Oleh dr Taufiq Pasiak
ANDA yang cermat menyimak perkembangan dunia akhir-akhir ini pasti akan menemukan banyak hal yang sedang terjadi. Fritjof Capra—ahli fisika yang kemudian menjadi pemerhati dan pembela paling kuat tentang adanya aspek mistik/spiritual dalam semua ciptaan di alam semesta—menyebut bahwa perubahan dunia akhir-akhir ini merupakan perubahan dalam skala global. Dengan pandangan Capra ini banjir dan tanah longsor yang terjadi di Indonesia merupakan bagian terintegrasi dari bencana alam yang terjadi di Srilanka atau India. Kerusuhan pilkada (politik) di beberapa daerah Indonesia juga merupakan kejadian yang tak terpisahkan dari yang terjadi di Pakistan atau Australia. Penyakit flu burung yang menyerang di Indonesia sungguh menjadi bagian bersama dari kejadian infeksi sejenis di beberapa negara Asia. Stres, kecemasan, depresi dan pelbagai gangguan jiwa yang dialami di mana-mana merupakan kejadian yang saling berhubungan. Munculnya aliran-aliran agama—yang keluar dari mainstream—juga merupakan kejadian yang tak terpisahkan satu dengan yang lain. Munculnya sekte-sekte baru dalam agama Islam dan Kristen di Indonesia merupakan kejadian yang berhubungan dengan David Koresh di Amerika, Jim Jones di Guyana, dan pelbagai sekte baru di seluruh belahan dunia. Capra memang ingin mengatakan bahwa kita saling terhubung satu dengan yang lain. Kejadian-kejadian yang terjadi bukanlah entitas yang berdiri sendiri. Mereka terhubung melalui suatu dinamika perubahan global yang oleh Capra diyakini sebagai tanda munculnya peradaban baru. Dengan nada optimis memang Capra ingin mengatakan bahwa fajar peradaban baru sedang muncul di bumi ini.
Peradaban baru itu—sekali lagi jika Anda pandai menyimak, meneliti dan menakar—adalah peradaban yang dijiwai oleh spiritualitas yang makin tajam. Ada banyak tanda yang menunjukkan bahwa kita sedang memasuki fajar baru ketika spiritualitas (bukan Agama!) sedang menjiwai banyak aspek kehidupan. Prinsip peradaban baru adalah spiritualitas Yes, Religion No! (yang terpenting bukan aliran agama apa Anda, tetapi seberapa besar spiritualitas Anda!). Tidak usah heran kalau kemudian—sengaja atau tidak—bermunculanlah pelbagai kejadian yang fenomenal berkaitan dengan spiritualitas ini. Munculnya orang-orang suci, aliran-aliran baru, dan pelbagai ritual baru yang menghebohkan, di samping mencerahkan juga membuat bingung.
Jamaah Eden //Sub
Komunitas Eden adalah satu di antara banyak fenomena yang menghebohkan. Komunitas yang dipimpin Lia Aminuddin ini menggabungkan pelbagai macam ajaran agama dan memiliki pengikut dari pelbagai macam agama. Kita ingin melihat pengalaman Lia Aminuddin untuk mendudukkannya pada tempat yang seharusnya ia berada (lebih dalam lagi Anda bisa membaca bukunya Perkenankan Aku menjelaskan sebuah takdir; Yayasan Salamullah, 2004). Suatu waktu, ketika sedang sholat tahajut pada 27 Oktober 1995 Lia merasa didatangi malaikat Jibril, yang di kemudian hari dikenalnya sebagai habib al-Huda. Lia merasakan badannya panas-dingin dan menggigil ketakutan. Pengaruh kedatangan Jibril terasa sekali dalam kehidupan Lia. Rumah tangganya makin harmonis, dan seluruh waktunya dihabiskan untuk beribadah pada Allah. Beragam kegiatan dilakukan Lia untuk mewujudkan apa yang diperintahkan Jibril padanya. Ia mengunjungi banyak pesantren, mengingat semua komponen bangsa untuk sadar dan tobat, serta menulis buku puisi dan meluncurkannya sebagai momentum mengingatkan bangsa Indonesia. Pada 25 Mei 1998, pukul 12.25 WIB Lia merasa seluruh badannya sakit. Lia merasa seluruh saraf dan kulitnya meregang yang akhirnya membawanya pada perasaan akan terjadi hubungan gaib lagi dengan Jibril yang selanjutnya dibertahukan bahwa sudah saatnya dinyatakan bahwa dalam Takdir ini Siti Maryam pun kembali menjalankan tugasnya (h.72). Pengalaman ini adalah pemula dari seluruh pengalaman Lia yang—sebagaimana ditulis dalam bukunya itu—merupakan pengalaman-pengalaman spektakuler. Menarik, karena perasaan-perasaan serupa dialami oleh para tokoh mistik sebelum mengalami pengalaman-pengalaman halusinatif yang berhasil mengubah kepribadian mereka. Joan of Arch (1412-1431)—yang dihukum oleh para pendeta Katolik sebagai pembawa bidah, tetapi pada akhirnya ditahbiskan sebagai Santa pada 1456—mengalami pengalaman serupa yang diikuti dengan halusinasi auditorik menyangkut perintah Tuhan padanya. Nabi Muhammad juga mengalami gangguan fisik ketika hendak menerima wahyu dari Tuhan. Diriwayatkan, Rasulullah mengalami demam, menggigil dan rasa lemah badan, mirip seorang yang mendapat serangan penyakit fisik dengan keluhan-keluhan fisik ringan yang menonjol. Santa Theresa dari Avilla (1515-1582) dan Santo Francis dari Asisi mengalami perasaan serupa dan sempat dituduh sebagai penderita penyakit ayan otak depan (epilepsi lobus temporalis) karena pengalaman fisik dan halusinatif tersebut. Penderita penyakit ayan memang menunjukkan gejala-gejala awal serangan berupa sensasi fisik berlebihan dan munculnya gangguan kesadaran pada fase serangan. Penderita-penderita skizofrenia dengan waham agama yang kuat juga menunjukkan perilaku-perilaku tertentu yang dapat dilihat seolah-olah sebuah pengalaman mistik. Studi-studi pengalaman mistik menemukan bahwa gangguan fisik, pengalaman halusinatif dan munculnya kesadaran diri merupakan suatu continuum dari pengalaman mistik yang sebenarnya. Apa yang dialami oleh Lia Aminuddin dan pengikutnya bernama Muhammad Abdurrahman jelas-jelas berbeda dengan apa yang dialami oleh para mistikus besar seperti Nabi Muhammad atau al-Hallaj. Persoalan yang mengemuka sejalan dengan banyaknya orang yang mengaku mengalami pengalaman mistik adalah ditemukannya gejala serupa pada penderita schizofrenia dan penyakit ayan. Secara sepintas memang sukar dibedakan perilaku mistikus yang ditunjukkan oleh penderita skizofrenia dengan mistikus yang sebenarnya. Dr.Ramachandran (2003)—yang sangat dikenal karena risetnya tentang God Spot atau God Modul—menemukan bahwa perasaan-perasaan mistik juga dialami oleh penderita penyakit ayan. Penderita yang mengalami serangan melaporkan adanya perasaan nyaman dan damai—disertai sensasi fisik berjalan dalam lorong cahaya yang terang benderang—mengikuti kedalaman serangan epileptik mereka. Pada kasus epilepsi Jackson (epilepsi yang menyerang lobus depan otak) penderita mengalami perasaan seperti laiknya pengalaman mistik. Beberapa penulis sering mengutip kisah Paulus (2 Korintus 12 : 7-9) untuk menunjukkan adanya pengalaman mistik yang mirip dengan gejala penderita epilepsi. Paulus (?-65 M)—yang semula bernama Saulus, seorang Parisi Yahudi—terjatuh jalanan Damaskus, mengalami halusinasi visual berupa kilatan cahaya dan halusinasi auditorik berupa suara Kristus. Ia kemudian menjadi buta selama beberapa hari, dan pada kesembuhannya ia menyatakan menjadi Kristen. Injil (2 Korintus 12 : 7-9) memberikan pernyataan khusus keadaan dengan misteri ‘duri dalam daging’ (thorn in the flesh). ‘duri dalam daging’, oleh beberapa penulis, diterjemahkan sebagai adanya iritasi traumatik pada otak yang membuat Paulus mengalami serangan-serangan epileptik (terbukti kemudian; interpretasi ini keliru; seperti halnya kekeliruan terhadap Joan of Arch dan Theresa Avilla). Presiden Amerika George Bush, menurut pengakuannya, juga mendapat perintah dari Tuhan untuk menyerang al-Qaeda dan mendamaikan Timur Tengah. Sekalipun tidak jelas bagaimana proses pengalaman mistik Bush ini, tetapi pernyataan-pernyataan itu berhasil menunjukkan bagaimana Bush menerjemahkan perasaan-perasaan yang dialaminya. Amrozi, Iman Samudra dan Ali Imran—yang terkenal karena peristiwa bom Bali—juga mengklaim diri sebagai melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan. Memang—tidak seperti Bush yang mengaku mendapat ilham langsung dari langit—‘trio Tenggulun ini lebih dimotivasi oleh dorongan jihad sebagai mereka memahaminya. David Koresh—yang ditembak mati oleh FBI—juga merasa mendapat perintah dari Tuhan untuk memperbaiki bumi. Fenomena ini akan timbul lebih banyak lagi sejalan dengan carut marutnya dunia. Gejala yang serupa tidak berarti tidak dapat dibedakan. Riset yang dilakukan James Austin (2003) pada pendeta Zen dan penderita Skizofrenia (dengan waham agama) menemukan fakta bahwa dalam tampilan lahiriah pun terdapat perbedaan bermakna antara kedua subjek tersebut. Para pendeta Zen mengalami perasaan mistik terus menerus dan berkembang secara teratur, sementara penderita skizofrenia lebih disorganized, hilang timbul dan tak mengalami perkembangan berarti. Halusinasi pada pendeta Zen bersifat visual (penglihatan) dan tak mengganggu. Sementara pada skizofrenia halusinasi lebih bersifat auditorik (dengar) dan mengganggu. Yang sangat kentara, pendeta Zen ini mengalami distraksi dengan lingkungan sosial sangat minimal, sedangkan penderita skizofrenia justru maksimal. Para pendeta Zen juga, usai pengalaman mistik itu, berusaha untuk lebur dalam kehidupan sosial yang bermutu. Sementara penderita skizofrenia justru menghindari atau—jika terjadi hubungan sosial—lebih bersifat tidak sadar dan di luar kontrol.
Kajian-kajian lebih teknis dan canggih dilakukan dengan menggunakan instrumentasi seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging) dan SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography. Dengan alat-alat ini Newberg dan D’Aquili (2006) menemukan bahwa pengalaman spiritual lebih merupakan suatu continuum ketimbang suatu keadaan pada sebuah ‘titik’ tertentu. Setiap orang bisa mengalaminya dengan tingkatan yang berbeda-beda. Termasuk adanya perbedaan lokasi di otak antara halusinasi pada penderita skizofrenia dengan mistikus. Dengan menggunakan pendekatan 2 sistem otak dari pemenang Nobel Gerald Edelman (sistem thalamokortikal atau area asosiasi atensi dan sistem limbik-batang otak atau area asosiasi orientasi) Newberg menemukan bahwa pengalaman mistik terentang dari pengalaman bersifat estetik (rasa keindahan yang tak terlukiskan ketika melihat sesuatu yang luar biasa; ini dialami Lia Aminuddin) pada satu kutub hingga pengalaman ‘penyatuan’ (Union Mystica) dengan sang Kudus pada kutub yang lain. Pada pengalaman estetik—yang dapat dialami oleh siapa saja—kinerja otak padat pada sistem limbik dan batang otak, atau daerah-daerah asosiasi orientasi (Area Asosiasi Orientasi) pada otak bagian belakang. Pada keadaan ini seseorang dalam keadaan sadar sepenuhnya terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Sistem thalamokortikal—sistem yang melibatkan indra-indra dan kulit otak—berada dalam kondisi minimal hingga optimal. Pada pengalaman mistik tertinggi—yang umumnya dikenal sebagai union mystica (Kristiani), Nirvana (Hindu), atau fana/aninhilasi (sufi Muslim)—sistem thalamokortikal mengalami optimalisasi kerja dibarengi dengan hilangnya kegiatan sarafi pada sistem limbik atau area asosiasi orientasi. Atensi pada otak depan mengalami pemadatan, tetapi orientasi tentang ‘diri’ menjadi hilang sama sekali dari kerja otak belakang. Konsekuensinya, pengalaman penyatuan membuat seseorang mengalami kehilangan ‘diri’. Ia lepas dari diri yang bersifat fisik dan menyatu sebagai bagian dari alam semesta. Ia mengalami peleburan dan mengalami kehilangan diri (aninhilasi). Pengalaman ini dialami oleh al-Hallaj, Sitti Jennar dan Rumi ketika sedang mengalami pengalaman spiritual puncak. Dalam kondisi ini, al-Hallaj merasakan dirinya menyatu dengan alam semesta sehingga terujar kalimat ‘ana al-Haq’ (“Akulah Kebenaran; Akulah Tuhan”). ungkapan ini tidak akan muncul ketika seseorang mengalami pengalaman mistik pada level estetik atau takjub biasa. Dalam konteks inilah kita harus meletakkan pengalaman Lia Aminuddin.
Yang dialami oleh Lia (yang kemudian menjadi isnpirasi bagi pengikut-pengikutnya)—menurut pendapat saya—adalah pengalaman mistik pada level estetik dan takjub saja. Ketika mengalami ini otak lia sepenuhnya sadar dan aware terhadap keadaan sekeliling. Ia belum mengalami pengalaman mistik jenis union mystica, Nirvana atau fana’. Lia tidak mengalami sebagaimana al-Hallaj dan Syech Siti jenar alami. Tidak juga sebagai Rumi mengalaminya ketika berputar-putar menari dalam suatu tarian sufi. Karena itu, pengalaman Lia ini tidak unik. Semua orang pernah mengalaminya dengan obyek dan level yang berbeda-beda. Persoalannya kemudian adalah Lia menginterpretasikannya sebagai pengalaman unik dengan pemahaman yang luar biasa. Boleh jadi ini karena tingkat kepeduliannya yang dalam terhadap persoalan kemanusiaan atau justru karena kemuakannya pada situasi sekeliling. Pengalaman Lia yang kemudian menginspirasi pengikutnya—sehingga ada yang merasa sebagai reinkarnasi Nabi Muhammad—adalah pengalaman biasa-biasa saja, tetapi dengan interpretasi yang di luar batas. Bagi saya, tak ada yang perlu ditakutkan dari pengalaman ini (110108).#