09 Januari 2008

Ruang Terbuka Hijau di Atap Gedung Kota

Oleh Deddy W Damopolii ST

(Mahasiswa Program Magister Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang)

Atap Hijau di Atas Gedung

Ketika issue Pemanasan Global (Global Warming) mulai menggema, serta merta hal ini menumbuhkan semangat bagi para perencana kota untuk lebih mengedepankan masalah lingkungan dalam perencanaannya. Terutama dengan keterbatasan lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan yang mendukung kehidupan dalam kota itu sendiri. Para perencana kota, terutama di kota-kota besar dunia mulai bergairah untuk ikut dalam program untuk mengatasi dampak global warming. Walaupun sebenarnya isu-isu tentang penyelamatan lingkungan kota sudah dikenal lama dalam ilmu perencanaan kota.

Jepang, merupakan salah satu negara yang sangat concern dengan isu mengenai masalah lingkungan ini. Sebagai bukti nyata, Tokyo yang merupakan kota terpadat di Jepang sudah mulai dengan konsep penyelamatan ruang terbuka hijau di kotanya. Hal ini juga dapat kita temukan pada kota-kota besar lain di Jepang seperti Kyoto dan Osaka. Karena keterbatasan lahan di kota-kota tersebut para perancang kota dan arsitek mulai mengalihkan RTH berupa taman-taman pada atap bangunan atau dengan kata lain Taman Melayang (Sky Garden). Hal ini sebagai suatu solusi untuk menyediakan lahan terbuka hijau pada kota dengan lahan terbatas. Taman yang didesain dan dibuat tersebut bukan hanya merupakan taman hijau biasa (pasif), namun taman aktif sebagaimana taman di darat. Artinya dapat menghadirkan suatu ekosistem hijau buatan dengan fungsi hampir mendekati kemampuan taman di darat. Sudah tentu dengan rekayasa teknologi yang melibatkan berbagai aspek ilmu seperti ahli pertanian, ahli lingkungan, arsitek, ahli bangunan sipil, listrik dan sebagainya. (Ellisa, Evawani. Kompas 2007).

Tanggapan

Bagaimana dengan Indonesia? Kota-kota besar yang ada di Indonesia sebenarnya memiliki masalah yang sama dengan kota-kota di Jepang maupun kota-kota besar lainnya di dunia.

Kota-kota di Indonesia pun memiliki masalah dengan keterbatasan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau. Dimana lahan sudah habis terbangun karena sifat land hungry (lapar lahan), yaitu sifat mengonsumsi lahan perkotaan untuk dijadikan built-space (lahan terbangun).

Akibatnya jumlah lahan terbuka hijau makin lama makin berkurang. Menurut Evawani untuk memperoleh lahan terbuka di Kota Jakarta misalnya, dengan lahan seluas 66.126 Ha dan ruang hijau 9 persen atau 5.951 Ha saja perlu membebaskan sekitar 13.000 Ha lahan bila ingin memenuhi patokan lazim 30 persen lahan Ruang Terbuka Hijau sesuai dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Dimana disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa minimal jumlah RTH adalah 30 persen dari luas kota dengan perincian 20 persen untuk RTH Publik dan sisanya 10 persen untuk RTH Privat. Hal ini menunjukkan bahwa Jakarta masih memerlukan sekitar 21 persen lahan RTH yang sudah tentu sangat sulit untuk memenuhinya. Mengingat jumlah lahan yang tersedia di Jakarta sangat terbatas, di samping itu semangat untuk mengubah lahan terbuka menjadi lahan terbangun masih sangat gencar.

Berdasarkan pengalaman yang dilakukan oleh perencana kota dan arsitek bangunan di Jepang dan negara-negara lain di dunia, masalah keterbatasan lahan dapat diakali dengan pemanfaatan atap gedung yang datar sebagai pengganti Ruang Terbuka Hijau di darat.

Bangunan gedung yang menjulang di tengah kota yang padat, pada atapnya (yang datar) dibangun taman aktif. Ditanami tanaman perdu, rumput, pohon bahkan sawah pun dibuat di atasnya. Hal ini dapat pula diterapkan pada bangunan-bangunan gedung yang ada di Jakarta atau kota-kota lain di Indonesia yang memiliki masalah yang sama. Lahan yang terbatas di darat (tanah permukaan) pun tidak menjadi masalah bagi ketersediaan akan ruang hijau terbuka. Atap bangunan gedung disediakan sebagai tempat untuk mewujudkan ruang terbuka hijau. Bangunan gedung dibuat dengan konstruksi kuat dan atap datar agar lebih mudah dalam penanganan. Dengan lapisan tanah yang cukup dalam (2 meter) sehingga apabila ditanami dengan pohon, akarnya masih dapat leluasa menjalar. Sudah tentu dalam pelaksanaan memerlukan kerja sama antara arsiteknya dan ahli-ahli lain yang berkaitan dengan pekerjaan.

Atap hijau di atas gedung di kota-kota Indonesia sekarang ini masih bersifat pasif saja. Artinya belum dapat berfungsi sebagai sebuah ekosistem seperti atap hijau di Jepang. Namun jika suatu saat dibuat dengan perencanaan yang baik, bukan tidak mungkin dapat menjadi suatu ekosistem baru yang lengkap dengan flora dan fauna, dimana dapat ditemukan di dalamnya hewan-hewan seperti burung, belalang dan serangga lain seperti yang dapat kita lihat di taman darat. Untuk itu perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat kota, terutama kepada para pengusaha (swasta) untuk men-development ruang hijau terbuka di atap bangunan karena keterbatasan lahan di darat. Sebenarnya bukan hanya di atas bangunan gedung tinggi yang dapat dilakukan penghijauan. Pada rumah-rumah biasa atau bangunan yang berlantai 1 pun dapat diterapkan. Rumah-rumah yang terbangun berderet-deret dengan lahan terbatas dapat dilakukan penghijauan. Namun dengan cara yang tidak serumit di atap gedung. Penghijauan dapat dilakukan dengan pembuatan taman-taman mini atau dengan sistem tanaman digantung. Dengan kata lain tidak ada lahan atau tempat yang disia-siakan, semua ruang kosong harus diisi dengan tanaman.

Sisi Positif

Menurut Evawani, begitu banyak keuntungan yang didapatkan dengan memanfaatkan bagian atap bangunan gedung sebagai ruang terbuka hijau baru di kota. Selain sebagai alternatif penyediaan ruang terbuka hijau di kota-kota yang memiliki lahan terbatas, banyak keuntungan lain yang didapatkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Mal Namba Park di Jepang, atap hijau Namba Park dapat mengurangi panas dan menurunkan suhu di permukaan hingga 170 Celcius. Hal ini mengurangi penggunaan energi listrik untuk mendinginkan suhu ruang. Selain itu dapat berfungsi sebagai ruang rekreasi untuk menikmati hijaunya taman, kicauan burung dan kepakan sayap kupu-kupu seperti lazimnya taman biasa di darat. Suasana yang hijau dan nyaman dapat menurunkan stress bagi karyawan di gedung atau sebagai sarana rekreasi alternatif bagi anak-anak.

Secara umum RTH pada atap hijau di atas gedung bertingkat memiliki fungsi yang relatif sama dengan RTH di darat apabila direncanakan sebagai taman aktif yang membentuk suatu ekosistem hijau mini. Adapun fungsi positif yang menguntungkan adalah RTH berfungsi sebagai penyerap panas dan cahaya (silau). Rumput misalnya, mampu menyerap 80 persen panas dan hanya memantulkan 20 persen sisanya saja kepada lingkungan sehingga dapat menurunkan suhu di perkotaan (Frick & Mulyani, 2006 ; 44). Selain itu juga RTH dapat menurunkan polusi udara kota, setiap pohon misalnya dapat menyerap CO2 dan menyediakan 1,2 Kg O2/hari. Sehingga menunjang kebutuhan ketersediaan oksigen untuk bernapas bagi penduduk kota dan mengurangi dampak akibat karbondioksida yang merugikan kesehatan. Secara garis besar Purnomohadi, Ning; 2007, menyebutkan bahwa fungsi ideal penyelenggaraan RTH di perkotaan adalah :

- sebagai identitas (bio-geofisik) kota

- upaya pelestarian plasma nuftah

- penahan dan penyaring partikel padat dari udara

- ameloriasi iklim

- pelestarian air tanah (air hujan digunakan untuk tanaman di atap)

- penapis cahaya silau

- meningkatkan keindahan

- habitat flora/fauna

- mengurangi stress

- meningkatkan industri pariwisata (tempat rekeasi baru)

Sangat besarnya fungsi RTH atap gedung di kota-kota di Jepang saat ini mengarahkan para perencana untuk memanfaatkan lahan atap bangunan yang ada sebagai RTH baru. Tokyo sebagai salah satu kota terpadat di dunia dengan ketersediaan lahan hijau yang sangat sedikit pun memanfaatkan atap bangunan sebagai RTH. Hal ini untuk menjaga kelestarian lingkungan demi kepentingan masyarakat pengguna dan penghuni kota tersebut. Sekarang ini saatnya kita meniru Jepang dalam hal pemanfaatan atap gedung sebagai RTH baru.

Tantangan dan Harapan

Dalam hal penerapannya di kota-kota besar di Indonesia terutama di Kota Jakarta, RTH di atap gedung masih menghadapi tantangan yang berasal dari pemilik gedung itu sendiri. Dimana sebagian besar gedung bertingkat yang ada di Jakarta atau kota-kota di Indonesia dimiliki oleh pengusaha (swasta) sehingga perlu suatu pendekatan dan sosialisasi dan kerja sama yang baik untuk mewujudkannya. Selain kepemilikan gedung, masalah lain adalah konstruksi bangunan yang dibuat adalah sebagai bangunan gedung biasa. Oleh karena itu perlu diperkuat dengan rekayasa konstruksi tertentu apabila akan membangun RTH di atas atap bangunan. Selain itu perlu pendekatan perancangan multidisiplin ilmu terhadap perancangan gedung baru agar hasil rancangan dapat selaras dengan alam dan ramah lingkungan. Lessons learned yang bisa diambil dari kasus tersebut adalah bahwa apapun masalah pasti memiliki pemecahan apabila ada usaha proses pencarian jawaban akan suatu permasalahan. Dalam arti bahwa, ketika masyarakat kota mengalami masalah lingkungan akibat berkurangnya lahan hijau terbuka karena banyak lahan terbangun, alternatif lain yang dapat menjadi pemecahan adalah dengan menggunakan atap bangunan gedung sebagai RTH baru. Hal ini dapat di renungkan oleh perencana (kota) untuk dapat berpikir bagaimana memecahkan masalah kota dengan memaksimalkan potensi dengan segala keterbatasan yang ada serta bagaimana meminimalisir dampak negatif akibat proses pembangunan, semuanya sudah tentu untuk kepentingan dan kelangsungan berkehidupan bagi manusia (serta alam/lingkungan) sebagai objek tujuan perencanaan.#