23 Januari 2008

Quality of Life

(Tinjauan medis dan hukum terhadap kondisi kesehatan Soeharto dalam hubungannya dengan Euthanasia)

Oleh Justus Josep Maturbongs SH
(Tinggal di Manado, Pemerhati masalah Hukum dan Kesehatan)

AKHIR–akhir ini, di semua media baik cetak atau elektronik memuat berita utama mengenai kondisi kesehatan Soeharto, mantan penguasa Orde Baru yang mengalami kritis. Situasi di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) di kawasan Jl Kyai Maja, Kebayoran Jakarta Selatan, tak seperti biasanya. Puluhan wartawan dari media cetak, televisi, radio hingga online dari dalam dan luar negeri menyebar di berbagai penjuru rumah sakit. Itupun belum termasuk orang-orang yang datang menjenguk. Mulai dari presiden SBY, Wapres Jusuf Kalla, para menteri, tokoh-tokoh Orde Baru, kalangan selebritis sampai mantan perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad bersama istrinya.
Pada Jumat (11/1) tim dokter kepresidenan menggelar jumpa pers, menjelaskan kondisi Soeharto. Menurut tim dokter yang merawat Soeharto, kondisi mantan penguasa RI yang ke dua itu memasuki fase kritis. Indikasi ini tampak dari kesadaran yang menurun, pernapasan memburuk, cepat dan dangkal serta tekanan darah menurun. Tim dokter bekerja cepat dengan memasang beberapa peralatan medis demi kelangsungan hidup Soeharto. Tim dokter menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator), setelah itu memberikan obat tidur ( somnolent ). Tindakan ini dilakukan untuk menormalkan pernapasan Soeharto, karena jika tidak tidur, ventilator tidak berfungsi dengan baik.
‘’Mau bagaimana lagi, keluarga lebih punya hak untuk menentukan. Padahal kasihan, Pak Harto seperti dipaksa hidup. Karena ventilator yang dipasang itu tidak menambah harapan hidup, hanya memperpanjang “kata Menteri Kesehatan, Siti Fadillah Supari dalam SMS-nya yang di forward ke sejumlah wartawan yang berjaga-jaga di RSPP (Bintang, Edisi 872, Januari 2008). Hingga hari Kamis (17/1), beberapa pihak mengganggap sebenarnya ‘’Pak Harto telah mati’’, tapi secara medis, pria 86 tahun itu masih hidup karena ditopang ventilator. ‘’Kalau bapak bisa pulih, itu keajaiban. Banyak organnya yang sudah rusak. Kuncinya keikhlasan keluarga. Kalau alat dilepas, Pak Harto bisa pergi, tapi keluarga belum mengijinkan, ada yang sudah terima ada yang belum ‘’kata Dr M Munawar Sp JP, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan. (Manado Post, 16 Januari 2008).
Berdasarkan kondisi dan fakta-fakta di atas, saya pun membuat pertanyaan-pertanyaan di dalam benak saya. Apakah seseorang yang penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan lagi (in persistent vegetative state), hidupnya masih layak dipertahankan dengan alat-alat bantu medis tersebut? Jika keluarga merelakan tim dokter untuk melepaskan semua alat-alat bantu medis yang dipasang pada tubuh Soeharto, dan pada akhirnya pasti meninggal, apakah dapat dikategorikan sebagai tindakan euthanasia secara pasif? Dan pertanyaan terakhir sebagai bahan permenungan untuk kita semua, apakah sebenarnya arti hidup yang sesungguhnya (quality of life)?
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, sedangkan thanatos berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik (a good death). Pemakaian terminology euthanasia ini juga mencakup tiga kategori, yaitu: 1. Pemakaian secara sempit. Secara sempit euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini euthanasia berarti perawatan dokter yang bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika dan adat yang berlaku. 2. Pemakaian secara lebih luas. Secara lebih luas, terminology euthanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperdendek. 3. Pemakaian paling luas. Dalam pemakaian yang paling luas ini, euthanasia berarti memperpendek hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Dalam kasus yang berhubungan dengan kondisi Soeharto sekarang, apakah tindakan dokter untuk melepaskan semua alat bantu medis tersebut dapat dikatakan tindakan euthanasia pasif tanpa kehendak dari si pasien sendiri (passive non voluntary euthanasia)? Mungkin ada benarnya juga. Euthanasia pasif terjadi bila dokter atau tenaga kesehatan lainnya secara sengaja dan sadar tidak lagi memberikan bantuan medik kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya (dengan catatan bahwa perawatan pasien diberikan terus-menerus secara optimal dalam usaha untuk membantu pasien dalam fase hidup yang terakhir). Apalagi jika hal ini dilakukan atas persetujuan keluarga, mengingat euthanasia mengandung unsur-unsur: persetujuan/tidak ada persetujuan, tindakan medis, permintaan pasien ataukah diwakili oleh keluarga, kondisi pasien yang tidak dapat sembuh. Hanya saja, kita terbentur dengan regulasi di negara ini. Indonesia adalah negara yang tidak melegalkan praktek euthanasia (meskipun dalam praktek banyak kasus terjadi). Padahal menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti: 1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir. 2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya obat penenang. 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Mengangkat masalah euthanasia adalah seperti makan buah simalakama, tidak makan mati, makan juga mati. Masalah euthanasia perlu banyak pendekatan dari berbagai sudut pandang (etika/moral, agama, medis, hukum dan HAM). Dari segi hukum, bisa saja dikenakan pasal 338 KUHPidana Indonesia tentang pembunuhan: ‘’Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain karena salah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun’’ dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana: ‘’Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, karena salah telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum dengan hukuman mati atau dengan hukuman penjara seumur hidup atau dengan hukuman penjara selama-lamanya dua puluh tahun’’.
Hanya saja, pada kasus euthanasia pasif tanpa permintaan pasien, berarti dokter sendirilah yang berinisiatif untuk menghentikan bantuan medis dengan persetujuan keluarga dengan alasan tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasiennya tidak ada gunanya lagi (zinloos). Apabila dokter dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang akan dilakukan itu sudah tidak ada gunanya lagi (zinloos), maka dokter bebas dari tuntutan hukum, walaupun pasien yang bersangkutan akhirnya meninggal dunia. Penulis berpendapat, bahwa apabila dokter tidak dapat membuktikan bahwa tindakan medik yang akan dilakukannya itu sudah tidak ada gunanya lagi maka dokter dapat dituntut berdasarkan pasal 304 jo. pasal 306 (2) KUHPidana. Pasal 304 : ‘’Barangsiapa dengan sengaja meyebabkan atau membiarkan seseorang yang ia wajib memeliharanya, atau yang berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau yang berdasarkan hukum yang berlaku baginya atau yang berdasarkan parjanjian ia wajib merawatnya atau mengurusnya, dalam keadaan sengsara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun dan delapan bulan atau dengan hukuman denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah’’. Bunyi pasal 306 (ayat 2): ‘’Apabila salah satu perbuatan tersebut menyebabkan meninggalnya anak itu, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun’’. Kita lihat kembali bunyi pasal 304 tersebut, dan yang perlu diperhatikan adalah kata-kata yang telah penulis garis bawahi, yaitu: ‘’……..berdasarkan perjanjian ia wajib merawatnya’’. Kemudian kita hubungkan dengan bunyi pasal 306 (2), yaitu: ….’’meninggalnya anak itu’’. Seperti yang kita ketahui, bahwa antara dokter dan pasiennya termasuk dalam perjanjian teraupetik. Jadi, apabila dokter tidak dapat membuktikan tindakan medik yang akan dilakukannya sudah tidak ada gunanya lagi, yang berarti dokter masih berkewajiban merawatnya (memberikan pengobatan), akan tetapi dokter telah melakukan euthanasia pasif terhadap pasiennya itu. Meninggalnya pasien tersebut bukan peristiwa euthanasia melainkan hanya bentuk semu dari euthanasia. Jadi, jelas dokter tidak dapat dituntut secara pidana, karena terdapat perbuatan tidak melawan hukum (straafbarfeit).
Masalah euthanasia, berbicara tentang cara pengakhiran hidup manusia, akan tetapi di dalamnya terkait masalah quality of life. Memang akir-akhir ini di negara-negara barat sering digembor-gemborkan tentang hak untuk mati (the right to die). Ternyata hak untuk mati ini diperjuangkan keras oleh mereka yang pro-euthanasia. Mereka menuntut agar ‘’hak untuk mati” dianggap juga sebagai hak azasi seperti hak untuk melangsungkan kehidupan, hak kemerdekaan dan hak-hak dasar lainnya. Padahal, mengakui sesuatu hak lain yang merupakan kebalikannya dari hak yang telah ada, sama dengan menghilangkan hak terlebih dahulu itu. Mengakui ‘’the right to die’’ berarti sama dengan menghilangkan hak untuk melangsungkan kehidupan. Dengan demikian, hak untuk mati bukan sebagai hak azasi dan tidak patut diperjuangkan.
Sebagai penutup, penulis mengajak pembaca sekalian untuk lebih menghargai arti hidup ini. Kehidupan yang telah kita dapat secara cuma-cuma dari Sang Pencipta. Dan untuk para dokter, penulis mengutip apa yang dikatakan Hippocrates dalam bukunya Prognosis: ‘’Manusia pada akhirnya akan mati. Dokter tidak dapat berharap bahwa ia akan dapat menyembuhkan setiap pasiennya. Ada batas, ketika upaya penyembuhan tidak berdaya lagi, dokter harus mengenali dan menerima kedatangan saat-saat maut bagi pasiennya. Bukan saja ia harus mengkomunikasikan kenyataan ini kepada pasiennya, bahkan sebagai seorang yang berpengetahuan ia harus menunjukannya dengan perbuatan, yaitu jangan berusaha untuk menyembuhkannya, kerena ini berarti membohongi diri sendiri dan pasiennya’’.#