Oleh M Anis
(Wartawan, bekerja di Jakarta)
KAMIS malam 10 Januari lalu, PDI Perjuangan merayakan hari lahirnya yang ke-35. Perayaan itu dilakukan secara sederhana tetapi meriah di Kantor DPP PDIP Jl Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memotong puncak tumpeng dan menyerahkannya kepada mantan KSAD Ryamizard Ryacudu.
Benarkah PDIP telah berumur 35 tahun? Inilah pertanyaan yang selalu datang menggoda setiap tahun. Benarkah PDI Perjuangan yang berlambang banteng moncong putih dan memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih 153 kursi di DPR itu lahir pada 11 Januari 1973? Untuk menjawabnya, kita perlu membuka catatan sejarah.
Pada 1975, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No 3 tentang Partai Politik dan Golongan Karya sebagai upaya mempertahankan kemenangan Golkar yang diraih pada Pemilu 1971. Pada pasal 1 UU No 3 Tahun 1975 ditetapkan hanya ada dua partai politik yang berhak hidup di Indonesia, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia), serta satu golongan yaitu Golongan Karya. Dalam kehidupan politik Indonesia berikutnya hingga 1998, Golkar bukan dianggap sebagai partai politik.
Partai pertama, yaitu PPP yang dideklarasikan 5 Januari 1973, adalah fusi atau penggabungan dari empat partai Islam peserta Pemilu 1971, masing-masing Partai Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Perti, dan Parmusi. Sedangkan partai kedua, PDI yang dideklarasikan 11 Januari 1973, berasal dari penggabungan lima partai, masing-masing Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.
Pada empat kali pemilu -1977, 1982, 1987, dan 1992- Golkar selalu menjadi pemenang. Sedangkan PPP dan PDI sebagai partai boneka, jangankan menang, berkembang saja tidak diberi kesempatan. Justru yang dilakukan pemerintah terhadap PPP dan PDI adalah menciptakan konflik-konflik di antara elite pimpinannya sehingga kedua partai itu, terutama PDI, nyaris tidak pernah berhenti dari konflik.
Kepada PDI, puncak campur tangan pemerintah dilakukan pada masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, yang terpilih dalam KLB (Kongres Luar Biasa) di Asrama Haji Surabaya (2 s/d 6 Desember 1993), kemudian dikukuhkan sebagai ketua umum DPP PDI periode 1993-1998 pada munas di Jakarta tanggal 23 Desember 1993.
Pada periode kepemimpinan Megawati itu, baik ABRI maupun Mendagri tiada henti-hentinya mengintervensi dan mengganggu PDI. Misalnya, dengan menciptakan dan memelihara konflik seperti yang dilakukan di Jatim, saat terjadinya perseteruan politik antara almarhum Latief Pudjosakti dan Soetjipto, yang sama-sama mengklaim sebagai ketua DPD PDI Jawa Timur.
Dua orang yang sebelumnya saling bersahabat itu -Latief menjadi ketua DPD PDI Jatim, sedangkan Soetjipto sebagai bendahara pada periode kepengurusan sebelumnya- berseteru demikian hebat hingga meluas dan sangat merongrong kepemimpinan Megawati. Sebab, target pemerintah adalah menjatuhkan Megawati.
Berawal dari Jawa Timur itu pula, konflik kemudian bergeser ke pusat sehingga pemerintah bersama ABRI kemudian mempunyai alasan untuk merekayasa diselenggarakannya Kongres PDI di Asrama Haji Medan, Soerjadi yang sebelumnya telah disingkirkan dalam Kongres IV PDI di Medan 1993, oleh pemerintah terpaksa direkrut lagi untuk memimpin PDI, tetapi kali ini dengan tugas menggusur kepemimpinan Megawati. Pemerintah menganggap di antara sekian banyak tokoh PDI yang ada saat itu, hanya Soerjadi yang mampu menandingi Megawati, yang memang pernah jadi juniornya.
Tetapi, Mega sudah demikian kuat sehingga muncullah dua DPP PDI yang berhadap-hadapan, yaitu PDI kubu Megawati dan PDI kubu Soerjadi. Konflik hasil rakayasa itu membuat kedua kubu makin membara dan akhirnya melahirkan peristiwa berdarah 27 Juli 1996 (Kudatuli), yang berawal dari pengambilalihan dengan paksa Kantor DPP PDI kubu Megawati di Jl Diponegoro 58, Jakarta.
Hingga menjelang Pemilu 1997, PDI tetap pecah menjadi dua kubu. Tetapi, yang diakui pemerintah untuk bisa mengikuti pemilu adalah PDI kubu Soerjadi. PDI Megawati kemudian memboikot pemilu.
Dampaknya luar biasa, PDI Soerjadi jadi terpuruk dan hanya memperoleh 3,06 suara atau 11 kursi di DPR. Padahal, pada pemilu sebelumnya, 1992, PDI mendapat 14,89 persen suara, setara dengan 56 kursi. Megawati telah menjadi kekuatan baru, menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pemilu 1997 adalah titik awal bergeraknya roda reformasi. Gerakan melawan pemerintahan Soeharto mulai muncul ke permukaan meskipun untuk itu harus jatuh korban seperti pada peristiwa Universitas Trisakti (12 Mei 1998), dan penculikan para aktivis yang sebagian besar hingga sekarang belum diketahui nasibnya. Roda reformasi akhirnya berhasil melengserkan Soeharto pada 21 Mei 1998, digantikan B.J. Habibie.
Pada masa pemerintahan B.J. Habibie yang tidak mendapat legitimasi rakyat dan hanya bertugas mempersiapkan Pemilu 1999, perseteruan dua kubu PDI belum juga terselesaikan. PDI Soerjadi mengadakan Kongres V di Palu, Sulteng (26 s/d 29 Agustus 1998), yang memilih Budi Harjono sebagai ketua umum PDI periode 1998- 2003, dengan Sekjen Buttu R. Hutapea.
Tanggal 8 s/d 10 Oktober 1998, giliran PDI kubu Megawati mengadakan Kongres V PDI di Sanur, Denpasar, Bali. Dalam kongres di Bali ini, Megawati secara aklamasi dipilih menjadi ketua umum PDI periode 1999-2003, didampingi Sekjen Alex Litaay. Keputusan penting lainnya dalam kongres itu adalah ketetapan untuk memisahkan diri dan mendirikan partai politik baru yang nama, lambang, dan AD/ART sepenuhnya diserahkan kepada Megawati.
Tanggal 1 Februari 1999, Megawati mendaftarkan partai barunya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, kepada notaris Syamsul Rizal. Dua pekan kemudian, tepatnya 14 Februari 1999, PDI Perjuangan berlambang banteng moncong putih dideklarasikan di Istora Senayan Jakarta, dihadiri tak kurang dari 100 ribu orang.
Pada Pemilu 1999, PDI Perjuangan ikut berkompetisi bersama 47 partai politik lainnya, termasuk PDI, dan memenangkannya dengan memperoleh 35.689.073 suara (33,74 persen). Sedangkan PDI yang hanya mendapat 345.720 suara harus terkena electoral threshold karena perolehan suaranya di bawah 2 persen.
Kongres pertama PDI Perjuangan digelar di Semarang (27 Maret s/d 1 April 2000), ketika Megawati sudah menjadi wakil presiden. Dalam kongres pertama ini, Megawati secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum DPP PDI Perjuangan periode 2000-2005, didampingi Soetjipto sebagai Sekjen. Lima tahun kemudian, Kongres II PDI Perjuangan yang berlangsung di Sanur, Denpasar (28 s/d 31 Maret 2005) kembali secara aklamasi memilih Megawati menjadi ketua umum DPP PDI Perjuangan periode 2005-2010, Pramono Anung menjadi Sekjen.
Dari catatan-catatan pendek di atas, secara pribadi saya menganggap PDI Perjuangan belum berusia 35 tahun. Mengapa? Sebab, PDI yang dideklarasikan Isnaeni, Abdul Madjid, A. Wenas, Sabam Sirait, Beng Mang Rey Say, FX Wignyosumarsono, Murbantoko, RJ Pakan, Achmad Sukarmadidjaja, dan M. Sadri pada 11 Januari 1973, telah terkena ketentuan electoral threshold akibat hasil yang diperoleh dalam Pemilu 1999.
Sedangkan PDI Perjuangan yang sampai sekarang masih dipimpin Megawati Soekarnoputri, dideklarasikan di Istora Senayan 14 Februari 1999. Dengan demikian, tanggal 14 Februari 2008 mendatang sebenarnya PDI Perjuangan baru genap berusia 9 tahun, belum 35 tahun.
Bagi saya, PDI Perjuangan adalah salah satu partai reformis bersama PKB, PAN, dan beberapa partai lain, yang lahir setelah lengsernya pemerintahan Soeharto. PDI Perjuangan bukan bagian dari rezim Orde Baru, kecuali apabila PDI Perjuangan sendiri justru menolak fakta sejarah itu.#
BIJAK ////
Bukan Hanya Perda, Regulasi Pusat Juga Bermasalah ///Jdl
==Deddy Ini Bijak cadangan, yang butul tanya ke Martha, giliran menulis bijak atau Kak Tenny….
BUKAN hanya Depdagri yang getol meributkan sejumlah peraturan daerah (perda) bermasalah. Belakangan, Departemen Hukum dan HAM turut pula mempermasalahkannya. Selain dianggap bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, perda-perda tersebut dianggap mengalami disorientasi dan tidak memenuhi standar nilai HAM. Perda-perda itu terlalu berorientasi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Rilis terbaru, Depkum HAM telah menyiapkan panduan harmonisasi perda dalam parameter HAM. Rencananya dibuat dalam bentuk SKB (Surat Keputusan Bersama) Mendagri dan Menkum HAM. Bukankah sudah ada UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan, ada pula Kepmendagri 169/2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah. Terakhir, ada pula Permendagri 53/2007 tentang Pengawasan Perda dan Peraturan Kepala Daerah. Nyatanya, masih ada perda bermasalah.
Kita memang tidak menutup mata atas adanya perda bermasalah. Persoalannya, itu adalah lagu lama. Pertengahan tahun 2006, Depdagri merilis pembatalan sekitar 506 perda yang dianggap bermasalah. Umumnya, perda yang diterbitkan 2000-2005. Pada akhir 2006, Presiden SBY sendiri mengatakan pemerintah pusat akan membatalkan 804 perda bermasalah. Kini perda bermasalah diramaikan kembali. Ada apa sebenarnya? Bisa jadi, sejumlah perda bermasalah yang terus dipersoalkan itu adalah barang yang sama. Hanya, dirilis berulang-ulang sekaligus oleh banyak pihak. Sejumlah perda yang dipermasalahkan sekarang bisa jadi termasuk jumlah 804 yang disampaikan SBY sebelumnya. Bahkan, bisa juga termasuk 506 perda yang sudah dibatalkan. Buktinya, perda parkir Surabaya yang dibatalkan Depdagri awal 2008 ini adalah perda No 7 Tahun 2000. Ini adalah perda yang di-review Depdagri sebelum 2006 lalu. Padahal, aturannya, keputusan pembatalan perda ditetapkan peraturan presiden paling lama 60 hari sejak perda itu diterima pemerintah pusat.
Setiap melakukan pembatalan perda di suatu daerah, pemerintah pusat selalu merilis isu yang sama. Sejumlah perda bermasalah sedang dievaluasi Depdagri. Ini bukti pusat lamban dalam menangani persoalan perda bermasalah. Faktanya, booming perda memang hanya terjadi 2000-2005. Dua tahun terakhir tak banyak perda dilahirkan daerah. Kalaupun ada, sebagian besar hanyalah perda tentang APBD. Sejumlah perda bermasalah yang masih ada justru sisa pekerjaan pemerintah pusat yang belum terselesaikan.
Gembar-gembor perda bermasalah bisa jadi hanyalah manuver elite birokrasi di tingkat pusat. Ini hanyalah trik menutupi kekurangan mereka. Pusat hanya mampu menyalahkan. Bila dilihat sebaliknya, bisa jadi, perda bermasalah justru merupakan bentuk kegagalan pemerintah pusat. Daerah tidak sepenuhnya salah, tetapi pusatlah yang tidak mampu mengawasi daerah. Misalnya, sejumlah keruwetan otonomi daerah justru diakibatkan ketidaksinkronan regulasi pusat. Banyak UU sektoral maupun aturan perundangan di bawahnya yang tidak sejalan dengan UU Otonomi Daerah. Masing-masing departemen mengeluarkan regulasi berbeda. Sebagian malah terkesan resentralisasi.
Atau jangan-jangan upaya menyalahkan daerah adalah bagian dari upaya resentralisasi. Pusat mencari-cari kesalahan daerah sebagai alasan pembenar menarik kembali kewenganannya ke pusat. Bahkan, kesalahan yang sama diungkap berkali-kali.
Kalau sejumlah perda hanya berorientasi PAD dan tidak memenuhi standar HAM, itu memang patut diperbaiki. Kita juga tidak ingin regulasi yang memberatkan publik. Tetapi, harus pula dikritisi biang keladinya. Sejumlah objek retribusi dan pajak daerah hanyalah sisa-sisa yang tidak dipungut pusat. Sumber retribusi dan pajak daerah hanyalah remah-remah. Sumber pajak yang gemuk seperti PPn dan PPh tetap dipungut pusat. Bagi hasilnya pun, daerah hanya menerima hasil perhitungan pusat.