Oleh Ir Lambertus Tanudjaja MSc PU SDA*
DRAINASE adalah istilah untuk tindakan teknis penanganan air kelebihan yang disebabkan oleh hujan, rembesan, kelebihan air irigasi, maupun air buangan rumah tangga, dengan cara mengalirkan, menguras, membuang, meresapkan, serta usaha-usaha lainnya, dengan tujuan akhir untuk mengembalikan ataupun meningkatkan fungsi kawasan. Secara umum sistem drainase merupakan suatu rangkaian bangunan air yang berfungsi mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan.
Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas.
Secara fungsional, sulit dipisahkan secara jelas antara sistem drainase dan sistem pengendalian banjir. Genangan yang terjadi sehubungan dengan aliran di saluran drainase akibat hujan lokal terhambat masuk ke saluran induk dan/atau ke sungai, sering juga disebut banjir. Membedakan genangan akibat luapan sungai dengan genangan akibat hujan lokal yang kurang lancar mengalir ke sungai, seringkali mengalami kesulitan.
Permasalahan Drainase di Wilayah Perkotaan
Perkotaan merupakan pusat kegiatan manusia, pusat produsen, pusat perdagangan, sekaligus pusat konsumen. Di wilayah perkotaan tinggal banyak manusia sehingga terdapat banyak fasilitas umum, transportasi, komunikasi dan sebagainya.
Saluran drainase di wilayah perkotaan menerima tidak hanya air hujan, tetapi juga air buangan (limbah) rumah tangga, dan mungkin juga limbah pabrik.
Hujan yang jatuh di wilayah perkotaan kemungkinan besar terkontaminasi ketika air itu memasuki dan melintasi atau berada di lingkungan perkotaan. Sumber kontaminasi berasal dari udara (asap, debu, uap, gas), bangunan dan/atau permukaan tanah, dan limbah domestik yang mengalir bersama air hujan. Setelah melewati lingkungan perkotaan, air hujan dengan atau tanpa limbah domestik, membawa polutan ke badan air.
Sumber penyebab utama permasalahan drainase adalah peningkatan/pertumbuhan jumlah penduduk. Urbanisasi yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia akhir-akhir ini menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat.
Peningkatan jumlah penduduk selalu diikuti dengan peningkatan infrastruktur perkotaan seperti perumahan, sarana transportasi, air bersih, prasarana pendidikan, dan lain-lain. Di samping itu peningkatan penduduk selalu juga diikuti dengan peningkatan limbah, baik limbah cair maupun padat (sampah).
Kebutuhan akan lahan untuk permukiman maupun kegiatan perekonomian akan semakin meningkat sehingga terjadi perubahan tataguna lahan yang mengakibatkan peningkatan aliran permukaan dan debit puncak banjir. Besar kecil aliran permukaan sangat ditentukan oleh pola penggunaan lahan, yang diekspresikan dalam koefisien pengaliran yang bervariasi antara 0,10 (hutan datar) sampai 0,95 (perkerasan jalan). Hal ini menunjukkan bahwa pengalihan fungsi lahan dari hutan menjadi perkerasan jalan bisa meningkatkan debit puncak banjir sampai 9,5 kali, dan hal ini mengakibatkan prasarana drainase yang ada menjadi tidak mampu menampung debit yang meningkat tersebut.
Manajemen sampah yang kurang baik memberi kontribusi percepatan pendangkalan/penyempitan saluran dan sungai, sehingga kapasitas/kemampuan mengalirkan air dari sungai dan saluran drainase menjadi berkurang.
Perubahan fungsi lahan dari hutan (kawasan terbuka) menjadi daerah terbangun (kawasan perdagangan, permukiman, jalan dan lain-lain) juga mengakibatkan peningkatan erosi. Material yang tererosi, terbawa serta ke dalam saluran dan sungai sehingga turut mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan.
Oleh sebab itu, setiap perkembangan kota harus diikuti dengan evaluasi dan/atau perbaikan sistem secara menyeluruh, tidak hanya pada lokasi pengembangan, tetapi juga daerah sekitar yang terpengaruh.
Sebagai contoh, pengembangan suatu kawasan permukiman di daerah hulu suatu sistem drainase, maka perencanaan drainasenya tidak hanya dilakukan pada kawasan permukiman tersebut, tetapi sistem drainase di hilir juga harus dievaluasi dan/atau diredesain jika diperlukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka instansi atau pengembang yang terlibat harus mampu menjamin (secara teknis) bahwa air dari kawasan yang dikembangkan tidak mengalami perubahan dari sebelum dan sesudah pengembangan. Cara lain yang dapat ditempuh adalah pengembang harus menyediakan di kawasan pengembangan tersebut, resapan-resapan buatan seperti sumur resapan, kolam resapan, kolam tandon sementara dan sebagainya.
Permasalahan Drainase Kota di Kawasan Pesisir Pantai
Kota-kota besar di Indonesia sebagian besar terdapat di wilayah pesisir pantai. Permasalahan drainase di kota-kota pesisir pantai biasanya lebih rumit dibandingkan dengan permasalahan drainase perkotaan secara umum.
Permasalahan drainase khususnya kota pantai, bukanlah hal yang sederhana. Banyak faktor yang mempengaruhi dan pertimbangan yang matang dalam perencanaan antara lain peningkatan debit, penyempitan dan pendangkalan saluran, reklamasi, amblasan tanah, limbah cair dan padat (sampah), dan pasang surut air laut.
Amblasan tanah (land subsidence) yang terjadi di banyak kota pantai mengakibatkan genangan banjir makin parah. Amblasan tanah ini disebabkan terutama oleh pengambilan air tanah yang berlebihan, yang mengakibatkan beberapa bagian kota berada sama tinggi dan bahkan di bawah muka air laut pasang. Akibatnya sistem drainase gravitasi akan terganggu, bahkan tidak bisa bekerja tanpa bantuan pompa. Bahkan di beberapa tempat dapat menyebabkan genangan permanen dari air pasang yang biasa dikenal sebagai banjir rob.
Penerapan konsep drainase pengatusan di daerah pedalaman sering menimbulkan/menambah permasalahan di wilayah pesisir, karena terjadi akumulasi debit di saluran primer.
Dapat disimpulkan bahwa selain penyebab secara umum seperti tingginya curah hujan dan perubahan tataguna lahan, penyebab lainnya yang menimbulkan permasalahan drainase di kota-kota yang terletak di kawasan pesisir pantai adalah :
a. Kemiringan saluran drainase yang sangat kecil di kawasan yang hampir datar menyebabkan kecepatan aliran cukup kecil dan sering terjadi pengendapan lumpur yang mengurangi kapasitasnya.
b. Gelombang pasang-surut air laut (rob) yang membentuk semacam tembok penghalang di hilir saluran dan muara sungai sehingga terjadi aliran balik (back water curve).
c. Banyaknya endapan di muara sungai (sebagai saluran drainase primer) menyebabkan kapasitas alirannya berkurang. Kondisi ini diperparah lagi dengan banyaknya sampah dari warga kota yang dibuang ke saluran dan sungai.
d. Reklamasi dan pembangunan di daerah pantai sering tidak memperhatikan kondisi topografi sehingga mengakibatkan hambatan aliran ke laut, sehingga menimbulkan kawasan-kawasan genangan yang baru.
e. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi di kawasan perkotaan, turut pula bertumbuh kawasan permukiman yang tidak beraturan. Rumah dibangun di atas saluran, dan pembuangan limbah langsung ke saluran yang ada di bawahnya. Hal ini menghambat upaya pemeliharaan saluran dan mengurangi kapasitas alirannya.
Permasalahan di atas masih diperberat lagi dengan kurangnya perhatian dari berbagai pihak dalam mengatasi masalah secara bersama dan proporsional, adanya perbedaan kepentingan drainase dengan prasarana lain seperti jalan, jaringan bangunan bawah tanah, jaringan perpipaan air bersih, telkom, listrik dan sebagainya, serta kurangnya kepastian hukum dalam mengamankan fungsi prasarana drainase, maupun adanya sementara pihak yang tidak mengetahui ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting. Kualitas manajemen suatu kota tercermin dari kualitas sistem drainase di kota tersebut. Sistem drainase yang kurang baik menyebabkan terjadinya genangan air di berbagai tempat sehingga lingkungan menjadi kotor dan jorok, menjadi sarang nyamuk dan sumber penyakit, yang pada akhirnya bukan hanya menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat, tetapi dapat juga menggangu kegiatan transportasi, perekonomian dan lain-lain.
Upaya Mengatasi Permasalahan Drainase Kota di Kawasan Pesisir Pantai
Sampai saat ini drainase sering diabaikan dan direncanakan seolah-olah bukan pekerjaan penting. Seringkali pekerjaan drainase hanya dianggap sekedar pembuatan got, padahal pekerjaan drainase terutama di perkotaan bisa merupakan pekerjaan yang rumit dan kompleks, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar.
Jika perencana jembatan harus dapat menjawab pertanyaan tentang berapa maksimum beban kendaraan yang bisa melintasi jembatan yang direncanakannya, maka perencana drainase harus dapat menjawab pertanyaan tentang besar intensitas curah hujan ataupun periode ulang yang diterapkan dalam perencanaan, seberapa besar peluang kapasitas saluran tidak mampu menampung debit aliran akibat hujan, daerah mana saja yang merupakan daerah layanan saluran (langsung maupun tidak langsung), apakah dengan saluran yang baru ini tidak akan terjadi pencemaran air tanah, apakah tidak akan menimbulkan masalah di kawasan bagian hilir, apakah koefisien limpasan sudah disesuaikan dengan peruntukkan lahan di kemudian hari (sesuai rencana tata ruang), apakah sudah memperhitungkan adanya pengaruh air balik (back water curve), dan berbagai pertanyaan lainnya.
Bagaimana menata/mengelola sistem drainase kota ???
Melalui suatu rangkaian kegiatan yang disingkat dengan SIDLACOM (Survey, Investigasi, Desain, Pembebasan Lahan, Pembangunan, Operasi dan Pemeliharaan).
Pada tahapan SID, perencana menyusun terlebih dulu suatu Master Plan yang kemudian diikuti dengan Analisa Kelayakan dan Detailed Engineering Design.
Master plan drainase merupakan suatu rencana induk sistem drainase yang memberikan arahan yang jelas tentang penanganan masalah drainase secara terpadu, desain tipikal dari prasarana drainase, prioritas penanganan/pembangunan, perkiraan biaya, pedoman operasional dan pemeliharaan dan sebagainya.
(Seingat penulis, sejak beberapa tahun yang lalu Kota Manado sudah punya master plan drainase kota yang dibuat oleh Bappeda Kota Manado, master plan drainase kota yang dibuat oleh Sub-Dinas Cipta Karya Dinas PU Provinsi, dan master plan pengendalian daya rusak air Kota Manado yang dibuat oleh Dinas Sumber Daya Air Provinsi).
Master plan adalah suatu karya di atas kertas berupa laporan dan gambar, yang tentunya akan mubazir apabila tidak dimanfaatkan dan dilanjutkan dengan suatu desain rinci (DED), dan implementasi di lapangan.
Operasional prasarana drainase merupakan usaha untuk memanfaatkan prasarana drainase secara optimal (melalui pengoperasian pintu air, penyuluhan dan lain-lain), sedangkan pemeliharaan prasarana drainase merupakan usaha untuk menjaga agar prasarana drainase berfungsi dengan baik selama mungkin (melalui pengamanan, perawatan, perbaikan)
Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan drainase kota di kawasan pesisir pantai:
a. Reklamasi pantai harus dapat menjamin kemiringan topografi kawasan agar tidak menimbulkan daerah-daerah rawan genangan yang baru. Alternatif lainnya adalah dengan menyediakan akses drainase ke laut berupa saluran-saluran terbuka yang kapasitasnya sudah melalui perencanaan yang mantap.
b. Bagian hilir saluran drainase harus direncanakan mampu mengatasi masalah back water curve. Jika diperlukan, harus dibuat konstruksi penahan pasang surut air laut seperti pintu air yang dibantu oleh kolam tandon dan pompa air, atau membangun tanggul/tembok di sepanjang kiri kanan muara sungai/saluran.
c. Program normalisasi sungai yang memperlebar dan memperdalam alur sungai merupakan cara yang paling tepat untuk mengatasi penyempitan dan pendangkalan/penyumbatan di hilir/muara sungai.
d. Meningkatkan upaya non-struktur seperti penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat untuk menjaga prasarana drainase, serta penegakan hukum terhadap kegiatan yang merusak prasarana drainase dan menghambat upaya pemeliharaan drainase.
e. Barangkali sudah waktunya dipikirkan pembuatan peraturan penarikan retribusi sistem drainase mengingat banyaknya kebutuhan pendanaan untuk suatu kota sehingga subsidi untuk drainase mulai dikurangi sejak sekarang. Selain itu, sistem drainase kota melayani pembuangan limbah cair di musim kemarau sehingga wajar jika pemerintah menarik retribusi atas pelayanan yang diberikan. Keberadaan sistem drainase sanggup menaikkan nilai tanah dan bangunan, sehingga sewajarnya jika pemerintah mendapatkan bagian guna membangun dan memelihara sistem drainase.
Kasus Khusus: Drainase di Kawasan Boulevard di Kota Manado
Jalan Piere Tendean (lebih dikenal dengan Boulevard) dan kawasan perdagangan di sebelah barat jalan tersebut, dulunya adalah bagian dari pantai Teluk Manado, yang direklamasi secara bertahap. Pantai ini dulunya menjadi lokasi pembuangan akhir dari saluran-saluran drainase kota.
Pembangunan jalan Piere Tendean diikuti dengan pembuatan saluran drainase di sisi timur jalan dan beberapa gorong-gorong yang memotong jalan. Saluran di sisi timur jalan hanya berfungsi menampung air dari saluran-saluran drainase kota untuk kemudian didistribusikan ke gorong-gorong, dan sebagiannya lagi dialirkan ke sungai Sario. Keberadaan saluran ini tidak efektif mengingat kemiringan dasar saluran yang sejajar pantai adalah relatif datar, sehingga aliran akan terhambat. Seyogyanya saluran-saluran drainase kota harus dilanjutkan dengan gorong-gorong langsung ke arah laut.
Reklamasi pantai menjadi kawasan perdagangan di sebelah barat jalan Piere Tendean menyebabkan diikuti dengan penutupan sebagian gorong-gorong di jalan tersebut. Elevasi lahan reklamasi dibuat lebih tinggi dari Jalan Piere Tendean dan kemiringannya ke arah jalan tersebut. Ini sama dengan menambah luas catchment area dari saluran di jalan Piere Tendean. Saluran pembuang yang melewati kawasan perdagangan ini saling berjarak relatif cukup jauh dan dibuat tertutup.
Akibat dari semua keadaan ini, pada saat hujan cukup deras, saluran di sisi Jalan Piere Tendean, gorong-gorong dan saluran tertutup di kawasan reklamasi tidak mampu menampung dan menyalurkan air hujan dan terjadilah genangan air di sebagian ruas jalan Piere Tendean. Kawasan permukiman yang dulunya bebas dari genangan (Kampung Pondol, Kampung Kakas, Kampung Tomohon, dan sekitarnya) sekarang telah berubah menjadi lokasi rawan genangan.
Beberapa hal yang diusulkan untuk mengatasi masalah drainase di kawasan Jalan Piere Tendean dan sekitarnya adalah:
a. Jarak antara gorong-gorong di Jalan Piere Tendean diperkecil dengan menambah jumlah gorong-gorong. Paling baik apabila gorong-gorong dibuat sebagai kepanjangan dari saluran-saluran drainase kota.
b. Di kawasan reklamasi perlu dibangun akses drainase berupa saluran-saluran terbuka ke laut, yang jika ditata dan dipelihara dengan baik, bisa menjadi lokasi rekreasi.
c. Perencanaan teknis dari fasilitas drainase hendaknya memperhitungkan catchment area serta kemungkinan perubahan penggunaan lahan baik di sekitar lokasi dan di daerah hulu berdasarkan rencana tata ruang kota.#
* Dosen Keairan di Fakultas Teknik Unsrat; PU SDA: Profesional Utama Sumber Daya Air, Himpunan Ahli Teknik Hidranlik Indonesia (HATHI)