Menimbang Poin a, “Bahwa mengingat kegiatan perusahaan berhenti karena adanya revisi Amdal dan saat ini revisi telah selesai diteliti oleh komisi penilai Amdal Pusat, maka sesuai dengan pasal 19 dan 20 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999, PT Meares Soputan Mining dapat melanjutkan kegiatannya.”
Dalam posisi ini, KLH jelas melempar bola ke Pemprov Sulut untuk berhadap-hadapan dengan ESDM. Sikap KLH selalu menyatakan bahwa AMDAL MSM sudah ditolak oleh Gubernur, tapi (anehnya) pihak KLH tidak menginstitusionalisasi peran sebagai penanggung jawab persoalan lingkungan dengan menyatakan AMDAL belum bisa disetujui, sehingga persoalan langsung selesai. Bukankah ini sebuah adegan politik “cuci tangan”.
Padahal, kalau benar-benar KLH serius dan melakukan langkah strategis yuridis bersama Pemprov Sulut, skenarionya akan seperti ini: setelah Pemprov Sulut menyatakan penolakan atas AMDAL, KLH segera menerbitkan keputusan tidak menyetujui AMDAL tersebut, sehingga kemudian Pemprov Sulut akan melakukan legitimasi penolakan PT MSM sesuai kewenangan penguasa di daerah yang bertanggung jawab terhadap segala aktivitas investasi yang berdampak pada masyarakat. Ibarat kerjasama sebuah tim sepakbola, tendangan midfielder ke barisan kotak penalti langsung dituntaskan para striker dengan tendangan gol. Sesuatu yang sederhana tapi terabaikan.
ESDM kini dengan mudah menutup mata terhadap segala dalih penolakan yang telah dilakukan secara tegas oleh Gubernur Sarundajang. Komitmen kuat Gubernur untuk kepentingan lingkungan dengan menolak rencana kegiatan pertambangan yang dinilai memiliki dampak buruk bagi masyarakat kemudian diredam dengan dua hal, yakni keputusan DPRD Kabupaten Minahasa Utara No.20 Tahun 2007 tertanggal 15 November 2007 tentang persetujuan DPRD Kabupaten Minahasa Utara terhadap operasional PT MSM, serta adanya laporan hasil survey lembaga Unsrat tentang analisa perubahan pendapatan dan konsumsi rumah tangga serta persepsi masyarakat Kecamatan Likupang Timur dan Bitung Utara terhadap kegiatan pertambangan PT MSM pada tanggal 15 April 2007.
Peta konflik pun semakin runcing dan melebar, Gubernur digiring ke arena pertarungan dengan lawan-lawan baru, DPRD Minut dan tentu lembaga pendidikan Unsrat. Dalam posisi ini, ESDM jelas merasa di atas angin karena menganggap penolakan yang dilakukan Gubernur tidak segendang sepenarian dengan lembaga-lembaga pemerintah lain di daerah. Tak pelak, kontroversi MSM ini mulai bergeser ke ranah politik yang makin bias.
Pernyataan Gubernur pada pertemuan asosiasi kepala daerah bahwa telah terjadi pemakzulan wewenang Pemerintah daerah dengan adanya SK Menteri ESDM dalam kasus MSM, sungguh sebuah ironi yang patut direnungkan. Bagaimana mungkin keputusan Gubernur yang dipilih oleh rakyat digagalkan oleh keputusan seorang Dirjen, pembantu Menteri. Batin Gubernur Sarundajang ini tentu harus menjadi catatan penting sekaligus genting bagi pemerintah daerah lain di seluruh Indonesia bahwa sentralisme masih tetap ‘gentayangan’ mengoyak-ngoyak otonomi daerah.
Lalu, kalau sudah begini, perjalanan panjang masih akan tetap berlanjut. Kita tahu bersama sikap Gubernur yang gigih menyatakan penolakannya terhadap operasional MSM karena komitmennya terhadap green government. Gubernur bahkan secara tegas siap menghadapi segala konsekuensi terburuk. ”Kalaupun Presiden nanti akan memaksa saya untuk mengijinkan operasional PT MSM, maka pada saat itu juga saya mundur sebagai Gubernur, karena hak saya sudah dilampaui,” demikian penegasan Gubernur dalam berbagai kesempatan.
So, atas nama otonomi daerah, (meminjam kata-kata pemimpin besar Bung Karno) rasanya kita sepakat untuk berteriak : Go To Hell with Sentralisme !!!.

*Jurnalis dan pecinta otonomi daerah