30 Januari 2008

Memahami NU Adalah Memahami Indonesia

(Refleksi Hari Ulang Tahun NU ke - 82)

Oleh Drs Hi Iskandar Lexy Arie Gobel
(Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Sulawesi Utara)

PADA tanggal 31 Januari nanti, organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di dunia Nahdlatul Ulama akan genap berusia 82 tahun, sejak pendiriannya pada tahun 1926. Sejak kehadirannya, NU telah memberikan warna tersendiri bagi kebangsaan Indonesia dan sejarah Negara ini. NU memiliki peran dan kontribusi dalam setiap episode penting yang dialami bangsa ini, mulai dari masa perjuangan memperebutkan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, masa reformasi dan sampai saat ini. Karena itu, tidak salah kalau penulis mengatakan bahwa memahami NU adalah juga memahami Indonesia.
Kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama sebagai organisasi kemasyarakatan modern pada tahun 1926 yang diprakarsai oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah adalah merupakan suatu jawaban atas tuntutan pergerakan kebangsaan dan perjuangan merebut kemerdekaan. Kelompok ulama yang tadinya hanya berkelompok secara tradisional, merasakan kebutuhan bahwa perjuangan hanya bisa dilakukan dengan organisasi modern yang kuat dalam melawan kolonialisme.
Tapi yang membuat NU menjadi berbeda adalah kumpulan ulama dan pengikutnya yang telah bersama-sama mempraktikan ajaran Islam sejak masuknya agama terbesar di tanah air itu, telah lahir dan menyatu. Basis umat sudah terbentuk jauh sebelum organisasi formalnya. Jadi bolehlah dikatakan bahwa tahun 1926, adalah sebuah tonggak transformasi dari tradisionalis ke modernisasi gerakan ulama dan umat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah secara spiritual.
Telah dicatat dalam tinta emas, bahwa Islam adalah salah satu kekuatan terbesar yang berada di garda depan perjuangan bangsa bersama-sama dengan kelompok nasionalis. Dan kalau berbicara kekuatan Islam dalam pergerakan, maka tidak tidak bisa disangkal bahwa kontribusi NU adalah yang terbesar, baik dalam perjuangan fisik maupun dalam upaya mempertahankan nilai-nilai ajaran Islam di tanah air sebagai ‘senjata’ moral.
Ini mudah untuk dipahami karena NU sebagai jami’iyah diniyah, sebagai organisasi keagamaan, adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan dengan tujuan untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam. (M. Said Budairy, 77 tahun Kekuatan Amar Makruf Nahi Munkar, www.nu-uk.org).
Semangat ini pulalah sebetulnya yang harus selalu di tanamkan dalam setiap diri warga nahdliyin, bahwa setiap langkah dan kebijakan yang diambil harus didasarkan pada semangat membela kebajikan dan melawan yang batil, untuk kemaslahatan umat. Hal itu pula berlaku dalam aspek politik, pemerintahan, budaya, sosial, hukum dan aspek-aspek lain dimana warga nahdliyin berkiprah. NU adalah kekuatan moral, dan selalu akan menjadi kekuatan moral untuk kepentingan bersama. Tidak hanya untuk kepentingan NU sendiri tetapi untuk seluruah umat dan bangsa, karena dari semangat itulah NU dilahirkan.
Peran NU dalam Episode Sejarah Bangsa
Sebagai organisasi ulama dan umat yang modern, NU selalu menjadi bagian penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam masa revolusi fisik kemerdekaan, NU diwakili oleh barisan Hisbullah yang dipimpin oleh H. Zainul Arifin, barisan Sabilillah yang dipimpin oleh KH Masykur, dan barisan Mujahidin yang dipimpin langsung oleh KH Wahab Hasbullah. Tiga kekuatan ini bersama-sama dengan elemen perjuangan bangsa lainnya, turut serta maju ke garis depan untuk menghadapi kekuatan Belanda yang mencoba berkuasa kembali. Dan klimaksnya adalah ketika Rais Akbar Syuriah PBNU KH Hasyim Asy’ari mengumandangkan resolusi pada tanggal 22 Oktober 1945, untuk berjihad melawan sekutu yang disusupi tentara NICA. (Ali Mas’ud, Apirasi Politik, Nahdlatul Ulama; Jurnal IAIN Sunan Ampel, Edisi XV, 1999).
Meskipun tidak banyak tercatat dalam buku-buku sejarah, resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari inilah sebetulnya merupakan salah satu kekuatan dasar semangat juang para syuhada dalam peristiwa 10 November 1945 yang terkenal itu, yang kemudian diperingati sebagai hari pahlawan.
Episode penting lainnya yang dengan baik diperankan oleh NU adalah ketika aktif dalam menumpas komunisme dalam semua aspek pada masa orde lama. NU tercatat sebagai kelompok (yang pada waktu itu sebagai parpol) pertama yang mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Harian Duta Masyarakat milik NU juga kemudian menjadi tempat perlawanan jurnalistik terhadap isu komunisme setelah Prof.Dr Hamka dihantam PKI. (Ali Mas’ud, 1999).
Selain peran tersebut, Ali Mas’ud (1999) menyebutkan bahwa peran NU (sebagai organisasi politik maupun melalui menteri agama yang berasal dari NU) selama orde lama antara lain:
1. Kontribusi NU dalam menyelenggarakan pemilu yang jurdil tahun 1955
2. Menggagas berdirinya Mesjid Istiqlal sebagai simbol kebesaran umat Islam di Asia Tenggara
3. Menggagas berdirinya IAIN, sebagai lembaga pendidikan tinggi pengkajian pemikiran Islam di tanah air.
4. Pelaksanaan MTQ
Dalam masa orde baru, NU yang telah kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan, muncul sebagai gerakan penyeimbang (balancing of power). KH Abdurrahman Wahid yang memegang jabatan sebagai ketua PBNU membawa NU menjadi satu dari sangat sedikit kekuatan yang secara politik NU bertahan sebagai kontrol masyarakat yang memiliki kekuatan politik yang besar.
Greg Barton seorang ahli politik Islam dari Deakin University Australia, mengatakan bahwa peran political balancing yang dilakukan oleh NU dibawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid, memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kedaulatan umat Islam di Indonesia. Bersama-sama dengan Dr. Nurcholis Madjid pada tahun 1977, NU ikut berkontribusi dalam filosofi ‘ban becak’ yang artinya bahwa roda pemerintahan hanya akan berjalan dengan baik kalau semua ban becak terisi penuh, yang menunjukkan simbol keseimbangan antara kelompok Islam dan nasionalis.
Tidak bisa juga dilupakan, bagaimana NU dengan semangat dan jiwa besar mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dan negara kesatuan RI sebagai bentuk final negara bangsa Indonesia. Sebuah catatan yang patut kita cermati, bahwa bagi NU persatuan dan kesatuan bangsa adalah segala-galanya karena itu mengakui Pancasila sebagai asas tunggal dan NKRI adalah bagian dari upaya mempertahankan persatuan dan kesatuan.
Dalam gerakan reformasi 1998, NU senantiasa berada di barisan depan perjuangan reformasi. Masa reformasi sebetulnya adalah merupakan masa dimana kredibilitas dan perjuangan panjang NU semakin mendapat tempat. Salah satu kader terbaiknya KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia ke-4, yang mampu memberi angin kebebasan dan persamaan hak termasuk dengan kelompok minoritas. Pluralisme yang telah lama menjadi kekuatan NU, semakin populer dan menjadi cita-cita nasional.
NU Dalam Isu Nasionalisme
Pada waktu NU menerima Pancasila sebagai asas negara dan bentuk NKRI sebagai perjuangan final umat Islam Indonesia, sempat memunculkan kontroversi. Banyak yang menilai pada waktu itu, karena dilakukan pada masa orde baru, adalah merupakan suatu ‘kompromi’ politik. Tapi jika kita melihat secara lebih dalam, gagasan negara bangsa telah lama dikenal oleh NU. Bukti paling kongkrit adalah ketika NU terlibat dalam perjuangan mendirikan negara bangsa Indonesia melalui revolusi fisik, dan upaya mempertahankan NKRI dari berbagai ancaman disintegrasi.
NU adalah komunitas Islam terbesar di Indonesia (bahkan juga di Dunia) dengan pengikut lebih dari 40 Juta, tidak bisa dihindari adalah merupakan keanekaragamanan tersendiri. Memang benar bahwa NU memiliki basis yang kuat di Jawa, dan sebagai organisasi lahir di Surabaya, Jawa Timur. Tapi NU memiliki semua elemen dari berbagai daerah, dan suku. Ulama-ulama yang ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara, telah bersama-sama sepakat dalam satu kesatuan paham organisasi yang bernama NU. Uniknya perbedaan latar belakang budaya, bahkan tatacara ibadah, terus dilestarikan sampai saat ini.
Kita mengenal NU Banten, NU Jawa Timur, NU Madura, NU Kalimantan, NU Sulawesi, NU Lombok dan banyak lagi. Semuanya memiliki cara yang berbeda, budaya dan bahkan bahasa yang tidak sama. Tapi proses dialog dan komunikasi tetap bisa dijalankan tanpa banyak hambatan. Dari sinilah pluralitas NU telah lahir dengan sendirinya. Sehingga ketika konsep negara bangsa NKRI diperkenalkan NU tidak asing lagi, karena NU adalah bentuk miniatur Indonesia yang sudah berdiri jauh sebelum negara bangsa NKRI lahir.
Konsep ke-Indonesia-an sudah ada dalam tubuh NU sendiri karena itu jangan heran kenapa penerimaan Pancasila dan NKRI justru tidak diributkan oleh kalangan NU sendiri, karena konsep ke-Indonesia-an sudah inheren dalam tubuh NU, karena itu untuk apa berdebat terhadap sesuatu yang sudah dimiliki oleh NU. (Rahardi Wiratama, Mengapa NU Tidak Pernah Mengalami Ketegangan Dengan Konstruk Ke Indonesiaan?; NU Online; www.nu.or.id).
Seperti yang dikutip Ali Mas’ud dalam “Aspirasi Politik NU - Telaah terhadap Perilaku NU Pasca Kemerdekaan,” penerimaan NU atas Pancasila sebagai asas tunggal dapat dilihat pada penjelasan KH. Achmad Shiddiq yang menurutnya penerimaan tersebut sama sekali bukan merupakan taktik politik tetapi justru berdasarkan prinsip-prinsip pendirian NU sendiri. Dalam kertas kerja KH Achmad Shiddiq yang berjudul "Pemulihan Khittah NU 1926" beliau menegaskan bahwa (Ali Mas’ud, 1999):
“Pancasila dan Islam dapat berjalan berdampingan dan saling menunjang satu sama lain. Keduanya tidak bertentangan dan tidak akan dipertentangkan. Tidak perlu memilih yang satu dengan mengesampingkan yang lain. NU menerima Pancasila sebagaimana hasil rancangan konstituante tahun 1945 dan tidak menghendaki perselisihan dalam menginterpretasikan Pancasila serta menolak pandangan yang mempersamakannya dengan agama. Islam merupakan tindakan agama, sedangkan Pancasila adalah pandangan hidupnya. Pemerintah selalu menekankan, tidak ada maksud untuk menjadikan Pancasila sebagai agama atau memperlakukan Pancasila seolah-olah agama. NU menanggapi pernyataan pemerintah itu dengan serius dan yakin pemerintah tidak mengajak NU menerima Pancasila dengan cara mereduksi keyakinan Islam. NU menerima Pancasila bukan dalam pengertian politik, tapi lebih karena pemahaman hukum Islam.”
Contoh lain kontribusi yang tegas dari NU terhadap nasionalisme dan kebangsaan dapat dilihat pada waktu menjelang deklarasi kemerdekaan, politik aliran sangat kental berlaku, sehingga menentukan presiden bukan pekerjaan yang mudah. Tapi para ulama NU pada waktu itu yang dimotori oleh KH Hasyim Asy’ari, sepakat mendukung Soekarno yang nasionalis dan lebih dikenal sebagai warga muhammadiyah untuk menjadi presiden RI pertama. Dukungan bulat bagi Soekarno menunjukkan sikap kenegarawan para pemimpin NU untuk kepentingan nasional. Karena itu jangan pernah bertanya tentang nasionalisme bagi warga NU. Sejarah telah menunjukkan betapa NU mau mengalah untuk kepentingan nasional.
NU Dalam Isu Toleransi
Sebagai organisasi Islam dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia, NU ikut menentukan hitam putihnya kehidupan beragama di Indonesia. Dalam perspektif masyarakat Indonesia, agama tidak bisa dilepaskan sebagai sebuah fenomena sosial dan bahkan budaya. Karena itu agama berpotensi menjadi pemersatu atau sangat mungkin menjadi pemecah, jika sikap toleran lemah dan muncul fanatisme yang berlebihan.
Beruntunglah, NU dalam mempraktekkan Islam selalu berlandaskan pada konsep dasar bahwa Islam adalah Rahmatan Lil ’Alamin atau rahmat bagi seisi alam. Karena itu ruang bagi kelompok Islam yang lain atau bahkan kelompok non muslim sangat lebar dalam tubuh NU sendiri. Fakta menunjukkan bahwa NU malah kerap kali di cap sebagai pembela kelompok lain.
Rahadi Wiratama (2003) menulis bahwa faktor ke-Indonesia-an telah membuat NU sulit untuk menganggap kalangan non-muslim Indonesia sebagai ‘pihak lain.’ Bahkan oleh mereka yang tidak memahami NU secara socio-kultural sering memandang NU dengan terkejut (karena sikap yang sangat toleran) dan bahkan di kritik sebagai pembela ‘kafir’. Tentu bagi mereka yang memahami NU, tidak akan pernah punya sikap demikian, karena prinsip pluralitas sudah ada dalam diri NU sendiri.
Kesadaran NU terhadap pluralisme dan solidaritas kehidupan beragama, sebetulnya bukan sesuatu yang baru, atau karena menyesuaikan diri dalam kondisi perubahan politik, atau karena akhir-akhir ini Indonesia mengalami banyak kemelut dan konflik antar umat beragama. Sejak awal berdirinya NU, ada empat tradisi bermasyarakat yang sudah dijalankan dalam hidup berdampingan dengan kelompok Islam lain atau kelompok non-Islam, keempat tradisi tersebut adalah: sikap tawazun (keseimbangan), tasamuh (toleran), tawasut (moderat), dan I’tidal (adil). (M Yusni Amru Ghazaly, Solidaritas NU, www.nu-uk.org).
Keempat tradisi diatas membuat warga NU melihat hubungan antar agama sebagai sesuatu yang penting dan menjadi bagian dari semangat keseimbangan, toleransi dan keadilan.
Toleransi juga merupakan bagian dari kebudayaan, dan bagi NU kebudayaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah NU. KH. Mustofa Bisri, seorang ulama NU yang juga budayawan, mengatakan bahwa kehadiran NU adalah merupakan wujud sumbangan warga NU buat kebudayaan nasional. Dalam semangat pengembangan kebudayaan, NU sangat memperhatikan lokalitas isu dan tidak pernah memandang atau mengembangkan isu promordialisme. Jadi bagi NU toleransi dan penghargaan atas kelompok adalah juga merupakan budaya yang harus dipelihara.
NU dan Pemikiran Islam Modern
Banyak yang memandang NU adalah kelompok tradisional, sarungan atau berbagai sebutan yang artinya bahwa NU tidak adaptif terhadap dinamika perubahan. Anggapan seperti itu sekali lagi lahir dari mereka yang tidak memahami NU. Memang betul bahwa kepatuhan warga NU terhadap pemimpin nya sangat tinggi, terkesan bahwa pola patron-klien berlaku. Tapi jika cermat melihat perkembangan saat ini, NU sebetulnya (terutama generasi mudanya) berada di garda depan dalam pemikiran Islam modern dan berbagai aspek modernisasi lainnya.
Pada waktu penulis mencari referensi makalah ini, sebagian besar diambil melalui teknologi Intenet. Semua gagasan-gagasan dan pemikiran mengenai NU bisa dengan dengan mudah diakses melalui teknologi seperti Internet. Sayap-sayap muda NU turut berada di garis depan dalam menggagas pemikiran politik bangsa. Politisi, cendekiawan, birokrat, pengusaha yang tumbuh subur lahir dari tradisi NU yang plural dan modern.
Dalam pemikiran Islam, perdebatan mengenai konsepsi syari’ah dan muamalah bukan lagi merupakan sesuatu yang tabu yang didiskusikan secara internal. Beberapa hal seperti gagasan pemikiran Islam liberal digagas oleh anak-anak muda NU seperti Ulil Absar Abdalla. Memang gagasan tersebut kemudian melahirkan kontroversi, tapi hal ini menunjukkan bahwa pengembaraan pemikiran modern, dan dinamika modernitas pola berpikir, hidup subur dalam lingkungan NU. Dan ini tidak hanya diakui didalam negeri, para pakar politik Islam Indonesia seperti Greg Barton (Deakin University), Jeffrey Winters (Northwestern University), William Liddle (Ohio University), dan Harold Crouch (Australian National University) mengakui sikap modernitas NU, yang bahkan dalam beberapa aspek lebih maju dibandingkan dengan organisasi Islam lainnya didunia.
Ribuan makalah, paper, buku ataupun berbagai karya ilmiah dengan mudah bisa kita temukan yang merupakan karya orsinil warga NU, yang diterbitkan dari berbagai bahasa. NU kini memiliki cabang khusus diberbagai negara seperti di Inggris, sudan dan berbagai negara lainnya. Jadi salah kalau melihat bahwa NU adalah kelompok tradisional, meskipun sampai saat ini basis anggota NU memang berasal dari pedesaan atau rural area.
Satu hal yang menarik, mantan Dubes Inggris untuk Indonesia Richard Gozney, sangat terkesan atas kemampuan para kiai muda NU yang mengikuti program kunjungan ke Inggris. Ini menunjukkan bahwa wilayah internasional bukanlah sesuatu yang asing bagi warga NU. Dubes Gozney mengakui bahwa kunjukan kiai muda NU yang sangat sukses mampu mempererat hubungan Inggris-Indonesia, karena itu program seperti ini akan didukung untuk terus dilakukan.
NU Dalam Proses Demokratisasi
Memang NU tidak bisa dilepaskan dari politik, karena misi NU yang juga untuk memperjuangkan demoktratisasi, tapi otokritik yang muncul dalam NU sendiri telah terang-terangan mengharapkan bahwa harus ada ketegasan antara wilayah politik dan non-politik yang menjadi bidang garapan NU. Dan para elite NU harus mampu mensterilkan NU dari mereka yang punya kecenderungan politik praktis yang besar. (Akhmad Zaini, NU Pasca Netralitas Kiai Sahal, www.nu-uk.org)
Otokritik yang dilakukan secara internal dalam tubuh NU, memang mengharapkan bahwa NU hadir sebagai gerakan moral dalam memperjuangkan demoktratisasi. Karena ketika organisasi sebesar NU kemudian terseret dalam permainan dukung-mendukung satu orang atau kelompok tertentu, maka sejak itu NU akan kehilangan kedudukannya sebagai gerakan moral milik bangsa.
Bahwa NU tetap harus memperjuangkan proses demokratisasi, tidaklah perlu diragukan lagi. Karena itu NU memfasilitasi dan memberikan dukungan bagi warga terbaiknya untuk masuk dalam gelombang politik praktis dengan menggunakan jalur dan wadah yang memang disediakan untuk itu. Banyak warga NU yang tertarik untuk menyalurkan aktivitas politik praktis melalui PKB, Golkar, tidak sedikit mealui PPP, PAN, PKS dan bahkan partai-partai lain. Mereka semua tetap disadari sebagai warga NU, tapi secara kelembagaan NU tetap dipertahankan secara netral. Inilah semangat yang diharapkan oleh para pendiri NU mengenai posisi dan kedudukan NU dalam politik nasional.
Kiprah NU Di Sulawesi Utara
Harus diakui bahwa NU di Sulawesi Utara, baik dari segi jumlah maupun peran tidaklah seperti NU di Jawa. Tapi bukan berarti bahwa kualitas perannya kecil. Dalam hal kebijakan, NU Sulut senantiasa menjadi stabilisator bagi kehidupan antar kelompok dan umat beragama. Sulut yang dikenal sebagai salah satu daerah yang aman, jauh dari konflik horizontal, juga tidak bisa dilepaskan dari para ulama NU dan warga NU di sulut yang toleran dan moderat.
NU Sulut juga menjadi stimulator dalam berbagai upaya memajukan umat Islam Sulut baik melalui peningkatan mutu pendidikan, dakwah, ekonomi, bahkan termasuk dalam memberikan pendidikan politik. Tidak heran banyak politisi tangguh didaerah ini yang lahir dari tradisi NU.
Selain peran dalam kehidupan beragama, seperti yang dijalankan oleh KH Fauzi Nurani yang menjadi ketua MUI Sulut, peran warga NU sulut juga tidak kalah dalam kehidupan sosial, kemasyarakatan dan pemerintahan. Tokoh-tokoh seperti Prof.Dr. H.T Usup yang sekarang berkiprah di KPU Sulut adalah contoh satu dari sekian banyaknya warga NU yang memberikan kontribusi bagi pembangunan daerah.
Dalam bidang pemerintahan, NU memiliki banyak kadernya yang ada. Tercatat mulai dari Dr. Hi. H.A Nusi (yang pernah menjadi wakil gubernur), Drs. Hi. A.K Badjeber (mantan sekretaris dewan), Drs Zainuddin Ahmad (mantan Kakanwil Agama), Prof. Hi. John Wumu, Holil Domu (Kakanwil Agama saat ini), Benny Ramdhani (Anggota Dewan Provinsi Sulut saat ini). Penulis sendiri sebagai mantan Asisten bidang pemerintahan di Pemprov Sulut. Salah satu ciri yang nampak dalam setiap warga NU yang berkiprah adalah senantiasa mengutamakan moral, kebersamaan dan menjunjung tinggi nilai toleransi.
NU Sulut juga selalu berada di garis depan dalam mendukung kebijakan pemerintah daerah yang positif, dalam berbagai aspek, terutama dalam bidang kehidupan kerukunan umat beragama dan kemasyarakatan serta berbagai program-program pemerintah termasuk pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) yang akan dilaksanakan pada tahun 2009.#