Oleh Max Wilar
I. Pendahuluan
Tulisan-tulisan yang disampaikan pada saya untuk ditanggapi [menurut urutan tiba di tangan saya pada 19 Februari 2008], adalah sebagai berikut: [1] Keminahasaan dalam Keindonesiaan: Kontribusi Budaya Minahasa Membangun Manusia Utuh Indonesia – Menjawab Tantangan Pluralisme oleh Pdt. Richard A.D. Siwu [2] Menggali Sistem Nilai Kepercayaan Masyarakat Sulawesi Utara untuk Membangun Manusia Sulawesi Utara Seutuhnya oleh Prof. H.H.T. Usup [3] Spiritual Bantik oleh Ratty Supit, dan [4] Tuhan Palsu oleh Pdt. Glorius Bawengan.
2. Pengundang membatasi eksplorasi seminar pada sistem nilai kepercayaan yang ada di masyarakat Sulawesi Utara secara realita dewasa ini [esei undangan] sehingga penulis harus membatasi pembahasan pada acuan tersebut, sekalipun disana-sini ada yang melenceng dan bahkan tidak relevan. Tidak semua pikiran pemakalah mampu penulis elaborasi dalam tanggapan yang sangat terbatas ini, dan disiapkan dalam waktu yang sangat terbatas pula, namun sebagai pengantar diskusi, kiranya bermanfaat adanya.
II. Abstrak
1. Pemahaman sistem nilai dari sudut pandang sosiologi amat beragam karena tradisi-tradisi [termasuk keagamaan] yang dimiliki oleh setiap individu dalam kehidupan berkelompok [masyarakat] yang kumulatif dan kohesif, serta-merta menyatukan keanekaragaman interpretasi dan sistem-sistem, dimana penyatuan keanekaragaman disebabkan oleh pola interaksi tertentu yang melibatkan dua orang atau lebih, dan dari pola tersebut terbentuk satu tujuan atau tujuan utama yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan berpola [Parsudi Suparlan], yang menjadi keterikatan, solidaritas sosial dan kemasyarakatan yang berpusat pada simbol-simbol utama yang dibedakan antara sacred dan profane [Durkheim,] serta historis, dinamis, dan rasional [Weber ].
2. Saya menangkap benang merah makalah Siwu, Usup, Supit dan Bawengan, bertemu di satu koridor, yaitu adanya kesadaran tentang realita kemajemukan [plurality] sebagai fakta sosial dalam sistem nilai kepercayaan masyarakat di Sulawesi Utara, dimana postulat dominan adalah sistem nilai masyarakat agraris, sementara kemajemukan dalam sistem nilai masyarakat industri, adalah:
The language of pluralism is not the language of sameness, nor is it simply the erasing differences, but about engaging differences in the creating of a common society. The language of pluralism is the language of traffic, exchange, dialogue, and debate. From a religious or theological standpoint, it is the language of faith, held not in isolation from those of other faiths, but in relation to them
3. Paham kemajemukan dalam masyarakat agraris Indonesia menurut Furmivall adalah given dimana masing-masing kelompok berdiri sendiri-sendiri, saling terpisah, dan masing-masing kelompok menempatkan yang lain sebagai kelompok luar yang berbeda, atau dalam bahasa Clifford Geertz, dipertajam dengan pandangan bahwa kesetiaan pada kelompok asal tidak mudah pudar. Ciri total-komunalistik masyarakat agraris terstruktur menjadi sifat institusionalistik sangat kental, sementara dalam masyarakat modern lebih bersifat relasional dan individualistik. Dengan asumsi itu, maka secara kultural kemajemukan di masyarakat Sulawesi Utara cenderung statis dan tertutup, sehingga apa yang disarankan Siwu tentang pentingnya reaktualisasi makna religius dan reformasi persepsi beragama merupakan strategi kebudayaan untuk memasuki masyarakat industri. Untuk itu, Usup memberikan beberapa rekomendasi behaviourism yang khas dan bagus, sementara Supit dan Bawengan memberikan referensi spiritualistik yang deduktif-induktif.
3. Pemahaman kemajemukan secara relasional dalam masyarakat industri dapat mengacu pada referensi yang dielaborasi dari tesis kontemporer Harvard University untuk studi tentang kemajemukan, sebagai berikut:
[1] pluralism is not diversity alone, but the energetic engagement with diversity. [2] pluralism is not just tolerance, but the active seeking of understanding across lines of difference. [3] pluralism is not relativism, but the encounter of commitments. [4] pluralism is based on dialogue, atau dalam filsafat Martin Buber, “human beings may adopt two attitudes toward the world: I-Thou or I-It. I-Thou is a relation of subject-to-subject, while I-It is a relation of subject-to-object. In the I-Thou relationship, human beings are aware of each oher as having a unity of being.
III. Manusia Indonesia
1. Manusia Indonesia [menurut Mochtar Lubis] secara kultural memiliki ciri-ciri dominan, sebagai berikut: [1]. Hipokritis alias munafik, yaitu berpura-pura, merupakan ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama. Feodalisme adalah sumber dari stereotip munafik manusia Indonesia. [2] Segan dan enggan bertanggung-jawab atas perbuatannya, putusannya, kelakuannya, pikirannya, dan sebagainya. [3] Feodalisme dalam bentuk baru makin berkembang dalam diri dan masyarakat Indonesia. [4] Manusia Indonesia masih percaya takhyul. [5] Manusia Indonesia artistik. Karena yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah dan kekuatan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat pada alam. [6] Manusia Indonesia punya watak yang lemah. Karakter kurang kuat. Manusia Indonesia kurang kuat mempertahankan atau memperjuangkan keyakinannya. dan [7] Manusia Indonesia tidak hemat, dia bukan economic animal, kurang sabar, cepat cemburu dan dengki terhadap orang lain yang dilihatnya lebih dari dia, gampang senang dan bangga pada hampa-hampa, manusia sok, tukang tiru, bahkan juga memiliki sifat-sifat manusia yang buruk-buruk. Manusia Indonesia bisa juga kejam, bisa meledak, ngamuk, membunuh, membakar, khianat, menindas, memeras, menipu, mencuri, korupsi, khianat, dengki, suka bermalas-malas, menggunakan logika yang salah, tidak peduli akan nasib orang [selama tidak mengenai dirinya sendiri atau orang yang dekat padanya]. Potret buram Manusia Indonesia yang dibuat budayawan Mochtar Lubis tahun 1977, termasuk Manusia Sulawesi Utara yang terdiri atas 20 suku bangsa dan sub-suku bangsa ternyata menjadi semakin dipertebal dengan praktika Korupsi, Kolusi, Nepotisme [KKN], konsumerisme, hedonisme, fundamentalisme sempit, bad governance [lawan dari good governance], dirty government [lawan dari clean government], money politics, teror, dan narsistik. Tanda-tanda tambahan agenda buruk bias semakin menebal bila isu-isu negatif kontemporer antara lain tentang ketidakadilan, kemiskinan, Hak Asasi Manusia [HAM], Lingkungan Hidup, civil society, dan seterusnya, tidak teratasi secara kultural dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Tantangan di abad ke-21 mengisyaratkan pemberlakukan nilai-nilai fundamental baru, yaitu: [1] freedom [2] equality [3] solidarity [4] tolerance, dan [5] shared responsibility yang secara psikologi akan bersikutat dengan pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu [1] kebutuhan fisiologis, [2] kebutuhan keamanan dan keselamatan [3] kebutuhan sosial [4] kebutuhan penghargaan, dan [5]. kebutuhan aktualisasi diri .
IV. Manusia Sulawesi-Utara
1. Saya menangkap apa yang dikatakan Siwu tentang adanya apa yang disebut krisis identitas, di wilayah keberagamaan, yang dari sudut pandang sosiologi agama berkaitan dengan empat tingkat keagamaan, yaitu: [1] tingkat rahasia, yakni, seseorang memegang agama yang dianut dan diyakininya itu untuk dirinya sendiri dan tidak untuk didiskusikan dengan atau dinyatakan pada orang lain [2] Tingkat privat atau pribadi, yakni, dia mendiskusikan dengan, atau menambah dan menyebarkan pengetahuan dan keyakinan keagamaannya dari dan kepada sejumlah orang tertentu yang digolongkan sebagai orang yang adalah pribadi amat dekat hubungannya dengan dirinya [3] Tingkat denominasi, yakni, individu mempunyai keyakinan keagamaan yang sama dengan yang dipunyai oleh individu-individu lainnya dalam suatu kelompok besar, dan karena itu bukan merupakan sesuatu yang rahasia atau yang privat, dan [4] Tingkat masyarakat, yakni individu memiliki keyakinan keagamaan yang sama dengan keyakinan keagamaan dari warga masyarakat tersebut. Sementara krisis identitas di wilayah kebudayaan berada di sistem kemasyarakatan [di Minahasa], yaitu [1] stratifikasi sosial yang tidak konkret [2] solidaritas dan mapalus yang berdasarkan prinsip resiprokal, dan [3] kerukunan di aras keluarga dan teritorial, yang semakin kehilangan sengatnya karena tercabut dari akar.
2. Muara sistem nilai kepercayaan di Sulawesi Utara ditinjau dari sudut kohesi relasional, seyogianya melahirkan profil manusia ideal, seperti: terpercaya (trustworthiness], bertanggungjawab (responsible), ikhlas (sincere), berbakti (dedication), kesederhanaan (moderation), rajin (diligence), pembawaan bersih (clean conduct), suka kerjasama (cooperativenss), kehormatan (honourable) dan bersyukur (gratitude), tampaknya masih jauh panggang dari api. Sebab, kebudayaan sebagai social capital belum mampu keluar dari nilai-nilai masyarakat agraris, dan juga buah dari kegagalan dari akselerasi pembangunan 25 tahun yang dicanangkan oleh pemerintah Orde Baru. Kebijakan otonomi daerah pun cenderung akan gagal, jika tidak disertai dengan gerakan budaya untuk menegakkan kembali harkat dan matabat komunitas yang memberi peluang dalam aktualisasi kebudayaan daerah sebagai identitas jati diri komunitas atau, dalam bahasa Abraham Silo Wilar, healing the others who are wounded by my religion. Artinya, diperlukan semacam inward looking untuk memperkuat social capital yang dimiliki Sulawesi Utara. Dari titik ini saya mencatat prakarsa pelaksanaan World Ocean Conference [WOC] 2009, di Manado, Sulawesi Utara sebagai model terobosan yang dapat memaknai upaya membangun manusia pembangun.
VI. Catatan Kritis
Bila dialog adalah esensi dari kemajemukan yang relasional, atau dalam teori fungsional Talcott Parson tentang pentingnya hubungan respirokal antara sistem kebudayaan, sosial, dan kepribadian, maka sederet bahaya yang mengancam efektifitas dialog adalah: [1] Sentralisme Kekuasaan yang menekankan pendekatan top-down. Pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah yang tertentu dan konkret. Tanggung jawab daerah juga tidak ada atau, paling tidak, sedikit sekali. Pemusatan kekuasaan juga mendorong ke arah penyeragaman sistem sosial. [2] Etnosentrisme-Primordialisme dimana yang dianggap serta diperlakukan sebagai manusia hanyalah orang sebangsa, sesuku bangsa, sedesa dan sebagainya. Lingkup sikap seperti itu dapat dipersempit oleh atau diperluas lagi. Dalam bentuk luas atau sempit sikap itu nampak dalam primordialisme. Dalam primordialisme orang tidak sanggup lagi mengatasi ketertutupan satuan sosialnya, tidak dapat dan tidak sanggup lagi mengakui satuan sosial lainnya serta melibatkan diri di dalamnya. Orang juga tidak hanya menolak orang atau suku bangsa lain termasuk agama serta adat-istiadatnya, melainkan juga membencinya sehabis-habisnya. [3] Ketidakadilan sosial dapat dan de facto melemahkan, melumpuhkan, dan mematikan semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Ketidakadilan sosial dapat disebabkan juga oleh sentralisme kekuasaan dan pendekatan top-down .
IV. Kesimpulan
Menggali sistem nilai kepercayaan masyarakat Sulawesi Utara adalah academic achievement yang sangat penting dilakukan, karena dengan cara itu semua stake holders [pemangku kepentingan] dapat memberi sumbangan nyata bagi penguatan kultural suku bangsa dan sub-suku bangsa dalam memaknai Indonesia di masa depan.
Tanggapan terhadap makalah seminar Menggali Sistem Nilai Kepercayaan Masyarakat Sulawesi Utara untuk Membangun Manusia Sulawesi Utara Seutuhnya yang dilaksanakan oleh Dewan Pengurus Aliansi Gerakan Membangun [AGM] Sulawesi Utara, di Restoran Sindang Reret, Jl. Wijaya I/34, Kebayoran Baru, Jakarta, 23 Februari 2008.
Max Wilar, Member, International Association for the Promotion of Christian Higher Education [IAPCHE], Dordt College Campus, 498 4th Avenue NE, Sioux Center, Iowa 51250-606, USA. Email: maxwilar@telkom.net