21 Januari 2008

Neo-Tribalisme Sepak Bola Indonesia

Oleh Andika Hadinata
(Rohaniwan saat ini tinggal di Roma, Italia)

SEPAK bola Indonesia kembali tercoreng. Kali ini terasa menyesakkan karena yang menjadi korban keganasan amuk penonton adalah dua hakim garis. Pengadil pertandingan itu dipukul saat bertugas, yang menyebabkan mereka terkapar di lapangan. Tragis.
Peristiwa yang membuat kita mengelus dada itu terjadi pada hari pertama perhelatan babak Delapan Besar Liga Djarum Indonesia (LDI) XIII Grup A di Stadion Brawijaya, Kediri, Rabu malam (16/1). Pertandingan Persiwa Wamena kontra Arema Malang yang ternoda itu akhirnya dihentikan pada menit ke-71 dengan keunggulan sementara 2-1 untuk Persiwa (Jawa Pos, 17/1/2008).
Memang sejak putaran kedua kembali bergulir 2007 lalu, bergulir pula rasa cemas menyaksikan aksi-aksi yang mengarah pada neo-tribalisme. Tragedi di Kediri itu sebenarnya hanya repetisi.
Mari kita buka catatan terkait para pendukung klub yang marah kepada lawan. Kita mengelus dana membaca sejumlah pendukung PSIM Jogjakarta menyerbu ke lapangan dan memukul wasit setelah PSIM ditahan imbang Persiba Balikpapan, 2-2, pada laga Grup II di Stadion Mandala Krida, Jogjakarta, Minggu (2/9/2007).
Ulah pendukung atau bobotoh Persib mengintimidasi dengan meluncurkan kembang api ke lapangan saat tim Persib melawan Persela Lamongan di Stadion Siliwangi, Bandung, Rabu (22/8/2007) lalu juga menyebarkan teror atau ketakutan. Bayangkan, mereka melempari bus tim Persela dengan batu di perempatan dekat hotel tempat tim tamu itu menginap.
Flashback lagi saat Persija menekuk Persib 1-0 di Stadion Lebak Bulus, Jakarta, Kamis (16/8/2007). Kemenangan itu dikotori ulah anarkis ‘’Jakmania’’ yang memasuki lapangan membuat laga ditunda selama lebih kurang 20 menit. Setelah pertandingan usai, aksi anarkis berlanjut ke bus para pemain Persib. Kita juga belum lupa aksi lempar batu dan kerusuhan jalanan setelah Persita menjamu Persija yang berkesudahan 0-3 (7/8/2007). Iring-iringan 10 mobil yang membawa pendukung Persija juga ditimpuki batu, 700 polisi kelabakan dan 11 orang terluka.
Masih banyak kejadian yang menunjukkan makin kentalnya nuansa yang menjurus ke neo-tribalisme dalam kompetisi Ligina kali ini. Pertandingan selalu menyuguhkan kekerasan, dari skala ringan hingga berat. Pendukung bola, khususnya dalam pertandingan derbi sekota atau seprovinsi, seperti tim-tim dari Jatim hampir selalu terlibat adu mulut, adu pukul, atau saling lempar batu.
Konyolnya, aparat tidak tegas sama sekali, bahkan terkesan membiarkan aksi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hendak dijunjung dalam pertandingan sepak bola, seperti sportivitas, termasuk dalam menyikapi kekalahan tim yang didukung. Tidak jarang, pertandingan bola akhirnya menjadi semacam perwujudan orgi agresi untuk menghancurkan lawan.
***
Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap manusia, termasuk orang suci sekalipun, punya naluri agresi. Apalagi Sigmund Freud, Bapak Psikoanalisa, juga pernah menyatakan, manusia adalah makhluk rendah yang dipenuhi kekerasan, kebencian, dan agresi.
Nah, jika naluri agresi itu bersifat kolektif atau menjadi semangat korps kesukuan (tribalisme), maka jelas kian masif dan mengerikan dampaknya. Kalau seorang pendukung bola melempar satu batu, mungkin dampaknya masih belum seberapa, meskipun satu batu bisa membuat bocor kepala. Tapi, bagaimana jika serombongan orang, taruhlah 50 atau 500 pendukung bola, melempar batu kepada pemain atau pendukung lawan?
Di ajang bola, kita sudah pernah melihat aksi neo-tribalisme yang mengerikan dalam tragedi Heysel, yang menewaskan 39 orang pada 29 Mei 1985. Dalam pertandingan antara Liverpool dan Juventus ajang Champions itu, naluri tribalisme atau kesukuan dari kelompok suku kanibal saat mengelupasi kepala lawan dipertontonkan lagi di alam modern justru di Eropa yang mengklaim sebagai jantung peradaban dunia.
Kita juga masih ingat kasus tribalisme dalam skala antarnegara yang disebut futebol war antara El Salvador versus Honduras pada Juni 1969 yang menewaskan 2.000 jiwa. Meski sudah juara dunia empat kali, Italia juga terus terancam kekerasan bola. Ada polisi yang menembak tifosi hingga mati seperti di Milan serta tawuran antar penonton khususnya dalam partai derbi. Bahkan, kekerasan bola di antaranya pernah dibahas secara khusus dalam sidang kabinet Italia (Rabu 07/02/2007).
***
Perkembangan kekerasan dalam sepak bola Indonesia sudah menunjukkan naluri purba manusia yang biadab berpotensi meledak dalam skala yang lebih mengerikan. Padahal, ketika putaran Piala Asia digelar di Piala Asia 2007 lalu, sempat muncul kebanggaan melihat betapa matang dan dewasanya penonton sepak bola Indonesia. Mereka menonton dengan tertib, baik, dan bergembira. Kita berharap tragedi Heysel tak berulang di negri ini.
Karena itu, Erich Fromm atau Sigmund Freud mengingatkan agar naluri agresi itu tidak sampai menghancurkan orang lain, manusia juga perlu mengembangkan naluri cinta yang ada dalam dirinya. Jadi, jangan sampai naluri agresi yang destruktif itu terus dipelihara dan dituruti.
Sepak bola memang seharusnya mampu menjadi kekuatan peradaban seperti ditunjukkan Christiano Ronaldo kepada bocah Martunis dan tribute untuk almarhum Antonio Puerta dalam Piala Super Eropa di Monaco baru-baru ini. Jangan sampai bola memerosotkan derajat kita lebih rendah daripada binatang.#