Oleh Samsul Wahidin
(Guru Besar Ilmu Hukum Unmer Malang)
MENJELANG dan setelah sekian hari Pak Harto dirawat di rumah sakit, masalahnya berputar-putar pada angle kasus hukum yang sedang membelit beliau. Kasus perdata atas penyimpangan dana Supersemar bahkan sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan dipastikan jalan untuk memenangkan perkara ini oleh negara cq Kejaksaan Agung masih panjang dan berliku.
Opini publik berkembang, apakah kasus itu dilanjutkan atau tidak. Berikutnya, bagaimana dengan kasus-kasus terdahulu, khususnya perkara pidana yang di-SP3-kan jaksa agung terdahulu. Perputaran itu telah beralih dari ranah hukum ke ranah politik, bahkan beraroma kuat dipolitisasi. Ini tecermin dari menonjolnya tokoh-tokoh politik yang berkomentar tentang itu.
Para ahli hukum kalah tempat dengan para politisi. Komentar otoritas hukum (Jaksa Agung Hendarman Supanji) juga sangat singkat: kasus perdata Yayasan Supersemar jalan terus dan ketika ditanya apa akan menjenguk Pak Harto, jawabnya belum tertarik.
Masalah Hukum
Sejauh yang disampaikan pakar hukum dan berkembang menjadi opini publik, masalah Pak Harto dapat disederhanakan dengan memilih di antara dua: kasus Pak Harto dilanjutkan atau tidak.
Jawaban atas pemasalahan itu -bagi praktisi hukum- juga sederhana dan sangat jelas. Pertama, asas penyelesaian kasus pidana di dunia ini adalah bahwa penyidikan, penuntutan, dan persidangan berhenti demi hukum ketika tersangka atau terdakwa meninggal dunia.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan kepada subjek yang melakukan, turut melakukan, menyediakan sarana untuk kejahatan, atau tahu adanya kejahatan tetapi tidak melapor. Masing-masing dengan konstruksi hukum yang disertai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Pada klausula khusus, penghentian kasus bisa dilakukan jika subjek hukum tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya, misalnya, karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Ini pun harus didukung kondisi objektif dan bersifat sementara. Ketika kondisi fisik memungkinkan, proses pidana harus berjalan kembali sampai pada dijatuhkannya putusan tentang besalah atau tidaknya seseorang.
Pada kasus Pak Harto jelas, aspek pidananya tidak bisa dimintakan tanggung jawabnya kepada beliau karena sakit permanen. Nawaitu untuk tetap meneruskan perkara pidana -meskipun sekadar niat dan janji- masih tetap akan dilakukan nanti jika kesehatan Pak Harto memungkinkan.
Artinya, dalam hal ini, SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) tidak bersifat permanen. Sewaktu-waktu masih bisa dibuka kembali kalau beliau sudah tidak sakit.
Sebagai produk administratif, sifat keputusan yang dibuat otoritas hukum itu tidak langgeng. Jika pemegang kebijakan berikutnya menilai kebijakan peng-SP3-an itu tidak tepat, bisa dicabut kembali. Maknanya, penyidikan terhadap kasus tersebut bisa dilanjutkan. Dengan catatan tidak melanggar prinsip dasar hukum pidana yang harus ditegakkan melalui fair trial.
Kedua, pada aspek perdata jelas bahwa penuntutan terhadap terjadinya wanprestasi (ingkar janji), onrechtmatigedaad (perbuatan melawan hukum), dan klausula lain yang menjadi dasar penuntutan perkara perdata tidak hapus karena meninggal atau invalidnya tergugat.
Dalam kaitan ini, boedel (harta warisan) yang diterima ahli waris meliputi aktiva dan pasiva dari pewaris. Ahli waris tidak boleh menerima aktiva dengan menghindarkan diri dari tanggung jawab terhadap utang-utang, termasuk perkara atas harta kekayaan pewaris.
Secara teknis memang melalui proses lebih panjang karena semua ahli waris harus digugat dan menyebut secara pasti siapa saja yang menerima warisan tanpa kecuali.
Kesulitannya ialah pada pemisahan harta kekayaan dari tergugat ketika meninggal. Objek gugatan itu berada pada penguasaan siapa. Dalam hal Pak Harto, meskipun suatu ketika beliau tidak ada, proses persidangan perdata tetap jalan dengan subjek tergugat baru, yaitu para ahli warisnya.
Dalam hubungannya dengan aspek perdata ini, ada dimensi lain dari penyelesaian hukum, yaitu lewat Alternative Dispute Resolution (ADR). Namun secara psikologis, khususnya bagi kubu Pak Harto, ada gambaran menurunnya bargaining jika upaya ini ditempuh. Toh dengan cara hukum konvensional ini, sulit dibuktikan terjadinya pelanggaran hukum perdata.
Jalan untuk memenangkan perkara itu bagi negara masih begitu panjang. Sementara biaya perkara yang harus dikeluarkan menjadi keharusan dan itu jumlahnya tidak sedikit.
Masalah Politik
Bahwa Pak Harto, sang smiling general itu, adalah seorang tokoh politik sentral, tak ada yang mengingkari. Namun, ujung kehidupan mantan presiden yang sedang dirundung begitu banyak kasus hukum itu hendaknya tidak lagi dipolitisasi. Hukum memang produk politik, namun kerancuan sistem pemikiran di tanah air adalah adanya pengambilan keputusan hukum oleh otoritas politik. Bahkan, otoritas politik menyampaikannya tanpa beban dan seolah sudah benar.
Kita simak, pengampunan atas berbagai kasus, atau pemilahan sebagian diampuni dan sebagian diteruskan, disampaikan oleh para politisi yang kalau mau jujur justru merupakan pelanggaran hukum.
Paling tidak, kesalahan leading sector ini menjadi tindakan yang bersifat intrutif (perembesan), bahkan campur tangan politik terhadap hukum. Betapa sulitnya menyadarkan kondisi demikian pada para politisi kita yang begitu cerdas membaca situasi untuk kepentingan politik jangka pendek.
Ketokohan politik Pak Harto pada masa lalu masih akan membekas kuat dan ‘’layak jual’’. Itu seharusnya juga dijadikan sebagai media pembelajaran politik, terutama untuk tidak memolitisasi kasus tersebut secara tidak proporsional. Biarkan hukum terus berproses menyelesaikan kasus itu berdasar prinsip-prinsip litigasi dan fair. Di sepanjang sejarah, manakala intrusi politik sudah masuk ke ranah hukum, apa lagi ketika proses peradilan sudah berlangsung, senantiasa berakibat pada jatuhnya putusan yang tidak adil. Kalaulah tidak sekarang, pada suatu saat nanti sandiwara yang merekayasa kasus demi kepentingan politik akan terungkap. Betapa sulitnya kita belajar dari kondisi itu.#