Oleh FA Hendra Zachawerus SH
HAMPIR di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis telah diambil pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan persuatif melalui lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif berupa penindakan bagi mereka yang bergelut dalam bidang pelacuran tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi adalah pelacuran tidak dapat dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin meningkat dari waktu ke waktu. Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai. Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Tentulah tidak mudah untuk mendapatkan pelayanan yang baik tersebut, mengingat tidak semua wanita mau bekerja dalam bisnis pelacuran. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan terhadap seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi, penculikan dan berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak setuju harus bekerja dalam bisnis pelacuran. Pemaksaan ini merupakan salah satu bagian dari perdagangan orang (trafficking). Permasalahan ini telah meresahkan masyarakat dan menimbulkan ketakutan dalam masyarakat manakala hal itu menimpa anak, saudara, atau teman kita. Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan masalah ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya barang yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan telah terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Pemerintah telah berusaha dengan berbagai cara untuk menangani dampak dari masalah yang ditimbulkan oleh bisnis pelacuran tersebut khususnya perdagangan orang (trafficking), baik melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, seminar, pelatihan-pelatihan kerja dan yang terakhir adalah dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ walaupun Undang-Undang ini dianggap cukup terlambat mengingat pemerintah daerah Sulut sudah terlebih dahulu mengeluarkan suatu Peraturan Daerah No 01 Tahun 2004 tentang ‘’Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia (Trafficking) Terutama Perempuan dan Anak’’. Tetapi dengan dikeluarkannya undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan dampak dari masalah pelacuran khususnya mengenai perdagangan orang (trafficking). Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah undang-undang ini memasukan pelacuran sebagai bagian dari perdagangan orang? Jika tidak, bagaimana dengan penyelesaian masalah pelacuran di Indonesia yang sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat, yang merupakan salah satu akar penyebab terjadinya perdagangan orang (trafficking) itu sendiri?.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’, pengertian perdagangan orang sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (1) adalah ‘’Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi’’. Sedangkan pengertian mengenai Eksploitasi terdapat dalam Pasal 1 ayat (7) yaitu '‘Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial’’ dan Pasal 1 ayat (8) ‘’Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan’’. Jika dihubungkan ketiga ayat di atas, maka akan dipahami bahwa Undang-Undang ini tidak memasukkan pelacuran sebagai objek dari wilayah berlakunya Undang-Undang ini, tetapi hanya melingkupi subjek dari para pelaku dalam kegiatan pelacuran/prostitusi tersebut. Atau pengertian lainnya adalah bahwa Undang-Undang ini tidak ‘’melarang’’ adanya kegiatan pelacuran/prostitusi, tetapi melarang dan memberikan hukuman apabila dalam kegiatan pelacuran/prostitusi dilakukan dengan cara memperdagangkan orang atau perdagangan orang/trafficking sesuai dengan bunyi ayat-ayat dalam Undang-Undang itu. Tidak dimasukkannya kegiatan pelacuran/prostitusi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Perdagangan Orang’’ tentunya harus dipahami secara bijak, mengingat Undang-Undang ini lebih dikhususkan pada kegiatan pemberantasan perdagangan orang bukan ditujukan pada kegiatan pelacuran/prostitusi. Walaupun diketahui bahwa perdagangan orang/trafficking dan pelacuran/prostitusi memiliki hubungan korelasi yang sangat erat, karena kebanyakan korban perdagangan orang/trafficking dipekerjakan atau dijadikan sebagai pelacur. Contoh: beberapa wanita Sulut yang dikirim ke Balikpapan untuk bekerja di salon ternyata akan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersil. Beberapa wanita yang diiming-iming kerja rumah makan di Papua ternyata dipekerjakan di cafĂ©/pub dan masih banyak lagi persoalan pelacuran yang didasari oleh suatu kegiatan perdagangan orang/trafficking. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang rancu apabila berbicara mengenai perdagangan orang/trafficking tetapi tidak membicarakan masalah pelacuran, karena kebanyakan motif terjadinya kejahatan perdagangan orang didasari pada kepentingan bisnis pelacuran/prostitusi.
Pelacuran/prostitusi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perdagangan orang/trafficking perlu dipikirkan dengan serius untuk mencari solusi penyelesaiannya, agar akibat atau dampak dari kegiatan itu dapat diminimalisir dan kalau bisa dihapuskan yaitu perdagangan orang, penyakit menular seksual, HIV/AIDS, permasalahan sosial dan berbagai dampak lainnya yang disebabkan oleh kegiatan pelacuran/prostitusi. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pelacuran/prostitusi merupakan masalah besar yang perlu diatur dalam suatu perundang-undangan, tetapi karena alasan agama, ketimuran, adat, budaya dan alasan-alasan subjektifisme lainnya sehingga masalah ini seolah-olah tabu untuk dibicarakan dan diatur dalam suatu perundang-undangan. Walaupun ada beberapa daerah yang sudah mencoba untuk mengatur dalam peraturan daerah. Tetapi efektifitasnya masih diragukan, karena masalah pelacuran/prostitusi merupakan masalah lintas daerah, lintas budaya, lintas agama dan bahkan lintas negara sehingga untuk menjangkau persoalan ini dibutuhkan kaidah yang berlaku secara nasional, agar permasalahan pelacuran/prostitusi dapat diselesaikan secara komprehensif, utuh dan menyeluruh di setiap daerah. Karena apabila masalah pelacuran/prostitusi diselesaikan secara parsial atau per daerah tidak secara menyeluruh, maka pelacuran/prostitusi tidak akan terpecahkan secara komprehensif. Tetapi hanya memindahkan persoalan saja, dari satu daerah ke daerah yang lain. Contoh: Apabila masalah pelacuran/prostitusi hanya diselesaikan di Kota Tomohon, maka para pelaku dalam kegiatan tersebut akan berpindah ke daerah lain misalnya ke Kota Manado. Sehingga masalah pelacuran/prostitusi tidak akan terselesaikan tetapi hanya memindahkan saja dari satu daerah ke daerah lain. Pelacuran/prostitusi harus dilihat secara objektif sebagai suatu fenomena yang berkembang dalam masyarakat dan fenomena ini harus dipandang secara utuh tanpa menitikberatkan pada satu sisi saja yaitu agama, budaya, atau adat istiadat. Tetapi harus dilihat dari segala sisi termasuk kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia agar persoalan pelacuran/prostitusi dapat dikelola dan diselesaikan secara baik. Untuk itu perlu adanya Undang-Undang khusus yang mengatur hal tersebut, agar masalah tersebut dapat terselesaikan secara komprehensif, utuh dan menyeluruh. Sehingga dampak dari kegiatan tersebut dapat diminimalisir, dikelola, dan ditanggulangi secara baik dan profesional.
Untuk itu disimpulkan bahwa, pelacuran dan perdagangan orang memiliki korelasi yang sangat erat yaitu pelacuran merupakan salah satu motif utama terjadinya tindak pidana perdagangan orang/trafficking. Oleh karena itu dalam upaya melakukan pemberantasan perdagangan orang/trafficking sesuai dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang ‘’Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang’’, perlu juga untuk ‘’memberantas atau mengatur’’ masalah pelacuran/prostitusi dengan suatu Undang-Undang khusus. ‘’Memberantas’’ atau ‘’mengatur’’ pelacuran/prostitusi merupakan suatu pilihan yang perlu dipilih secara bijak, dengan melihat secara objektif persoalan pelacuran/prostitusi merupakan sebagai masalah nasional yang sudah merambah ke segala sendi kehidupan masyarakat, dari kota sampai desa, dari daerah berkembang sampai daerah terpencil, dari daerah yang maju sampai daerah yang terbelakang dan dari semua tingkat sosial ekonomi masyarakat tidak terluput dari permasalahan pelacuran/prostitusi. Oleh karena itu pengaturan mengenai pelacuran/prostitusi sangat urgen untuk segera diatur dalam suatu Undang-Undang sehingga dapat meminimalisir dampak dan akibat dari kegiatan pelacuran/prostitusi, termasuk dalam rangka melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang/trafficking.#