(Sebuah Renungan atas Eksistensi Manusia Muda Zaman Ini)
Oleh Wensi Fatubun
(Mahasiswa STF, Anggota Kelompok Studi Mitra & Media Transformasi Indonesia)
‘’HIDUP yang tidak dikaji tidak layak dihidupi’’. Socrates, sang Fisuf Yunani kuno.
Pada 13 Januari lalu buku ketujuh Harry Potter diluncurkan. Banyak penggemar yang mayoritas kaum muda hadir dan meramaikan acara peluncuran tersebut. Saya tertarik dengan tingkah laku para penggemarnya yang menjerit gembira seusai mendapatkan buku Harry Potter seri ke-7, Harry Potter dan Relikui Kematian, pada malam peluncuran di toko buku Gramedia Matraman, Jakarta Timur. Mungkin sebentar lagi muda-mudi di Manado akan beramai-ramai mencari buku tersebut atau filmnya kalau sudah ada. Tokoh Harry Potter memang mampu mempengaruhi batin dan pikiran kaum muda-mudi dengan cerita sihir yang luar biasa daya pikatnya. Harry Potter tampil sebagai tokoh muda yang sangat berbakat. Luar biasa! Hal ini menarik bagi saya untuk merefleksikan pengalaman ini dengan pertanyaan sentral, ada apa dengan kita kaum muda-mudi yang begitu merindukan tokoh Harry Potter dalam kehidupan kita? Apa dampaknya bagi kita?
Realitas pengemar dan tokoh Harry Potter menegaskan bahwa kini kita hidup dalam suatu dunia di mana semua telah menjadi realitas halusinasi estetik. Artinya, matinya sebuah social, hilangnya sesuatu yang nyata, nostalgia terhadap sesuatu yang nyata, keinginan kembali sekaligus kesia-siaan mendapati manusia yang nyata, nilai-nilai yang nyata, dan seterusnya. Kita menjadi makhluk tidak nyata. Manusia tidak nyata adalah manusia yang persahabatannya tidak nyata alias berpamrih; kasih sayangnya tidak nyata alias palsu, perhatian dan kata-kata manisnya tidak nyata alias hanya lip service. Inilah yang melilit kita.
Misalnya, bersamaan dengan merebaknya konsumerisme, budaya belanja menjadi salah satu ciri masyarakat dewasa ini. Lebih dari sekedar tempat belanja, shopping mall adalah sebuah dunia rekayasa yang menampilkan realitas-realitas buatan yang bersifat semu, dimana justru dalam kesemuannya itulah ia lebih menyenangkan dibandingkan dengan realitas sebenarnya. Dalam dunia shopping mall, segala sesuatu direduksi, dimanipulasi dan direkayasa demi kenyamanan dan kesenangan belanja. Toko, restoran, bank, salon, bioskop, biro perjalanan dan objek-objek lain dalam lokasi shopping mall semuanya disuntik dengan tema-tema seperti ekslusif, eksekutif, jiwa muda, cosmopolitan, natural atau citra elegan. Dalam dunia shopping mall kita diajak bertamasya di dalam suatu sirkuit, dari satu lingkungan tema ke lingkungan tema yang lain, di dalam suatu lingkungan fantasi yang nyata namun dangkal, yang semakin menjauhkan kita dari makna-makna atau nilai-nilai luhur.
Realitas kehidupan inilah yang disebut hiperrealitas. Hiperrealitas adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan yang bahkan nampak lebih real dibandingkan realitas sebenarnya. Harry Potter adalah contoh nyata hiperrealitas, ketika realitas melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa referensi proporsi keberadaannya yang wajar, Harry Potter tampil sebagai sosok dengan kemampuan sihir yang melebihi gambaran keberadaan hidup manusia. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Harry Poter memperlihatkan citra dan kode-kode yang sengaja diciptakan untuk menjaga keberadaannya sebagai symbol kesempurnaan manusia zaman ini. Dengan representasi kemampuan sihir yang sangat sempurna seperti itu, Harry Poter seolah lahir sebagai Harry Poter yang nyata (real), Harry Poter yang hidup, Harry Poter yang benar-benar ada dengan segala kemampuan yang luar daripada biasanya. Harry Poter bahkan bisa menjadi ukuran keberadaan makhluk yang disebut manusia.
Realitas hiperrealitas seperti ini semakin terkondisikan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan media, khususnya televisi, computer dan internet yang telah memungkinkan manusia hidup dalam dunia yang disebut global village, sebuah desa besar, dimana segala sesuatu dapat disebarluaskan, diinformasikan dan dikonsumsi dalam dimensi ruang dan waktu yang seolah mengerut. Dalam kondisi seperti ini citra lebih meyakinkan ketimbang fakta, dan mimpi lebih dipercaya ketimbang kenyataan sehari-hari.
Melalui televisi dan media massa pada umumnya, realitas buatan (citra-citra) - segala sesuatu yang tampak oleh indera, namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi subtansial - kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun ke dalam makna. Tokoh Harry Potter, Rambo, spiderman, boneka barbie dan james Bond yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas tanpa referensi, namun lebih dekat dan nyata dibandingkan keberadaan tetangga rumah kita sendiri.
Dalam kondisi seperti ini tidaklah mengherankan bahwa kita mengalami pelbagai dampaknya, yakni dimensi akal budi sebagai tempat berakarnya sikap kritis dihancurkan. Hilangnya dimensi ini berarti juga hilangnya kemampuan untuk menolak atau menegasi dari akal budi dan amat tepatlah apa yang dikatakan oleh sastrawan Oscar Wilde, ‘’sebagian besar orang muda adalah orang lain’’, artinya hilangnya daya kritis membuat pikiran mereka adalah pendapat orang lain, hidup mereka bagai peniruan, hasrat mereka kutipan belaka. Padahal kemampuan berpikir kritis sangat perlu sebagai penyeimbang terhadap proses yang semata-mata sangat materialis. Lagi, matinya kreativitas dan sifat efektif terhadap kebutuhan-kebutuhan yang menuntut pembebasan serta kita mengalami apa yang disebut sebagai keterasingan sosial. Kalau benar kita seperti ini, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kita adalah makhluk rekayasa dan tidak nyata.#