Oleh Endang Suryadinata
(Peminat Sejarah Indonesia-Belanda,
alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam)
SEBAGIAN anak bangsa ini masih silau dengan segala yang besar. Kesilauan demikian tidak selalu buruk dari sisi moralitas. Tetapi, silau dan mengagumi yang serbabesar bisa menjadi masalah, termasuk masalah moral, ketika disertai sikap meminggirkan yang kecil atau dianggap tak punya power dan manfaat bagi egosentrisme kita.
Simak saja dalam kasus sakitnya Soeharto terbaru. Pemberitaan seputar kasus mantan penguasa Orde Baru di sebagian media, khususnya media elektronik televisi kita, boleh jadi tidak proporsional. Memang dari sisi magnitude jurnalisme modern, sosok besar Soeharto punya news value tinggi. Tapi, jurnalis televisi jangan mengidap amnesia sejarah. Jangan lupa, Soeharto semasa berkuasa begitu mengontrol media, malah membredel Tempo dsb.
Padahal, sebagai mantan presiden, Soeharto sudah mendapat perawatan medis yang luar biasa, dengan tim medis kepresidenan yang superlengkap, bahkan dengan alat-alat paling canggih. Konon semua itu dibayar pihak keluarga, bukan negara. Tapi uang keluarga Cendana, asalnya dari mana?
Kunjungan para loyalis atau siapa pun yang bersimpati kepada Soeharto juga tidak kunjung henti. Seperti diungkapkan Baskara T. Wijaya, sejumlah pelaku politik malah beramai-ramai memuji Pak Harto secara publik, berebut mengunjungi, dan sambil meninggalkan rumah sakit berhasrat untuk diliput pers guna membela Soeharto.
Sekilas mereka memuji dan membela Pak Harto sebagai bukti bakti. Meski demikian, jangan-jangan yang sedang mereka puji, bela, dan beri bukti bakti bukan Pak Harto, tetapi diri mereka sendiri (Kompas 17/1/2008).
Berbeda sekali perlakuan anak-anak bangsa ini kepada Soekarno. Selama menjadi presiden, layanan kesehatan untuk mengatasi sakit Bung Karno masih baik-baik dan proporsional.
Tetapi, setelah peristiwa kudeta merangkak, yakni Supersemar 1966 dan secara perlahan tapi pasti kekuasannya dipereteli, layanan kesehatan kepada Bung Karno bisa dikatakan sangat tidak memadai, bahkan sangat minim (Baca: Asvi Warman Adam, Jawa Pos 13/1/2008). Bayangkan, untuk urusan sakit gigi saja Bung Karno harus diawasi ketat. Padahal, dia masih menjabat presiden sampai Maret 1967 seperti dikisahkan drg Oei Hong Kian, dokter gigi pribadi bagi Bung Karno.
Dari ucapan Mahar Mardjono kita juga tahu, ternyata dokter di Indonesia masih belum bisa independen. Mereka masih bisa ditekan oleh kekuatan politik, sehingga standar pelayanan medis yang sepantasnya tidak diberikan kepada pasien. Tidak heran di saat-saat akhir hidupnya, fisik Bung Karno tampak sangat memprihatinkan. Akhirnya sosok kelahiran Blitar 6 Juni 1901 itu wafat dalam kesepian pada 20 Juni 1970, tanpa ada liputan media yang semarak.
Kisah tentang sakit Bung Karno disampaikan lagi, justru untuk menggugat mentalitas penguasa dan kecenderungan sebagian dari kita, khususnya jurnalis televisi yang begitu silau pada kebesaran seseorang sekaligus pada saat bersamaan memarginalkan dan meminggirkan yang kecil seperti telah diuangkapkan di atas. Hal inilah yang sering mengusik nurani.
Teringat Korban Banjir //Sub
Terus terang, ketika media mem-blow up sakit Soeharto, saya teringat pada nasib ratusan ribu korban banjir, yang tidak mendapatkan bantuan atau layanan medis yang sepantasnya sesuai Kovenan Ecosoc PBB yang sudah diratifikasi Indonesia.
Dari sisi Ecosoc, sebenarnya telah terjadi pelanggaran HAM oleh pemerintah atas para korban banjir di Jateng dan Jatim. Ratusan ribu korban banjir kini rentan terkena diare, kekurangan pangan, kekurangan air bersih, dan tempat tinggal yang layak. Bukan hanya dalam hal layanan kesehatan, ada peminggiran kepada mereka yang dianggap kecil. Dalam bidang-bidang lain seperti kebebasan beragama, mereka yang dianggap kecil atau minoritas sering menjadi korban dari mereka yang dianggap kuat dan besar.
Konyolnya, dalam hal ini, negara tidak bisa berbuat apa-apa. Sikap dan kebijakan pemerintah sudah terjebak pada mentalitas memanjakan yang besar sekaligus meminggirkan yang kecil. Dalam hal hukum dan keadilan, misalnya, bukan rahasia bahwa selama ini rakyat kecil tidak pernah mendapat keadilan. Setiap kasus dengan korban rakyat jelata dengan tertuduh militer atau orang kuat, bisa dipastikan masuk dalam kotak atau dipetieskan. Mulai kasus 1965 dengan jutaan rakyat kecil disembelih atau dibuang ke Pulau Buru karena dituduh PKI hingga Tragedi Mei 1998, aktivis yang diculik atau hilang, sama sekali tidak ada keadilan bagi para korban.
Korban-korban itu dianggap kecil, remeh, tidak penting sehingga bisa seenaknya dicederai hak-haknya di depan hukum kita. Hukum kita bisa tegas kepada maling ayam, tapi tak pernah tegas pada sosok besar seperti Soeharto. Kesamaan semua orang di depan hukum hanya jadi jargon basi.
Masih banyak bidang lain yang menunjukkan mentalitas bangsa ini yang begitu silau dan memanjakan yang besar, tapi mengabaikan yang kecil. Prinsip kesamaan, kesetaraan (equality) sebagai nilai-nilai yang amat dijunjung dalam negara demokratis masih belum teraplikasikan secara maksimal. Kita tak pernah akan menjadi bangsa besar jika pada saat bersamaan meminggirkan yang kecil.#