28 Januari 2008

DAS Ongkag Mongondow Perlu Penanganan

Oleh Ir Fauzi Bahalwan
(Consultant dan pernah sebagai pesuruh pada Dinas Survay Pusat Penyelidikan Listrik Tenaga Air)

SELAMA penghujung tahun 2007 hampir setiap saat media televisi menyuguhkan berita Pertemuan International Perubahan Iklim yang melanda planet bernama bumi. Pada pertemuan tersebut menjadi arena saling tuding, saling unjuk keras kepala untuk sebuah rumusan penanggulangan ataupun solusi perbaikan kerusakan bumi. Dalam skala nasional sudah beberapa tahun ini kita pun disuguhkan berita bencana alam yang tidak henti-hentinya melanda bumi persada Indonesia. Mulai dari yang maha dahsyat tsunami, gunung meletus hingga banjir yang tidak pernah berhenti bergantian melanda berbagai daerah. Sungguh dzalim kita telah menuduh bahwa semua bencana yang terjadi itu dari Allah Sang Maha Pencipta dan Pemelihara. Kita dengan seenaknya bersembunyi di balik kata-kata bijak bahwa Allah menguji kita umat manusia dengan menurunkan bencana. Apakah demikian? Apakah Allah menguji rakyat Aceh dan Porong Sidoarjo dengan cara menurunkan bencana di saat segelintir orang tengah orgasme menyetubuhi bumi dengan baja sekian ratus meter? Apakah Allah menurunkan bencana air bah buat rakyat dan Tanah Mandailing, Sulawesi Barat, Jakarta dan seluruh wilayah Indonesia di kala segelintir monster bernama manusia bertopeng pengusaha, pejabat dan petugas berperilaku sadis machohis mencapai ejakulasi dengan mencabuti rambut bumi, meng-curret rahim bumi? Duh… kita harus segera berbondong-bondong memohon ampun, melakukan pengakuan dosa pada Tuhan bahwa kitalah manusia yang menurunkan bencana, bukan Tuhan. Bahwa kita telah mencabuti rambut kepala bumi sehingga bumi kepanasan, pusing dan gemetaran. Bahwa kita telah menusuk bumi sehingga bumi kesakitan, keringat dan muntah-muntah. Bumi sempoyongan terkencing-kencing itulah bencana buat manusia dalam wujud banjir, gempa bumi, tanah longsor.
Sekarang bagaimana dengan Bolaang Mongondow? Banjir yang melanda Lolayan, Dumoga, Pantai Utara dan Pantai Selatan apakah itu juga bencana dari Allah? Itu bencana dari torang sandiri orang Mongondow. Tahukah kita bahwa DAS Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga sudah kritis? Atau tidak sempat tahu bahwa demikian pula yang terjadi pada DAS Ayong dan Sangkub.
Riwayatmu Dulu //Sub
Kalau kita mau mengingat 20-an tahun lalu atau sebelum tahun 80-an, pasti masih terbayang dengan jelas bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Ongkag Mongondow dan Ongkag Dumoga masih penuh dengan hutan belantara. Punggung pegunungan daerah Lolayan yang berbatasan dengan Pantai Selatan benar-benar masih hutan sebagai daerah tangkapan/areal penangkapan air hujan (catcment area). Ongkag Mongondow masih jernih, masih dipenuhi ikan Tawes yang cukup dipancing dengan umpan daun jagung saja. Fungsi DAS masih terjaga sebagaimana mestinya yaitu sebagai penyeimbang siklus hidrologi. Di mana air hujan yang jatuh di DAS, sebagian disimpan dalam tanah sebagai storage atau simpanan, melalui proses infiltrasi, sebagian menguap dan kelebihannya langsung dialirkan ke sungai sebagai aliran permukaan disebut run off. Dengan demikian jika curah hujan tinggi tidak akan terjadi banjir besar, demikian juga saat kemarau, debit sungai tidak akan berkurang secara ekstrim. Land cover/vegetatif penutup DAS Ongkag Mongondow sebagian besar terdiri dari pegunungan/perbukitan masih berupa hutan 34.6 persen. Sebagian pedataran yang berada di sekitar aliran sungai berupa sawah 24.8 persen, Tegalan 33.6 persen, pemukiman 7 persen, masih seimbang. Daerah tangkapan air DAS Ongkag Mongondow berasal dari pegunungan tersebut dengan puncak-puncaknya Gunung Poniki (1817 M), Mogonipa, Bobungayon (1209 M), Ambang (1780 M), Lembut (1568 M) dan Gemantang (1238 M). Sementara Sungai Ongkag Mongondow berhulu di Gunung Bobungayon pada ketinggian 800 M di atas permukaan laut, selanjutnya melintasi desa-desa di sebagian Kecamatan Lolayan, Kota Kotamobagu, Kecamatan Pasi. Untuk selanjutnya mendekati muara di Pantai Inobonto bergabung dengan Sungai Ongkag Dumoga. Sungai Ongkag Mongondow mempunyai beberapa anak sungai antara lain Sungai Kotulidan yang berhulu di Kecamatan Pasi, Sungai Moayat yang berasal dari Gunung Ambang atau sering disebut orang Kuala Putih karena mengandung Belerang. Pada masa DAS Ongkag Mongondow masih terjaga kita tidak pernah mengalami banjir besar. Karena pada masa tersebut hutan masih terjaga. Sesuai data pada tahun 80-an, bahwa water holding capacity (kemampuan DAS menahan air) sebesar 150 mm. Sementara data curah hujan tertinggi dari pengamatan 20 tahun untuk Hujan Max Return Period 50 Tahun pada Pos Pengamatan Stasiun Modayag hanya 151 mm, Stasiun Kotamobagu 146 mm dan Stasiun Lobong 147 mm. Bahkan untuk Return Period Hujan Max 100 Tahun hanya 165 mm. Dari data pembanding di atas maka tidak heran jika pada masa lalu kita tidak pernah mengalami banjir besar seperti masa-masa kini. Curah hujan secara keseluruhan dari 3 stasiun pengamatan tersebut di atas dan debit tertinggi pada site Lobong dimana Sungai Ongkag Mongondow sudah bergabung dengan anak-anak sungainya terjadi pada 1934. Dimana curah hujan rata-rata mencapai 329 mm, debit Sungai Ongkag Mongondow mencapai 38,91 m3/detik, sementara debit rata-rata hanya 21.6 m3/detik. Dan itupun tidak sampai melimpah dari penambang sungai yang ada.
Kondisimu kini //Sub
Saat ini kalau kita mau realistis, sepanjang pegunungan dari Bungko, Bakan hingga Matali Baru sudah berubah fungsi menjadi kebun. Sudah tidak ada lagi hutan. Demikian juga sepanjang pegunungan mulai dari Tungoy, Tanoyan, Mengkang hingga Bobungayon pun tidak berbeda. Pada akhir tahun 80-an sejak ditemukannya emas di perbukitan Tanoyan hingga pegunungan Bobungayon, bersamaan dengan selesainya masa HPH Centralindo dengan area dari Pantai Selatan hingga puncak pegunungan Bakan. Merupakan awal dari perubahan fungsi DAS Ongkag Mongondow. Tidak ada lagi hutan nun di pegunungan Bakan. Semuanya beriringan - seiring kebutuhan negara kita akan anggaran pembangunan, seiring kebutuhan masyarakat akan kebutuhan bukan primer - maka perlu diberdayakan sumber daya yang ada. Untuk itu dilakukanlah eksploitasi sumber daya permukaan dan perut bumi. Salahkah demikian? Salahkah pembabatan hutan jika untuk kebutuhan kayu pembangunan gedung sekolah? Salahkah Avocet yang konon mulai merambah pegunungan Bakan dan Tanoyan untuk selanjutnya membedah perut buminya bahkan dengan peledakan, jika untuk alasan pemasukan devisa negara? Salahkah masyarakat Monalun – membuka hutan untuk dijadikan kebun- jika untuk kebutuhan perut? Jawabannya tidak ada yang salah. Namun harus tetap dipertahankan keseimbangan. Kenapa harus demikian dan keseimbangan seperti apa? Tahukah kita bahwa sekarang banjir bandang sudah sering terjadi. Banjir bandang yang melanda desa-desa di Kecamatan Lolayan tahun 2006 lalu terbukti membawa material batu, pasir, kerikil dan gelondongan kayu. Itu semua menjadi signal buat kita bahwa kondisi DAS Ongkag Mongondow sudah kritis. Banjir bandang tidak pernah terjadi sebelumnya. Sama halnya banjir yang menyebabkan Desa Solog untuk yang kedua kalinya terendam sehingga jalur Trans Sulawesi selama seminggu tidak bisa dilalui kendaraan. Banjir Return Period yang seharusnya terjadi setiap puluhan tahun kini hanya sekian tahun kembali terjadi.
Perlu Keseimbangan Alam //Sub
Haruskah masyarakat dilarang monalun? Apakah para pemilik chain saw harus diburu? Apakah pemerintah harus membatasi izin Avocet melakukan eksploitasi di DAS Ongkag Mongondow? Atau kita harus mencari kambing hitam demi mengembalikan kondisi DAS Ongkag Mongondow. Tentu kita perlu pikiran jernih dan bersikap arif untuk keberpihakan pada masyarakat dan alam ini tanpa merugikan pihak manapun. Kita harus berpedoman bahwa alam dicipta untuk diberdayakan manusia. Bukan untuk dirusak. Semua harus seimbang. Tuhan menciptakan alam dan isinya dengan konsep keseimbangan. Ada siang ada malam, ada manis ada asin dan seterusnya ada hutan ada kehidupan. Sangat sederhana. Kembalikan kondisi DAS Ongkag Mongondow secara proporsional. Kembalikan hutan DAS Ongkag Mongondow sekian hektar agar dapat menyimpan air untuk kebutuhan musim kemarau. Ketahuilah bahwa air di muka bumi ini tidak pernah bertambah ataupun berkurang jumlahnya. Air hujan tidak pernah bertambah sehingga terjadi banjir, dan tidak pernah berkurang sehingga menyebabkan sungai kering. Banjir yang terjadi karena tidak ada lagi penampungnya berupa hutan, sehingga semua air hujan langsung menuju sungai yang juga kapasitas tampungnya terbatas. Akibatnya air melimpah dan datangnya secara tiba-tiba. Hutan tidak sanggup lagi menyimpan air guna kebutuhan musim kemarau. Artinya sudah tidak ada lagi keseimbangan pada alam, siklus hidrologi sudah kacau ibarat pembuluh darah pecah pada penderita hypertensi. Konsep pokok hidrologi yang dinamakan ‘’water balance’’ atau konsep keseimbangan air di bumi sudah terganggu. Jika DAS Ongkag Mongondow tidak segera dikembalikan fungsinya, tidak mustahil 5 tahun ke depan, banjir bandang terjadi setiap tahun. Dan yang akan merasakan langsung akibatnya adalah masyarakat sepanjang DAS serta desa-desa yang berada di kaki bukit DAS Ongkag Mongondow.
Sebaiknya Bagaimana? //Sub
Tidak ada kata terlambat untuk suatu kebaikan DAS Ongkag Mongondow harus segera dikembalikan kondisinya. Untuk itu perlu diambil langkah berupa:
1. Harga mati untuk menghutankan kembali punggung DAS Ongkag Mongondow. Tidak boleh tidak. Tidak ada salahnya kita meniru Kabupaten Indragiri Hulu Riau dengan Gerakan Sejuta Sungkay. Mungkin kita dengan Gerakan ‘’Sejuta Nantu untuk DAS Ongkag Mongondow’’. Kemudian ditambah Gerakan ‘’Nantu 10 in 1’’ atau wajib bagi petani menanam 10 pohon nantu untuk setiap hektar kebun. Paling tidak pada 2025 Dinas Kehutanan memiliki jutaan m3 kayu nantu dan masyarakat jika membangun rumah tidak lagi harus kucing-kucingan dengan petugas bagaikan membeli narkoba, untuk kebutuhan beberapa kubik kayu.
2. Bagi panambang baik yang tradisional apalagi skala besar dilarang melakukan penambangan dengan system open cutting atau tambang terbuka. Juga membatasi pembuatan acces road bagi penambang besar. Tahukah bahwa untuk acces road sepanjang 1 KM dengan lebar 10 meter harus membabat hutan seluas 10.000 meter2 atau setara 1 ha. Bayangkan jika acces road sepanjang puluhan kilometer ditambah area penambangan terbuka, berapa ratus hektar DAS Ongkag Mongondow harus dikorbankan. Keadaan akan lebih diperparah dengan dalil jika acces road terbuka pasti lahan di sepanjang jalan tersebut berubah fungsi menjadi kebun. Pengkaplingan lahan, pengalihan fungsi hutan menjadi kebun bukan hal aneh yang terjadi di area HPH dan konsesi lainnya.
3. Pemerintah dalam hal ini Dinas Kehutanan harus tegas menerapkan aturan pada masyarakat, tentang hutan mana saja yang boleh untuk monalun. Juga harus diterapkan aturan tentang jenis tanaman untuk setiap kemiringan tanah. Seperti untuk daerah dengan kemiringan tanah terjal sampai sedang, hanya boleh ditanami tanaman tahunan. Tidak boleh tanaman bulanan. Hal ini untuk menghindari terjadinya penggerusan permukaan tanah akibat hanya ditanam dengan tanaman bulanan. Jika hal ini terus terjadi lama kelamaan lapisan humus habis, yang tersisa hanyalah bukit gundul. Jika demikian maka erosi ataupun tanah longsor hanya tinggal menunggu waktu saja.
4. Perlu di-Perda-kan kewajiban bagi semua pengusaha terutama bagi usaha yang tinggal memanen dari alam tentang kewajiban sekian persen dari hasil, untuk ‘’environt care’’ atau dana peduli lingkungan. Yang ada selama ini baru diterapkan pada industri besar berupa community care yang belum fokus menyentuh lingkungan. Seperti bagi pengusaha penangkapan ikan, wajib menyisihkan sekian persen hasil untuk penanaman hutan mangrove. Apalagi bagi pengusaha kayu ataupun tambang sudah tentu berupa kewajiban penghijauan secara real di lapangan bukan hanya di atas kertas.
Sudah saatnya kita semua tidak terkecuali siapapun, mulai dari pemerintah, pengusaha, petani dan masyarakat segala lapisan untuk mulai memikirkan dan segera action memperbaiki kondisi DAS Ongkag Mongondow. Demikian juga DAS Ongkag Dumoga, Ayong, Sangkub, Bolangitang dan Pantai Selatan Bolaang Mongondow. Tulisan ini tanpa bermaksud mengkambing hitamkan ataupun memprovokasi siapapun, hanya sebagai bentuk ‘’care’’ terhadap Bolaang Mongondow dan Indonesia secara keseluruhan. Kita sudah cenderung menjadi negara yang selalu dihina di mata dunia khususnya negara-negara barat. Predikat tidak enak selalu hanya untuk Indonesia. Di mata Singapura dan Malaysia kita negara pengekspor asap kebakaran hutan. Padahal justru Singapura dan Malaysia-lah tukang tadah kayu curian kita. Semua predikat buruk adalah Indonesia. Penerbangan terburuk, transportasi terburuk dan sekarang sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Lah Freeport, Newmont, Exxon, Caterpilar, Bauer, P&H, Kenwort kenapa tidak melakukan Embargo jika digunakan untuk merusak alam Indonesia. Seperti halnya Embargo Suku cadang F-16 dan Sky Hawk karena digunakan untuk membunuh manusia. Forget it, kita tidak usah memikirkan apa kata dunia, yang kita pikirkan dan harus segera kerjakan saat ini hanya untuk generasi kita akan datang yang akan membawa Indonesia sebagai negara tanpa ketergantungan pada negara lain.#