Oleh Abd Hamid Tome
(Ketua Umum HPMIG Cabang Manado)
‘’KEMBALI ke laptop.......!!!!!!!!!”, ungkapan ini sudah tak asing di telinga masyarakat penikmat dunia hiburan tatkala menyaksikan penampilan dari empunya istilah Tukul Arwana. Fenomena Tukul Arwana sampai sekarang ternyata masih saja membius masyarakat yang haus akan dunia hiburan yang penuh dengan gelak tawa. Acara talkshow yang dikemas rapi oleh tim kreatif di salah satu stasiun tv swasta ini menjadi tontonan menarik dan wajib bagi mereka yang telah terhipnotis dengan kumis tipis sang katro (julukan kepada Tukul Arwana). Meskipun dikritik oleh para kaum intelektual, sebut saja Paulus Mujiran dalam tulisannya Pendidikan Anti Tukulisme (Media Indonesia, 1 Februari 2007), Muhammad Syihabuddin dalam tulisannya Tukulisme dan Pendangkalan Ruang Publik (lafadl.wordpress.com), bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan alasan Tukul terlalu vulgar dan merendahkan serta mengeksploitasi kekurangan fisik manusia. Namun tidak menjadikan Tukul berang lalu membalas kritikan itu dengan mengerahkan massa secara besar-besaran untuk mendemo mereka yang mengkritiknya atau mengambil tindakan represif lainnya demi pemulihan nama baiknya. Hal ini dilakukannya, bukan karena dia orang yang tidak memiliki wawasan untuk membalas kritikan itu atau dia takut melawan mereka karena tidak memiliki ornamen-ornamen kekuasaan untuk melawan, sebagaimana yang selalu dilakukan oleh para penguasa dalam membungkam para kaum oposan yang selalu mengkritik mereka. Justru dia sendiri sering mengkritik diri sendiri sebagai upaya untuk mencegah terhindar dari dosa karena membuka aib orang lain, maka dia lebih memilih untuk mengkritik dirinya sendiri karena dalam kamus hidupnya ‘’pujian adalah teror’’. Alhasil, Tukul tetap menjadi sebuah fenomena menarik, dia lebih sukses daripada pejabat publik yang korup, guyonannya lebih sehat daripada korupsi.
Dalam kamus bahasa Indonesia, kritik secara harfiah adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai oleh argumen baik maupun buruk tentang suatu karya, pendapat, situasi maupun tindakan seseorang atau kelompok. Ironinya, kritik seakan menjadi sesuatu yang haram bagi mereka yang memiliki ‘’telinga tipis’’. Ketika kritik dianggap bukan lagi sebagai koreksi atau kontrol terhadap pemikiran atau tindakan, baik yang dilakukan secara invidual atau kelompok, maka sang pemberi kritik akan menuai kecaman hingga kebencian dari yang menerima kritik. Hal ini terjadi karena:
1. Masyarakat tidak terbiasa menerima kritik justru lebih sering mengeluarkan kritikan tanpa melihat realitas yang terjadi di sekitarnya.
Individu-individu seperti ini mewakili kehidupan masyarakat tertutup, yang melihat dirinya sendiri merupakan sesuatu yang sempurna sehingga menafikan keberadaan orang lain yang berada di sekitarnya. Ia bagaikan hidup di sebuah pulau dan melihat pulau yang berada di sebelahnya tidak ada wujudnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan atau tidak ada barang-barang yang dapat dilihat. Tanpa ia sadari, dia hidup di tempat yang terkungkung, yang tak dapat melihat apa-apa kecuali ketiadaan dan keremang-remangan dari kegelapan yang pekat.
Pada dasarnya manusia hidup ditentukan dengan cara dia melihat dunia di sekitarnya. Karenanya manusia harus melihat dirinya sebagai bagian dari makhluk-makhluk yang ada, ketika hal ini lahir maka dia akan mampu melihat dengan jernih maksud dan tujuan dalam kehidupannya. Menurut Rizal Mallarangeng, manusia adalah hasil dari evolusi yang panjang dengan karakteristiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamatanya sendiri, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistik itu akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, karena pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem yang baru, tetapi di tingkat fundamental ingin menciptakan manusia baru dengan karateristik yang baru.
2. Belum adanya sikap kedewasaan diri dari yang mengkritik dan yang dikritik.
Kadangkala kritikan yang dikeluarkan oleh individu atau kelompok kepada individu atau kelompok yang lain merupakan pemikiran yang subjektif yang lahir dari ungkapan amarah kepada orang lain. Sehingga menjadikan kritik bukan lagi tempat untuk memperbaiki kehidupan yang kebablasan tetapi menjadi ajang caci maki dari masing-masing kelompok untuk saling menjatuhkan. Belum lagi ketidaksiapan dari yang dikritik untuk menerima kritikan.
3. Kritik menjadi arena benturan kepentingan
Setiap manusia jelas memiliki kepentingan untuk tetap mempertahankan kehidupannya. Benturan kepentingan yang penulis maksudkan adalah ketika kritik yang muncul merupakan sebuah kritik untuk mematikan kinerja lawan politik. Alhasil, benturan kepentingan pun tak dapat dielakkan dan sudah pasti korbannya adalah masyarakat yang sebenarnya tidak tahu-menahu dengan duduk persoalan yang ada. Tipologi masyarakat ini akan muncul ketika adanya iven-iven politik, sehingga masing-masing individu/kelompok meramu konsepnya masing-masing dengan menggunakan kritikan sebagai senjata yang paling ampuh untuk membungkam kekuatan lawan, kritikan-kritikan yang dibangun dari waktu ke waktu hanya berkutat pada pembusukkan karakter orang yang menjadikan kritikan menjadi kumuh dan tidak memiliki nilai akademik untuk mendidik masyarakat. Implikasi dari pemikiran kumuh ini adalah munculnya kemungkinan-kemungkinan yang sangat terbatas, bahkan bisa jadi muncul kecenderungan meringkas kenyataan menjadi dua dan saling berlawanan. Akibat yang lebih jauh, seturut dengan Sri Subagyo bahwa munculnya kecenderungan pemutlakan pemikiran yang mengarah pada eklusifisme dan sektarianisme.
Kritik dan Kehidupan Demokrasi
Dalam kehidupan demokrasi, budaya kritik merupakan hal yang lumrah, apalagi yang mengeluarkan kritik adalah mereka yang merupakan kaum oposisi. Sadar atau tidak, dalam kehidupan manusia yang ke-kini-an kita diperhadapkan dengan dimensi hidup yang serba pluralis sehingganya tidak menutup kemungkinan sebuah perbedaan akan menghiasi bingkai kehidupan manusia, entah itu yang baik atau yang buruk, yang benar atau salah. Maka, jalan satu-satunya kita memerlukan sebuah frame lain, untuk menyeimbangi hidup ini dengan membiasakan diri menerima kritikan sebagai upaya untuk membangun sebuah kehidupan yang lebih harmoni. Bukankah kebebasan untuk mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi dari semua manusia sebagaimana yang termaktub dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan UUD 1945 Pasal 28?. Untuk itu, masyarakat harus diberikan kemerdekaan pada ruang publik dan ruang dialektika untuk mengeluarkan kritik dengan landasan argumen yang objektif tanpa didasari oleh rasa iri, benci, dengki dan amarah sehingga nantinya akan lahir pemikiran-pemikiran yang partisipatif dalam mengaktualisasikan proses demokratisasi. Konsekuensi lebih lanjut dari asumsi pemikiran ini akan menempatkan kritikan untuk dimakna sebagai proses pembentukan diri sekaligus sebagai kenyataan yang sangat determinan dalam dinamika perubahan, sehingga dalam konteks ini pula semua kemungkinan dimaknai sebagai proses pembelajaran, baik dalam bentuk kemungkinan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki.
Ironinya, dalam kehidupan kenegaraan seringkali tidak mengenal apa yang namanya kritik, karena dianggap hanya akan membahayakan posisi dari sang pemegang kekuasaan. Hal ini, dapat kita lihat dalam rentetan sejarah yang telah terukir, dimana penguasa yang selalu menggunakan ornamen-ornamen kekuasaannya untuk mengambil tindakan represif terhadap mereka yang tidak sepaham dengannya meskipun rakyat harus menjadi tumbal dengan tindakan despotiknya yang anti kritik. Bahkan dalam ruang lingkup kehidupan yang paling kecil yakni keluarga yang notabene merupakan wadah yang paling strategis dalam mengajarkan konsep demokrasi ternyata masih mengajarkan nilai-nilai dehumanisasi yang selalu melihat anggota keluarga yang dibawanya hanya merupakan pelengkap sehingga tidak berhak dalam mengatur kehidupan rumah tangga, contohnya; ketika sang anak memberikan kritikan/masukan seringkali hanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal dengan alasan yang sangat klasik –kalian masih muda belum tahu apa-apa. Maka jangan heran kemudian generasi yang lahir adalah generasi yang berwatak despotik.
Sebagai manusia, siapapun dia, harus diberikan ruang kebebasan dalam mengeluarkan pendapat tanpa ada intervensi dari siapapun karena itu merupakan penilaian empiriknya dalam memberikan sumbangsih pemikiran dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang bermartabat serta sebagai upaya partisipatif dalam proses pembangunan daerah/negara yang sementara dijalankan. Sehingga tak ada lagi ruang diskriminasi terhadap masyarakat yang nantinya hanya akan menciptakan golongan yang dipertuan dan golongan yang diperhamba. Bukankah kesejahteraan dan kemuliaan hanya dapat diperoleh apabila masyarakat dapat hidup dan bergerak dalam suasana kebebasan bukan dalam naungan kehidupan tirani? Masyarakat pun harus tahu bagaimana menggunakan kebebasan yang ada padanya sebagai hak kodrati yang telah dia peroleh sejak berada dalam kandungan. Kita dapat mengeluarkan pendapat baik itu merupakan kritikan atau dukungan terhadap sesuatu selama hal itu tidak bertentangan dengan hak-hak asasi dari orang lain. Karena kebebasan seseorang berhenti ketika telah melanggar hak-hak dari orang lain.
Bagi seorang Milan Kundera, kritik adalah perjuangan melawan lupa. Kritik merupakan alat untuk mengingatkan. Karenanya, kritik tidak selalu menebar harapan untuk mengubah dan mewujudkan setiap ide, tetapi kritik adalah alat untuk menampilkan kenyataan yang mungkin bisa menjadi wacana alternatif. Lebih lanjut daripadanya, kritik adalah manifestasi pembebasan masyarakat dari tirani wacana, kontrol politik yang taat, dan pengendalian kehidupan secara tunggal. Dengan begitu, pengritik telah dapat melepaskan diri dan mengambil jarak dengan apa yang akan dikritik.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa kita tidak terbiasa dalam kehidupan menerima kritikan orang lain? Jawabannya ada pada diri kita apakah kita siap menerima kritik atau tidak ataukah kita harus banyak belajar dari seorang Tukul yang ndeso dan katro yang selalu mengkritik dirinya sendiri sebelum mengkritik orang lain bahkan lebih dari itu Tukul dengan kepolosannya mampu mengilhami orang lain, dengan segala keterbatasan yang ada dalam diri orang itu untuk tetap terus berjuang meraih kesuksesan tanpa mengganggu kehidupan orang yang berada di sekelilingnya.#