Oleh David Stanly Saada
KEHEBATAN Einstein sebenarnya bukan pada kecerdasannya tapi kreativitasnya untuk menyederhanakan suatu konsep yang sulit. Kenyataan ini bisa kita perhatikan dalam rumusan teori relativitas. Kaidah-kaidah ilmiah yang sebetulnya relatif, dijelaskan dalam suatu konsep matematik yang pasti. Fisikawan yang kawakan pun, kadang sulit untuk memahami teori ini. Namun Einstein membuatnya dalam rumus sederhana: E = MC2. Kita tentu mengenal rumus fisika yang satu ini.
Pandangan kesederhanaan akan berbeda untuk tiap orang. Ada yang mengatakan sederhana itu berarti hidup apa adanya. Ada pula yang mengatakan sederhana itu hidup lebih sedikit dari apa yang seharusnya. Ada pun yang menyatakan sederhana berarti mencukupkan diri dalam segala keadaan. Demikian definisi kesederhanaan dari keragaman sudut pandang orang. Tentu saja, hal ini dipengaruhi oleh paradigmanya masing-masing. Pembentuknya adalah lingkungan, termasuk di dalamnya pendidikan dan pengalaman hidup.
Tiap orang boleh mendefinisikan sendiri apa itu kesederhanaan. Namun, adakah rumusan baku untuk hal tersebut? Kita akan menelaahnya lebih lanjut. Bukan dengan konsep ilmiah yang membingungkan tapi diusahakan sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti.
Secara pribadi saya cukup terusik untuk mengulas konsep ini. Hal ini terjadi oleh pengalaman yang disaksikan secara kasat mata dalam kehidupan sehari-hari. Pengamatan itu menunjukkan bahwa betapa ada begitu banyak orang yang ‘dibodohi’ oleh pengaruh trend serta pola hidup moderen sekarang. Dengan mudahnya mengambil keputusan membeli suatu barang, kendati tidak memerlukannya. ‘Mereka’ membeli barang karena keinginan bukan karena kebutuhan. Bahkan yang lebih parah lagi adalah membeli barang karena gengsi. Supaya tidak kalah dari orang lain atau sekadar menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka memiliki sesuatu barang menarik.
Fenomena ini akan mudah dijumpai di kalangan para wanita. Bukan untuk menghakimi. Tapi, anekdot berikut cukup menarik untuk disimak. Konon, hal ini sering terjadi dalam suatu transaksi jual beli. Bahwa; ‘Para wanita menawar semurah-murahnya untuk barang yang tidak mereka butuhkan sedangkan para pria tidak melakukan penawaran sedikitpun untuk barang yang mereka butuhkan.’ Walau, anekdot ini terkesan berkelakar, tapi jika dipikir ulang ada juga kebenarannya.
Untuk itu betapa pentingnya kita berpikir bijak dalam mengambil keputusan untuk pembelian barang. Kita hendaknya mampu membedakan secara bijak antara keinginan dan kebutuhan. Yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan, tapi jika kita membutuhkan pasti kita menginginkannya. Tentu saja disesuaikan dengan budget keuangan kita, jikapun harus memutuskan untuk membeli. Tidak benar membeli barang konsumsi dengan mengutang.
Kita jangan mudah terpengaruh oleh propaganda iklan. Seperti bonus-bonus atau discount yang menggiurkan. Sikap skeptis untuk hal ini kadangkala diperlukan. Harus kita ingat, jika belum mendesak tidak perlu dibeli saat itu. Karena yang penting belum tentu genting. Jangan mengabaikan penting karena kegentingan. Dahulukan yang utama.
Penjelasan-penjelasan tadi sebenarnya erat sekali hubungannya dengan pembahasan kita mengenai kesederhanaan. Sikap sederhana itu berawal dari pikiran kita yang selanjutnya berdampak dalam perilaku kita. Konsep kita tentang kesederhanaan akan mempengaruhi perilaku konsumsi kita. Pemahaman keliru tentang keputusan pembelian akan mengakibatkan kita berperilaku boros. Sikap yang berlawanan dengan kesederhanaan.
Meski prinsip kesederhanaan ada hubungannya dengan perilaku konsumsi tapi sebenarnya perilaku ini lebih cenderung pada gaya hidup. Bagaimana seseorang bertingkah laku dalam hidupnya. Banyak contoh kita dapati dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya keputusan untuk membeli handphone cellular. Apakah cukup bijaksana membeli cellular karena fasilitas 3G sementara di daerah ini sarananya belum tersedia? Atau cellular video confrence/communicator sementara ia berstatus pelajar? Hanya sekadar perbandingan, seorang tokoh nasional mantan Dirut Indosat dan Dirjen Deparpostel yang kini menjabat Rektor UPH (Universitas Pelita Harapan) Bpk. Jonathan Parapak, sampai kini hanya menggunakan Nokia tipe 6600.
Hal ini juga yang tampak dari seorang investor yang paling dikagumi di dunia, Warren Buffet. Sosok yang pernah terdaftar dalam majalah Forbes sebagai orang kedua terkaya di dunia sesudah Bill Gates ini, hanya menggunakan 20 persen dari jumlah kekayaannya. 80 persen lebihnya ia sumbangkan ke sejumlah yayasan. Ia sendiri hanya sering mengendarai mobil tuanya, tinggalpun di pinggiran kota. Bepergian dengan pesawat komersil, selalu dengan tiket kelas ekonomi.
Gaya hidup sederhana bukan berarti memilih untuk miskin. Konsep kesederhanaan tentu tidak demikian. Kita perlu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan materi. Materi dalam hal ini harus diperoleh dengan kerja keras sekaligus cerdas. Memperoleh uang yang berlimpah tidaklah keliru. Yang perlu diingatkan bagaimana cara mengaturnya. Adakah kita merencanakan keuangan sekaligus mengelolanya dengan benar?
Kita tentu pernah mendengar sebuah danau di Israel yang karena besarnya disebut Laut, yaitu Laut Mati. Selain karena namanya yang aneh, danau ini juga memiliki beberapa keunikan lain. Kandungan garam di danau itu sangat tinggi. Konon, orang yang tidak tahu berenangpun dapat mengapung di atasnya. Mungkin tidak ada orang yang mau mencobanya, selain karena kandungan garam yang terlampau tinggi airnyapun berbau busuk. Tidak ada satu jenis makhluk hidup, yang hidup di dalamnya.. Di sinilah letak penyebabnya; Danau ini merupakan muara dari beberapa aliran sungai tapi tidak menyalurkan air tersebut ke tempat lain. Ia hanya menerima air dari beberapa tempat dan menampungnya sendiri.
Situasi identik dapat pula terjadi pada manusia. Menumpuk harta sebanyak-banyaknya kemudian menggunakan seluruhnya untuk kepentingan diri sendiri akan berakibat buruk. Selain dari tidak berfaedah dan dimakan ngengat, hidup seolah tidak berarti. Bukan sedikit orang yang hartanya berlimpah tapi hidupnya menderita. Hidup di penuhi rasa takut dan tidak nyaman ke mana-mana. Keluarga hancur berantakan dan diri dimusuhi banyak orang.
Seperti halnya kisah Uncle Scrooge. Tokoh utama dari sebuah novel terkenal, tulisan pengarang masyhur Charles Dickens, Christmas Carol. Dikisahkan Uncle Scrooge adalah seorang pekerja keras dan hemat. Usaha bisnisnya berhasil. Tapi ternyata juga tidak sedikit pula orang yang dirugikan dari usahanya tersebut. Karena begitu irit dalam memanfaatkan uang, ia sering hanya makan bubur gandum dan makanan seadanya. Perhatian berlebihan terhadap usaha bisnis itu, mengakibatkan pacarnya yang setia meninggalkannya. Bukan hanya itu, iapun tampak lebih tua dari usia yang seharusnya. Bertahun-tahun kemudian partner bisnis yang telah bersama sekian tahun, pergi. Kerugian harus ia tanggung sendiri. Selain itu ia harus hidup seorang diri, sementara penduduk di sekitar menjauhi.
Meski hanya dalam novel, kisah ini sebenarnya menggambarkan realita yang sering terjadi. Ada begitu banyak orang hanya berfokus untuk mencari harta tapi justru menjerumuskannya ke dalam penderitaan. Pelajaran berharga yang boleh kita petik adalah kita harus bekerja benar tapi juga mengelola keuangan dengan benar.
Bekerja adalah panggilan Tuhan dalam hidup. Manusia adalah homo faber, manusia pekerja. Ketika Tuhan menciptakan manusia Ia memberikan mandat budaya kepada manusia, yaitu mengelola dan memberdayakan seisi bumi. Bekerja merupakan ekspresi hidup seseorang. Bagian dari aktualisasi diri. Oleh karena itu, tak sedikit orang yang stress bahkan depresi karena pensiun. Selain daripada itu, dengan bekerja seseorang memperoleh income untuk hidupnya. Hal ini yang seringkali menjadi tujuan utama.
Nilai income tersebut tentunya berbeda-beda. Sesuai dengan kapabilitas dan kapasitas kerja kita. Persoalannya bukan telah berapa besar atau sedemikian kecil jumlah yang diperoleh. Tapi bagaimana kita mengatur pos yang sesuai, untuk pengeluaran keuangan tersebut. Pos-pos tersebut antaranya adalah; untuk konsumsi, untuk tabungan, untuk pengembangan diri dan untuk donasi.
Komposisinya tergantung dari kebutuhan kita. Ada baiknya telah dilakukan analisa dahulu berapa besar yang kita butuhkan dan hal-hal apa yang kita rencanakan ke depan. Tapi ada pos-pos tertentu yang seharusnya wajib untuk terisi. Jika jumlah pemasukan keuangan kita masih pada nilai upah minimum lokal maka komposisinya bisa kita kita susun, 70 persen untuk konsumsi, 20 persen untuk tabungan dan 10 persen untuk donasi. Jika upah telah berada pada area yang sedikit lebih ideal maka nilai konsumsinya dapat diturunkan menjadi 50 persen sementara itu pos lain bisa ditambah. Seperti pos pengembangan diri.
Pertimbangan-pertimbangan untuk pemilihan pos-pos tersebut tentu tidak akan bisa terangkum dalam pembahasan ini. Tapi yang hendak ditekankan di sini untuk pos donasi tergantung dari komitmen yang kita buat. 10 persen adalah nilai minimal yang bisa diberikan, dalam hal ini pos ini wajib menjadi prioritas. Berbagai penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya tentu telah memberikan pengertian mengapa pos donasi menjadi salah satu prioritas penting.
Komitmen tadi tentu tidak mudah. Karena kita harus melawan teori permintaan dengan kurva indiferensnya; dimana ketika tingkat pendapatan seseorang semakin naik maka tingkat konsumsinya juga turut naik. Hal tersebut tentu akan kembali pada sebesar apa komitmen kita sendiri. Apa yang kita yakini. Apakah kita mau berubah atau tidak.
Paul Hidayat salah seorang penulis terkenal pernah menyatakan; ‘Bila Anda mempelajari kebenaran, tetapi tidak mengalami perubahan hidup, maka hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Anda tidak sungguh-sungguh belajar. Kedua, yang Anda pelajari bukan kebenaran. Kita tentu penasaran untuk membuktikan pernyataan ini.
Kembali ke kisah Christmas Carol. Uncle Scrooge yang hidup terasing suatu saat mengalami pencerahan. Pada suatu malam ia kedatangan seorang malaikat yang membawanya pada beberapa peristiwa. Di awali dengan peristiwa masa lalu Uncle Scrooge. Bagaimana ia menjalani hidupnya dengan kerja keras dan hemat tapi juga keberhasilannya dalam memperoleh kekayaan. Selajutnya Uncle Scrooge dibawa pada masa itu. Ia dibawa pada sebuah keluarga sederhana yang bahagia tapi di antaranya hidup seorang anak cacat. Ia pun dibawa pada keluarga mantan pacarnya, yang kini telah hidup dengan seorang lelaki dan memiliki beberapa orang anak. Terlihat mereka membicarakan seseorang, yang ternyata Uncle Scrooge sendiri.
Ia kemudian dibawa ke masa depan. Sang Malaikat membawanya ke sebuah kompleks pemakaman. Kemudian diperlihatkanlah sebuah pusara yang tak terawat. Uncle Scrooge sendiri ketakutan dan memohon untuk tidak menunjukkannya. Pusara itu bertuliskan Uncle Scrooge. Beberapa saat kemudian, Ia tersadar. Ternyata peristiwa tersebut hanya berupa mimpi. Pengalaman tadi membawa perubahan hidup dalam diri Uncle Scrooge. Orientasinya kini berbeda, tidak lagi hidup untuk diri sendiri.
Saat mengetahui dari seorang anak bahwa hari itu Natal. Bergegas ia keluar rumah, membeli ayam kalkun dan menghadiahkannya kepada sebuah keluarga miskin. Ia kemudian memberikan sumbangan donasi. Memberikan hari libur kepada akuntannya sekaligus menaikkan gajinya. Ia mengunjungi mantan pacarnya dan memberikan mereka hadiah natal. Ia yang dulunya bermuka senduh. Kini menampakkan sukacita kepada semua orang. Uncle Scrooge telah meninggalkan hidupnya yang lama kini telah menjalani hidup baru.
Yang jadi perenungan adalah; apakah yang sebenarnya menjadi orientasi dan tujuan akhir hidup ini? Karena hal tersebut yang akan banyak mempengaruhi perilaku, termasuk pola hidup sederhana kita. Saya teringat pepatah timur yang ditulis kembali oleh Paulus Winarto; ‘When you were born, you cried, and the world rejoiced. May you live your life so that when you die, the world will cry, and you will rejoice’. Anda setuju?#