Oleh M Fahri Damopolii
(Presidium Korps Alumni Makassar Indonesia-Bolaang Mongondow KAMI-BolMong)
SIRKUS media secara implisit memuat kelaziman ataupun kemunafikan. Kelaziman ketika itu membawa asas manfaat yang berdampak luas pada kepentingan khalayak ramai, dan kemunafikan ketika kungkungan kapitalisme media sedang memanipulasi emosi publik. Dalam kasus sakit sampai meninggalnya mantan penguasa orde baru, Soeharto, hal yang disebutkan terakhir sangat dominan, dalam artian bahwa kelaziman yang dimaksud hanya berada pada tataran memenuhi kriteria laiknya sebuah berita. Arya Gunawan, mantan wartawan Kompas dan BBC di London, dalam salah satu kolomnya di majalah Tempo, mengemukakan setidaknya dua unsur utama yang memicu sirkus media: besarnya peristiwa yang tengah berlangsung dan nama besar tokoh yang menjadi subjek berita, bahwa sakitnya Soeharto memenuhi dua unsur tadi. Balutan kontekstualisasi yang ‘’terbatas’’, apalagi ketika kelaziman menjadi penakar laik tidaknya sebuah berita dipublikasikan, kedua unsur tersebut, lebih khususnya yang disebutkan pertama, seharusnya ditampilkan dengan tidak mengabaikan nilai/faedah esensial media, terutama dalam aspek ‘’kemanfaatan’’ yang diperuntukkan kepada publik. Unsur perimbangan akan lebih terjaga ketika peristiwa ‘’besar’’ yang dimaksudkan, dirasakan akan membawa faedah dan berdampak luas bagi masyarakat karena mendatangkan ‘’manfaat’’. Untuk kasus Soeharto, asas manfaat yang merupakan bagian dari kelaziman, tenggelam oleh hiruk pikuk kemunafikan yang dimanipulasi. Akan lebih bertanggungjawab ketika perhelatan ‘’sirkus’’ yang digadangkan media akan melahirkan perubahan-perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan masyarakat luas, terutama bagaimana caranya agar mereka dapat makan, minum, tidur serta mencari nafkah dengan tenang di negeri dimana asap polusi korupsi, kolusi, dan nepotisme sering menjadi kabut tebal penghalang jalan menuju kemakmuran.
Sirkus media yang sedang berlangsung saat ini, pada dasarnya digagas untuk sebuah tujuan manipulatif. Ini terlihat sangat jelas dengan tidak henti-hentinya beberapa media menampilkan Soeharto ketika sakit dalam balutan keprihatinan, kesehatan yang terus labil, dan beberapa kali dalam kondisi sangat kritis, bahkan sampai ia meninggal pun, dengan vulgarnya media menyuguhkan alur sejarah tentang ‘’heroisme’’ Soeharto yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Dan kesemuanya dimaksudkan untuk satu tujuan, yakni membangkitkan sekaligus menggugah sisi emosional khalayak, bahwa sudah sepatutnya ia dikasihani, dan mengingat jasa-jasanya bagi bangsa dan negara, sepantasnya ia untuk ‘’dimaafkan’’. Dalam titik ini, dapat dikatakan bahwa media berhasil mencengkeram publik untuk mengikuti arus opini yang dibentuk. Ini ditandai oleh bertubi-tubinya komentar yang meminta agar masyarakat Indonesia memaafkan Soeharto, mengemuka di hadapan khalayak. Bagi yang bukan bagian dari korban kekejaman dan kediktatoran rezim orde baru, kata maaf mungkin bisa membuka sekat keikhlasan jiwa manusia untuk sekadar menghormati kodratnya sebagai makhluk pemaaf. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarga korban G-30-S PKI yang mengalami pembantaian massal dan ditindas berpuluh-puluh tahun, para anggota Gerwani yang tiba-tiba dikukuhkan sebagai antek PKI, kelurga pendiri bangsa ini, Bung Karno−terkecuali Guruh Soekarno Putra, tahanan-tahanan politik masa orde baru, korban peristiwa Malari, korban pembantaian Tanjung Priok, para korban pelanggaran HAM di Aceh, Timor-Timor, Papua, keluarga para aktivis orde baru yang dihilangkan secara misterius, tragedi Mei 98, kasus Trisakti dan sederet kisah tragis para korban kekejaman Soeharto semasa memimpin negeri ini, apakah keikhlasan untuk memaafkan akan bernaung dalam setiap jiwa dan hembusan nafas mereka. Itu tentu bukan perkara gampang yang bisa selesai dengan kata ‘’maaf’’. Mereka (para korban dan keluarga) sudah pasti tidak akan semudah itu untuk memberi maaf, terlebih kata maaf akan memiliki arti ketika keikhlasan bisa merajut lubuk hati manusia yang paling dalam. Negeri ini, dimana kita semua sedang berpijak sambil menjunjung langit, kealpaan, ketakutan ataupun kesengajaan sering menyeruak untuk membungkam logika sistem yang diakui dan ditetapkan, bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Setidaknya adagium latin ‘’Justitia ruat caelum,”, biarpun langit runtuh, hukum harus ditegakkan, wajib menjadi pijakan serta menghinggapi setiap relung jiwa para penegak hukum. Untuk kasus Soeharto, hampir sepuluh tahun lamanya, hasil konkret penyelesaian masalah hukumnya tidak pernah membersitkan titik terang. Semuanya samar, gelap, tidak jauh bedanya dengan para korban ‘’Rezim Soeharto” yang menuntut keadilan dan rehabilitasi.
Soeharto bisa dikatakan mujur oleh kapitalisme dan rezim penguasa saat ini. Sirkus media yang ditampilkan sudah sangat berlebihan. Bertolak belakang ketika Gus Dur sakit dan harus dilarikan ke rumah sakit, media tidak menyuguhkan peliputan yang bernuansa ‘’sirkus’’, apalagi Bung Karno yang nyata-nyatanya adalah pendiri republik ini. Sekadar diingat, sebagaimana salah satu kolom pemimpin redaksi malajah Medika, Kartono Mohamad, ‘’Bung Karno, dari Catatan Seorang Perawat”, mengungkap fakta sejarah dari catatan perawat yang mendampingi Bung Karno pada masa menjelang akhir hayatnya di Wisma Yaso (sakit dan diasingkan), lebih khususnya catatan pada hari ulang tahun beliau (6/6-69 & 6/6-70), bahwa yang terjadi pada kedua hari istimewa tersebut adalah kesunyian, keterlantaran, dan keterasingan. Penggambaran tentang ketidakadilan yang sangat jelas terlihat.
Memang, sirkus media tak lepas dari upaya pemberian pemahaman kepada khalayak tentang subjek berita, akan tetapi ketika itu menyentuh aspek-aspek non substansial, di luar koridor, jauh dari kepantasan dan kepatutan, pada akhirnya ia akan menjadi sesuatu yang mubazir, tidak memiliki arti. Terkecuali memang ada maksud lain dari sisi peliputan berita, dan seluruh masyarakat Indonesia tentu dengan mudah bisa membaca itu.
Lepas dari itu, ‘’Kematian Paman Gober ditunggu-tunggu semua bebek” begitu prolog pembuka Butet Kertaradjasa ketika bermonolog dengan cerpen Seno Gumira Ajidarma, yang ditulis 1994 ‘’Kematian Paman Gober”, pada acara penyerahan Federasi Teater Indonesia (FTI) Award 2007 di Teater Studio, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. ‘’Tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal: apakah hari ini Paman Gober sudah mati, Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang di sana, segera setelah menghitung jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah”….Mestinya, bebek seumur saya ya sudah tahu diri, siap masuk ke liang kubur. Ma(ng)kanya ketika saya diminta menjadi ketua perkumpulan unggas kaya, saya merasakan kegetiran dalam hati saya., sampai berapa lama saya bisa bertahan? Apa tidak ada Bebek lain yang mampu menjadi ketua?, kalimat semacam itu masuk ke dalam buku otobiografinya, pergulatan batin Gober Bebek, yang menjadi bacaan wajib bebek-bebek yang ingin sukses. Hampir setiap bab dalam buku itu mengisahkan Paman Gober memburu kekayaan. Mulai dari harta karun bajak laut, pulau emas, sampai sayuran yang membuat bebek-bebek giat bekerja, meski tidak diberi upah tambahan” (Kompas, 12/01-08).
Untuk saat ini, Butet Kertaradjasa mungkin bisa bermonolog dengan lebih lega lagi. Kota Bebek, tak lagi menunggu-nunggu kematian Paman Gober, tak perlu khawatir dengan kekuatan, kelicinan, maupun kekayaannya, karena sang paman telah mengakhiri kisahnya, pergi membawa sederet masalah, kontroversi dan misteri sejarah yang tidak pernah bisa diungkapkan.#