Oleh Prija Djatmika
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang)
MAJELIS Hakim Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali (PK) kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir yang dipimpin Bagir Manan menghasilkan putusan yang menunjukkan performance mereka sebagai hakim-hakim yang progresif.
Putusan yang menyatakan Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir diambil berdasarkan keyakinan hakim terhadap bukti-bukti petunjuk yang ada dan saksi yang mengarah ke pelaku pembunuhan adalah Pollycarpus.
Sekalipun diakui tidak ada bukti Pollycarpus membubuhkan racun ke dalam minuman Munir, bukti-bukti yang ada dan keterangan saksi yang terungkap di persidangan telah membangun keyakinan lima anggota majelis hakim bahwa Pollycarpus-lah pelaku yang meracun Munir.
Dasar putusan itu berbeda signifikan dengan putusan yang diambil majelis hakim sebelumnya dalam tingkat kasasi, yang menyatakan Pollycarpus hanya terbukti menggunakan surat palsu dan tidak terbukti ikut melakukan pembunuhan terhadap Munir. Sebab, tidak ada bukti atau keterangan saksi yang menunjukkan Pollycarpus membubuhkan racun ke minuman Munir.
Hanya anggota majelis, Hakim Agung Artidjo Alkostar saat itu, yang tidak sependapat dengan kesimpulan majelis. Sebab, menurut Artidjo, berdasarkan bukti-bukti dan keterangan saksi yang ada, Pollycarpus-lah yang melakukan pembunuhan terhadap Munir dan menghukum Pollycarpus seumur hidup.
Sayang, Artidjo sendirian sehingga suaranya kalah dengan empat anggota majelis hakim agung lainnya, yang hanya menghukum Pollycarpus dua tahun penjara atas tindakan menggunakan surat palsu.
Positivisme v Progresif //Sub
Kebenaran memang akhirnya tidak bisa ditutup-tutupi. Majelis Hakim Agung dalam tingkat peninjauan kembali (PK) kasus terbunuhnya Munir, untungnya, tidak berpola pikir positivistik seperti mayoritas majelis hakim dalam tingkat kasasi. Dalam pola pikir dan tindak kaum positivistik, yang sangat didominasi oleh perspektif legalisme, formalisme, dan dogmatisme, maka semua putusan harus diambil bertumpu pada bunyi peraturan semata.
Kalau peraturan dalam hukum pidana menyatakan bahwa harus ada bukti-bukti hubungan sebab-akibat (kausal) antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan, maka bagi kaum positivistik, hubungan kausal itu harus bisa dibuktikan dengan bukti-bukti formal yang ada. Misalnya, harus ada bukti atau keterangan saksi yang membuktikan bahwa Pollycarpus-lah yang memasukkan racun arsenik ke dalam minuman yang diminum Munir.
Tanpa bukti-bukti atau keterangan saksi yang melihat sendiri tindakan Pollycarpus itu, maka tidak bisa dibangun fakta hukum (legal factie) yang menyimpulkan bahwa Pollycarpus-lah pembunuh Munir.
Sekalipun bukti-bukti petunjuk mengarah ke Pollycarpus sebagai pelaku pembunuhan Munir, maka bagi para hakim positivistik, sepanjang tidak ada bukti riil dan langsung bahwa ada hubungan kausal antara perbuatan Pollycarpus dan terbunuhnya Munir, maka Pollycarpus harus dibebaskan dari dakwaan melakukan pembunuhan terhadap Munir.
Perihal putusan itu melukai rasa keadilan publik dan menegasikan bukti-bukti petunjuk yang mengarah kepada adanya hubungan kausal antara tindakan-tindakan Pollycarpus dan terbunuhnya Munir, hakim positivistik tidak memedulikannya.
Bagi mereka, yang penting ialah menjalankan bunyi peraturan hukum semata. Sayang, peraturan dipahami sebagai teks dogmatis dan tidak mau melangkah lebih dalam untuk menangkap konteks esensinya. Bagi mereka, hukum hanya ada dalam peraturan dan di luar peraturan itu tidak ada hukum. Prinsipnya, manusia dan masyarakat untuk hukum. Apa pun yang terjadi, hukum tidak bisa salah sehingga manusia harus dipaksa-paksa untuk bisa masuk dalam skema hukum.
Itu berbeda dengan hakim yang berpikir dan bertindak progresif. Mereka memahami hukum untuk manusia, bukan sebaliknya. Dengan demikian, manusia berada dalam titik sentral hukum. Artinya, kebahagiaannya, kesejahteraannya, rasa keadilannya, dan sebagainya menjadi pusat kepedulian hukum.Karena bertumpu pada manusia, maka kreativitas dalam cara berpikir dan bertindak menjadi persyaratan yang penting, terutama dalam berhadapan dengan produk-produk hukum.
Makna kreativitas yang dimaksud ialah perilaku yang dengan aktif dan sadar mengusahakan agar hukum membuat manusia bahagia, sejahtera, dan berkeadilan. Oleh sebab itu, hakim ini dalam menjalankan tugasnya tidak sekadar berhenti pada ‘’mengeja undang-undang’’, tetapi menggunakannya secara sadar dan kreatif untuk mencapai tujuan kemanusiaan tersebut.
Karena itulah, anggota majelis hakim tingkat PK yang dipimpin Bagir Manan itu menempatkan bukti-bukti petunjuk, seperti keterangan saksi-saksi yang melihat Pollycarpus membawa dua minuman untuk dirinya dan Munir di sebuah kafe di Bandara Changi Singapura, tindakan Pollycarpus menelepon Munir sehari sebelum keberangkatan ke Belanda yang diterima istri Munir, serta digunakannya surat penugasan palsu agar bisa sepesawat dengan Munir, sudah cukup untuk membuktikan petunjuk adanya hubungan kausal antara perbuatan-perbuatan Pollycarpus dan terbunuhnya Munir.
Sebagaimana dinyatakan Anggota Majelis Hakim Agung Djoko Sarwoko, kenyataan yang tidak bisa dipungkiri ialah Munir meninggal karena dibunuh. Oleh sebab itu, mesti ada pembunuhnya. Sementara bukti-bukti dan keterangan saksi yang terungkap sebagai petunjuk, semuanya mengarah ke Pollycarpus sebagai pelakunya.
Putusan MA itu semoga mendorong hakim lain untuk lebih berpola pikir dan bertindak progresif dalam menjalankan tugasnya. Memperlakukan hukum yang progresif untuk keadilan substantif bagi publik.#