Oleh dr Taufiq Pasiak
MANTAN Presiden Soeharto adalah fenomena unik. Ketika hidup, sakit dan koma ia menunjukkan banyak hal yang unik. Kerusakan otak akibat penyakit strok yang dideritanya berlangsung secara tak umum. Karena sekalipun sedang sakit ia masih bisa melakukan hal-hal yang lazim dilakukan orang normal. Ia masih berpikir dengan baik, mencerna setiap berita tentang dirinya secara tepat dan arif, masih tersenyum hangat, welcome, dan tak menunjukkan perubahan kepribadian sebagaimana ditemukan pada sebagian besar penderita strok terutama yang merusak otak bagian depan (lobus frontal). Dalam usia lebih dari 80 tahun ia masih tampak cerdas dan tak menunjukkan gejala-gejala kepikunan. Untuk diketahui, mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen dan Paus Paulus Johanes menderita Parkinson pada usia-usia 80-an tahun. Saat menjelang ajal pun Pak Harto masih memberikan misteri dan keunikan. Di Indonesia dia adalah orang pertama dan mungkin satu-satunya yang dilayani dengan segala macam ilmu dan teknologi kedokteran tercanggih. Kasus Pak Harto adalah pertunjukkan besar-besaran tentang kemajuan dan kehebatan teknologi. Ia menyedot biaya rata-rata 100 juta perhari untuk sebagian besar alat pertahanan hidup yang disediakan. Organ pencernaan dan otak (batang otak) merupakan organ terakhir yang masih bertahan (sampai saya membuat tulisan ini). Sekalipun, jujur saja, kehidupan pak Harto itu adalah kehidupan vegetatif. Mirip dengan kehidupan tanpa pikiran sadar. Saya yakin, sekalipun tampak ada reaksi terhadap rangsangan tertentu, tetapi itu adalah perilaku tak sadar. Artinya, cortex cerebri (otak berpikir) Pak Harto, tempat segala pikiran sadar diramu, diterjemahkan, dipadukan dan direncanakan, sudah tidak berfungsi lagi. Formatio Reticularis—semacam bel pintu masuk ke otak berpikir—merupakan bagian otak terbesar yang masih berfungsi dengan baik. Pak Harto belum mengalami MBO (mati batang otak) yang memungkinkan dia dinyatakan mati secara klinis. Alat-alat bertahan hidup yang dipasang di seluruh tubuhnya hanya sanggup membuat Pak Harto Awake, tetapi tidak Aware! Karena itu, secara hukum Pak Harto tidak laik dan tidak boleh menjadi subyek hukum.
TRANPLANTASI OTAK
Kawan saya, seorang penjual koran keliling di Manado, memberikan ide menarik kepada saya. Ia rela menjual otaknya—ia memberikan harga 1 triliun saja!—untuk dipindahkan ke otak Pak Harto. Ia melakukan ini karena sudah lelah berjualan koran, tetapi tidak pernah menjadi kaya. Ia rela mati agar 3 orang anaknya memiliki uang banyak dan terjamin hidup mereka di kemudian hari. Menurut pendapatnya, otaknya cukup bagus jika dipindahkan ke kepala Pak Harto. Apalagi, otaknya belum banyak dipakai untuk hal-hal yang kurang baik. Katanya, otaknya masih fresh sehingga masih bagus untuk dipakai. Apakah ada kemungkinan transplantasi otak? Ini pertanyaan sederhana, tetapi sulit dijawab. Secara teoritis harusnya boleh, tetapi pada praktiknya sulit dilakukan. Paus Paulus Johanes adalah seorang kandidat untuk transplantasi sel saraf pada daerah otak bernama ganglia basalis. Ini daerah yang terganggu sehingga Paus menjadi gemetaran (tremor) terus menerus, berjalan tertatih-tatih dan tulisan menjadi seperti cakar ayam (Hebatnya, pusat berpikir tidak mengalami gangguan)
Tahun 2001 para ahli otak bekerja sama dan serius membuat sebuah instrumen untuk mengirim sinyal dari otak ke luar otak. Namanya BrainGate. Alat ini bekerja dengan cara menangkap sinyal sel-sel otak yang memungkinkan pemakainya melakukan kegiatan seperti mengirim pesan suara, mengirim surat elektronik, menyalakan televisi serta lampu, mengendalikan peralatan medis dan pengobatan, menggerakkan anggota tubuh, mengontrol pencernaan dan kandung kemih dengan bantuan alat khusus. Prosedur kerjanya sebagai berikut; 1) pengguna memikirkan keinginannya, 2) chip sensor menangkap sinyal listrik yang muncul karena adanya pikiran itu, 3) sinyak dikirim ke konektor di tengkorak kepala, 4) amplifier memperkuat arus listrik, dan 5) sinyal dikirim ke komputer untuk diolah dan dieksekusi. Alat ini direncanakan mampu membaca keinginan manusia dan menerjemahkannya menjadi sinyal listrik untuk dipindahkan ke komputer. Jika terlaksana ide ini, maka untuk mengirim pesan cinta pada pasangan Anda, Anda tidak usah repot-repot menulis surat atau mengirim SMS penuh kata-kata cinta. Anda cukup berpikir tentang cinta padanya, maka seketika perasaan itu akan diterjemahkan komputer untuk kemudian dicetak (misalnya) atau dikirim ke pasangan Anda. Kebencian Anda pun—sekalipun cuma dalam pikiran—akan dapat ditangkap dan diolah.
Ide tentang penanaman alat (planting) sudah menjadi pikiran para ahli otak sejak lama. Sejauh yang saya ketahui, para ahli otak di Amerika sedang berupaya membuat semcam chip yang berisi sejumlah memori yang dapat ditanamkan pada bagian tertentu otak. Jika Hippocampus Anda rusak—atau secara sengaja dirusak—maka kerusakan itu dapat diganti dengan sebuah chip yang membuat Anda memiliki memori baru. Cerita tentang ini dapat Anda tonton dalam film-film layar lebar. Salah satunya berjudul Mnemonic. Sejauh yang saya tahu pula penanaman sel-sel induk (stem cell) telah mulai dilakukan dan memberikan hasil yang cukup prospektif. Sekalipun tingkat keberhasilannya baru pada hewan coba, tetapi prospek untuk diterapkan pada manusia cukup bagus.
Pada 1978 Halgren dan koleganya memublikasikan hasil analisis retrospektif mereka soal efek mental dari 3495 kali stimulasi listrik dua sisi otak (bilateral) pada otak bagian samping (lobus temporalis medialis) pada 36 orang subyek. Dari analisis itu Halgren dan Koleganya menemukan bahwa 92 persen stimulasi gagal menimbulkan respon mental seperti sensasi, imaji, pemikiran, reaksi emosional dan sejenisnya. Dari riset-riset itu juga ditemukan bahwa perubahan mental yang dipicu oleh stimulasi listrik pada LTM sangat bervariasi, berbeda dan idiosinkratik. Dari riset ini sebagian ahli menyimpulkan bahwa sangat sulit untuk memicu pengalaman mental tertentu dengan menggunakan alat yang ditanam atau dipasang dari luar. Mungkin, untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan fungsi gerakan (motorik), seperti kasus Parkinson atau penyakit Huntington, perangsangan bisa terjadi. Namun, pengalaman mental merupakan sesuatu yang unik dan spesifik pada seseorang. Demikian halnya untuk pengalaman mental tingkat tinggi, yakni pengalaman spiritual. Anda tidak mungkin memasangkan sejumlah chip atau elektroda untuk membuat saya merasa ‘menyatu’ dengan Tuhan, atau menimbulkan sensasi ketenangan yang amat sangat. Meskipun, pengalaman spiritual itu sendiri bisa dipicu oleh obat-obatan (misalnya, asam Lisergik/LSG), tetumbuhan tertentu, atau ritual tertentu.
Analisis retrospektif terhadap upaya-upaya planting atau stimulasi ini membuktikan bahwa adalah tidak mungkin secara sistematik menginduksi pengalaman mental spesifik (misalnya, pengalaman spiritual) dengan merangsang lobus temporal dengan listrik maupun magnet. Karena itu, teknologi untuk penanaman chip bagi pembentukan pengalaman mental tertentu adalah tidak mungkin. Ini, antara lain, karena program otak setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Lain halnya, kalau Anda bermaksud membentuk manusia yang baru. Itu pun tanpa perlu penanaman chip di otak. Teknik brainwashing yang dipakai dalam perang Korea dapat mengubah kepribadian orang.
Karena itu, dengan sangat menyesal, saya katakan pada kawan saya, bahwa otaknya tidak mungkin dibeli oleh keluarga Suharto. Saya sendiri kuatir jangan-jangan Pak Harto—andaikata dia sadar setelah diganti otaknya—akan menjadi penjual koran keliling. Wallahu a’lam.#