23 Februari 2008

Humanisme dari Timur

Oleh Pastor DR Yong Ohoitimur MA MSC
(Pakar Etika, Moral pada STF Seminari Pineleng)

EZRA Muyu termenung. Siswa kelas II SMP itu tak mengerti mengapa tanggal 7 Februari 2008 yang lalu sekolahnya diliburkan. ‘’Tahun Baru Imlek, libur nasional,’’ kata gurunya. Ia lebih bingung lagi ketika diajak teman-temannya untuk menonton ritual keagamaan Cap Go Meh. Namun Ezra tidak sendirian. Warga masyarakat yang tidak akrab dengan tradisi Tionghoa, mungkin saja tidak banyak tahu mengenai seluk-beluk tahun baru Imlek dan puncak ritual suci 15 malam sesudahnya yang disebut Cap Go Meh tadi. Tahun ini adalah Tahun Baru Imlek 2559, dihitung menurut sistem peredaran bulan (lunar calendar) berawal dari tahun 551 sebelum Masehi, yaitu tahun kelahiran Konfusius—nama Latin untuk Nabi Khongcu atau K’ung Fu-tzu atau Khonghucu.
Dalam kalangan para filsuf, Konfusius dikenal sebagai penggagas dan penganjur humanisme dari Timur. Betapa tidak. Konfusius ditinggal mati oleh ayahnya ketika ia baru berusia 3 tahun. Ia dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan dan kesederhanaan. Konfusius mengalami benar hidup sebagai orang miskin dan menderita. Ia akrab dengan rakyat kebanyakan yang menjadi korban anarki sosial akibat peperangan terus-menerus dan korupsi yang merajalela. Terjadi dekadensi moral sosial secara menyeluruh. Dalam kondisi itu, hanya pertanyaan yang terpenting dan paling mendesak adalah ‘’Bagaimana agar masyarakat dapat hidup damai, sejahtera dan menikmati keadilan?’’
Walaupun pernah beberapa kali menduduki jabatan sebagai menteri di negaranya, Konfusius terkenal bukan sebagai politisi yang berhasil. Ia lebih mahsyur sebagai seorang guru. Mula-mula sebagai guru privat, tetapi kemudian guru-bangsa, dan guru umat manusia. Apa yang diajarkan? Buku Lun-Yu (bunga rampai yang memuat perkataan-perkataan Konfusius) memberikan kesaksian mengenai pokok-pokok ajaran kemanusiaan Konfusius. Menurutnya, kondisi masyarakat yang anarkis dan praktek ketidakadilan yang merajalela dapat diatasi hanya apabila rasa manusiawi terhadap sesama menjadi karakter yang umum. Konfusius menyebutnya ‘’jen’’ yang secara harafiah menyatakan hubungan antarmanusia. Jen menunjuk kepada kemampuan khas yang dimiliki oleh seorang manusia, dibandingkan dengan binatang, yaitu kemampuan untuk menghendaki kebaikan dan melakukan apa yang baik bagi sesama. Martabat manusia terletak pada kemampuan mencintai sesama, mendukung kebaikan dan kesejahteraan orang lain, tidak merugikan atau menjahati orang lain. Ketika Chung-Kung bertanya tentang jen, Konfusius menjawab, ‘’Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak kehendaki orang lain lakukan bagimu’’. Aturan emas ini berarti, dalam segala keadaan setiap orang selalu harus menunjukkan kehendak baiknya terhadap orang lain. Hanya apabila kesadaran itu menjadi karakter yang secara umum dimiliki penguasa, pemerintah, dan warga masyarakat, maka peperangan, tindak kekerasan, praktek ketidakadilan, kekejaman dan kelaliman, akan dapat dihentikan, sehingga ‘’dalam batas empat samudera semua orang bersaudara”.
Gagasan Konfusius tentang kemampuan mencintai sebagai karakter manusiawi mengandung implikasi penting bagi moralitas. Konfusius berkata, ‘’Kemakmuran dan kehormatan dicari oleh setiap orang. Tetapi apabila semua itu dicapai seseorang melalui tindakan yang menyimpang dari moralitas, maka sesungguhnya ia tidak mendapatkan apa pun juga. Kemiskinan dan kesederhanaan tidak disukai setiap orang. Tetapi apabila semuanya itu dihindari melalui cara dan perilaku yang menyimpang dari moralitas, maka sesungguhnya ia belum berhasil menghindarinya. Jika seorang atasan menjauh dari kemanusiaan (jen), bagaimana mungkin ia dapat merealisasi tugas jabatannya? Seorang atasan sejati sepantasnya tak pernah boleh melupakan (jen) bahkan sewaktu makan sekalipun. Dalam keadaan tergesa-gesa sekalipun, ia harus bertindak sesuai kemanusiaan. Dalam keadaan sulit dan dalam kebingungan, ia harus tetap setia pada kemanusiaan.”
Dari mana awalnya pertumbuhan karakter manusiawi itu? Konfusius menjawab, diri sendiri dan keluarga. ‘’Jika ada kebenaran dalam hati, akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam watak, akan ada keserasian dalam rumah-tangga. Jika ada keserasian dalam rumah-tangga, akan ada ketertiban dalam bangsa. Jika ada ketertiban dalam bangsa, akan ada perdamaian di dunia.” Hancurnya watak atau karakter individu merupakan sumber rusaknya keharmonisan dalam keluarga. Dan dari keluarga yang tidak harmonis, tidak dapat diharapkan kontribusi ketertiban dan perdamaian bagi masyarakat dan negara.
Selanjutnya, kesejahteraan dan ketertiban masyarakat ditentukan pula oleh apa yang Konfusius sebut ‘’rektifikasi nama” (cheng-ming). Katanya, ‘’Biarlah pemerintah menjadi pemerintah, rakyat tetap rakyat, seorang bapak keluarga tetap sebagai bapak keluarga, dan seorang anak tetap sebagai seorang anak.” Pemerintah harus benar-benar bertindak sebagai yang memerintah, tindakannya harus sesuai dengan ideal yang terkandung dalam sebutan atau jabatannya sebagai ‘’pemerintah’’. Begitu pula dengan seorang bapak keluarga harus benar-benar menjadi bapak keluarga dan bertindak sesuai nama kedudukannya. Jadi, apabila raja berperilaku sebagai pedagang, dan seorang guru berperilaku bagaikan raja, maka akan terjadi kekacauan relasi dan identitas sosial menjadi kabur.
Kutipan-kutipan di atas kiranya cukup memperlihatkan bahwa Konfusius menarik seluruh realitas sosial yang anarkis pada satu akar penyebab, yaitu kehilangan karakter manusiawi. Dan, menurutnya, karakter yang hilang itu tidak lain dari jen. Hilangnya karakter tersebut mengkondisikan mekarnya keserakahan dan egoisme, yang pada akhirnya melahirkan konflik, memicu perebutan kekuasaan, dan menyuburkan praktek-praktek korupsi. Kemiskinan dan penderitaan adalah buahnya. Maka untuk memulihkan keadaan, menurut Konfusius, pendidikan karakter manusiawi sungguh mendesak. Sebelum Konfusius memberikan pengajaran untuk membentuk karakter murid-muridnya, ia sendiri tak jemu-jemunya belajar sejak usia muda. Yang ia pelajari, bukanlah teknik perang atau ilmu politik, melainkan ilmu kearifan hidup sebagai manusia. Ia menimba kearifan dan merintis jalan hidup yang benar melalui studi kebudayaan lama. Ia mencintai warisan leluhurnya, ia mengagumi keutamaan-keutamaan yang telah teruji mendatangkan hidup yang tentram dan damai. Ia mencintai nilai dan tradisi agung nan luhur dari masa lampau.
Tahun Baru Imlek dan ritual Cap Go Meh sebenarnya membuka pintu kepada suatu warisan luhur kemanusiaan atas nama Konfusius. Namun dalam era sekarang siapakah yang masih berminat untuk mencari ‘’jalan hidup’’ yang benar? Apakah pendidikan atau pengajaran yang diterima anak-anak kita di zaman sekarang menumbuhkan karakter manusiawi dan menuntun di jalan hidup dan kebenaran? Mungkin saja Ezra Muyu termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu juga.***